• Anak & Keluarga
  • Kesehatan Mental
  • Perempuan & Pernikahan
  • Lingkungan
  • Review & Rekomendasi
Salam, Nasha

Jejak Perjalanan dan Catatan Pelajaran

Hidup dizaman digital seperti sekarang memang membuat apa-apa mudah menjadi viral, dibahas fenomenanya hingga dikaji oleh para ahli. Terutama yang dilakukan oleh gen-z sebagai kelompok termuda dari angkatan kerja serta milenial yang berada diatasnya. Tidak terkecuali soal pengelolaan uang. Bagaimana uang yang mereka dapatkan, disalurkan. Ada yang menghabiskannya tanpa berpikir panjang atau dikenal dengan doom spending, ada pula yang terang-terangan menerapkan penganggaran yang dikenal dengan loud budgeting. Dengan semakin cepat dan mudahnya informasi keuangan yang kita dapatkan sekarang, kita coba untuk melakukan pembelajaran dari doom spending hingga loud budgeting. 

 


Doom Spending

Tidak ada sumber pasti darimana kata ini berasal, namun ramainya istilah doom spending ada dimedia sosial setahun belakangan. Istilah ini merujuk pada kebiasaan diantara kaum muda, dalam hal ini  milenial dan gen-z, yang berbelanja secara impulsif atau tidak berkesadaran sebagai respon atas kecemasan ataupun ketidak pastian keadaan. 

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi hampir di seluruh dunia. Di Amerika, survei yang dilakukan oleh Institute Credit Carma mendapati bahwa 96% responden merasa khawatir akan kondisi perekonomian, hal ini dapat dilihat dari tingkat inflasi, kenaikan biaya hidup, serta tingginya biaya tempat tinggal. Hal sama yang kita rasakan dengan berita sulitnya anak muda memiliki rumah sendiri. Tekanan tersebut disinyalir menjadi penyebab sebagian anak muda merasa putus asa akan masa depan yang sejahtera sehingga lebih memilih untuk menikmatinya sekarang saja.

Bukan hanya keadaan, kemajuan teknologi juga mendorong mereka pada perilaku impulsif ini. Kemudahan berbelanja dari hampir seluruh dunia secara daring, membuat kita mengenal begitu banyak barang dengan perkembangan dan inovasinya yang mengagumkan. Pengalaman berbelanja kita pun jauh lebih menyenangkan. Tidak berhenti disitu, teknologi yang menghadirkan media sosial menghubungkan kita dengan begitu banyak orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Aktifnya generasi muda dimedia sosial turut mempengaruhi keputusan pembelian mereka. Stimulasi terus menerus akan suatu brang atau tren akan mendorong mereka untuk melakukannya juga.

Kita juga bisa menghubungkan doom spending ini dengan gaya hidup YOLO (You Only Live One) serta FOMO (Fear of Missing Out). Keyakinan bahwa hidup sekali yang harus dinikmati ini membuat mereka yang menganutnya untuk membeli apa saja yang diinginkan asalkan hati senang. Belum lagi alasan self reward yang membuat mereka membenarkan pembelanjaan yang dilakukan, dalihnya karena sudah berjuang atau bertahan. Sedangkan fomo membuat seseorang merasa seolah tertinggal jika tidak membeli barang yang sedang viral. 

Jika kita perhatikan, fenomena ini memang seperti lingkaran yang saling berhubungan. Mudahnya akses informasi membuat kita tahu lebih banyak tentang tren dan apa yang orang kenakan, mendorong kita untuk menginginkan hal serupa. Keinginan tersebut seolah didukung oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan kita untuk berbelanja dengan mudah barang darimana saja. Dengan kondisi emosional yang banyak diisi kekhawatiran, maka menghabiskan uang seperti ini menjadi hal yang terus diwajarkan. 


Transisi Menuju Loud Budgeting

Gaya hidup seperti fomo, yolo, serta doom spending ini tidak sepatutnya diteruskan. Dari segi emosional, kehawatiran akan ketidak pastian masa depan seharusnya tidak disalurkan dengan berbelanja. Emosi yang kita rasa harusnya dihadapi apa adanya dan diatasi dengan jalan keluar yang berkaitan dengannya. Dari segi keuangan, kekhawatiran itu harusnya bisa membuat kita lebih giat belajar tentang keuangan atau mempelajari berbagai instumen investasi sehingga bisa lebih siap dengan masa depan. Apalagi mudahnya informasi yang didapat, daripada terus melihat tren konsumerisme tentu lebih baik belajar meningkatkan kapasitas diri. 

Teorinya memamg seperti itu, tapi perlu kita akui juga praktiknya tidak semudah yang tertulis diatas. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Boleh kali ini kita salahkan absennya pendidikan keuangan sejak dini dalam pendidikan tahunan yang sudah kita tempuh. Pelajaran yang kita ingat hanyalah cara berhitung atau rumus-rumus yang sedikit sekali atau bahkan tidak satupun kita gunakan sekarang. Tidak ada pelajaran tentang mengelola uang sendiri, tidak ada pula latihan agar kita bersabar menahan keinginan atau tidak mengikuti hal-hal diluar kemampuan.

Akan tetapi, tidak ada gunanya pula kita menyalahkan apa yang sudah berlalu. Setidaknya sekarang kita bisa menyadari kebiasaan keuangan kita masing-masing. Sadari keimpulsifan kita selama ini, apakah kita berbelanja memang karena butuh, karena ingin, atau karena ikut-ikutan saja. Tanyakan pada diri sendiri, apa tujuan keuangan yang ingin kita capai dalam tahun-tahun mendatang? Bagaimana cara kita mencapainya? Bagaimana pengelolaan keuangannya? 

Dalam perjalanan ini kita tidak sendirian, karena ada banyak generasi muda yang sudah sadar akan pentingnya pengelolaan keuangan sehingga lahirlah istilah loud budgeting, fenomena pengelolaan keuangan secara terang-terangan yang membuat orang tersebut menolak ajakan sosial agar bisa menghemat anggaran. Alasan ini dikemukakan secara terang-terangan. Idenya agar hal ini menjadi hal lumrah ketika seseorang menolak undangan bersenang-senang hari ini karena ada tujuan panjang yang sedang ia perjuangkan. 

Dengan peningkatan biaya hidup, banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi apalagi jika menyandang status sebagai sandwich generation, serta berbagai wacana peningkatan pungutan negara, harusnya sudah cukup dijadikan alasan untuk kita melakukan pengetatan keuangan. Mungkin ada yang sampai harus frugal living agar tujuannya tercapai, dan ini tidak apa-apa. Makan bersama kantor bukanlah agenda pekerjaan, ajakan nongkrong di cafe tidak selalu meningkatkan silaturahmi atau menambah kesenangan hati, serta ikut seragaman dalam suatu acara tidak menandakan keakraban anggotanya, termasuk penampilan berikut gadget yang dimiliki tidak mewakili status seseorang. Pemahaman inilah yang penting untuk kita normalkan. 


Perjalanan Pengelolaan Keuangan

Inginnya perjalanan antara kedua kecenderungan ini adalah perjalanan satu arah yang dimulai dari doom spending dan berakhir pada loud budgeting. Sayangnya,perjalanan ini merupakan perjalanan dua arah, kita bisa bolak balik diantaranya jika tidak memiliki pondasi yang kuat. Seseorang yang terbiasa ketat dengan anggarannya mungkin akan kelelahan lalu mulai acuh dan berujung pada doom spending.

Maka, sebelum memulai kita perlu memiliki pondasi yang kuat baik secara emosional maupun pikiran. Memiliki jiwa yang tetap tenang ketika keputusan kita dikomentari oleh orang lain atau ketika label-label yang berkonotasi negatif dilekatkan pada diri kita, tetap pada pendirian sendiri ketika mayoritas orang menggunakan barang yang sedang tren sedangkan kita berbeda dengan menggunakan barang yang itu-itu saja. Kekuatan mental ini akan beriringan dengan pemahaman dan tekad yang kita punya. Paham apa yang sedang kita perjuangkan, paham prioritas diri sendiri, paham apa yang kita lewatkan, paham segala konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. 

Praktiknya, saya coba ringkas menjadi beberapa poin sebagai berikut:

  • Tetapkan tujuan keuangan, lengkap dengan estimasi waktu dan instrumen yang digunakan. Misalkan tabungan pensiun disimpan dalam emas atau reksa dana. Targetkan juga secara berkala misalkan bulana, berapa yang perlu dianggarkan kesana.
  • Buat anggaran bulanan dan rajin memperbaruinya sesuai dengan pendapatan dan rencana pengeluaran kita. Jika bingung ada banyak worksheet yang bisa diunduh dan dipraktikkan tergantung kebutuhan masing-masing kita. 
  • Lakukan dengan seimbang, karena menolak semua yang datang hari ini juga tidak baik secara sosial dan emosional. Tidak nongkrong hari ini bisa jadi besok ikut makan siang bersama atau ikut nongkrong hari ini maka besok tidak belanja kopi.
  • Fokus, pada apa yang kita inginkan dan apa yang tidak kita inginkan. Belanja hanya karena kebutuhan, bukan karena ikut-ikutan. Pertimbangkan banyak hal sebelum membeli barang.
  • Perhatikan item keberlanjutan, yang baik bagi diri sendiri dan bumi. Pilih barang yang berkualitas tinggi dengan daya tahan yang lebih lama. Biarpun biasanya harga yang dipatok juga lebih tinggi, tapi kita tidak membuang-buang uang dan menyia-nyiakan energi menjadi sampah gara-gara barang berkualitas rendah yang cepat rusak. 

Mungkin dalam perjalanannya nanti, akan ada kendala ketika kita ingin mempraktikkan loud budgeting, tapi rasanya akan lebih tenang ketika tahu uang yang kita pakai untuk apa dan uang yang kita simpan dengan tujuan apa. Lalu ingat, apapun yang kita lakukan, akan selalu ada komentar yang menyertai jadi terima saja. Dengarkan seperlunya, tidak perlu berlebihan memikirkannya. Biarlah orang melabeli dengan apa saja, yang tahu diri kita ya kita sendiri. Begitu pula, yang menjalani dan bertanggung jawab atas hidup kita, ya kita sendiri.



Salam, Nasha

Teori tentang Love Language mungkin sudah cukup familiar bagi kita, bahkan sudah banyak dipakai juga dengan berbagai modifikasi istilah bisa itu bahasa cinta atau baterai cinta, dimana pokok bahasannya serupa. Ada satu teori yang tidak kalah menarik untuk kita ketahui yaitu How We Love, bagaimana cari kita mencintai. Teori yang dilandaskan pada pengalaman kita sejak anak-anak yang menciptakan ekspektasi seperti apa yang diharapkan dalam hubungan khususnya pasangan. Dari sini kita bisamengetahui bagaimana kita menerima dan mengekspresikan kasih sayang dan bagaimana kita berinteraksi dalam hubungan. 



