• Anak & Keluarga
  • Kesehatan Mental
  • Perempuan & Pernikahan
  • Lingkungan
  • Review & Rekomendasi
Salam, Nasha

Jejak Perjalanan dan Catatan Pelajaran

Bulan Zulkaidah dalam hitungan Tahun Hijriah bisa dikatakan sebagai bulan paling ramai untuk kunjungan ke Baitullah. Dari seluruh penjuru dunia, orang-orang menuju ke tanah suci, termasuk dari Indonesia. Meski ada puluhan kloter yang diberangkatkan setiap tahunnya, masa tunggu haji di Indonesia tidaklah sebentar. Maka mereka yang akhirnya dipanggil, mewujudan rasa syukurnya dengan mengadakan acara sebelum berangkat untuk bisa pula didoakan bersama. Acara ini dikenal dengan walimatus safar. Berbagai pandangan menyimpulkan acara ini positif, jika bisa dijaga tetap dalam batas kebaikan yang diperlukan. 



Walimatus Safar

Walimatus Safar secara harfiah diartikan sebagai acara pesta untuk walimah dan perjalanan untuk safar. Maka seacara bahasa artinya adalah acara yang diadakan untuk perjalanan, pada praktiknya yakni perjalanan ke tanah suci. Kebanyakan untuk ibadah haji, meski ada pula yang mengadakannya untuk umroh. Dalam pelaksanaannya, rangkaian acara terdiri dari doa bersama yang biasanya dipimpin oleh ustadz atau kyai lalu dilengkapi dengan makan-makan bersama dengan konsumsi yang telah disediakan oleh tuan rumah.

Jika dirunut pada sejarahnya, kegiatan ini tidak memiliki sumber yang jelas bagaimana awalnya. Ini merupakan bentuk tradisi mayoritas umat muslim Indonesia saja, sebagai bentuk rasa syukur dan kebersamaan dalam masyarakat. Terlebih, bukan hal mudah untuk bisa berangkat menuju baitullah. Bukan hanya karena faktor ekonomi tapi juga faktor antrean yang begitu panjang membuat kita ingin bersyukur bersama-sama, selayaknya gaya hidup kita di Indonesia. Mengundang sanak saudara dan kerabat untuk berbagi kabar juga kebahagiaan sekaligus berdoa bersama.

Meski bentuknya tradisi, bukan berarti acara ini tidak ada dalil sama sekali. Melansir laman HIMPUH, ada beberapa hadits yang menjelaskan bagaimana Rasulullah mengungkap syukur selepas dari perjalanan. Seperti keluarga yang menyambut beliau atupun penyembelihan hewan untuk dimakan bersama-sama. Meski tasyakuran itu biasanya dilaksanakan sekembalinya dari perjalanan, ada pula dalil yang menjelaskan tentang berbagi makanan atas peristiwa yang membahagiakan. Bisa berangkat ke tanah suci merupakan peristiwa yang membahagiakan, kan?

Jadi, sebagai acara wujud rasa syukur atas diundangnya seseorang ke tanah suci yang diselenggarakan dengan makan dan doa bersama, acara ini merupakan acara baik yang dapat memupuk silaturahmi. Hanya saja, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan agar tidak melenceng dari kebaikan yang sesungguhnya. 


Perhelatan yang Patut

Sama seperti kebaikan lainnya, semua diawali dari niat, termasuk pada acara tasyakuran ini. Tanyakan dulu pada diri sendiri, apakah mengadakan acara memang karena ingin bersyukur dan berbagi kebahagiaan atau hanya sekedar ikut-ikutan atau justru karena ingin mendapat pengakuan? Sebab, niat ini yang paling utama sebelum mengadakan acara. Jika ternoda oleh niat yang tidak lagi tulus suci demi kebaikan, mungkin lebih baik menghindar. Tidak sedikit orang yang memilih tidak mengadakan acara walimatus safar ini karena takut riya' atau membanggakan diri. Niat letaknya di dalam hati, tidak ada yang tahu pasti melainkan diri sendiri. Jika memang sudah memastikan niat murni karena Allah, maka pelan-pelan kita berdoa agar niat suci itu dijaga jangan sampai ternoda. 

Selanjutnya, adakanlah acara yang sewajarnya. Tidak perlu berlebihan apalagi bermewah-mewahan. Kembali pada tujuannya apa. Untuk berdoa, maka undang pemuka agama untuk memimpin. Untuk berbagi kebahagiaan dengan makan bersama, maka sediakan makanan sewajarnya untuk membuat orang kenyang dengan pilihan makanan yang menyehatkan. 

Terakhir, jangan memaksakan diri. Jika memang tidak sanggup mengadakan acara, tidak apa-apa. Tidak ada keharusan untuk mengadakan acara syukuran. Jika sanggupnya hanya mengundang tetangga dekat dan keluarga inti pun, juga tidak masalah. Orang bisa bebas berargumen tapi kitalah yang paling mengerti kondisi diri sendiri. Kita yang akan berangkat, keluarga kita yang akan ditinggal, utamakan mana yang menjadi prioritas. Jangan sampai acara menyenangkan orang lain malah menyusahkan diri dan keluarga sendiri, dengan berhutang misalkan. Pahami batasan diri. 

Selain itu, berikut ada beberapa tips untuk menambah kebaikan dari acara syukuran tersebut:

  • Mengundang tetangga terlebih dahulu, sebab mereka yang paling dekat ada di sekitar kita, yang tahu akan penyelenggaraan acara.
  • Perkirakan jumlah makanan yang sesuai dengan tamu undangan agar tidak kekurangan ataupun berlebihan.
  • Sediakan piplihan makanan yang sekiranya disukai oleh banyak orang sehingga bisa mengurangi potensi makanan sia-sia.
  • Tidak terlalu berisik sehingga tidak mengganggu aktivitas warga lainnya.
  • Peka terhadap lingkungan, mulai dari area parkir yang tidak mengganggu tetangga, sampah yang tidak berserakan, juga aktivitas yang sederhana.
  • Sediakan tempat pembuangan untuk makanan sisa konsumsi seperti komposter.
  • Sediakan wadah makanan yang tidak menambah tumpukan sampah seperti wadah cuci ulang ataupun pilihan wadah sekali pakai yang lebih ramah lingkungan.
  • Hindari penggunaan plastik.

Nah, itulah rangkuman dari bagaimana mengadakan acara walimatus safar yang diadakan sebelum keberangkatan ke tanah suci. Semoga kita semua diundang oleh Allah dan dimudahkan prosesnya untuk bisa ke sana, ya. Aamiin.



Salam, Nasha

Secara nasional, kita mengenal Hari Pendidikan Nasional bertepatan dengan hari lahir Ki Hajar Dewantara yakni tanggal 2 Mei. Biasanya hari ini diperingati oleh guru maupun murid dengan upacara yang diselenggarakan di sekolah untuk mengingatkan tentang pentingnya pendidikan. Namun sebenarnya semangat pendidikan tidak terbatas pada mereka saja. Kita sebagai orang tua justu adalah pihak kunci yang menentukan bagaimana pendidikan anak sebagaimana kita adalah guru kehidupan mereka yang pertama dan untuk selamanya. 



Pendidikan untuk Anak

Bicara pendidikan, mungkin yang pertama muncul dalam benak kita adalah proses belajar mengajar yang terjadi antara murid dan guru di sekolah. Padahal, jika kita lihat definisinya, tidak ada batasan dalam pendidikan itu. Proses pendidikan terjadi dengan adanya usaha sadar dan terencana oleh satu pihak untuk membuat pihak lainnya memahami dan mengembangkan potensi mereka. Maka, tidak salah jika dikatakan bahwa orang tua juga melakukan pekerjaan mendidik anak. 

Peran orang tua dalam pendidikan anak dimulai jauh sebelum anak masuk sekolah. Jauh sebelum orang tua mencari informasi tentang sekolah yang cocok untuk anak, jauh sebelum orang tua bekerja mempersiapkan dana agar bisa membayar uang pangkal sekolah yang diinginkan, jauh sebelum orang tua menemani anak mengerjakan tugasnya. Di atas itu, usaha mendidik orang tua telah jauh sebelum anak berhubungan dengan sekolah.

Upaya orang tua dalam mendidik anak telah dimulai dari bagaimana sepasang manusia merencakan anak seperti apa yang akan mereka wujudkan. Bahkan tidak jarang yang menyebut itu semua dimulai dari memilih pasangan. Pasangan seperti apa yang akan menjadi sosok teladan bagi anak, siapa yang akan membersamai mereka, orang seperti apa yang akan mendidik generasi penerus ini kelak. 

Jadi, jangan pernah mengerdilkan pendidikan hanya terjadi di sekolah. Serta jangan pula mengerdilkan peran orang tua sebagai pendidik pertama anak yang mengajarkannya tentang kehidupan dan nila-nilai yang harus dipegang. Sebab orang tua adalah pendidik utama anak untuk selamanya. 


Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak

Sudah kita singgung tadi, bagaimana orang tua sudah mulai berperan sebagai pendidik anak bahkan tanpa mereka sadari. Jika kita mulai titiknya dari pernikahan dan rencana memiliki buah hati, maka peran itu bis akita runut sebagai berikut.

