Setelah mereview kembali perjalanan tiga tahun pernikahan ini, ternyata saya masih punya banyak. Dan yg terbesar adalah komunikasi 😅 still..
Untuk memperjelasnya, supaya gak lupa, PR atau bisa disebut janji ke diri sendiri, antara lain:
Saya akan menangkap apa maksud suami sesuai dengan apa yg dia ucapkan. Tanpa dilebih-lebihkan. Jika ia berkata A ya maksudnya memang hanya A, bukan ABCDE seperti dalam pikiran yang mengelana kemana-mana ini 😂
Kalau saya pengen ngobrol sama suami, mau dia fokus sama saya, saya hanya akan bilang, dengarkan. Kalau saya perlu dia menanggapi, I’m just gonna say it. What do you think. I’m asking you. Tanpa perlu mikir macem-macem ntah topiknya yang salah apa suami yang salah dan segala pikiran buruk berlebihan lainnya 😅🙏🏻
Saat suami lagi asik sendiri ntah dengan handphonenya atau pertandingan bolanya (hm 😌) dan saya ingin ditemani, saya hanya akan memanggilnya. Tanpa perlu misuh-misuh 😂
Ngomong langsung kaya gini jauh lebih efektif daripada kode-kode gak jelas yang sangat jarang ditangkap suami, yang ujung-ujungnya malah menyiksa saya sendiri dan membingungkan suami “lah, ni orang kenapa lagi” 😩
Saya gak bakal berharap tiba-tiba suami kasih kado atau hadiah, karena dia bukan tipe orang yang demikian. Dan setelah dipikir-pikir, sebagai orang yg punya keinginan detail, kalau dikadoin kayanya saya juga gak bakal puas. Ada aja kurangnya. Kok barang ini. Kok warna ini. Kok model ini. Wes, sudah minta duit langsung beli sendiri saja 😆
Setiap orang punya waktu dan cara terbaiknya masing-masing. Begitu juga dengan suami yang kalau dibilang suka jawabin ‘iya nanti’ 🤪 Pun setelah dia selesai dengan pekerjaan rumah tangga tersebut, saya hanya harus percaya pada apa yang ia lakukan. Tanpa ngomel-ngomel “kok gini, kok gitu” 🤪
Serta saat saya pingin sesuatu, saya hanya akan bilang. Either I get it by myself or by him. Gak perlu gak enakan. Gak perku mikir kemana-mana. Eh tar responnya gimana ya. Eh gapapa nih ngomong gini, ntar dia mikir apa ya. Ngomong aja dulu. Keragu-raguan saya kayanya kok malah merepotkan. Meskipun saya emang kalau mikir dan mau mutusin sesuatu tu ya ntah kenapa lamaaaaa 😂
Karena saya mengakui bahwa saya bukan orang yg mudah terpuaskan dengan ‘apa adanya’ jd ya saya memang sedikit sulit dihadapi 😅 Sedangkan dia tipe yang apa adanya dan gak banyak ‘cincong’ 🤗
Dan yg membuatnya semakin sulit adalah karena saya tidak berbagi, masih sibuk dengan sendiri, dan berbelit-belit untuk hanya terbuka apa adanya 😅
Akhirnya, melihat kembali perjalanan pernikahan ini, berbagi hidup, memiliki tanggung jawab tak henti sebagai orang tua, perubahan peran, cukup membuat saya kewalahan ternyata. Namun, di titik ini pula saya mendapat kesempatan untuk menyelami diri sendiri. Tidak lagi kabur tapi berhadapan langsung. Ya, kadang saya juga berpikir persoalannya kebanyakan tentang diri saya sendiri.
And it’s a relief though to have someone who stay by my side. To just hug me whenever I feel overwhelmed, disappointed, unsatisfied, sad, or anything that may come. To listen to whatever I said, no matter how trivial it may sounded. To have a partner in this mission of life. Accomplishing it one by one, climbing level step by step. And of course to love and to be loved.
Begitu juga dengan suami. Ia memiliki perjalanan hidupnya sendiri, sebelum kemudian menjadi satu dalam pernikahan ini. Kadang saya lupa dan hanya fokus pada diri sendiri. Bagaimana yang ia rasakan, apa yang ia harapkan, bagaimana gambarannya tentang kehidupan mendatang, dst. Untuk itu, saya harus mulai melihat lebih luas, mengganti paradigma sendiri, dan belajar lebih memahami.
Well, last, my wish is may our journey of marriage will full of blessings. Despite of our differences, I believe that our love will grow stronger.
Love you, as always, Nasha