Tentang Why We Love

Awalnya saya pikir teori ini hanya tentang bagaimana kita mencintai, mengekspresikan kasih sayang, namun ternyata lebih dalam dari itu. Pengelompokan ini berdasarkan pada pengalaman kita dimasa lalu, yang dimulai ketika kita masih anak-anak dari bentuk cinta seperti apa yang kita terima juga kecenderungan kita mengekspresikan cinta itu sendiri. Dari sana akan terentuk pandangan kta tentang kasih sayang dan ekspektasi yang kita bangun dalam hubungan. Dengan mengetahui how we love, kita sudah mulai perjalanan untuk menjadi penghubung yang lebih baik atau secure connector.

Teori ini dirilis oleh Milan dan Kay dalam buku berjudul sama, How We Love: Discover Your Love Style, Enhance Your Marriage yang dibuka dengan pertanyaan sekaligus pernyataan, what if we told you that your marriage problems began before you got married? Penulis adalahs epasang suami istri yang juga sama-sama berjuang dalam pernikaha, yang kemduian menemukan bahwa apa yang mereka bawa dari masa lalu telah membentuk pernikahan yang dijalani saat ini. Maka mereka mulai untuk mengurainya satu per satu dan mulai membangun ikatan yang lebih baik satu sama lain.

Nah, kita lanjutkan pada teorinya. Dalam teori tersebut, ada enam kelompok yang dipisahkan dari kecenderungan masing-masing orang, antara lain adalah:

  • The Avoider

Tipe ini kurang menyukai hubungan yang terlalu intim, mereka berharap hubungan yang dimiliki adalah hubungan individu independen yang tidak terlalu bergantung satu sama lain. Biasanya mereka yang termasuk kelompok ini tumbuh dalam keluarga yang kurang hangat dan mengutamakan indepensi, bergantung pada masing-masing diri. Mereka memang terbiasa tumbuh mengandalkan diri sendiri, sehingga biasanya mereka akan membatasi perasaan sendiri dan menekan kebutuhannya. 

  • The Pleaser
Sesuai dengan namanya, orang dalam kelompok ini sangat mengutamakan kebahagiaan orang lain, meletakkan kepentingan orang lain diatas dirinya sendiri. Mereka akan berusaha membuat orang lain bahagia sehingga sulit mengatakan tidak atau menetapkan batasan karena mereka tidak tahan jika seseorang kesal pada mereka. Tipe ini biasanya tumbuh dalam lingkungan yang sangat protektif atau bisa dibilang otoriter sehingga mereka terbiasa tumbuh patuh untuk menghindari masalah atau menimbulkan reaksi negatif orang tuanya. Mereka mengabaikan ketidak nyamanan sendiri karena hanya fokus pada kenyamanan orang lain baik itu orang tua maupun saudaranya. Akibatnya mereka kesulian mengekspresikan perasaan sendiri atau mengetahui apa yang diinginkan. 
  • The Vacillator
Diterjemahkan sebagai bunglon, tipe ini biasanya memiliki ekspektasi tertentu dalam hubungan tapi tidak kunjung merasamendapatkan. Biasanya  mereka menghabiskan banyak waktu untuk merenungi kekecewaan diri sendiri dan berpikir mengapa menjalin hubungan begitu rumit. Pribadi seperti ini biasanya dibesarkan oleh orang tua yang tidak terprediksi. Tanpa kepastian kasih sayang dan perhatian, mereka akan merasa bahwa kebutuhan mereka bukanlah prioritas bahkan merasa diabaikan. Ketika ada kasih sayang yang muncul, mereka sudah merasa lelah dan marah karena telah lama menunggu. Sehingga mereka tumbuh menjadi orang dewasa dengan bayangan ideal tentang hubungan agar bisa mengabaikan penolakan yang pernah diterima. Nyatanya, hubungan tidak akan pernah benar-benar ideal, sehingga mereka sering kali merasa kecewa. 
  • The Controller

Orang dalam kelompok ini menyukai segala hal dibawah kendalinya dengan alasan agar tidak dimanfaatkan. Kecenderungan ini didapatkan sebagai cara bertahan dari pengalaman rapuh atau menyakitkan dimasa lalu. Dengan mengendalikan, mereka merasa bisa melindungi diri sendiri dari rasa takut, direndahkan, tidak berdaya yang dimiliki ketika masih belia. Karena marah bukanlah emosi yang rentan, maka mereka sering menggunakannya bersama intimidasi. Sebenarnya, mereka sendiri tidak benar-benar memahami kenapa perlu mengontrol hal-hal yang dikontrol tersebut. Mereka hanya melindungi diri dari apa yang pernah terjadi sehingga sulit memiliki kasih sayang bahkan pada diri sendiri dan ini jelas berakibat pada hubungan dewasa yang dimiliki.  

  • The Victim

Kelompok ini cenderung diam mengabaikan kebutuhannya sendiri karena merasa aman untuk mengikuti arus saja. Biasanya orang dengan tipe ini tumbuh dalam lingkungan yang cukup berantakan, dimana mereka menganggap lebih aman untuk tidak terlihat tidak terdengar. Mereka bersembunyi, menenangkan, kadang juga jadi menlorensi hal-hal yang sebenarnya tidak bisa ditoleransi. Kebiasaan ini membuat mereka sulit untuk hadir sepenuhnya agar bisa melindungi diri dari lingkungan yang berantakan, penuh amarah juga pengabaian.  Biasanya mereka menjadi pribadi yang rendah diri dan sering merasa cemas atau bahkan depresi sehingga terus memilih untuk diam dan mundur.
  • The Secure Connector
Bisa dibilang kelompok inilah yang menjadi tujuan kita, setelah selesai dengan berbagai masa lalu yang pernah terjadi. Dimana orang ini akan emrasa nyaman dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain, bisa mengatasi konflik hinggaberbagai emosi, dan mampu untuk memberi juga menerima. Ketika butuh, mereka tidak ragu untuk mengatakannya. Mereka mengusahakan hubungan yang seimbang antara memberi dan menerima, mampu mendeskripsikan kekuatan dan kelebihan secara apa adanya, serta mampu mengekspresikan apa yang dirasa. Tipe ini tumbuh dalam lingkungan yang terbiasa menyelesaikan konflik dengan baik, sehingga mereka tahu bahwa tidak ada yang sempurna, kesalahan bisa terjadi, dan kita bisa memperbaikinya. Dengan begitu, mereka juga tidak ragu untuk menolak sesuatu, bisa beradaptasi, dan cenderung mencari bantuan nyata dari orang bukan barang. 


Mencari Tahu Love Style Kita

Tipe apapun itu, kita perlu memahami dulu bahwa kita adalah makhluk sosial, yang membutuhkan orang lain, yang tidak bisa hanya bergantung pada diri sendiri. Kadang kita merepotkan, kadang kita direpotkan, begitulah hakikat kita sebagai manusia. Maka ketika kita berlari dari fakta itu, kita tidak bisa benar-benar hidup dengan sepenuhnya, dengan perasaan lepas bahagia. Dan memang perlu kita akui pula, memiliki hubungan kadang memang merepotkan, menambah peran dan pekerjaan kita, namun lagi-lagi memang begitulah adanya. Bagi saya, karena memang itu yang perlu kita jalani, maka jalani dengan baik, dengan semestinya semampu kita. Menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi pasangan yang lebih baik, menjadi phak yang mau berusaha dalam hubungan yang dipunya.

Kita bisa mengetahui kecenderungan kita dengan menjawab pertanyaan singkat dari laman resminya ini https://howwelove.com/love-style-quiz/

Ada cukup banyak pernyataan yang bisa kita jawab dengan yes atau no, jadi sebenarnya tidak akan memakan waktu yang panjang. Setidaknya sediakan waktu sekitar sepuluh atau lima belas menit, karena mungkin ada pernyataan yang bisa langsung kita jawab, ada pula yang perlu direnungkan dulu karena tidak tahu. Tapi semuanya akan sepadan. 

Dari jawaban itu akan diberi semacam grafik yang menunjukkan kecenderungan kita dikelompok yang mana dengan skor maksimal 15. Saya mendapatkan skor 13.5 untuk salah satu kelompok dan skor 11 untuk kelompok lainnya. Meski awalnya sempat kaget, tapi setelah benar-benar membbaca penjelasan saya bisa menerima. Oh ternyata ada hal yang membuat saya cenderung bersikap begini. Sehingga, ini menjadi hal yang menarik untuk diulik, perkara diri kita sendiri. 

Setelah mengetahui kelompok tersebut, sebaiknya kita menindak lanjutinya baik dengan membaca buku, membeli produk digital, ataupun melakukan konseling yang semuanya tersedia secara mudah di laman tersebut secara berbayar dalam kurs dollar. Tapi tenang, ada beberapa tools juga yang disediakan secara gratis, bisa kita lihat ditautan freebies HWL. Kita bisa coba menelaah sendiri dan menyadari bagaimana kita hari ini adalah akibat dari apa yang kita terima hari-hari lalu. Trauma yang kita miliki akan mengundang orang dengan trauma yang sama, seperti tipe pleaser yang menarik tipe controller dan melanjutkan hubungan generasional yang tidak sehat. Untuk menjadi cycle breaker, menjadi orang tua yang lebih baik, maka pekerjaan selanjutnya adalah memahami diri sendiri lalu memutus rantai turun temurun tersebut. Menjalaninya dengan sadar, terus belajar, atau melakuan konseling rutin untuk mendapatkan bantuan. Pilih mana yang paling nyaman, asal diusahakan. Semangat!



Salam, Nasha

Masalah rambut rontok adalah masalah umum yang terjadi diantara kita. Banyak hal yang bisa menyebabkan rambut seseorang menjadi rontok mulai dari masalah kesehatan fisik maupun mental hingga aktivitas pada rambut itu sendiri. Ada banyak pula cara yang ditawarkan untuk mengatasinya, salah satunya adalah nutrisi yang dikandung dalam shampo, produk harian yang paling umum kita gunakan. Belakangan, banyak produk shampo dikembangkan dari bahan-bahan alami, yang memang tidak akan memperparah kerusakan rambut. Beberapa diantaranya memang dikhususkan untuk memperkuat rambut sehingga tidak mudah rontok. 




Sekilas tentang Kerontokan Rambut

Secara umum rambut rontok tidak berbahaya, sebatas mempengaruhi penampilan dengan menipisnya rambut hingga resiko kebotakan permanen. Tapi kerontokan rambut kadang menjadi indikasi kondisi tubuh tertentu. Namun sebelum menganggapnya sebagai hal serius, kita perlu mengetahui bahwa rambut memang akan rontok setiap harinya, dalam batas normal berkisar antara 50-100 per hari. Lebih dari itu berarti ada yang perlu kita perbaiki. Ini tentu bergantung pada penyebabnya masing-masing.