  • Menyiapkan Diri
Belakangan banyak himbauan agar sebagai manusia dewasa kita harus 'selesai' dulu dengan diri sendiri sebelum memiliki anak. Ini berarti kita bisa mengenali dan memahami diri sendiri secara utuh, lengkap dengan luka dan trauma yang lalu serta berdamai dengan semua itu. Sehingga ketika memiliki anak, kita tidak lagi atau setidaknya sedikit memiliki masalah di dalam diri. Upaya itu dapat mendoong kita menjadi manusia yang lebih berkesadaran dan bijaksana. Salah satunya dengan mampu mengenali bahkan mengajari mereka tentang apa yang dirasa dan bagaimana mengekspresikannya, juga dengan tidak menjadian anak sasaran emosi yang ternyata bersumber dari luka masa kecil.
  • Mendiskusikan Masa Depan Anak
Dua kepala dewasa dengan latar belakang yang berbeda, tentu memiliki pemikiran yang berbeda pula akan banyak hal, dan ini adalah hal wajar. Itulah kenapa diperlukan diskusi. Komunikasi yang sehat dan terbuka, dalam hal ini membicarakan tentang anak. Nilai apa saja yang penting untuk ditanamkan, pendidikan apa yang menjadi prioritas dalam keluarga, hingga bagaimana melakukannya secara berkala. Semua harus dipikirkan berdua, jangan hanya menjadi beban salah satu pihak, ibu misalkan. Sebab pengasuhan adalah tanggung jawab berdua, ayah dan ibu.
  • Membicarakan dengan Pihak yang Akan Mendukung Prosesnya
Tergantung pada kondisi masing-masing keluarga, pihak pendukung pada proses pendiikan anak bisa jadi pengasuh, kakek-nenek, om tante, keluarga besar, hingga pihak lembaga pendidikan nantinya. Jika sudah memiliki visi yang jelas tentang anak, proses komunikasi dengan pihak luar ini akan menjadi hal yang lebih mudah dilaksanakan. Dengan adanya do's and don'ts yang sudah disepakati, kita bisa menyampaikannya dengan lebih leluasa. Begini bicara di depan anak, makan yang ini-itu saja, siara yang boleh ditonton hanya ini, tidak boleh bermain di jam ini,  dsb. 
  • Memantaskan Diri Menjadi Teladan
Ini bagian yang paling penting dan paling sulit rasanya. Bagaimana memberikan mereka contoh dalam berbicara hingga bertindak. Sebab anak adalah peniru ulung yang mungkin tidak mendngar tapi akan selalu melihat. Bagaimana cara kita bicara, bagaiamana cara kita mengekspresikan emosi, bagaimana kita bertindak. Namun inilah hal yang paling menguntungkan dari menjadi orang tua, kita terus berupaya untuk memperbaiki diri. Kita berusaha menahan diri, berpikir berulang kali, semuanya untuk menjadi yang lebih baik dari hari ke hari.
  • Bijak dalam Memosisikan Diri
Sebagai orang tua yang memiliki hubungan sangat dekat dengan anak, mungkin kadang kita merasa tidak ada batasan dengan mereka. Tapi pahami bahwa mereka hanyalah anak-anak yang kemampuan berpikirnya tidak sama dengan kita. Jadi bijaklah menahan diri. Bicarakan hal yang pantas di depan mereka, bicarakan hal yang menjadi bagian orang dewasa dengan orang dewasa saja, bijaksanalah. Bahkan melakukan pencitraan di depan anak itu lebih baik daripada berlaku apa adanya, mengingat anak akan meniru apa yang kita lakukan. Jika itu hal baik, berpura-pura saja dulu, pura-pura suka olahraga, pura-pura rajin membaca, biar anak meniru hal-hal baik yang kita lakukan. 
  • Serius Menentukan Rencana Pendidikan
Pelajari tahap perkembangan anak, mulai dari bayi hingga anak bahkan remaja nanti. Sesuaikan dengan usia mereka. Bicarakan berdua, sebab ini tanggung jawab ayah dan ibu. Apa yang ingin diajarkan pada anak, bagaimana melakukannya. Ada banyak hal yang bisa diajarkan pada anak, ada banyak aspek dari anak yang bisa kita didik. Tidak melulu fokus pada sekolah dan pelajarannya atau berbagai prestasi yang bisa ia dapatkan dari kejuaraan. Sebab, didikan kita bukan untuk pengakuan tapi untuk kehidupan mereka di masa depan. Hal yang tidak tampak bukan berarti tidak ada. 
  • Meluangkan Waktu untuk Mereka
Waktu adalah hal terbaik yang bisa kita berikan pada anak. Sebelum mendidik, pastikan kita punya waktu untuk menjalin hubungan baik dengan mereka. Connection berfore correction. Anak yang terhubung dengan orang tua akan lebih mudah untuk bekerja sama. Luangkan waktu yang benar-benar utuh tana distraksi untuk mereka, mendengarkan cerita mereka, bermain bersama mereka, atau bahkan hanya diam menemani mereka. 
  • Tidak Berhenti Belajar
Pada akhirnya menjadi orang tua adalah tentang perjalanan seumur hidup yang tidak ada habisnya. Sejak kecil hingga mereka dewasa, orang tua tetaplah berperan dalam mendidik anak. Sebagai tempat aman mereka berpulang, tempat tanpa penghakiman bagi mereka bertanya, tempat yang mereka rindukan saat menghadapi rumitnya dunia. Bahkan ketika dewasa, orang tua tetaplah menjadi pendidik anak yang mengingatkan mereka akan nilai-nilai kebaikan. 


Hebatnya anak, mereka akan selalu punya ruang untuk memaafkan. Jadi tidak ada kata terlambat untuk mulai emmahami peran kita sebagai orang tua dan memperbaiki diri. Tidak akan pernah padam kesempatan untuk memantaskan diri. Maka pada hari ini, untuk anak-anak kita, mari lebih berkomitmen menjadi pendidik sejati, yang lebih hadir juga lebih terbuka untuk terus belajar agar pantas menjadi teladan.



Salam, Nasha

Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, termasuk dalam hal pendidikan. Kita daftarkan mereka sekolah sejak usia dini dengan tujuan memaksimalkan perkembangan mereka sehingga mereka bisa tumbuh cemerlang nantinya. Namun dibalik keinginan mulia itu, kadang kita lupa pada apa yang sebenarnya paling anak butuhkan sesuai usianya serta bekal apa saja yang harus dipersiapkan untuk mereka sebelum memasuki dunia baru, sekolah. Jadi sebelum mendaftarkan anak, pastikan dulu apakah anak siap?




Dalam kehidupan modern kita sekarang, kesadaran akan pentingnya pendidikan semakin meningkat. Banyak orang tua semakin yakin bahwa pendidikan memang jalur paling aman untuk jaminan masa depan. Maka mereka mengupayakan pendidikan terbaik bagi anaknya, termasuk dengan mendaftarkan anak sekolah sejak dini. Sekolah pun berlomba-lomba menarik hati orang tua dan anak sejak usia 2 tahun. Kebanyakan dari orang tua beranggapan, lebih baik mereka bermain di sekolah dengan aktivitas yang terarah daripada bermain 'tidak jelas' di rumah. 

Anggapan itu tidak salah, meski tidak sepenuhnya benar. Sebab, jelas atau tidak jelasnya aktivitas anak bermain bagi orang tua, tidak ada hubungannya dengan proses belajar mereka. Anak belajar dari apapun yang mereka terima dan lakukan. Maka, niat kita untuk menyekolahkan mereka harus lebih jelas lagi sehingga keputusan untuk mendaftarkan anak bersekolah hingga memilih sekolahnya juga lebih terarah. Pahami bahwa apa yang kita inginkan atau yang kita pikir terbaik, belum tentu sesuai dengan kondisi setiap anak. Maka langkah awal yang perlu kita lakukan adalah memahami anak, anak kita sendiri.

Selanjutnya, jika memang berbagai pertimbangan mengantarkan kita pada rencana untuk mendaftarkan anak pada lembaga pendidikan usia dini, tidak berarti kita menyerahkan mereka begitu saja pada guru. Sebab, ada beberapa hal yang harus kita pastikan dan persiapkan. Persiapkan agar mereka benar siap untuk memasuki dunia baru itu.

  • Pahami dari sudut pandang anak

Bagi anak, sekolah adalah tempat baru yang, meskipun mereka sukai di waktu kunjungan pertama, bisa jadi tempat yang membingungkan dan menegangkan. Bayangkan mereka yang biasanya beraktivitas sesuka hati di tempat yang sudah mereka kenali, tiba-tiba harus berpisah dari orang dan lingkungan yang mereka kenal lalu melakukan aktivitas yang diinstruksikan dari orang-orang asing. Selain itu, ada banyak hal baru yang harus diproses otak kecil mereka, mulai dari lingkungan sekolah, warna cat dinding, wajah teman-teman, suara guru, doa sebelum pulang, dll. Wajar jika anak kewalahan, kan?

  • Kemandirian dan Kemampuan intrapersonal

Untuk bisa melepas anak di lingkungan baru tanpa pengawasan orang tua, pastikan anak dapat menjaga dirinya sendiri. Tentu saja guru pun mengawasi, tapi alangkah lebih baik jika mereka bisa memahami diri sendiri dan mandiri akan kebutuhannya. Kemandirian ini bisa dibiasakan dari rumah seperti makan dan minum sendiri, bisa ke toilet sendiri, pakai sepatu, membuka tas dan kotak bekal, serta membereskan barang sesuai tempatnya. Selain itu, pastikan anak memahami dan dapat mengomunikasikan kondisi tubuhnya seperti ketika ia merasa tidak sehat, disakiti, tersinggung, dll.