Melansir situs kemenkes, beberapa penyebab rambut rontok berlebih itu bisa berupa faktor genetik, perubahan hormon misalkan setelah melahirkan, kondisi medis seperti anemia atau infeksi kulit, kondisi mental seperti stres, serta kebiasaan penanganan yang tidak tepat pada rambut seperti penggunaan hair dryer berlebihan atau pengecatan. Jika dibiarkan kebiasaan faktor-faktor tersebut dapat memperparah kondisi rambut kita. 

Jika dirasa kerontokan rambut sudah melebihi jumlah normal dan mengganggu, maka kita perlu mencari tahu penyebabnya sembari melakukan penanganan sederhana seperti menata rambut dengan lembut, menerapkan pola hidup sehat dari makanan hingga mengurangi stres, perawatan dengan bahan alami seperti liday buaya, minyak kelapa, air lemon, dll. Perawatan lain yang dapat kita upayakan dengan mudah adalah menggunakan shampo berbahan dasar alami yang telah teruji dapat memperkuat akar rambut tersebut.


Rekomendasi Shampo Alami untuk Rambut Rontok

Sebagai orang yang senantiasa berjuang dengan kerontokan rambut, saya sudah mencoba cukup banyak produk perawatan rambut yang diklaim mampu mengatasi masalah tersebut. Untuk menangani masalah tersebut, saya memang memiliki preferensi untuk tidak menggunakan produk komersil, ditambah dengan gerakan boykot yang dilakukan bersamaan. Semakin tidak ada alasan untuk menggunakan produk-produk global itu. Selain itu saya juga cenderung memilih produk buatan lokal yang dibuat dari bahan alami, selain biasanya berbau lebih wangi juga tidak ada resiko merusak diri dan bumi. 

Nah, dibawah ini adalah pilihan shampo berbahan alami buatan lokal yang telah diuji dapt mengurangi kerontokan rambut. Tapi ingat, setiap produk tetap memiliki kecocokan dengan kondisi kita masing-masing, jadi sesuaikan dan silahkan coba saja, ya. 


  • Moayu 

Ini salah satu shampo anti rontok awal-awal saya, berkat penggunaannya disalon langganan saya dulu, moz5. Karena seluruh perawatannya menggunakan produk moayu ini jadilah saya coba produknya yang waktu itu sudah bisa dijual umum. Sebenarnya saya cocok dengan shampo ini, wanginya juga sesuai dengan selera dengan kandungan unggulan berupa ginseng dan habbattussauda. Tetapi saya pilih untuk menggantinya karena kandungannya yang kurang alami. Setelah saya lihat sekarang, sepertinya telah dikembangkan formula baru yang sls free dan lebih sedikit kandungan kimia buatan. 

  • Ree Derma

Produk ini terbuat dari bahan alami tanpa SLS dan paraben bahkan juga aman digunakan oleh ibu hamil dan menyusui. Untuk penanganan rambut rontok disediakan shampo bersama hair oil yang diteteskan sebelum keramas dan hair tonic yang disemprotkan setelah keramas. Bahan unggulan yang dapat mengatasi kerontokan adalah asam amino, bunga lawang, rosemary, kayu manis, dsb. Melihat ulasan dan tagline nya sebagai solusi rambut rontok tentu saya membeli dengan ekspektasi tinggi, ditambah ketika produknya datangd engan wangi rempah yang saya suka, lalu busa shampo yang hampir tidak ada menandakan absennya zat pembuat busa seperti sls. Namun sayang, bagi saya hasilnya biasa saja sehingga saya tidak punya keinginan untuk membeli lagi. 

  • dr Soap

dr Soap adalah produsen berbagai produk perawatan tubuh dan pembersih yang telah memiliki gerai resmi di Senayan City Mall. Mengusung tema natural, dr Soap juga memiliki produk perawatan rambut berupa shampo anti rontok yang dibuat dari ekstrak apel, lidah buaya, juga mawar. Wanginya menyenangkan, tekturnya pas, busanya tidak berlimpah, dan pada awalnya cukup ampuh mengatasi kerontokan rambut. Saya sempat berpikir bahwa pencarian saya telah berakhir sehingga melakukan pembelian berulang. lalu entah apa yang salah, pada botol kesekian kerontokan rambut saya memburuk, bahkan saya sampai berhenti menggunakannya beberapa waktu lalu memutuskan untuk melakukan pencarian lagi. 
  • Bodhi Tree Ailia
Ini juga salah satu shampo yang cocok dan berulang kali saya beli. Diklasifikasikan sebagai castile shampo yang artinya menggunakan minyak alami, disini minyakkelapa juga zaitun, tanpa bahan sintetis. Lalu ada tambahan kandungan alami seperti lidah buaya, rosemary, juga lavender membuat shampo ini cocok untuk mengurangi rambut rontok. Tekstur dan wanginya juga menyenangkan. Apalagi shampo ini dikemas dengan tutup yang runcing diujungnya, memudahkan kita untuk menuang shampo. 
  • Jevarine

Produk ini sepertinya cukup cocok oleh banyak orang. Dengan klaim untuk menguatkan akar rambut dan mempercepat pertumbuhannya, serta menghilangkan ketombe, mungkin shampo ini sudah menjadi jawaban dari pemilik masalah rambut rontok. Kandungan unggulanya adalah lidah buaya, urang aring, minyak kemiri yang memang sudah teruji bagus untuk rambut. Saya sendiri pernah menggunakannya beberapa kali, wanginya sih cukup segar, tapi belum nampak ada perubahan berarti. Setelah dilihat komposisinya memang non sls nan praben tetapi ada beberapa unsur yang belum diketahui apakah bersumber dari bahan alami atau buatan. 
  • Lavojoy

Ini juga bisa dikategorikan sebagai produk best seller dengan ulasan yang meyakinkan. Dengan formula yang dikembangkan oleh Lab LVJ Australia, produk ini dijamin dapat menambah volume rambut dalam lima bulan. Kandungan unggulannya antara lain adalah ginseng, jahe, angelica, juga kafein yang dipercaya dapat merangsang pertumbuhan rambut. Dari komposisinya, memang tidak ada sls, paraben, tapi shampo ini punya banyak unsur kimia yang tidak diketahui apakah dari sumber alami atau bukan. 
  • Boemi Botanicals
Satu lagi produk yang cukup menarik untuk dicoba, berasal dari Bali. Meski belum banyak ulasan tapi klaim dan komposisi bahannya cukup menjanjikan. Tanpa sls dan paraben, seluruh bahannya adalah essential oil yang didapatkan dari sumber lokal. Kandungan unggulan untuk mengatasi rambut rontoknya adalah lidah buaya, ginseng, serta kopi. Apalagi ada kemasan refill 1L yang bisa menghemat hingga setengahnya. 


Nah, itulah beberapa produk shampo yang dikhususkan untuk rambut rontok dari bahan alami. Namun kita tetap harus benar-benar memperhatikan komposisi produk jika memang mencari yang benar-benar alami, karena tidak sedikit penjual yang mengklaim produknya dari bahan alami namun ternyata dalam kadar yang sangat sedikit. Ada juga beberapa produk perawatan rambut rontok yang pernah saya coba ternyata mengandung sls atau sejenisnya. Bagi saya, ketika kita mencoba produk perawatan tubuh alangkah lebih baik jika dari bahan alami karena minim resiko, jadi kalaupun tidak memperbaiki setidaknya tidak merusak. Beberapa produk lain sebenarnya juga bisa digunakan untuk mengatasi rambur rontok meski tanpa klaim untukitu. Kembali lagi, tergantung pada kecocokan masing-masing rambut kita. Selamat mencoba!



Salam, Nasha

Isu mental health atau kesehatan jiwa sudah semakin sering terdengar belakangan. Seterusnya, banyak juga orang yang sudah tindak sungkan untuk mengakui penyakit atau gangguan mental yang mereka miliki. Kita jadi semakin tahu ada banyak sekali jenis kondisi jiwa seseorang, yang ternyata tidak lagi terbatas dikata gila seperti yang selama ini kita kenal. Mereka menderita penyakit mental namun tetap bisa berfungsi dmasyarakat, sama seperti penyakit fisik. Disisi lain, pengetahuan itu tidak serta merta membuat kita semua menaruh perhatian yang sungguh pada kondisi mental, masih ada sebagian orang yang tetap bersikeras mengabaikannya. 


Meningkatnya Pengatahuan tentang Kesehatan Mental

Peringatan hari kesehatan mental sudah dimulai sejak tahun 1992. cukup lama berselang setelah penetapan hari kesehatan otak ditahun 1957 dan hari kesehatan dunia sejak tahun 1950.  Peringatan ini dimaksudkan oleh asosiasi kesehatan mental dunia agar kasus kesehatan mental lebih bisa ditangani dengan baik. Diharapkan informasi yang tersebar luas tersebut bisa meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental juga mengurangi stigma negatif yang melekat didalamnya. Masyarakat yang memahami tentang keadaan mental bisa lebih tanggap akan kondisi mental dirinya juga lingkungan sekitarnya, pertolongan pada gangguan ini juga bisa diberikan dengan lebih cepat dan tepat.

Dua puluhan tahun berlalu, isu kesehatan mental memang mengalami peningkatan perhatian sesuai dengan maksud yang diinginkan. Semakin banyak orang yang paham dengan nama-nama gangguan mental, semakin banyak pula konten yang berisi tentang pentingnya kesehatan mental bersiliweran, salah satunya dimedia sosial yang mayoritas kita konsumsi sehari-hari. Informasi yang kita perlukan hanya tinggal kita temukan dimesin pencari. 

Sayangnya masifnya media yang bisa digunakan siapa saja ini juga membuat isu kesehatan mental menjadi sedikit 'berlebihan'. Banyak yang mendiagnosa sendiri kondisi yang ia alami hanya berdasarkan pengalaman yang diceritakan penggunan lain, banyak juga yang tidak memiliki kapasitas dibidang tersebut tapi membicarakannya kadang dengan penjabaran yang keliru, bahkan tidak sedikit yang memosisikan isu ini sebagai bahan humor. Perilaku seperti ini yang membuat salah kaprah tentang kesehatan mental hingga berujung pengabaian pada kondisi sebenarnya. 


Kekeliruan disekitar Kita

Belasan tahun lalu ketika saya menyampaikan ingin melajutkan sekolah dibidang psikologi, komentar tentang mengurus orang gila tidak sulit untuk didapatkan. Prodi tentang ilmu tersebut juga baru buka, hanya sudah ada di kampus-kampus tertentu khususnya di Pulau Jawa. Sekarang, setidaknya pemahaman orang sudah lebih luas tentang ilmu kesehatan jiwa, meski sayangnya ada banyak kekeliruan.