  • Kemampun Emosional
Kemampuan ini mencakup kesiapan dan kemauan anak untuk berpisah dari orang tua atau pengasuh. Selalu katakan pada anak bahwa ia nanti akan dijemput dan hindari kalimat nanti ditinggal. Dengan begitu, anak lebih berani untuk bersekolah tanpa ditemani. Selain itu, kemampuan emosional berarti anak dapat mengenali emosi yang ia rasakan. Kemampuan ini perlu dilatih jauh hari dari rumah. Jangan biasakan meredam ekspresi perasaan anak, misalkan dengan melarang mereka menangis, tapi kenalkan perasaan sedih, kesal, takut, kecewa yang bisa menimbulkan air mata tersebut.  
  • Komunikasi
Setelah dapat mengenali emosi sendiri, anak juga perlu dilatih untuk dapat mengekspresikan dan mengomunikasikannya dengan tepat. Misalkan ketika kesal, tidak melempar barang, atau ketika marah, tidak memukul teman. Bukan hanya larangan, tapi tunjuki ia bagaimana yang benar seperti menarik nafas, menghentakkan kaki, ataupun membicarakannya. Anak juga perlu diajari tentang kemungkinan saat berinteraksi dengan teman. Bisa jadi ia terdorong saat sedang berlarian, bisa jadi ia terluka ketika menabrak teman, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana anak mengomunikasikannya?
  • Pengenalan Adab 
Tidak ada batasan usia minimal dalam mengajarkan adab pada anak. Mulai dari bayi ketika kita bacakan ia doa sebelum menyusu, mengenakan kaus kaki sebelah kanan terlebih dahulu, mengucapkan hamdalah ketika bersendawa, makan dalam posisi duduk, dst. Kebiasaan ini bisa diteruskan hingga anak terlatih setidaknya mengucapkan salam/ permisi, maaf, tolong, dan terima kasih. Adab dasar lainnya adalah mendengarkan dan tidak menyela ketika orang berbicara. 
  • Kemampuan Dasar Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik Sederhana

Pada dasarnya kemampuan ini akan anak pelajari dari aktivitas bermain yang ia lakukan di rumah dan dari interaksinya dengan kita, orang tua ataupun dengan pengasuhnya. Perkembangan ini meliputi kemampuan anak dalam mengurutkan kegiatan, menjawab ataupun menceritakan kejadian, mengelompokkan benda; lalu mampu mengenali dan mengekspresikan emosi dengan tepat; serta dapat memegang, membuka, menutup benda, menyeimbangkan tubuh, koordinasi mata juga tangan, dst. Tahap kemampuan ini disesuaikan dengan kemampuan anak, namun semakin ia mampu semakin nyaman pula ia dengan aktivitas di sekolah.


Sebagai orang tua, kitalah yang bertanggung jawab atas tahap perkembangan anak, sehingga memang tidak bisa menyerahkan mereka begitu saja ke pihak sekolah. Apalagi proses pendidikan adalah perjalanan panjang yang akan anak lalui selama belasan bahkan puluhan tahun, jangan sampai kenangan awal mereka tentang sekolah menjadi tidak menyenangkan. Kitia justru harus berusaha agar anak mau dan bersemangat sekolah. Jadi pastikan dahulu kesiapana anak sebelum mendafarkan mereka. Persiapkan mereka dengan bekal terbaik dari kita. Sehingga dekat ataupun jauh, kini ataupun nanti, mereka tetap bisa aman dan nyaman berkat bekal yang sudah kita siapkan. 



Salam, Nasha

Pesatnya teknologi berdampak positif pada mudahnya akses pendidikan. Kini semua orang bisa belajar secara daring, termasuk anak-anak. Orang tua bisa mengikut sertakan anak-anak pada berbagai keterampilan bermodalkan internet di rumah. Peluang ini pun dimanfaatkan oleh banyak lembaga untuk membuka kelas daring, termasuk kelas belajar agama Islam. Beberapa lembaga mengkhususkannya pada kemampuan mengaji, tapi tidak sedikit pula yang menambahkan berbagai pelajaran keislaman lainnya. Berikut beberapa lembaga yang bisa menjadi pilhan belajar mengaji online untuk anak. 



Berbeda dengan zaman kita sebagai orang tua yang mayoritas belajar mengaji di usia sekolah dasar, anak-anak kini sudah diajarkan untuk mengaji atau menghafal surat pendek dan hadits sejak usia dini. Bukan hanya belajar di masjid dekat rumah, banyak anak-anak yang belajar mengaji secara privat dengan guru yang datang ke rumah atau ikut kursus di lembaga pendidikan. Bisa dibilang ini sebagai perkembangan yang baik. Apalagi kemampuan mengaji memang sepatutnya diutamakan bagi kita yang muslim.

Namun, seperti dua sisi mata uang. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan terhadap perkembangan ini antara lain:

  • Perkembangan setiap anak berbeda

Sebagai orang tua tentu kita yang paling tahu bagaimana kebiasaan anak di rumah, apa yang sudah ia kuasai dan yang perlu dikembangkan. Sehingga perlu diperhatikan kesiapan anak belajar dan metode yang paling cocok dengan mereka. Tidak perlu ikut-ikutan hanya karena anak seusia mereka sudah diajarkan ini itu. Tidak semua lembaga ataupun metode pengajaran cocok untuk semua anak.

  • Dunia anak tetaplah dunia bermain
Pendekatan paling baik dalam mengajari anak adalah yang paling sesuai dengan perkembangan mereka. Bagaimanapun, anak usia dini belum memahami konsep kewajiban dan hak,  sehingga tidak mungkin menuntut mereka untuk bisa memenuhi ekspektasi atau standar tertentu.
  • Tumbuhkan dulu kecintaan mereka sehingga tidak perlu memaksa
Ini hal utama yang jangan sampai terlewat. Jangan hanya karena kita terburu-buru, anak jadi tidak menikmati proses belajar sedangkan belajar itu adalah aktivitas yang perjalanannya panjang. Jika dari awal anak terpaksa, maka kedepannya akan lebih sulit bagi mereka untuk berkembang dan bagi kita untuk mengubah persepsi mereka. 
  • Adab sebelum ilmu
Sebelum meminta mereka bisa mengaji ataupun hafal surat Al Quran, tanamkan dulu nilai-nilai kebaikan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah. Bagaimana bersikap, berinteraksi, serta apa saja prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan yang harus dijalani. Jelaskan pula makna dan pesan dalam surat yang mereka pelajari, bukan sekadar menghafalnya saja.
  • Peran orang tua untuk mengajar

Tidak dipungkiribanyak dari kita yang merasa rendah diri untuk mengajarkan anak mengaji, merasa kemampuan kita belum mumpuni untuk mengajarkan pada mereka. Namun, tetap ingat  bahwa pengajaran anak tetaplah tanggung jawab orang tua. Jangan sampai lepas tangan hanya karena mereka telah diajarkan oleh orang lain. Sebenarnya lebih baik lagi, jika orang tua langsung yang mengajarkan mereka, sama-sama meningkatkan kapastitas diri dengan anak, memiliki waktu khusus untuk belajar bersama.

Jika dirasa semua catatan tadi sudah dipahami, lalu berdasarkan pertimbangan dari kondisi keluarga masing-masing, barulah orang tua bisa memilih untuk mencari lembaga bagi anak belajar mengaji.


Lembaga Mengaji Online untuk Anak

Ada banyak pilihan yang tersedia dalam rangka mengajarkan anak mengaji. Beberapa lembaga dibuka untuk umum mulai dari anak hingga dewasa, beberapa lagi memiliki kelas online dan offline, dan tidak sedikit yang memang mengkhususkan pengajarannya pada anak saja. Berikut beberapa lembaga mengaji anak secara online yang bisa dijadikan pilihan. 

  • Edufic

Lembaga yang khusus menyediakan kelas online untuk anak ini  mengintegrasikan kruikulumnya dengan kurikulum internasional. Ada banyak kelas yang ditawarkan selain mengaji dengan tajwid, yakni kelas Islamic English, Islamic Coding, Arabic for Quran, Islamic Writing and Storytelling, dsb. Rata-rata kelas tersebut diperuntukkan bagi anak suia 5-12 tahun. Info lebih lanjut bisa melalui laman resmi mereka di edufic.id atau akun instagram edufic.id 

  • Albata

Di Albata, anak dengan rentang usia 3-13 tahun bisa belajar mengaji secara online ataupun offline (tatap muka datang ke rumah) dengan cabang tersebar di beberapa kota di Indonesia mulai dari Jakarta, Bogor, Bandung, hingga Sidoarjo. Tersedia pilihan kelas grup atau privat. Bahkan di kelas privat juga ada pilihan untuk menggunakan kata pengantar Bahasa atau English. Dalam praktiknya, anak akan belajar mengaji yang juga meliputi tauhid, adab, sirah,fiqh, tartil, juga tahfids yang semuanya menggunakan fun learning ala montessori. Silakan cek info lengkapnya di laman resmi atau akun instagram albata.id

  • Mengaji Kids
Dikhususkan untuk metode pengajaran online, lembaga ini menyediakan kelas belajar mengaji untuk anak dan remaja usia 4-19 tahun. Ada tiga pilihan kelas yang ditawarkan yakni Kelas Iqra, Kelas Al Quran, dan Kelas Tahidz. Dengan biaya yang terjangkau, kita bisa memilih kelas grup atau privat sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Info lengkapnya bisa dilihat di mengajikids.co.id

  • Syari Hub

Bukan hanya anak-anak, lembaga online ini juga menyediakan kelas dewasa. Metode yang digunakan pun beragam mulai dari metode ummi yang disarankan untuk anak-anal, tilawah, iqro, juga bahasa arab pemula. Dalam kelas anak, disedikan layanan privat untuk usia 5-12 tahun menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak. Kelas ini pun dilengkapi dengan pengajaran ilmu keislaman lainnya seperti kisah nabi, sholawat, dan doa. Info lebih lanjut bisa dilihat pada laman resmi atau instagram syarihub.id

  • Privatngaji.com

Lembaga yang menyediakan kelas untuk anak dan dewasa ini, juga menawarkan kelas online dan offline di mana ustadz/ ustadzah mengajarkan murid di rumah masing-masing. Kita juga bisa menentukan untuk belajar secara privat atau grup. Materi yang diajarkan adalah tahsin quran berupa makhorijul huruf, tajwid, ghorib, dan shifatul huruf, serta materi tahfidz untuk anak yang ingin menghafal Al Quran. Selain itu ada pula tambahan berupa materi praktik sholay, doa, kisah nabi, dan berbagai permainan yang edukatif. Info lengkapnya bisa didapatkan di privatngaji.com


Nah, demikian rangkuman lembaga baik online ataupun offline yang bisa dijadikan pilihan bagi ayah ibu yang ingin mendaftarkan anaknya untuk belajar mengaji. Semoga bermanfaat!



Salam, Nasha

Bukan tangerine, tapi when life gives you lemon, make lemonade sebagai frasa yang cukup terkenal dengan pesannya agar kita bisa memperjuangkan hidup dengan sudut pandang yang lebih baik. Tidak jauh berbeda, when life gives you tangerine dimaksudkan dengan pesan yang serupa. Tangerine dipilih sebagai buah yang mewakili Jeju, wilayah yang menjadi latar cerita. Terinspirasi dari kisah cinta dan perjuangan warga asli di sana untuk mengubah nasib generasi, drama ini memang patut mendapat apresiasi tinggi. Bukan hanya karena menghangatkan hati namun karena bisa mengingatkan kita bahwa terlepas dari segala kejutannya, hidup memang layak untuk diperjuangkan.


Sekilas Kisah

Meskipun drama ini mengisahkan tentang kehidupan Ae Sun yang diperankan IU dalam perjuangannya untuk mewujudkan mimpi, tapi bagi saya kisah ini sudah bermula dari ibunya Ae Sun, Gwang Rye. Seorang haenyo atau perempuan penyelam di Pulau Jeju yang memiliki pemikiran berbeda dari ibu-ibu lain pada tahun 1950-an di sana. Ia tidak ingin Ae Sun mengikuti jejaknya sebagai haenyeo, maka ia memilih untuk hidup terpisah dari putrinya agar Ae Sun bisa mendapat pendidikan yang lebih layak dari keluarga alm. suaminya. Meskipun akhirnya Ae Sun kembali hidup bersamanya, Gwang Rye tetap mengupayakan agar Ae Sun hidup di luar Jeju sehingga memiliki nasib hidup yang berbeda darinya.

Sayang, perjuangan Gwang Rye tidak berlangsung lama karena ia meninggal ketika Ae Sun masih berusia 9 tahun. Tinggal bersama ayah tiri, Ae Sun harus bersekolah sambil berjualan serta mengasuh kedua adiknya. Didampingi oleh Gwan Sik, anak laki-laki yang terus membersamainya, Ae Sun menjual kubis hasil kebunnya di pasar hingga remaja. 

Ketika ayah tirinya menikah lagi, Ae Sun pun merasa tidak memiliki siapa-siapa. Bahkan keluarga ayahnya malah mengusulkan agar ia bekerja saja bukan bersekola apalagi berkuliah sastra seperti cita-citanya. Dengan putus asa, Ae Sun mengajak Gwan Sik untuk kabur keluar Jeju. Sesampainya di Busan, ketidak beruntungan menghampiri mereka, sehingga setelah dua malam mereka pun kembali ke Jeju dan tak lama kemudian menikah.

Sejak menikah, memiliki seorang putri, dan tinggal bersama keluarga suami, kehidupan Ae Sun jauh dari apa yang ia impikan. Meski melakukannya dengan sukarela, hari-harinya tetap tidaklah mudah apalagi dengan berbedanya pemikirannya dengan tradisi yang ada di sana. Hingga akhirnya mereka tinggal di rumah sewaan sendiri, memiliki tiga anak, dan jatuh bangun dalam perjuangan keluarga kecil mereka. Mulai dari nyaris kehilangan tempat tinggal, menjadi kapten kapal, anak, tidak ada makanan, dst.

Kisah dalam drama ini pun berlanjut pada kehidupan Ae Sun sebagai ibu dengan anak dewasa, Geum Myeong, yang juga diperankan oleh IU. Bahkan terus berlanjut hingga Ae Sun menjadi nenek dari seorang cucu perempuan. Sama seperti orang tuanya, Geum Myeong juga mengalami pasang surut kehidupan seperti prestasi di sekolah, kemiskinan, tuntutan kerja, hubungan, dll. Kejutan dan tantangan kehidupan tak henti menghampiri mereka. Seperti rasa asam pada manisnya buah jeruk. 

Dengan panjangnya kisah hidup yang disajikan pada drama ini, tak heran ada banyak isu kehidupan yang dibahas. Mulai dari mimpi, harapan, kasih sayang, kehilangan, perlawanan, pengkhianatan, takdir, dll. Berbagai emosi bisa kita rasakan saat menyaksikan drama korea sepanjang 16 episode ini.


Pesan dari Berbagai Kejutan Kehidupan 

  • Semua berawal dari mimpi dan pikiran
Ae Sun tidak akan tumbuh menjadi anak yang berbeda dari teman sebayanya tanpa ibu yang memiliki impian untuknya. Begitu pula Geum Myeong tidak akan bisa sukses menjalankan mimpinya tanpa pola pikir yang berbeda dari ibunya. Maka, lagi-lagi kisah ini menegaskan bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan. 
  • Mendapatkan dukungan adalah anugerah

Setelah memiliki pikiran yang memiliki kehendak sendiri, ternyata kita juga perlu orang-orang baik yang mendukung apa yang kita lakukan. Di sini, Ae Sun bisa memulai mimpinya karena ia dibesarkan oleh ibunya. Ia tidak dilarang membaca saat kebanyakan anak seusianya dibiasakan dengan urusan dapur atau laut. Ia pun tetap bisa memelihara mimpinya karena hidup bersama Gwan Sik. Tentu akan berbeda hidupnya jika ia jadi menikah dengan Bu San Gil. Dalam hari-harinya sebagai yatim piatu itupun, setidaknya ia masih memiliki tiga bibi yang tulus menyayangi dan mendukungnya. 

  • Keengganan kita untuk merombak tradisi
Drama ini cukup banyak menyinggung isu yang bermula dari tradisi, kebiasaan yang hanya diturunkan tanpa benar-benar dipahami alasan dan tujuannya sehingga tetap dilakukan meskipun tidak lagi relevan. Perempuan di Jeju dibesarkan untuk meneruskan profesi menjadi haenyeo, tanpa memedulikan keinginan anak itu sendiri. Mereka dipersiapkan untuk bisa mengurus rumah, tanpa benar-benar paham apa sesungguhnya yang dibutuhkan dalam masing-masing rumah. Tidak banyak orang yang mau memahami, menyadari, dan menjadi berbeda agar sesuai dengan kehidupan masing-masing.
  • Budaya patriarki yang merugikan

Melanjutkan perihal tradisi dalam point sebelumnya, budaya ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan ini sudah mendarah daging dan tampak tidak adil. Salah satunya saat Ae Sun dikeluarkan dari sekolah sedangkan Gwan Sik hanya diskors padahal melanggar aturan bersama. Bahkan butuh keberanian hanya agar anak perempuan bisa bermain sepeda. Bukan hanya di Ae Sun di Jeju, putrinya Geum Myeong juga mengalami kesulitan di Seoul gara-gara patriarki ini. Lagi-lagi, butuh keberanian dan tekad sekuat baja jika ingin melawan apa yang sudah diturunkan antar generasi, termasuk budaya patriarki.

  • Hubungan keluarga yang hangat meski kadang juga dingin

Apa yang menghangatkan dari kisah ini adalah interaksi keluarga yang apa adanya. Mulai dari perjuangan seorang ibu untuk anaknya, ketidak hadiran ayah dalam pengasuhan pada umumnya, serta hubungan kakak adik yang tidak selalu manis. Adegan-adegan itu dibungkus begitu rapi sehingga penonton pun merasakan gejolak emosi menyaksikannya. Seperti ketika Gwan Sik membela istrinya, memberikan bagian makanannya pada anaknya, berjuang untuk keluarganya hingga menjual kapal kesayangannya. Atau ketika Ae Sun memilih untuk mendahulukan keluarga serta membela putrinya bahkan saat ia sudah dewasa. Bagian yang paling menguras emosi bagi saya adalah saat mereka kehilangan putra bungsunya. Bagaimana luka kehilangan anak tidak akan hilang meski sudah berpuluh tahun usianya. 

  • Butuh Bergenerasi untuk naik kelas nasib keluarga
Entah mengubah nasib keluarga atau naik kelas generasi, tapi memang butuh perjuangan keras untuk bisa mewujudkan hal itu. Dalam kisah ini, perjuangan itu dilakukan selama tiga generasi. Dari Gwang Rye, Ae Sun, dan Geum Myeong yang bisa dikatakan sukses di daratan Seoul. Butuh mimpi untuk keluar kampung halaman hingga benar-benar hidup mapan di kota besar. Butuh perjuangan sekeras dan selama itu untuk keluar dari jerat kemiskinan. Tidak semua demikian, tapi memang beginilah jalan paling umum. Tidak tiba-tiba terjadi dalam semalam. 
  • Menerima hidup apa-adanya

Akhirnya, kita diajarkan untuk bisa menerima hidup apa adanya di setiap musimnya. Ketika terasa manis ataupun terasa asam. Kita harus maju terus dan menjalaninya dengan lapang dada. Memang hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Cepat atau lambat semuanya akan berlalu. 