Pertama, kesehatan mental merupakan bagian yang dibawa oleh masing-masing diri kita. Sama dengan keadaan fisik, keadaan mental setiap orang juga berbeda. Meski stimulasi yang diberikan sama, tubuh memang bisa memberi respon yang berbeda. Jika kita bisa memahami bahwa satu makanan bisa membuat sakit perut satu dua orang diantara sekelompok yang memakan makanan sama, harusnya kita juga bisa menerima bahwa masalah yang sama bisa memberi dampak berbeda pada setiap orang yang mendapatkannya. 

Kedua, tidak semua kondisi bisa kita diagnosis sendiri. Mungkin kita membaca potongan informasi gejalanya diinternet, mungkin kita berpikir bahwa keluhan yang kita rasakan juga sama, tapi itu tidak serta merta membenarkan kesimpulan yang kita ambil secara sepihak. Ada bias-bias subjektifitas diri sendiri, ditambah dengan pentingnya penelusuran lebih dalam sesuai dengan keahlian yang telah dipelajari para pakar selama bertahun-tahun untuk bisa menyimpulkan suatu penyakit mental. Jadi, jika ada hal tidak semestinya yang dirasa, jangan ragu untuk mengkonsultasikannya. 

Ketiga, penyebab dan gejalanya. Sama seperti penyakit fisik yang kita derita, tidak ada yang benar-benar bisa memastikan apa penyebab penyakit mental. Kecenderungan akan selalu ada, tapi tidak mutlak. Sehingga tidak perlu men-generalisir apa yang menyebabkannya. Begitu pula dengan ciri-cirinya. Tentu berbeda orang yang memiliki penyakit asam lambung dengan diabetes, begitu pula akan berbeda antara penyakit kecemasan dan depresi. Hanya satu yang sama, keduanya sama berbahaya bahkan bisa menyebabkan kematian. 

Keempat, mengutamakan kesehatan mental tidak mengindikasikan apapun, hanya menandakan bahwa kesehatan itu penting. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental, banyak orang yang sudah terang-terangan memperjuangkannya. Mulai membicarakan tentang work life balance, mulai ketat memberi batasan diri, berani mengatakan tidak pada hal-hal yang tidak baik untuk mental sendiri. Mungkin pada awalnya adabanyk orang yang meremehkan, tapi karena kesehatan itu memang penting, karena hanya diri kitalah yang paling memahami kondisi sendiri, maka perjuangkan saja apa yang menurut kita penting itu, dengan cara yang baik.

Kelima, penyakit mental menempel pada tubuh seseorang. Seperti label, penderita penyakit mental sering dianggap tidak bisa sembuh. Padahal, lagi-lagi sama dengan penyakit fisik, penyakit mental juga bisa sembuh. Pengobatan bisa dilakukan. Tindakan medis bisa diupayakan. Semua cara bisa dikerahkan untuk mengembalikan keadaan mental seseorang ke kondisi sehatnya. 

Keenam, orang dengan penyakit mental tidak perlu dianggap aneh, berbeda, apalagi diasingkan, karena sebagian besar tetap bisa beraktifitas. Kita hanya tidak tahu, bahwa bisa jadi rekan kerja disamping kita menderita satu penyakit mental yang tidak ia ceritakan. Kita hanya tidak tahu selebriti yang begitu kita puja sedang menjalani pengobatan untuk gangguan mentalnya. Mereka terlihat baik-baik saja, mereka tidak tiba-tiba tertawa atau bicara sendiri, mereka tetap berkarya dengan gemilang, mereka tetap bersosialisasi dengan menyenangkan. 

Ketujuh, penyakit mental bisa menyerang siapa saja bahkan anak-anak. Tanpa peduli jenis kelamin, usia, hingga latar belkang, gangguan mental bisa diderita oleh siapa saja. Bahkan faktanya, 17% dari seluruh anak menderita gangguan mental diusia sebelum enam tahun. 7% diantaranya mengalami gangguan regulasi emosional dan motorik umum. Seterusnya, 14% orang berusia lebih dari enam puluh tahun atau yang digolongkan lansia menderita gangguan mental. Data itu membuktikan bahwa gangguan mental bisa terjadi diusia berapa saja.


Kekeliruan pemahaman yang ada disekitar kita tersebut bisa mendorong kita ataupun orang-orang disekitar untuk mengabaikan perihal kondisi mental. Menganggap bahwa kondisi tertentu bukanlah gangguan mental atau menganggap bahwa gangguan mental mengindikasikan sesuatu. Sebagai orang awam, kita bisa mulai bahwa penyakit mental adalah suatu penyakit. Cukup sampai disitu. Seperti penyakit lainnya, itu bisa diderita siapa saja, beberapa ada pemicunya, dan juga bisa disembuhkan dan tetap bisa berfungsi didalam masyarakat. Namun yang pasti, jangan sampai kekeliruan itu membuat kita mengabaikan atau memandang remeh kondisi mental seseorang termasuk diri kita sendiri. Pengabaian tidak akan membawa kita kemana-mana. Jika tidak ingin mencari tahu dengan mendalam, setidaknya jangan menghakimi. Jika tidak ingin terlalu memperhatikan, setidaknya jangan mengabaikan. 



Salam, Nasha

Seiring dengan bertambahnya usia, kita semakin mengenal siapa diri kita. Semakin tahu apa yang kita harapkan, semakin paham apa yang sebenarnya kita butuhkan, hingga perayaan ulang tahun seperti apa yang kita inginkan. Tidak ada batasan usia dalam melakukan perayaan, begitu pula tidak ada standar acara seperti apa yang seharusnya dilakukan. Semua berdasarkan pada apa yang kita inginkan dan kondisi masing-masing kita. 



Harapan dalam Pertambahan Angka Usia

Tahun ini sudah tahun kesekian saya berada dalam golongan usia dewasa. Sudah memiliki struktur tubuh yang telah berkembang sempurna, sudah melewati usia yang katanya menghadapi krisis, sudah tidak mungkin menyamar jadi remaja. Manusia dewasa seutuhnya. Meski belum kentara, tapi seolah sudah menjadi kewajiban untuk melakukan perawatan. Sebab, perubahan pola makan juga aktivitas akan langsung memberi dampak. Tepung dan gorengan bisa menimbulkan jerawat, minuman kemasan tinggi gula akan menimbulkan rasa tidak nyaman dipencernaan, kurang bergerak dari seharusnya membuat badan pegal-pegal. Entah itu karena pertambahan usia atau memang respon tubuh sebaiknya.

Apa yang terjadi pada usia puluhan saat ini, tidak pernah saya bayangkan diusia puluhan sebelumnya. Siapa sangka penggenapan usia tahun ini saya berada benar-benar ditengah Indonesia? Tapi, Tuhan yang punya rencana. Mungkin ini cara-Nya menjawab doa-doa yang pernah saya panjatkan sebelumnya. Doa untuk menjawab pribadi yang lebih baik, diri yang lebih kuat, hubungan yang lebih hangat, gaya hidup yang lebih sehat, juga usaha yang lebih bermanfaat. Mungkin jalan begini yang dilalui agar saya bisa menjadi seseorang yang saya pintakan dalam tengadahan tangan, agar saya bisa mendapatkan apa yang saya harapkan dalam sujud-sujud malam. Saya pernah mengatakan bahwa dalam kejutan yang hadir dalam hidup kita, semoga kita semua bisa menemukan kebaikan yang telah Tuhan persiapkan, mungkin bukan hari ini, bukan pula esok hari, tapi suatu saat nanti. Dan hingga saat itu tiba, semoga kita tetap tabah menantinya. Ya, semoga.

Semoga lainnya juga menjadi semakin sederhana dan jelas maknanya. Besar kemungkinan karena seiring bertambahnya usia, kita akan semakin kenal siapa diri kita sebenarnya dan apa yang sesugguhnya kita inginkan. Meski ada banyak pilihan, beberapa persimpangan, tapi kita sudah lebih mudah menentukan. Semakin dewasa semakin sederhana semakin bermakna. Kesehatan, kebaikan, kekuatan, kemudahan, keleluasaan, kesejahteraan, kestabilan, hingga kepastian. Banyak juga ternyata. Memang tidak pernah cukup rasanya kita meminta.

Tapi untuk hal-hal pinta yang mewakili, saya akan berdoa agar kita semua diberi Tuhan rasa cukup atas apapun yang kita punya, memiliki hati yang lapang untuk menerima apapun kehendaknya, memiliki pikiran terbuka akan segala kemungkinan hidup kita kedepannya. Semoga kita bisa terus teguh mengupayakan yang terbaik dalam memberi manfaat kebaikan yang bisa kita kerjakan hari ini. Semoga kita tidak lupa untuk berkasih sayang dengan sekitar, menjadikan hari atau bahkan hidup seseorang atau beberapa orang terasa sedikit lebih hangat. Semoga kita bisa berbahagia baik didunia saat ini maupun diakhirat nanti.

Mungkin itu cukup mewakili, mungkin kita akan menambahkannya dengan hal-hal rinci yang masing-masing kita ingin miliki. Ingin rumah sendiri, mendaftar haji, mengganti kendaraan pribadi, jalan-jalan ke luar negeri, memiliki karya pribadi, jangan ragu terus bisikkan pada Dzat yang Memiliki Segala. Yakin akan Ia kabulkan.


Perayaan di Usia Dewasa

Dengan semakin pahamnya saya dengan diri sendiri dan apa yang diinginkan, saya paham benar ketidak sukaan saya pada pesta perayaan. Apapun bentuknya, terasa melelahkan. Seolah butuh istirahat seharian setelahnya. Namun, bukankah tidak apa jika sesekali kita merasa lelah? Bukannya juga menyenangkan pulang ke rumah setelah berlelahan di luar sana? Bukankah justru melegakan bisa kembali menyendiri setelah beramai-ramai sore hari tadi?

Ternyata, ketidak sukaan kita terhadap sesuatu tidak serta merta membuat kita terus menghindarinya. Kadang kita bisa tidak mempermasalahkannya atau bahkan menginginkannya. Saya dulu mengabaikan perayaan kelahiran, karena tampak tidak ada gunanya. Anak-anak belum mengerti, tukar kado hanya jadi ajang adu gengsi bahkan berpotensi menambah tumpukan barang di lemari. Orang dewasa tampak tidak lagi patut. Lagipula, tidak ada pencapaian apapun, untuk apa dirayakan?

Namun setelah mundur beberapa langkah dan melihat lebih luas, ternyata tidak ada salahnya juga jika ada yang ingin merayakan. Saya justru mengenang pesan-pesan yang sengaja dikirim tengah malam, kejutan yang datang tanpa kabar, hadiah yang benar saya inginkan atau membuat heran, kok bisa kepikiran? Maka saya mengubah sikap. pada hari-hari biasa mungkin saya ingin kesunyian tapi satu hari dalam setahun tidak apa jika terjadi banyak kebisingan. 