Salam, Nasha

Hari Kartini kita peringati secara nasional untuk mengenang jasa seorang pahlawan wanita asal Jepara bernama Raden Ajeng Kartini, yang lahir pada 1879. Pemikirannya untuk kesetaraan gender dan pendidikan perempuan dianggap telah mengubah banyak kehidupan. Surat-suratnya berhasil membuka pikiran banyak orang, sekolah yang ia dirikan juga menjadi gerbang bagi banyak perempuan untuk bisa berkembang. Hingga kini, perayaan hari kartini masih kita lakukan. Paling umum dengan berbagai acara yang dimeriahkan dengan peragan kebaya di sekolah atau perkantoran. Pertanyaannya, apakah semangat kartini untuk perempuan itu cukup diperingati dengan kebaya dan acara hiburan saja?



Hari Kartini dari Tahun ke Tahun

Sejak masih di sekolah dulu, saya sudah tahu tentang hari kartini. Hafal di luar kepala tanggal lahirnya pada 21 April, meski tidak benar-benar paham apa jasanya selain surat-surat yang ia tulis pada sahabatnya di Belanda. Seingat saya, tidak ada yang menceritakan bagaimana surat-surat tersebut bisa membuat namanya harum hingga hari lahirnya bisa diperingati bahkan beratus tahun kemudian. Bahkan setelah dewasa ini, baru saya mengetahui bahwa ia sempat mendirikan sekolah untuk perempuan, salah satu jejak yang ia tinggalkan untuk perjuangannya bagi perempuan.

Setiap tahun saya merayakan. Mulai dari sekolah saat anak-anak hingga di kantor ketika dewasa. Umumnya, perayaan dimeriahkan dengan berbusana kebaya dan aneka lomba hiburan, bahkan saya sempat memenangkan lomba dengan berpakaian adat serta adu cepat membungkus kado. Setelah diingat-ingat, apa yang kami lakukan tidak pernah benar-benar membawa kesadaran pentingnya kesetaraan dan bagaimana harusnya semangat itu diperjuangkan. Meski sudah lama tidak menyukai dan tidak menemukan korelasi, baru tahun ini saya benar-benar menyadari pemikiran yang menganggap perayaan ini perlu diluruskan.

Sebelum itu, mari kita bahas secara singkat tentang Kartini. Seorang anak keturunan bangsawan yang mendapat kesempatan belajar di sekolah belanda kala itu. Meski hanya mengenyam pendidikan dasar dan melanjutkan tradisi dipingit di rumah saja, Kartini tetap memperluas wawasannya dengan membaca dan berkirim surat dengan sahabat belanda-nya. Setelah menikah, ia pun mendirikan sekolah perempuan di Rembang. Tidak lama setelah itu, ia pun wafat, beberapa hari setelah melahirkan putra pertama dan satu-satunya.

Harusnya, kita bisa sedikit berpikir, bagaimana seorang perempuan di kabupaten yang usianya hanya sampai seperempat abad itu bisa dikenang hingga hari ini? Apa yang ia lakukan? Semangat apa yang sesungguhnya ia nyalakan?


Lalu, Bagaimana Merayakannya?

Sekarang coba jawab, berlandaskan pada semangat kesetaraan dan pendidikan untuk perempuan yang diperjuangkan Kartini, apakah tepat jika peringatannya dlakukan dengan lomba kebaya atau unggah foto dengan kutipan bijak di media sosial? Apa hubungan dari penampilan daerah itu dengan perjuangan Kartini? Jadi sebenarnya, apa yang sedang kita rayakan? Apakah sebatas simbol dan pernak-pernik tanpa mementingkan makna sejatinya?

Di media sosial, hari kartini harusnya bisa dimeriahkan dengan pemikiran bebas perempuan tentang perkembangannya sendiri. Berlandaskan pada semangat kemerdekaan yang Kartini perjuangkan. 

- Apakah perempuan bisa bebas menempuh pendidikan yang ia inginkan?
- Apakahperempuan bisa melakukan hal yang disuka tanpa terbelenggu dengan kata 'kodratnya'?
- Apakah perempuan sudah terlepas dari standar penampilan dan kemampuan yang ditetapkan masyarakat? 
- Apakah kita semua sudah berhenti menghakimi perempuan atas pilihan yang ia buat?

Hari Kartini harusnya menjadi momen refleksi kita bersama tentang keberlanjutan perjuangan kartini itu sendiri. Dengan menggeser perspektif dan kebiasaan yang masih diturunkan. Dengan memberikan perempuan kebebasan untuk menjadi apa yang ia inginkan, dengan menahan diri untuk tidak asal berkomentar, dengan tidak menghakimi apa yang ia pilih lakukan, dengan tidak melanggengkan kebiasaan yang merendahkan baik itu berupa gurauan ataupun kalimat-kalimat mencemooh lainnya.

Untuk lembaga formal seperti sekolah ataupun kantor yang rutin mengadakan acara, rangkaian kegiatannya bisa diubah menjadi lebih rekflekitf. Antara lain dengan:

  • Story telling tentang kartini atau perempuan pejuang lainnya (bahkan bisa perempuan yang ada di sekitar peserta)
  • Gelar karya berupa puisi, gambar, komik, atau menampilkan drama singkat tentang Kartini 
  • Kuis bertema Kartini dan tokoh perempuan lainnya
  • Lomba menulis surat untuk perempuan hebat di sekitar
  • Diskusi ringan seputar apa yang bisa diperjuangkan perempuan modern saat ini
  • Workshop bagaimana perempuan bisa terus berdaya
  • Kegiatan sosial dengan berbagi pada perempuan pra-sejahtera
  • Penghargaan untuk perempuan bukan hanya bagi yang berprestasi tapi kategori lain seperti yang paling mendukung rekan atau yang paling menyenangkan
  • Lomba vlog dengan tema perempuan hebat
  • Upacara dengan seluruh petugas adalah perempuan

Sebenarnya ada banyak sekali ide aktivitas yang bisa kita lakukan untuk memperingati Hari Kartini selain fashion show dengan kebaya atau baju adat, yang bukan hanya tidak mewakili semangat juang Kartini tapi justru bisa mengkerdilkannya. Kartini berjuang agar perempuan bisa berdaya lebih dari sekadar ditampilkan. Alasan hiburan, apalagi untuk anak sekolah yang didandani sejak dini, malah tidak tepat sasaran, kan? Maka, cobalah kita lebih bijak lagi dalam berpikir dan memutuskan sesuatu. Tidak ada hal sederhana yang tidak berdampak, apalagi jika terus dilakukan. Mulai dari memperingati hari perempuan dengan lebih bijaksana dan berkesadaran.



Salam, Nasha

Satu bulan berpuasa, satu hari berlebaran, tapi ada banyak cerita di sepanjang momennya.  Mungkin itu kenapa hari lebaran sangat dinanti. Momen yang penuh tradisi dan suka cita. Entah dirayakan secara besar-besaran atau sederhana, lebaran sama-sama memiliki banyak hal-hal berharga, yang bisa jadi kita sadari, bisa jadi pula tidak. 




Sejak kecil, aku bergantian merayakan lebaran di kampung orang tua. Berseberangan pulau tempat kami mudik dari tahun ke tahun. Ternyata, setelah menikah pun, perayaan lebaran tidak bisa aku lakukan hanya di satu tempat. Kami mudik bergantian antara kampungku dengan kampung suami, persis seperti yang dulu orang tuaku lakukan.

Mungkin saat kecil, hal-hal tentang lebaran yang kita ketahui adalah seputar makan kue kering dan pembagian THR. Setelah dewasa, urusan lebaran memang tidak jauh dari hal-hal tersebut, hanya perannya saja yang berubah. Kita menjadi pihak yang menyiapkan kue kering dan sajan lebaran lainnya. Kita pula yang harus mengatur anggaran sehingga bisa berbagi rezeki pada sanak saudara. 

Namun, lebih dari itu. Setelah bertahun-tahun merantau, aku meraskan sendiri bagaimana momen lebaran itu benar-benar dinanti. Apa yang sebenarnya hanya tradisi bukan esensi, khususnya bagi kita sebagai warga Indonesia ini, ternyata menjadi penghangat hati yang bisa menambah rasa syukur kita. Berikut beberapa momen hangat yang terjadi pada momen lebaran.

  • Keluarga dan Orang-orang Tersayang

Tradisi mudik ke kampung halaman memang menjadi ajang bagi kita, khususnya bangsa ini, untuk bersilaturahmi dan saling mengunjungi. Banyak kerabat yang kita temui hanya di momen ini. Saling bertukar kabar, melanggengkan hubungan, berbincang untuk saling memberi dukungan.

Memang tidak bisa dipungkiri, tidak semua keluarga dan hubungan bisa berjalan ideal seperti yang kita harapkan. Ada saja orang yang pertanyaannya menyakitkan, komentarnya menjatuhkan, hingga interaksi dengan mereka terasa melelahkan. Masing-masing kita yang paling tahu bagaimana menyikapi orang dan situasi demikian. Hanya saja, jangan biarkan mereka merusak momen sekali setahun yang kita rayakan ini. Bagaimana kita merespons-lah kuncinya.