Dengan ini saya menyatakan, tidak bisa sepenuhnya setuju dengan kata mereka, sudah dewasa tidak perlu dirayakan. Tidak bisa seiya dengan kalimat, sudah panjang usia untuk apa lagi diberi kejutan. Padahal, sepanjang usia kita tidak apa jika dirayakan, tentu menyenangkan jika diberi lebih banyak perhatian dari hari biasanya.

Saya tidak lagi percaya, bahwa semakin bertambah usia kita semakin tidak menginginkan apa-apa. Nyatanya saya masih ingin dirayakan, bukan untuk pencapaian, namun karena kehadiran saja. Dalam satu hari selama satu tahun, saya ingin diperingati bukan atas apa yang dilakukan, tapi karena saya ada, dan itu sudah lebih dari cukup sebagai alasan menjadikan hari ini hari istimewa. Saya ingin ada orang-orang terkasih yang bersiap menyambut, yang memberi tanda pada kalender mereka, karena hari itu mereka peringati sebagai yang berbeda dimana mereka bisa mengekspresikan kasih dengan lebih leluasa, mempunyai alasan untuk mengungkapkan lebih banyak kata sayang dari biasanya, untuk mewujudkan satu dua harapan. Bukan hari yang biasa dan semakin terlupa dipertambahan usia, saya justru semakin ingin hari yang lebih bermakna. 

Maka ini bisa menjadi pengingat bagi saya juga, untuk tidak pernah melupakan, untuk terus merayakan kelahiran sebagai tanda kehadiran. Mengucapkan sebagai bentuk syukur karena seseorang telah hadir, telah setia menemani, telah mendukung selama ini, telah membersamai. Kadang juga bisa mengungkapkan dengan lebih dari sekedar ucapan atau doa kebaikan. Hanya untuk mengingatkan mereka bahwa hidup kita telah menjadi lebih bermakna sebab mereka begitu berharga. 



Salam. Nasha

Seiring dengan berjalannya waktu, masa kita juga semakin berkurang, yang ditandai dengan banyak perubahan baik secara fisik maupun mental. Sebagian kita merasa tidak siap dengan perubahan itu, mengabaikan, bahkan menolaknya. Berbagai kekhawatiran muncul akan kesiapan kita menyesuaikan diri dengan penuaan tersebut. Padahal, dengan perjalanan panjang yang sudah kita lewati, tentu masuk akal jika tubuh meminta perawatan yang lebih banyak, wajar jika ada gurat yang menandakan pengalaman-pengalaman kita tersebut. Kita pun tumbuh semakin bijaksana bersamaan dengan bertambahnya hikmah dan pelajaran yang kita dapatkan. Kali ini, mari kita coba membicarakannya. 




Fear of Aging (Takut Menua)

Seperti terjemahannya, fear of aging adalah ketakutan berlebihan yang dimiliki seseorang atas penuaan. Ketakutan terus menerus akan penuaan tersebut bahkan dikategorikan dalam fobia klinis bernama gerascophobia. Suatu fobia yang spesifik disebabkan oleh rasa takut ataupun cemas berlebihan bila berhubungan denan proses penuaan, mulai dari perubahan fisik tubuh, kerutan diwajah, berkurangnya kemandirian juga mobilitas, hingga ketakutan akan munculnya penyakit sebagai akibat dari penurunan kesehatan fisik juga mental.  Untuk menghadapi ketakutan itu, sebagian mereka akan menolak bercermin hingga melakukan upaya untuk melawan penuaan seperti operasi.

Ketakutan itu bukan hanya milik orang berusia senja yang takut pada keriput, tapi faktanya gerascophobia telah dialami seorang anak berusia 14 tahun. Ia membungkukkan badannya agar tidak tambah tinggi, mengurangi makan sehingga tidak terus tumbuh, serta meninggikan suara sebagai upaya menolak menjadi remaja. Sulit rasanya membayangkan hidup yang dijalani oleh orang-orang gerascophobia ini. Betapa tidak nyamannya hari demi hari bertambahnya usia dan tanda penuaan bagi mereka. 

Para ahli menyimpulkan bahwa anggapan terus menerus tentang penuaan yang negatif telah berdampak besar pada fobia ini. Seseorang yang secara berkelanjutan menerima informasi bahwa menua itu tidak mengenakkan tentu lama kelamaan bisa terpengaruh dan menolak hal tersebut. Media yang menampilkan penuaan dengan penurunan fungsi tubuh hingga berbagai penyakit seperti demensia, alzheimer, juga tekanan darah tinggi yang menyertai akan membuat orang-orang tertentu mengalami kekhawatiran sehingga menolak untuk menjadi lebih tua. Strategi pemasaran dan inovasi terus dilakukan, menggaungkan berbagai produk anti penuaan yang mengisyaratkan bahwa penuaan adalah hal yang tidak menarik. 

Disamping itu, ketakutan akan penuaan juga besar dipengaruhi oleh anggapan-anggapan masyarakat tentang masa tua itu sendiri. Jika dulu menjadi tua dianggap sebagai sosok yang bijaksana dan penting, kini orang tua dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan dunia sehingga suara mereka semakin tidak didengar. Revolusi industri dianggap sebagai dalang yang menggeser pehamahaman ini, dimana kelompok yang tidak lagi produktif dianggap sebagai beban. Sehingga ketakutan akan penuaan ini lebih disebabkan pada ketidak pastian masa depan yang akan mereka hadapi. 


Berdamai dengan Penuaan

Jika kita lihat sejarahnya, perkembangan kita sebagai manusia telah mengalami kemajuan yang memungkinkan kita hidup lebih lama dibandingkan generasi sebelumnya. Umur panjang bukan lagi kemewahan, dimana tiga dari empat populasi kini bisa mencapai usia lebih dari 65 tahun. Peningkatan kualitas kesehatan memungkinkan penyakit yang dulu mematikan kini bisa disembuhkan. Bahkan inovasi terus dilakukan agar tubuh bisa berfungsi optimal meski sudah panjang usianya. Ini kabar baik yang mestinya kita rayakan dengan gembira bukan ketakutan.

Sebenarnya alasan-alasan yang dikemukakan itu bisa dimengerti. Mungkin juga pernah kita semua alami, takut bahwa suatu hari nanti tubuh kita tidak bisa menunjang apa yang ingin kita lakukan, takut jika pikiran mengkhianati sehingga nanti ia lupa pada hal-hal yang kini begitu penting dan berharga, takut jika penurunan kondisi tubuh akhirnya memaksa kita untuk terus bergantung pada orang lain, hingga takut jika kita tidak bisa menyukai tampilan yang kita lihat dicermin. Ketakutan itu terus bertambah dengan bayangan jika kita kehabisan uang lalu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghasilkannya sehingga menjadi beban bagi orang lain. Masyarakat yang mendambakan keremajaan, juga kapasitas dan pemberdayaan; tentu sedikit banyak menganggap bahwa tua adalah beban karena dianggap tidak bisa menghasilkan. Pemahaman yang menyedihkan memang. Namun dari sinilah kita berangkat. Dari pemahaman yang sepatutnya, tidak yang dikendalikan oleh materiil tapi oleh rasa kita sebagai manusia. 

Kita mulai dari fakta-fakta yang mengagumkan dari orang tua yang dihimpun secara statistik. Pertama, bahwa semakin tua seseorang maka ia cenderung semakin bahagia, lebih sehat, juga lebih stabil mentalnya. Mungkin angka kasus penyakit pada orang tua jmeningkat, namun persentasenya justru menurun. Penyakit-penyakit kronis kini banyak menyerang orang berusia lebih muda, termasuk penyakit-penyakit mental. Mereka yang berusia diatas 50 tahun atau bahkan 65 tahun memiliki pandangan yang luas tentang kehidupan, hubungan yang lebih baik, kebiasaan yang lebih sehat, jiwa yang lebih stabil, gaya hidup yang lebih kalem. Berbgai penyakit yang katanya mengancam orang tua nyatanya bisa dicegah jauh hari sebelumnya.

Benar, poin pentingnya ada pada persiapan dihari-hari sebelumnya, ketika masa tua belum datang. Ketika kita masih muda, masih dewasa, masih semangat berusaha. Semangat ini disebut dengan planning healthy aging, berupa bagaimana masa tua yang kita bayangkan lalu mewujudkannya dalam tindakan nyata saat ini. Melawan ketakutan-ketakutan akan masa depan itu dengan melakukan sesuatu dimasa ini. Perencanaan itu bisa dijabarkan antara lain dengan:

  • Olahraga rutin dan menerapkan popla hidup sehat untuk mengatasi ketakutan akan penurunan kualitas kesehatan dan berbagai resiko penyakit. Ini termasuk meluangkan 150 menit setiap minggu untuk berolahraga, beristirahat sekitar delapan jam sehari, juga mejaga pola makan yang sehat. Biasakan terus bergerak aktif, jangan terjebak dalam kemageran.
  • Terus belajar, rajin membaca, juga memperbarui informasi untuk mencegah kehilangan daya ingat. Berhubungan dengan ini banyak yang menyarankan untuk meditasi rutin, menghindari pemicu tekanan darah meningkat, serta menghindari polusi udara atau tidak keluar rumah ketika udara sedang kotor atau kalau bisa sediakan air purifier.
  • Mengatur keuangan untuk mengatasi ketakutan akan kehabisan uang. Banyak jasa financial planning saat ini yang bisa kita pilih jika merasa tidak mampu melakukannya sendiri. Alokasikan uang sesuai kebutuhan saat ini dan investasi masa depan. Sederhanakan dengan save more spend less.  
  • Jaga hubungan baik untuk menghindari kesepian nantinya. Lagipula hubungan baik juga membuat hidup kita lebih bahagia. Luangkan waktu untuk haidr seutuhnya untuk orang-orang yang kita sayang, luangkan waktu secara rutin untuk menghubungi mereka, untuk mendengarkan curhatan mereka. Sempatkan diri untuk hadir acara-acara penting mereka. Terlibat dalam interaksi antar generasi, untuk memahami pandangan dari berbagai kelompok usia manusia. 
  • Terakhir adalah memahami bahwa satu-satunya kepastian didunia ini hanyalah ketidak pastian. Tidak ada yang tahu bagaimana masa tua kita nanti, apa yang terjadi, namun kita bisa mengusahakannya hari ini. Bukan dengan tujuan utama memiliki masa depan yang kita harapkan, tapi mengusahakan yang terbaik sebagai bentuk syukur atas apa yang sudah kita miliki saat ini. Ada tubuh yang sehat, maka kita rawat. Ada keluarga dan sahabat, maka kita jaga. Ada rezeki maka kita alokasikan dengan baik. Lalu, belajar untuk berlapang dada serta berpikiran terbuka bahwa setiap kita memiliki masanya masing-masing dan mengalami proses perjalanan masing-masing. Melihat apa yang sudah kita punya saat ini sebagai pengalaman berarti yanng belum tentu bisa semua orang miliki.