  • Silaturahmi
Sebagai seorang introver, tentu aku lebih suka berada di rumah saja dalam balutan pakaian nyaman dan melakukan hal-hal yang aku suka. Sebaliknya, berkunjung ataupun dikunjungi bukanlah yang serta merta bisa aku nikmati. Suasana ramai dan berisik itu justru menghabiskan energiku. Namun mengingat momen ini hanya terjadi sekali setahun, dan obrolan panjang lebar yang kami lakukan itu hanya sesekali, maka aku bisa memaksakan diri. Ternyata, berbincang begitu tidak seburuk yang aku bayangkan. Obrolan basa-basi itu tidak apa, bertukar kabar itu juga tidak apa. Selama kita bisa menjaga batasan, harusnya silaturahmi bisa berjalan lebih baik lagi. 
  • Saling Menyucikan Hati
Kalimat maaf memang sudah seperti template saat kita mengucapkan selamat lebaran. Entah memang tulus bermaksud demikian atau tidak, hanya masing-masing kita yang tahu. Namun buatku, memaafkan terlebih dahulu itu lebih utama. Bukan untuk orangnya, tapi untuk diri kita sendiri. Dengan memaafkan pun, kita belajar untuk menurunkan ego, belajar malapangkan hati. Untuk diri yang lebih damai, untuk hati yang lebih lapang, dan untuk kita yang membangun ulang batasan pada mereka.  
  • Kesederhanaan
Banyaknya ragam orang, memang tidak bisa disamakan semua tingkahnya. Ada yang menjadikan momen lebaran untuk memamerkan apa yang dimiliki, ada pula yang bisa tetap menjaga kesederhanaan tanpa peduli pandangan orang. Padahal, jika kita benar-benar mau menyadari, justru hal-hal sederhana itu yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan akan dikenang. Ketika bisa makan bersama tanpa distraksi, ketika bekerja sama untuk menyiapkan hidangan lebaran, dan ketika bisa berbincang tanpa terbebani untuk bisa tampak lebih dari orang lain. 
  • Waktu yang Terbatas

Ternyata waktu berkumpul bersama keluarga menjadi hal berharga yang tampaknya paling sering kita sia-siakan. Kita baru menyadari setelah tidak bisa lagi mendapatkan hal itu. Sejak merantau dan merayakan lebaran secara bergantian aku baru menyadarinya. Tidak bisa tiba-tiba pulang untuk merayakan rindu pada mereka. Bukan hanya ongkos yang berkali lipat karena jarak, tapi juga waktu dan kondisi. Setiap tahun ada banyak cerita yang terlewat dan tidak bisa dilalui bersama.

Bukan hanya pada keluarga, teman juga demikian. Syukurnya sekarang ada teknologi yang memudahkan untuk kita bertukar cerita. Setidaknya, itu bisa menghibur daripada tidak sama sekali. Setidaknya bertemu setahun atau dua tahun sekali bisa menebus interaksi yang sudah tidak bisa sesering dulu lagi. 


Jika kita benar-benar menapak pada kehidupan yang kita jalani, mungkin kita akan mengerti apa saja yang sungguh berarti. Orang-orang yang menyayangi kita, rumah yang siap menyambut kita pulang, juga makanan hangat yang tersaji untuk melembutkan kerasnya rintangan yang biasa kita hadang. Jika momen lebaran adalah satu dari sedikit kesempatanmu untuk pulang, maka lakukanlah dengan hati lapang. Jangan hiraukan satu dua orang dengan komentar tidak pantasnya merusak momenmu. Jangan biarkan hal-hal tidak mengenakkan justru merusak apa yang sungguh berharga bagimu.



Salam, Nasha


Sebelum ramadan benar-benar pergi, tampaknya kita sudah lebih dulu menjauhi. Sibuk mempersiapkan lebaran hingga lupa pada keistimewaan ramadan yang katanya ingin maksimal dimanfaatkan. Daftar apa yang hendak dikerjakan selama ramadan, tampaknya sudah tidak terlalu dihiraukan. Kita terburu-buru karena tahu ramadan akan berlalu. Namun jika saja kita mau berhenti sejenak untuk benar-benar merasakan, ada banyak berkat yang hanya ada di bulan ini. Hal-hal sederhana yang bisa menghangatkan jiwa dan besar kemungkinannya akan kita rindukan nanti setelah bulan ini usai. 




Berpisah dengan Keistimewaan

Salah satu hal yang bisa kita syukuri sebagai bagian dari negara dengan mayoritas penduduk muslim adalah suasana yang mendukung aktivitas kita selama ramadan. Perkantoran menyesuaikan jam kerja pegawainya, pedagang juga menyesuaikan waktu buka tutupnya, bahkan menu makanan sampai barang yang dijual juga. Seolah ramadan benar-benar disambut. Kita dikelilingi dengan suasana demikian rupa yang menjadikan ramadan makin istimewa.

Sayangnya, jika kita begitu terpaku pada suasana, kita pun mudah terbawa karenanya. Kemungkinan negatifnya kita jadi lalai pada makna ramadan yang sesungguhnya, hanya asyik dengan perhelatannya saja. Minggu terakhir ini misalkan, suasana penyambutan lebaran sudah sangat terasa dengan berbagai atributnya, bisa saja kita ikut terbawa sampai lupa ibadah paling berharga justru ada pada minggu terakhir ini. Lupa, kalau ramadan baru bisa kita temui setahun lagi sehingga harusnya bisa kita manfaatkan dengan optimal.

Tidak semua kok, sebagian kita juga banyak yang bersedih hati menyadari ramadan akan pergi. Mereka sudah merindukan suasana yang mendukung untuk ibadah siang dan malam. Kapan lagi bisa mengkhatamkan Quran hanya dalam satu bulan? Kapan lagi ada perasaan semangat berbagi tanpa merasa kekurangan? Memang, selain karena nilai amal yang dilipat gandakan Allah, hal-hal damai yang istimewa ada sekali setahun itulah yang begitu aku nanti.


Sederhana namun Istimewa dalam Ramadan

Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku memanfaatkan momentum ramadan ini untuk beristirahat. Berjeda dari hiruk pikuk yang biasa membersamai. Aku ubah rutinitas dan prioritas kegiatanku. Aku uninstall aplikasi media sosial dari ponsel, aku buka sesekali melalui situsnya. Aku tambahkan aktivitas yang mendukung jedaku. Dari jauh hari aku persiapkan agar aku bisa menyesuaikan diri selama sebulan ini sehingga aku bisa menikmati masa hidup yang istimewa ini.  

Maka beberapa hal yang akan aku rindukan dari ramadan antara lain:

  • Suasana yang berbeda dari bulan-bulan lainnya, seakan kita diizinkan untuk berjalan saja tidak perlu dulu berlari.
  • Suasana yang mendukung kita untuk menjalankan ibadah secara intens mulai dari tilawah sebelum sahur hingga itikaf setelah tarawih.
  • Banyaknya orang yang menahan diri sehingga interaksi antar kita terasa lebih damai dan menyenangkan hati.
  • Bisa fokus pada apa yang benar-benar berarti dengan menghindari hal-hal yang bisa membatalkan ataupun merusak puasa.
  • Momen makan sahur dan berbuka yang hangat baik di rumah dalam keluarga atau saat berkumpul dengan kerabat.
  • Mudahnya melakukan ibadah sunnah mulai dari salat sunnah, membaca Quran, bersedekah, dsb.
  • Adanya dorongan untuk kita semua untuk berbuat baik dan menjadi hamba Allah yang lebih baik
  • Perasaan damai yang sulit digambarkan saat kita benar-benar fokus pada hal baik yang ada di sekeliling kita

Beberapa waktu lalu, aku membaca kutipan berbunyi,

"Tuhan yang kau sembah di bulan Ramadhan adalah Tuhan yang sama yang kau jauhi di bulan-bulan lainnya. Lantas, mengapa caramu beribadah berbeda?"

Iya, itu potongan pertanyaan filosofis yang terkenal dari Jalaluddin Rumi. Dengan tidak bangga, aku mengakuinya. Mungkin memang kita beribadah banyak terdorong suasana di sekeliling, mungkin ibadah kita tidak benar-benar tulus dari hati, mungkin. Tapi, itu bukan alasan untuk melanggengkannya begitu saja. Kalimat itu bisa kita jadikan teguran ataupun pengingat agar kita tetap fokus melaksanakan ibadah berlandaskan niat kebaikan yang ditujukan bagi Sang Pencipta. Anggaplah ramadan sebagai masa pelatihan yang ajarannya justru harus diteruskan setelahnya. Sebab, ramadan boleh berakhir namun semangat kebaikan harusnya tidak.



Salam, Nasha



Di minggu ini seolah ramadan sudah hendak beranjak pergi, karena sebagian besar kita sudah bersiap hendak menyambut lebaran. Pikiran kita sudah dipenuhi dengan bingkisan untuk dikirimkan, persiapan mudik, makanan yang ingin disajikan, hingga pakaian yang akan dikenakan. Hilir mudik kita mengurus ini itu, hingga apa yang kita perjuangkan di minggu-minggu awal ramadan mulai terlupakan. Semuanya untuk menyambut yang katanya hari kemenangan.