Saya juga awalnya bukan orang yang menikmati penampilan yang menua. Tapi kita sama-sama bisa berltih menerima bahwa usia kita memang akan terus bertambah angkanya seiring dengan waktu yang sudah kita habiskan di dunia. Anggap saja apa yang berubah pada tubuh ini sebagai lencana bahwa kita sudah melalui begitu banyak hal. Jika kita ingin memperbaiki, menyamarkan perubahan, silahkan lakukan. Tapi lebih baik dengan tujuan untuk merawat apa yang ada saat ini daripada menggebu untuk menghentikan waktu. Lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan hari ini, agar kebiasaan baik itu terus kita bawa hingga tua nanti.



Salam, Nasha

Pembahasan fenomena distracted parenting atau pola pengasuhan yang tidak fokus lalu mungkin membuat kita bertanya-tanya, apa yang perlu kita lakukan agar semuanya bisa berjalan seimbang. Pekerjaan dan berbagai keperluan yang dilakukan dengan smartphone bisa lancar namun anak tidak merasa diabaikan. Ini langkah awal yang baik ketika kita sudah menyadari dan mau memperbaiki. Kita bisa menerapkan beberapa tips dari para ahli pengasuhan atau belajar dari pengalaman sesama orang tua. 


Kita semua tentu sadar bagaimana kondisi kehidupan zaman sekarang yang terpapar teknologi hampir disemua lini. Para ahli yang menyoroti tren pola pengasuhan teralihkan atau distracted parenting pada orang tua belakangan juga memahaminya. Sebagai sesama orang tua, sesama ibu, kita sama-sama tahu ada banyak urusan yang perlu diselesaikan dari gadget terutama smartphone itu, mulai dari pekerjaan kita, melakukan transaksi, berkomunikasi untuk mencari tahu, hingga mengamati grup sekolah anak. Semua ada di sana tanpa batasan waktu.

Begitu pun, tidak ada yang menyarankan agar kita mencurahkan seratus persen perhatian kepada anak sepanjang hari. Lagipula, membiarkan anak lepas dari perhatian kita juga baik untuk mereka. Memberikan mereka keleluasaan untuk berkreasi menciptakan permainan sendiri, untuk menghibur diri mereka sendiri, menyelesaikan masalahnya sendiri, juga menemukan hal-hal menarik sendiri. 

Sayangnya, dalam keseharian sering ditemukan orang tua yang kebablasan. Lupa pada prioritas sesungguhnya, lupa pada kenyataan yang ada di depan mata. Mungkin karena terlalu asyik membandingkan hara barang belanjaan, sehingga kurang peka bahwa ada yang memanggil sejak tadi. Mungkin terlalu asyik mencari menu masakan penambah berat badan, sehingga lupa bahwa ada yang ingin anak tunjukkan. Atau bisa jadi terlalu lama mencari tahu kehidupan orang, sehingga anak yang dihadapan jadi luput dari perhatian. Kita perlu prioritas kita sesungguhnya, yang ada saat ini ada dihadapan kita. Menyadari bahwa aplikasi itu memang dirancang sedemikian rupa agar kita menghabiskan banyak waktu di sana, sedangkan apa yang ada di depan mata adalah apa adanya kehidupan kita. Wajar jika terasa kurang menarik, namun sadari, bahwa kenyataan itulah yang sebenar-benarnya kehidupan kita. 

Jadi tujuan dari pembahasan kita ini bukanlah untuk terus fokus pada anak sepanjang waktu, tapi untuk bisa menempatkan diri dengan tepat. Supaya kita bisa menemukan keseimbangan diantara banyak peran yang kita jalani, diantara banyak urusan yang perlu diselesaikan. Untuk menunjukkan pada anak-anak kita bahwa mereka penting dan kita memahami apa yang mereka butuhkan. Sederhananya, dengan banyak peran yang kita emban itu, kita perlu membagi waktu dan tenaga untuk semuanya. Sesuai dengan porsi kebutuhan masing-masing. Dalam hal ini, ternyata bukan hanya anak, kita sebagai orang tua juga perlu pengaturan screen time. 

  • Tahu berapa banyak kita menggunakan gadget dalam sehari. Ini bisa dilihat dari pengaturan pada gadget kita tersebut, yang menghitung penggunaan screen time harian rata-rata yang kita gunakan. Fitur ini biasanya juga dilengkapi dengan berapa waktu yang kita habiskan dimasing-masing aplikasi. Mungkin kita akan terkejut saat mengetahui berapa banyak waktu yang kita habiskan disana. Sadari, apakah memang sebanyak itu kita perlu berada disana?
  • Jauhkan gadget terutama handphone dari jangkauan saat sedang bermain bersama anak. Jika ada yang mendesak tentu akan masuk panggilan, yang bisa kita ketahui dari deringnya. Jika tidak, kita bisa membiarkan orang-orang diluar sana menunggu balasan. Normalisasi pesan yang tidak direspon seketika. 
  • Tentukan waktu spesifik kita bermain dengan anak setiap hari, setidaknya lima belas menit yang penting tanpa distraksi apapun. Seusai kerja sebelum tidur misalkan, luangkan lima belas menit untuk mereka bercerita atau bermain bersama.  Mereka tidak perlu waktu yang lama, tapi mereka perlu waktu yang berkualitas ketika seluruh perhatian kita curahkan hanya untuk mereka.
  • Tentukan juga waktu dan tempat yang bebas dari gadget, paling disarankan adalah waktu makan dan waktu tidur. Jauhkan segala macam gadget dari area makan dan area tidur, gunakan untuk bincang-bincang keluarga, bertukar cerita hari ini ada kejadian apa saja. 
  • Tetap berpijak pada kenyataan dimana kita perlu sadar kapan anak-anak sedang mencoba mendapatkan perhatian kita, tanggapi perilaku mereka dengan segera terutama tingkah baiknya. Jangan sampai ketika mereka berperilaku negatif baru kita memperhatikan, karena meskipun berhadiah omelan, perilaku tersebut akan terus berulang. 

Sebenarnya jika disederhanakan, landasan penting kita dalam pengasuhan yang tidak terdistraksi adalah kesadaran. Sadar bahwa kita memiliki peran sebagai orang tua, sebagai orang yang bertanggung jawab atas kehidupan anak, sebagai orang yang harusnya menjadi teladan bagi mereka, sebagai orang pertama yang mengenalkan dunia pada mereka, sebagai orang yang menyatakan bahwa mereka ada prioritas utama kita. Sadari itu, lalu lakukan penyesuaian. Dulu sebelum menjadi orang tua mungkin kita bisa pulang kerja langsung rebahan, tapi kini kita perlu bermain dulu dengan mereka. Dulu mungkin kita makan sambil menonton, tapi kini tidak lagi karena ada cerita yang perlu didengarkan. Ini juga kebiasaan lebih baik agar tidak lagi kita melakukan aktivitas menyambil.

Kemudian, kita perlu terus belajar dan berlatih. Kadang memang kita perlu pengaturan teknis agar bisa lebih disiplin. Mengatur kapan waktu bermain dengan anak, dari jam berapa sampai jam berapa mengerjakan pekerjaan, kapan mengurus urusan rumah, kapan mengurus urusan orang lain, kapan berleha menghibur diri dengan ponsel ditangan. Atur waktunya dan disiplin menjalankannya. Tidak semua hal perlu kita lakukan dalam satu hari, tidak semua informasi dan perkembangan perlu kita perbarui setiap saat. Atur prioritas kita dengan keterbatasan waktu dan perhatian yang kita punya. 

Sebagai ibu yang mengasuh anak sembari bekerja dir rumah, ada beberapa hal yang bisa saya tambahkan selain kiat umum diatas diatas, antara lain adalah:

  • Disiplin dengan rutinitas. Ini hal teknis yang penting namun sering terabaikan. Seolah pekerjaan di rumah tanpa pengawasan bisa membuat kita lengah. Padahal konsistensi ada untuk diri kita sendiri. Bangun pagi jam berapa, perlu mengerjakan apa saja, lalu apa aktivitas dengan anak dan jam berapa perlu dilakukan. Atur kegiatan dan waktunya, jika perlu tuliskan agar lebih jelas. Buat rutinitas. Jika anak paham rutinitas, punya bayangan besok akan melakukan apa, mereka jadi lebih mudah juga bekerja sama. 
  • Komunikasikan dengan anak. Dari hari-hari sebelumnya, ulangi saja terus setiap malam hingga mereka paham bagaimana rutinitas. Lalu ketika sedang bekerja di rumah, kita bisa memilah mana permintaan anak yang perlu segera direspon dan mana yang bisa ditunggu. Komunikasikan semuanya. Jelaskan pada anak hingga pukul berapa kita bekerja sehingga perhatian kita tidak bisa utuh untuk mereka. Bicara dengan jelas dan konkret. Tatap mata mereka dan biarkan mereka merespon. Hindari pembicaraan yang terburu-buru dan tidak fokus. 
  • Jika dalam waktu bermain ternyata ada hal penting lain yang perlu kita lakukan, sampaikan pada mereka. Tatap matanya, lalu katakan, maaf tunggu sebentar ya, ibu mengerjakan ini dulu karena mendesak. Mungkin kita perlu menjauh beberapa saat, berpindah ruangan, tidak apa. Lakukan dengan cepat dan kembali pada mereka sesuai dengan janji kita sebelumnya. Ucapkan terima kasih karena mereka telah menunggu. 
  • Menjauhkan ponsel dari jangkauan adalah hal terbaik yang bisa kita upayakan saat bersama mereka. Agar mata kita tidak terus tertuju ke layar itu, agar tangan kita tidak tiba-tiba mengambilnya ketika mereka sedikit lengah. Benar-benar masuki dunia mereka, beraktivitas dalam frekuensi yang sama dengan mereka, dan abaikan saja notifikasi jika bukan panggilan mendesak. Akan ada waktunya nanti.

Tidak mudah memang mengalihkan perhatian jika sudah tersedot dalam visual layar yang begitu mengagumkan. Namun, anak-anak ini tidak akan selamanya menginginkan perhatian kita. Akan tiba saatnya kita yang mengemis perhatian mereka. Namun saat ini waktu kita bersama mereka, menciptakan dunia yang aman dan indah bagi mereka. Lagipula, mereka akan mencotoh kita tentang bagaimana memberi perhatian pada orang yang disayang, bagaimana hubungan orang tua dan anak seharusnya. Mereka nanti akan meniru bagaimana kita hari ini. Nah, selamat berjuang, orang tua masa kini!



Salam, Nasha

Mungkin tidak asing bagi kita menyaksikan pemandangan anak bermain didepan orang tua yang fokus pada gadget mereka. Mungkin juga kita salah satu dari orang tua yang demikian. Saking maraknya, pola pengasuhan begini disebut sebagai satu fenomena bernama distracted parenting. Sebenarnya hal ini bisa dipahami karena hampir semua urusan kini perlu kita lakukan melalui ponsel dalam genggaman. Namun para ahli sudah meneliti kejadian ini hingga sampai pada beberapa kesimpulan yang kurang menyenangkan. Pola asuh terdistraksi itu memiliki beberapa resiko, yang jika sempat mengamati beberapa saat mungkin akan kita temukan sendiri, dampak nyatanya pada diri kita sebagai orang tua, pada anak-anak kita, juga pada hubugan diantara keduanya. 


Distracted Parenting

Dalam New York Post pada 2017 lalu, diskusi para dokter spesialis anak tentang screen time menemukan suatu kondisi baru yang perlu dibahas yakni kebiasaan screen time para orang tua. Meski belum semasif sekarang, namun ditahun itu, handphone sudah berganti nama menjadi smartphone, sebuah perangkat yang berisi begitu banyak hal mulai dari pesan instan, media sosial, hingga berbagai aplikasi mengedit dokumen. Kecanggihannya membuat candu, kecepatannya membuat aktivitas menggulir layar menjadi tak terasa, kadang hingga membuat kita tenggelam dalam racikan audio visual yang ditampilkan. Sayangnya, kekaguman kita pada kehebatan perangkat tersebut sering membuat kita lupa diri, lupa pada lingkungan nyata yang sedang dihadapi, sehingga menjadi kurang responsif pada apa yang terjadi. Salah satunya dalam pengasuhan yang sedang kita kerjakan, orang tua yang teralihkan, tidak fokus pada anak-anak yang ada di hadapan mereka. Inilah yang menjadi dasar istilah distracted parenting.

Sejak saat itu semakin banyak para ahli dan praktisi yang membahasnya tentang pola pengasuhan ini. Bagaimana karakteristiknya, dampak-dampaknya, hingga apa yang perlu dilakukan untuk menyiasati keadaan ini. Dalam berbagai kajian tersebut, para ahli sepakat bahwa distracted parenting memiliki banyak dampak negatif hingga resiko yang cukup memprihatinkan terutama pada anak serta hubungan keduanya. Jika dirinci, resiko tersebut antara lain adalah:


  • Mengancam keselamatan anak
Resiko ini dikaitkan dengan banyaknya kasus kecelakaan ditaman bermain yang dihubungkan dengan kelalaian pengasuh mereka karena terdistraksi oleh ponsel. Beberapa kecelakaan di rumah juga bisa terjadi karena pengasuh atau orang tua tidak begitu memperhatikan anak karena sibuk menatap layar mereka. 


  • Merenggangnya hubungan orang tua dan anak
Sebagai makhluk sosial kita membutuhkan interaksi langsung yang melibatkan panca indra kita. Mulai dari tatapan mata, ekspresi, nada bicara; dimana jika terlalu sibuk dengan gadget, kebutuhan kita tersebut tidak akan terpenuhi. Akibatnya hubungan yang terjalin jadi menurun kualitasnya. 
  • Menghambat pertumbuhan anak, terutama bagian bahasa, kognitif, juga regulasi diri
Untuk bisa berkembang optimal, anak membutuhkan stimulasi yangtepat sesuai usia mereka. Perlu diajak bicara dua arah untuk meningkatkan kemampuan bahasa, perlu memperhatikan ekspresi, nada, tatap mata dari lawan bicara agar kecerdasan kognitifnya membaik, juga perlu teladan dan penjelasan sehingga bisa belajar meregulasi diri. Hal-hal ini akan sulit didapatkan anak jika pengasuh atau orang tuany terlalu sibuk dengan layar mereka. 


  • Perilaku menantang untuk mendapatkan perhatian
Untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan yaitu perhatian, anak akan mulai berbicara dengan lebih keras, berteriak, hingga mengganggu orang lain ataupun melakukan hal berbahaya. Ini semata agar pengasuh atau orang tua bisa melepaskan gadget dan melihat ke mereka. Melihat yang telah mereka lakukan, melihat wajah mereka. Meskipun ujungnya adalah omelan setidaknya mereka mendapat perhatian. 
  • Anak merasa kurang dihargai
Anak merasa orang tua adalah dunia mereka, namun jika dunia mereka saja berpaling, apa yang anak rasakan? Kemungkinan besar mereka merasa tidak berharga, kurang menarik sehingga tidak diberi perhatian. Ini memicu sikap rendah diri pada anak. Kepercayaan diri mereka akan tergerus seiring dengan perhatian yang beralih terus. Menurut saya, resiko ini yang paling panjang dampaknya. Dengan ketidak percayaan diri, anak bisa sulit berprestasi, mereka rentan dibully, mereka sulit menghargai hidup dan diri sendiri. 
  • Orang tua cenderung reaktif, merespon tingkah anak dengan berlebihan
Bayangkan ketika kita sedang asyik menyaksikan video pendek dilayar atau sedang berkonsentrasi menyimak penjelasan yang ada disana namun anak malah memanggil minta bantuan. Bukankah masuk akal tampaknya kita akan reaktif? Menganggap anak adalah distraksi dari apa yang kita lakukan. Akibatnya, kita merespon tingkah mereka dengan kesadaran yang tidak penuh, reaksi kita cenderung menjadi lebih kasar. Tampaknya marah pada apa yang mereka lakukan, padahal karena kita teralihkan dari keasyikan dilayar yang sedang kita lakukan. 


Cukup mengerikan rasanya hanya dari membahas resiko-resiko diatas saja. Hal-hal itu sudah terbukti secara ilmiah dan bisa kita rasakan sendiri. Mungkin ada harinya kita begitu, mungkin dulu kita pernah seperti itu, sayang sekali kita tidak menyadari. Kita yang sedang mengasuh, kita yang teralihkan pada layar, kita yang meremehkan pengasuhan, kita yang tidak bersungguh-sungguh hadir untuk mereka yang menganggap kita adalah dunianya. 

Fakta menarik lainnya, adalah bahwa orang tua zaman kini memiliki lebih banyak waktu bersama dengan anak mereka dibandingkan orang tua zaman dulu. Penelitian yang dikhususkan pada ibu bekerja pada 2018 menunjukkan bahwa mereka menghabiskan lebih banyak waktu mengasuh anak dibandingkan dengan ibu-ibu pada sekitar tahun 1960-an. Sayangnya, kehadiran raga tersebut tidak diiringi dengan kehadiran jiwa. Tubuh memang lebih banyak hadir, tapi kedekatan emosional justru jauh menurun. Keterikatan hubungan orang tua dan anak bisa dibilang berada dalam kualitas yang rendah. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa kecanggihan teknologi memungkinkan kita melakukan banyak hal tanpa menggerakkan tubuh untuk bepergian. Dari rumah saja, sembari membersamai anak, kita bisa mengurus banyak hal. Bisa jadi inilah yang membuat waktu kebersamaan kita dengan anak menjadi panjang. Meskipun sedang mengawasi mereka, ada banyak pekerjaan kita yang dimudahkan dengan teknologi gadget tersebut. Banyak juga silaturahmi yang terjalin berkat aktifnya kita dengan perangkat itu. Tidak mungkin rasanya kehidupan kita dipisahkan dari alat canggih itu. Tapi ada banyak pula resiko yang ingin kita hindari dengan tetap ponsel dalam genggaman. Kembali ke diri kita sendiri, bagaimana kita bisa menyeimbangkan hal-hal tersebut. Bagaimana kita mengatur agar tidak ada yang terbaikan, bagaimana kita berkomunikasi sehingga semuanya bisa merasa cukup adil, serta bagaimana kita sendiri menyadari dengan penuh bahwa apa yang kita lakukan memiliki dampak dimasa depan. 



Salam, Nasha

Kasus bullying seolah terus bergulir tanpa akhir. Bukan hanya baru-baru ini, tapi terjadi sudah sejak dulu seakan menjadi hal turun temurun yang sulit dihapuskan. Bahkan tidak hanya pada anak-anak namun juga pada orang dewasa yang perkembangan otak dan emosinya, harusnya sudah sempurna. Sebagai orang tua wajar jika kita khawatir akan hal ini. Merasa waspada, jangan sampai anak kita terlibat dalam perilaku tersebut, jangan menjadi pelaku juga jangan sampai menjadi korban. Tidak ada yang lebih baik diantara keduanya. Meskipun masih tergolong belia, anak-anak bisa kita ajarkan sejak kini agar kedepannya bisa terhindar dari keterlibatan pada perilaku bully ini.  


Bullying pada Anak

Kita mungkin lebih mengenal istilah bullying daripada perundungan, namun keduanya memiliki arti yang sama. Kondisi yang terjadi dalam pertikaian antara pihak-pihak tidak setara, dimana salah satu pihak lebih kuat dibanding yang lainnya. Kekuatan ini bisa diperhitungkan dari banyak aspek seperti jumlah orangnya, ukuran tubuhnya, selisih usia, kekuatan fisiknya, ataupun kondisi mentalnya. Perundungan bisa terjadi ketika pihak pertama mampu mendominasi pihak kedua dengan kelebihan yang ia miliki, sehingga perilaku perundungan ini biasanya tidak hanya sekali dua kali tapi juga terus menerus. Ini hal mendasar yang perlu kita pahami, bahwa perundungan terjadi karena ada selisih kekuatan antara kedua belah pihak, ketika kedua belah pihak memang merasa tidak setara. 

Berdasarkan penjabaran itu, seorang pelaku perundungan cenderung adalah mereka yang terbiasa melihat orang yang berbeda dengan lebih rendah, merasa berhak untuk mendominasi karena merasa lebih tinggi, merasa berhak atas yang lainnya. Sedangkan korban perundungan cenderung adalah mereka yang memiliki kepercayaan diri rendah, memang merasa berbeda atau lebih lemah, hingga tidak merasa cukup berharga. Anak-anak yang terlibat dalam lingkaran ini biasanya mereka yang juga memiliki masalah sebelumnya, bisa kita awali dari pola pengasuhan yang kurang tepat seperti ayah ibu yang bertengkar dengan kasar didepan anak, lingkungan tumbuh anak yang menormalisasi bullying, hingga anak yang sering menyaksikan video kekerasan.

Pada anak-anak, bullying bisa berupa perundungan fisik seperti mendorong, mencubit, memukul, menendang; perundungan verbal dengan kata-kata yang mengejek, merendahkan,  mengancam; serta perundungan sosial seperti mengucilkan atau mendiamkan bersama-sama. Semua hal itu bukan tidak mungkin terjadi pada anak-anak usia dini. Meski data menunjukkan angka tertinggi perilaku bully ada pada anak rentang usia sepuluh hingga dua belas tahun, namun faktanya perundungan bisa terjadi pada anak sejak usia mereka tiga tahun, ketika anak mulai berinteraksi dalam kelompok sosial. 