Persiapan Lebaran ketika Ramadan

Siapa yang tidak bersemangat menyambut lebaran? Semua orang seolah punya tenaga tambahan untuk bisa maksimal saat hari kemenangan itu datang. Kita berada dalam suasana suka cita sehingga tidak mempermasalahkan banyaknya hal yang harus dikerjakan agar bisa berlebaran sesuai dengan yang diinginkan. Tidak sulit menemukan wajah-wajah sumringan pada minggu ketiga yang makin mendekat pada hari raya ini, meski banyak waktu yang tercurah untuk menyambutnya. 

Kita mulai dari persiapan di awal berupa kiriman bingkisan, yang tidak lagi terjadi hanya pada hubungan profesional tapi juga personal. Sejak pandemi covid melanda, mengirim bingkisan menjadi hal biasa yang orang lakukan. Saat itu, tidak mungkin untuk berkunjung langsung ke keluarga juga sahabat. Maka kita saling berkirim hadiah untuk mengganti pertemuan tahunan itu, sebagai upaya agar silaturahmi tetap terjaga. Setelah pandemi berlalu, kebiasaan itu masih terus berlanjut. Kini, bingkisan lebaran semakin variatif isi serta kemasannya. Makin banyak pula yang menjual paketan untuk langsung dikirim ke si penerima. Kita tinggal memilih paket mana yang diinginkan sesuai dengan anggaran yang dimiliki. Kita disibukkan dengan daftar siapa saja yang akan dikirimkan bingkisan dan apa yang paling sesuai untuk masing-masing orang tersebut. Tidak dipungkiri, bahwa ini hal menyenangkan.

Kesibukan lain yang menggembirakan untuk menyambut idul fitri adalah mempersiapkan rumah. Mulai dari menata ulang hingga menyiapkan sajiannya. Sebagian orang menganggap lebaran sebagai momen yang tepat untuk memoles rumah, setidaknya dengan mengecat dinding. Tidak sedikit pula yang mengganti gorden hingga menata ulang perabotan mereka. Semangat yang sama juga membuat orang tersebut bersedia memanggang ratusan kue kering sebagai sajian lebaran nanti. 

Meski tidak berasal dari Indonesia, namun nastar sudah seperti identitas lebaran yang hampir pasti ada di meja setiap yang merayakan. Ditemani dengan kaastangel dan putri salju, kue-kue kering ini mengisi toples-toples yang disusun apik menjelang lebaran. Persiapannya tentu tidak bisa dilakukan hanya dalam semalam. Bagi yang membeli saja, harus menyiapkan toples dan menyusun kue kering itu. Apalagi bagi yang membuat sendiri, ada proses panjang dari membeli hingga membuat sampai toples-toples kaca itu penuh terisi. Ditambah dengan menu lain seperti ketupat opor atau lontong sayur, tentu proses panjang itu menyita waktu ramadan kita. 

Ada pula, belanja baju lebaran yang entah bagaimana awalnya, telah menjadi semacam tradisi pada lebaran kita. Belanja baju saat ramadan, untuk dikenakan pada hari pertama lebaran. Semua pihak tampak melanggengkan hal ini, terutama penjual yang katanya menawarkan potongan besar-besaran sehingga kita bisa mendapat penawaran terbaik atas barang yang diinginkan. Banyak yang rela antri demi diskon, rela mengusahakan setiap tahun agar bisa seragaman satu keluarga, bahkan ada pula tren konsep baju lebaran tahunan.

Itu baru persiapan di rumah, belum jika kita berencana untuk mudik, tradisi pulang kampung yang ramai dilakukan saat lebaran. Entah dilakukan pada hari lebaran ke berapa, tetap ada tambahan persiapan yang kita lakukan. Setidaknya kita perlu mengemas barang dan mempersiapkan perjalanan yang kadang butuh waktu panjang. 

Kapan kita melakukan semua ini? Tentu saat ramadan, terutama di minggu-minggu terakhirnya. 


Memangnya Salah?

Tidak.

Namun ada banyak catatan yang harus kita perhatikan. Terutama ketika kita bersedia membedakan mana yang tradisi dan mana yang esensi dari lebaran itu sendiri. Sama seperti setiap tindakan yang kita lakukan, landasannya adalah niat karena Allah. Apa yang kita lakukan adalah sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya termasuk ketika kita merayakan lebaran.

Kita bisa mencari tahu bagaimana Rasulullah pada minggu-minggu mendekati lebaran begini. Bagaimana pula Beliau merayakan lebaran dengan semangat ksederhanaan. Mulai dengan membersihkan diri, mengenakan pakaian terbaik bukan pakaian baru, memakan kurma sebagai penanda berakhirnya ramadan, lalu berangkat ke masjid untuk takbir dan shalat,  hingga bersilaturahmi dengan kerabat. Jelas tidak ada mengirim bingkisan lebaran atau kue nastar di dalamnya. 

Meski tidak dilakukan oleh Rasulullah, namun ada dalil yang menganjurkan kita untuk saling bertukar hadiah dalam rangka menjalin silaturahmi, sehingga ulama bersepakat bahwa tradisi berkirim hampers ini tergolong mubah atau boleh. Namun, tetap ada batasan saat kita melakukannya. Antara lain jangan sampai menimbulkan riya, merasa diri lebih baik ketika memberi dan memamerkannya, khususnya di media sosial seperti banyak yang kita lihat belakangan ini. Jangan pula sampai membebani si penerima, karena fokus kita memberi adalah untuk silaturahmi yang menyenangkan bagi keduanya. Ini juga berarti kita tidak boleh memaksakan diri. Hindari perilaku berlebihan yang bisa mendorong pada mubadzir, sehingga jika ingin memberi maka coba lebih cermat dan berhati-hati. Niatkan berbagi memang karena Allah. Singkirkan segera perasaan untuk dianggap baik, dermawan, apalagi kaya. Lagi-lagi ini bukan tentang kita yang memenuhi keinginan untuk menjadi si pemberi, tapi apakah apakah berkirim bingkisan ini memang penting atau sekadar tidak mau ketinggalan? Jadi, memang kita harus sadar akan apa yang menjadi niat dan tujuan sebelum melakukan.

Selain hampers, minggu ketiga ini kita juga disibukkan dengan persiapan menyambut tamu, antara lain dengan menyiapkan jamuan. Paling favorit adalah kue kecil berisi selai nanas bernama nastar. Setelah aku cari tahu, ternyata nastar berasal dari asimilasi budaya ketika Belanda menjajah kita. Mereka yang biasa menikmati pie strawberi atau apel, kesulitan mencari buah tersebut di sini, hingga berinisiatif menggantinya dengan nanas saja. Lalu, ada berbagai penyesuaian sehingga pie yang besar itu menjadi nastar yang bite size seperti sekarang dan nastar yang awalnya untuk perayaan kaum bangsawan itu sekarang menjadi sajian yang bisa dinikmati siapa saja. Kalau ketupat opor tentu saja berasal dari kebudaan Indonesia yang menjadikan menu tersebut sebagai sajian untuk menyambut tamu. 

Nah, soal menyambut tamu, mungkin karena kita tergolong dermawan ya sehingga melakukan upaya agar silaturahmi yang dianjurkan Rasulullah itu menjadi ajang untuk saling memberi yang terbaik, sehingga rumah dan makanan pun kita maksimalkan. Tidak masalah memang kalau niatnya agar tamu nyaman dan senang, tapi kalau sampai  memaksakan diri jadi kurang tepat juga, kan? Ya seperti kita jadi mengabaikan hal yang lebih penting seperti ibadah ramadannya karena ingin maksimal menyambut tamu. Atau ketika kita jadi memaksakan diri secara finansial padahal ada banyak lagi keperluan akan datang yang butuh dana juga. 

Aku pernah mendengar ceramah salah satu ustadz saat ramadan, "selama ramadan ini saf salat biasanya akan makin maju." Awalnya aku tidak paham, hingga dijelaskan bahwa minggu awal biasanya masjid akan dipenuhi dengan jamaah, hari-hari selanjutnya jamaah akan berkurang hingga setengah, lalu berkurang lagi hingga bisa dihitung dengan jari jumlah saf jamaah salat yang makin sedikit itu. Ke mana perginya mereka? Sibuk membeli baju baru, membuat kue, ataupun merapi-rapikan rumah. Apalagi keberkahan utama ramadan itu disimpan pada sepuluh malam terakhir, kan?

Niat kita untuk optimal di hari raya itu baik, tampil rapi dan istimewa di hari itu tentu juga baik, sama halnya dengan maksimal menyambut kerabat yang datang berkunjung, akan tetapi ada hal-hal lebih baik yang tampaknya kita lupakan. Ada susunan prioritas yang harusnya lebih di atas dibanding persiapan itu saja. Sayangnya, itulah yang kita lakukan. Demi memaksimalkan hal baik yang nomor sekian, kita jadi kurang maksimal dalam mengupayakan hal baik di urutan awal.

Maka, pada minggu ketiga ini aku mau benar-benar memahami bagaimana esensi dari lebaran itu sendiri. Bagaimana perayaan lebaran yang Rasulullah dulu lakukan, seperti apa tradisi di kampung halaman beliau. Apa yang bisa kita adopsi di sini. Dan menurutku esensinya pada hari itu kita mengupayakan habluminAllah dan habluminannas. Ibadah mulai dari pagi lalu sambung silaturahmi setelahnya. Sederhana saja.

Pelan-pelan kita coba yuk memisahkan mana yang benar-benar esensi, mana pula yang sebenarnya tradisi. Kalaupun ingin tetap melanjutkan tradisi ya tidak apa, tapi sadari dulu kalau ada prioritas lain yang tidak kalah bahkan ternyata lebih penting. Misalkan tidak mengorbankan ibadah yang istimewa hanya ada di ramadan, tidak memaksakan diri hanya agar terlihat maksimal saat menjamu tamu yang berkunjung. Kembali pada niat kita, memang benar untuk merayakan hari raya atau sebagai ajang pamer gengsi saja?