Bisa jadi dalam kelompok pra sekolah tersebut, seorang anak yang merasa lebih berkuasa bertemu dengan anak lain yang tumbuh rendah diri. Anak yang berkuasa ini biasa mendapatkan apa yang ia inginkan, tidak peduli jika itu milik anak lain, tidak peduli jika itu didapatkan dengan cara menghasut ataupun mengancam. Bisa jadi anak dengan latar belakang berbeda tersebut terbiasa tidak mampu bersuara, terbiasa melihat orang tuanya berjalan menunduk, hingga ia pun rentan menjadi sosok serupa. Dari sanalah kasus perundungan bisa bermula, lalu terus meningkat semakin intens seiring dengan pertumbuhan anak hingga remaja. Jika dari usia sedini itu perundungan sudah dimulai, tentu tidak ada lagi pihak yang lebih bertanggung jawab daripada orang tua.


Menciptakan Kebiasaan Anti Bullying dari Rumah

Kita tentu sepakat bahwa perundungan adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan dari segi apapun, baik itu sebagai pelaku ataupun korban. Dampaknya bisa jangka panjang terbawa hingga anak-anak dewasa, mulai dari sakitnya fisik mereka, terganggunya kesehatan mental mereka, hingga pada bagaimana mereka menjalani hidup dan menjadi manusia seperti apa mereka nantinya. Maka sebagai orang tua sudah menjadi tugas kita untuk mengantisipasinya dari rumah, mengindarkan anak dari bahaya bullying ini. 

  • Connection Before Correction

Sebagai dasar dari segala pola pengasuhan, sangat penting untuk kita membangun ikatan dengan anak. Sebelum mengoreksi apa yang mereka lakukan, sebelum menasihati, pastikan kita adalah sosok yang hadir bagi mereka, sehingga anak-anak pun percaya pada orang tuanya. Hubungan baik antara anak dan orang tua akan membuat anak merasa bahwa ia memiliki tempat aman untuk menuangkan segala permasalahan dan perasaannya.

  • Tekankan Bahwa Anak Berharga
Anak harus tahu bahwa kehadirannya begitu berharga, dimana penghargaan ini harus dimulai dari lingkungan pertamanya yakni di rumah. Setiap hari ucapkan kata sayang, tunjukkan gestur bahagia, bangga, bersyukur atas kehadirannya. Cukup dengan kehadirannya saja bukan pada apa yang ia lakukan. Sebagai orang tua, kitalah yang menayangi mereka terlepas dari apa yang mereka lakukan, kan? Anak yang merasa berharga akan melihat dirinya sendiri pantas diperlakukan dengan baik.
  • Ajarkan Bahwa Setiap Kita Setara
Meski setiap anak itu berbeda, namun semua anak itu setara sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tidak peduli bentuk fisiknya, latar belakang keluarganya, pakaian atau mainan yang ia miliki. Namun, sebelum mengajarkan anak, kita sendiri perlu benar-benar meyakini hal tersebut dan mencerminkannya. Membiasakan anak agar melihat siapa saja dengan sama, ia bisa berteman dengan siapa saja, tidak merasa lebih tinggi ataupun lebih rendah daripada teman lainnya.  
  • Pupuk Kepercayaan Diri Anak
Dari kalimat dan gestur berharga yang kita tunjukkan setiap hari, kita bisa melatih mereka untuk tampil percaya diri. Dengan penampilan yang rapi sesuai dengan kondisi, dengan bahasa tubuh yang percaya diri seperti badan tegap, kepala tegak, berbicara dengan menatap mata orang dan pelafalan yang jelas, juga tersenyum. Dalam keseharian juga, kita perlu mengapresiasi apa yang mereka sudah lakukan yang menyorot prosesnya bukan hasil, lalu dorong anak untuk mencoba hal-hal baru, dan normalisasi ketidak sempurnaan, kadang-kadang kita salah atau tidak bisa, namun itu tidak apa-apa.

  • Batasan Diri
Anak juga perlu diajarkan tentang batasan diri. Mulai dari tubuhnya sendiri, pada area yang boleh disentuh dan yang tidak boleh. Pada perlakuan yang bisa diterima dan yang tidak. Dengan ini kita juga perlu membiasakan untuk tidak meremehkan apapun yang anak pikirkan ataupun rasakan. Jangan sampai ketika mereka sedih lalu kita tanggapi dengan gurauan, jangan sampai ketika mereka merasa kesal dan marah kita balas dengan kan cuma bercanda, jangan sampai ketika mereka mengungkapkan ketidak sukaan kita malah melabeli mereka. Anak tidak perlu mengubah siapa dirinya juga apa yang ia rasakan agar bisa diterima. Wajar dalam suatu kelompok ada yang menyukainya, ada pula yang tidak menyukainya. Ia boleh meninggalkan mereka yang tidak bisa menghargai dirinya ataupun batasan yang ia tentukan. Anak juga tidak apa merasa terganggu dengan candaan yang orang ciptakan. Bercanda itu harusnya menyenangkan bagi kedua belah pihak, bukan hanya salah satu. 
  • Jadilah Teladan
Apa yang anak lakukan sebenarnya adalah cermin dari apa yang mereka saksikan. Ketika anak berlaku kasar, maka sepantasnya kita merefleksikan bagaimana perilaku yang biasa ada di sekitar mereka. Untuk menghindari periaku perundungan, kita juga tidak boleh merundung orang lain. Tidak merendahkan, tidak mengintimidasi, juga tidak berkata ataupun berlaku kasar pada orang lain.

  • Keterampilan Sosial Dasar
Keterampila ini bisa kita ajarkan jauh sebelum anak keluar dari lingkaran rumahnya. Kita bisa memulainya dari interaksi kita pada anak atau anak dengan saudaranya. Bagaimana pbertemu orang baru, apa yang perlu anak lakukan, apa yang tidak boleh ia lakukan, serta apa saja adab dan norma kesopanan yang harus ia pegang.  Jangan lupa, biasakan anak untuk bisa berempati dengan apa yang orang lain rasakan, karena biasanya pelaku perundungan tidak memiliki empati pada orang lain. Hal ini bisa kita lakukan dengan memvalidasi perasaan anak, mengajarkan mereka tentang berbagai emosi tersebut juga cara menghadapinya, hingga mengajak mereka untuk membantu atau bekerja sama dalam pekerjaan rumah. 

  • Kerja sama dengan Pihak Sekolah

Ketika anak benar-benar kita ajak keluar dari rumah, memiliki rutinitas harian dalam kelompok sosial tertentu, maka penting untuk kita memastikan bahwa lingkungan baru tersebut memiliki persepsi yang sama tentang perundungan. Bagaimana sekolah memandang dan menyikapi bullying, apa yang guru lakukan ketika ada anak yang merundung anak lainnya, pendekatan seperti apa yang dilakukan, apa yang sekolah upayakan untuk mencegah hal tersebut,apa yang sekolah lakukan ketika ada anak yang mengadu telah diganggu atau dirundung oleh temannya. Bicarakan dengan sekolah tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut. Bahwa sekolah atau guru harusnya bisa menjadi tempat bagi anak untuk mengadu, bahwa kita perlu bekerja sama menciptakan lingkungan dimana anak tidak dibiasakan untuk membalas dendam, ia perlu membela diri dengan menghentikan perilaku tidak menyenangkan namun tidak membalas perilaku serupa. Maka ketika keadaan sudah diluar kendalinya, ada orang-orang dewasa yang akan menanganinya. 


Bullying memang adalah hal yang kompleks, mengingat kejadiannya bisa ada dimana saja dan melibatkan siapa saja. Tetapi kita bisa menekan angkanya, mencegah kejadiannya, dari apa yanng kita ajarkan di rumah. Apa yang kita usahakan sekarang, mudah-mudahan benar menjadi bekal bagi mereka nantinya. apa yang kita persiapkan dari rumah mudah-mudahan cukup bagi mereka bawa hingga keluar. 



Salam, Nasha

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Kenalan Dulu, yuk!

Hai, aku Nasha! Aku diberkahi dengan dua guru hebat dan akan seterusnya belajar. Sedang giat tentang gracefully adulting, mindfull parenting, dan sustainable living. Kadang review tontonan, buku, dan produk yang baik juga. Semoga berguna!
PS, untuk info kerja sama, bisa email aja ya! ;)

Follow @salamnasha

POPULAR POSTS

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Hubungi Aku di sini

Nama

Email *

Pesan *

Advertisement

Label

family REVIEW lifestyle rekomendasi BUMI lingkungan parenting kesehatan mental kesehatan netflix marriage adulting rekomendasi buku

Daftar Tulisan

  • ►  2025 (21)
    • ►  Mei 2025 (2)
    • ►  April 2025 (5)
    • ►  Maret 2025 (4)
    • ►  Februari 2025 (5)
    • ►  Januari 2025 (5)
  • ▼  2024 (41)
    • ▼  Oktober 2024 (4)
      • Perjalanan Keuangan dari Doom Spending ke Loud Bud...
      • Sudah Tahu Love Language, Sekarang Cari Tahu How W...
      • Rekomendasi Shampo Rambut Rontok Bahan Alami Non S...
      • Kesehatan Jiwa, Isu yang Semakin Disuarakan Tapi M...
    • ►  September 2024 (8)
      • Tentang Harapan dan Perayaan Kelahiran di Usia De...
      • Berdamai dengan Fear of Aging, Tidak Ketakutan Had...
      • Mengatasi Distracted Parenting, Berlatih Memusatka...
      • Distracted Parenting, Tren Pengasuhan Masa Kini ya...
      • Ajarkan Anak Penghargaan Diri Sejak Dini Agar Tida...
    • ►  Agustus 2024 (5)
    • ►  Juli 2024 (5)
    • ►  Mei 2024 (5)
    • ►  April 2024 (3)
    • ►  Maret 2024 (5)
    • ►  Februari 2024 (3)
    • ►  Januari 2024 (3)
  • ►  2023 (117)
    • ►  Desember 2023 (10)
    • ►  November 2023 (10)
    • ►  Oktober 2023 (10)
    • ►  September 2023 (10)
    • ►  Agustus 2023 (10)
    • ►  Juli 2023 (10)
    • ►  Juni 2023 (11)
    • ►  Mei 2023 (12)
    • ►  April 2023 (8)
    • ►  Maret 2023 (10)
    • ►  Februari 2023 (8)
    • ►  Januari 2023 (8)
  • ►  2022 (31)
    • ►  Desember 2022 (6)
    • ►  November 2022 (3)
    • ►  Oktober 2022 (4)
    • ►  September 2022 (3)
    • ►  Agustus 2022 (1)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (3)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (3)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Oktober 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (1)
    • ►  Juni 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (2)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (6)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (4)

BloggerHub Indonesia

Tulisanku Lainnya

Kompasiana Kumparan

Popular Posts

  • Review Popok Perekat (Taped Diapers) Premium: Mamy Poko, Fitti, Sweety, Merries
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Trending Articles

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Copyright © SALAM, NASHA. Designed by OddThemes