Mau hanya melakukan sesuai esensi atau turut melanggengkan tradisi, pilihan ada di tangan masing-masing kita. Dan bagaimana kita memilih, jangan lupa landaskan pada niat dan tujuannya ya!



Salam, Nasha

Terasa tidak terasa, hari-hari ramadan terus bergulir hingga sudah dua minggu berlalu. Semangat yang awalnya membara di minggu awal dengan target ini itu, mulai terasa kendornya. Tilawah quran sudah terasa makin berat, berjamaah ke masjid sudah banyak bolong-bolongnya, puasa juga meski sudah terbiasa tapi tidak membuatnya mudah sebab kerongkongan yang terasa makin kering bahkan kadang diselingi batuk juga. Semangat mendekatkan diri dengan ibadah digantikan dengan semangat menghadiri agenda buka bersama hingga menyiapkan hari raya. Begini ceritaku di ramadan minggu kedua!



Ternyata jarak seminggu bisa memberi arti yang berbeda, ya. Karena ramadan minggu lalu rasanya aku benar-benar bersemangat dan optimis, tahun ini ramadanku akan menjadi luar biasa, berbeda dengan ramadan yang lalu-lalu. Eh, memasuki minggu kedua, aku mulai psimis, duh bisa sesuai dengan niat awal tidak, ya? Menjaga konsistensi ibadah ternyata sesusah itu. 

Aku mulai scrolling tak menentu, padahal hanya aplikasi belanja dan berujung melihat-lihat tanpa membeli juga. Banyak menit yang kuhabiskan di sana. Menit-menit yang awalnya luang bisa aku manfaatkan untuk tilawah qur'an sekarang mulai sulit aku dapatkan. Setelah sholat yang biasanya aku usahakan satu dua lembar, sudah hilang sama sekali. Aku jadi kewalahan mengejar target harianku sendiri. Membaca terjemahannya pun kadang aku lewatkan. Sama halnya dengan tarawih, yang awalnya sangat bersemangat untuk melangkahkan kaki agar bisa berjamaah sekarang sudah mulai, di rumah sajalah. Di rumah pun, kualitasnya sama sekali tidak bisa dibanggakan.  Sholat wajib juga tidak jauh berbeda. 

Ternyata, memelihara memang lebih sulit daripada memulai, ya.

    Baca Juga: Ceritaku di Ramadan Minggu Pertama, Menjauh dari Hiruk Pikuk Dunia

Mungkin kita bisa menganggap itulah ujiannya, konsistensi. Bagaimana kita bisa istiqamah dalam hal baik yang kita kerjakan. Bagaimana ketika rasa lelah ataupun bosan datang menghadang. Bagaimana kalau makin banyak godaan yang datang. Apakah kita bisa tetap kuat dengan tenaga yang sudah jauh berkurang?

Mungkin itulah kenapa Allah menetapkannya menjadi sebulan. Karena seminggu tidak cukup untuk menguji keteguhan kita. Seminggu masih terbilang mudah untuk tetap berada dalam semangat baik kita, berbeda dengan sebulan. Setelah seminggu, masih ada tiga minggu lagi yang menjelang, apakah kita masih kuat bertahan?

Sempat ada bisikan menyalahkan, makanya tidak usah sok-sokan! Harusnya tidak perlu berlebihan, sekadarnya saja. Tetapi, masa iya? Masa aku tidak bisa menetapkan target yang tinggi di bulan istimewa? Masa aku hanya boleh sekadarnya saja? Maka, aku niatkan untuk melawan bisikan diriku sendiri itu. Aku tidak boleh kalah!

Berangkat dari kesadaran itulah, aku mulai mencari-cari 'pembenaran' kalau apa yang aku rasakan bukanlah hal asing, bahwa memang masa tengah ramadan itu lebih sulit dibanding awal, lalu aku cari tahu pula bagaimana mengatasinya. Dari pencarianku itu, aku menemukan beberapa kiat yang akan aku lakukan agar bisa menjadikan ramadanku tahun ini benar istimewa:

  • Memperbarui niat, seluruhnya karena Allah

Tarik napas dalam-dalam, ingat lagi kenapa aku memulai semua ini. Bukan karena pengakuan, bukan karena pencapaian, tapi karena Allah. Ini adalah hal benar untuk aku lakukan. Ramadan ini adalah kesempatan dari-Nya yang tidak boleh aku sia-siakan. Tidak bisa hanya sekadaranya, harus semaksimalnya!

  • Disiplin mengatur waktu, menjalankan sesuai jadwal
Jika sebelumnya aku sudah menyusun jadwal ramadan, kini aku perbarui dengan waktu yang paling memungkinkan, yang tidak memberatkan, yang paling mudah untuk aku jalankan. Jadwal ini tentu harus didasarkan pada urutan prioritasku, masing-masing kita berbeda susunannya. Mungkin ada hal-hal yang akan tereliminasi, tidak apa. Dahulukan yang lebih penting, tunda dulu yang kurang penting. Aku pun harus disiplin dengan jadwal itu. 

  • Menjaga lingkungan yang suportif

Jika memungkinkan menjauh dulu dari lingkungan yang memberatkan niat ini. Buatku yang paling berat, selain media sosial yang aplikasinya sudah aku hapus itu, adalah aplikasi perpesanan. Di mana aplikasi seperti Whatsapp kini juga sudah dilengkapi pembaruan status. Tidak usah mencari tahu hal-hal yang ada di luar sana jika tidak ada manfaatnya. Biarlah sepotong berita yang tidak sengaja aku tahu itu menjadi sepotong saja, tidak perlu aku dalami untuk mencari tahu keseluruhannya. Karena seringnya tidak mendatangkan manfaat apa-apa.

  • Menguatkan semangat

Aku akan coba melakukan ini dengan memaksakan diri membaca. Mulai dari terjemahan al-qur'an lengkap dengan asbabun nuzul serta hadits yang berkaitan dengannya hingga ke buku-buku islami ataupun pengembangan diri. Lalu aku juga bisa berdiskusi dengan teman yang rasanya seperjuangan dalam memperbaiki diri. Mereka yang mempelajari ilmu agama dengan lebih mendalam. Biasanya ilmu-ilmu itu bisa mengingatkan kita tentang apa yang benar penting dan berarti sehingga bisa menimbulkan semangat kita lagi. 

  • Berdoa, memohon kepada Allah

Sebab hanya Ia yang memungkinkan semua ini terjadi, Ia-lah yang akan memudahkan, Ia pula yang Maha Membolak-balikkan hati. Maka memohonlah kepada-Nya agar apa yang kita niatkan bisa terwujud, agar Ia mudahkan langkah kita dalam melakukannya, agar Ia izinkan kita untuk makin mendekatkan diri kepada-Nya, Sang Maha Penyayang. 



Salam, Nasha

Postingan Lama Beranda

Kenalan Dulu, yuk!

Hai, aku Nasha! Aku diberkahi dengan dua guru hebat dan akan seterusnya belajar. Sedang giat tentang gracefully adulting, mindfull parenting, dan sustainable living. Kadang review tontonan, buku, dan produk yang baik juga. Semoga berguna!
PS, untuk info kerja sama, bisa email aja ya! ;)

Follow @salamnasha

POPULAR POSTS

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Hubungi Aku di sini

Nama

Email *

Pesan *

Advertisement

Label

family REVIEW lifestyle rekomendasi BUMI lingkungan parenting kesehatan mental kesehatan netflix marriage adulting rekomendasi buku

Daftar Tulisan

  • ▼  2025 (21)
    • ▼  Mei 2025 (2)
      • Persiapan Keberangkatan Haji: Memahami Tradisi, Me...
      • Hardiknas bagi Orang Tua, Guru Pertama dan Selaman...
    • ►  April 2025 (5)
    • ►  Maret 2025 (4)
    • ►  Februari 2025 (5)
    • ►  Januari 2025 (5)
  • ►  2024 (41)
    • ►  Oktober 2024 (4)
    • ►  September 2024 (8)
    • ►  Agustus 2024 (5)
    • ►  Juli 2024 (5)
    • ►  Mei 2024 (5)
    • ►  April 2024 (3)
    • ►  Maret 2024 (5)
    • ►  Februari 2024 (3)
    • ►  Januari 2024 (3)
  • ►  2023 (117)
    • ►  Desember 2023 (10)
    • ►  November 2023 (10)
    • ►  Oktober 2023 (10)
    • ►  September 2023 (10)
    • ►  Agustus 2023 (10)
    • ►  Juli 2023 (10)
    • ►  Juni 2023 (11)
    • ►  Mei 2023 (12)
    • ►  April 2023 (8)
    • ►  Maret 2023 (10)
    • ►  Februari 2023 (8)
    • ►  Januari 2023 (8)
  • ►  2022 (31)
    • ►  Desember 2022 (6)
    • ►  November 2022 (3)
    • ►  Oktober 2022 (4)
    • ►  September 2022 (3)
    • ►  Agustus 2022 (1)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (3)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (3)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Oktober 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (1)
    • ►  Juni 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (2)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (6)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (4)

BloggerHub Indonesia

Tulisanku Lainnya

Kompasiana Kumparan

Popular Posts

  • Review Popok Perekat (Taped Diapers) Premium: Mamy Poko, Fitti, Sweety, Merries
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Trending Articles

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Copyright © SALAM, NASHA. Designed by OddThemes