• Anak & Keluarga
  • Kesehatan Mental
  • Perempuan & Pernikahan
  • Lingkungan
  • Review & Rekomendasi
Salam, Nasha

Jejak Perjalanan dan Catatan Pelajaran

Meskipun bullying bukan lagi hal asing dibicarakan, namun faktanya kasus bullying masih kerap terjadi, bahkan sering kali di lingkungan yang harusnya menjadi zona aman anak. Mirisnya, perundungan baik fisik ataupun verbal tersebut kadang dianggap sebagai kenakalan anak atau remaja biasa, padahal efeknya jangka panjang,bukan hanya pada korban tapi juga pada pelaku. Sebagai orang tua, kita tentu tidak ingin anak terlibat dalam lingkaran penindasan tersebut, sehingga penting bagi kita untuk mulai membicarakannya, mempersiapkan anak sebelum melepaskannya keluar, khususnya bagi anak dibawah usia tujuh tahun. 


Mengenal Bullying

Diartikan secara harfiah sebagai penindasan, perundungan, pengintimidasian, ataupun perisakan; bullying adalah tindakan kekerasan yang tidak dapat dibenarkan. Tindakan agresif ini biasanya dilakukan oleh sekelompok orang kepada seseorang yang dianggap lebih lemah atau sedikit berbeda dibanding kebanyakan orang lainnya. Tidak hanya sekali dan tanpa sengaja, pelaku bullying biasanya menargetkan orang tertentu dengan tujuan merendahkan, mendominasi baik secara emosional, mental, dan fisik. Bullying bisa dilakukan dalam bentuk verbal ataupun non verbal, namun keduanya sama-sama memiliki efek menyakitkan dalam jangka panjang.

Sebagai korban bullying, anak akan merasa takut, kehilangan kepercayaan diri, terganggu rasa keamanannya misalkan jadi enggan ke sekolah, terganggu mentalnya dengan adanya rasa gelisah, cemas, stres, juga tertekan. Akibatnya, anak yang seharusnya bisa bersenang-senang dengan perasaan nyaman menjadi menurun kualitas hidupnya. Efeknya juga bisa pada kondisi fisik anak mulai dari sakit kepala, mual, tekanan darah meningkat, serta gangguan pencernaan; apalagi jika perundungan dilakukan dengan kekerasan fisik. Luka dan lebam adalah bukti nyata yang jelas tampak.

Sedangkan bagi pelaku bullying yang sudah merasa berkuasa atas pihak tertentu, mereka akan kehilangan empati, terdorong semakin agresif, memiliki masalah perilaku, sulit fokus pada aktivitas di sekolah, menurunnya prestasi, hingga akan kesulitan memandang masa depan dengan positif. Jika diteruskan, anak-anak ini beresiko berada dalam lingkaran yang tidak baik sehingga lebih beresiko terlibat dalam tindakan kriminal, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, hingga aktivitas seksual dini. Sejatinya, tindakan penindasan bukan hal yang bisa diterima oleh hati masing-masing kita, termasuk para pelaku, sehingga mereka akan hidup dalam ketidak tenangan yang secara garis besar akan menurunkan kualitas hidup mereka juga.

Bukan hanya bagi mereka yang terlibat, yaitu korban dan pelaku, anak yang menyaksikan tindakan bullying juga bisa terpengaruh dengan efek-efek negatif antara lain perasaan tidak nyaman dan tidak aman, merasa cemas, takut, dan bis aterganggu juga mentalnya. Tidak ada anak ataupun orang yang secara sadar ingin berada dalam situasi bullying, sehingga penting bagi kita untuk menghadapi bullying ini dengan lebih serius, mulai dari anak-anak walaupun masih berusia dini. Sebab nyatanya, perilaku bullying bisa dimulai dari tindakan sederhana yang tampaknya bermain-main antara anak-anak usia tiga hingga tujuh tahun. 

Sama dengan bentuk bullying pada anak dan dewasa pada umumnya, bullying pada anak usia dini juga dapat dibedakan atas tiga bentuk yaitu fisik, verbal, dan relasional. Penindasan fisik pada anak contohnya mendorong, memukul, mencubit, mencakar, meludahi, dan tindakan lan yang merugikan sekitar. Dalam bentuk verbal, perundungan dilakukan dengan mengolok-olok, menertawakan, berkata kasar, mengejek, menggertak, mengancam, memanggil dengan julukan tidak baik, mencibir, bahkan menjulurkan lidah. Sedangkan bullying relasional, terjadi saat seorang anak merusak barang anak lain, mengucilkan, mengasingkan, juga dengan menjelek-jelekkan anak lain pada teman-temannya. 

Jika kita lihat contoh tindakan bullying pada anak usia dini diatas, sepertinya tindakan tersebut bukalah hal yang sulit kita temui dalam interaksi sosial anak-anak. Sehingga pada usia ini, hal paling penting yang menjadi catatan bagi kita adalah bagaimana kita sebagai orang tua, juga guru ataupun pengasuh yang membersamai mereka, merespon tindakan-tindakan anak-anak ini; serta perilaku seperti apa yang anak-anak lihat dari sekitar mereka. Tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita sering mempelihatkan tindakan-tindakan tersebut? Pernahkan kita mengolok anak sendiri, menertawakan dalam konteks merendahkan yang mereka alami, hingga melakukan kekerasan fisik pada mereka?


Kiat Membicarakan Bullying

Mungkin masih ada sebagian kita yang menganggap wajar saat anak menertawakan temannya, tapi mengetahui itu sebagai cikal bullying yang bisa tumbuh dalam diri anak hingga mereka remaja bahkan dewasa, harusnya bisa menyadarkan kita tentang pembicaraan serius tentang bullying ini. Karena dari hal kecil yang dibiarkan itulah, anak bisa tumbuh terbiasa dalam lingkaran bullying yang bisa mendorong mereka dalam tindakan penindasan yang lebih besar nantinya. Bagaimana kita mendorong pembicaraan tentang bullying ini pada anak khususnya dalam kelompok usia dini?

  • Bangun ikatan (bonding) dengan anak

Ini hal paling dasar pada hampir setiap perkara. Karena bagaimana anak bisa mendengarkan atau berbicara pada kita jika ia tidak merasa puya ikatan dengan orang tuanya? Sisihkan waktu berkualitas dengan anak dan bangun relasi yang sehat dengan mereka, sehingga anak-anak akan percaya dan merasa aman dengan kita.

  • Jadilah pendengar yang baik

Memang kadang gregetan sekali rasanya ingin menasihati mereka pada hampir semua urusan, tapi belajarlah untuk menahan diri. Dengarkan apapun yang mereka rasakan, pikirkan, tidak peduli sekonyol apapun kedengarannya. Validasi emosi mereka, biarkan mereka menumpahkan keluh kesahnya pada kita, dengarkan dulu saja.

  • Perhatikan perubahan kecil pada anak

Dalam kasus bullying, anak akan merasa gelisah, murung, enggan melakukan hal yang dianggap dapat memicu bully, bahkan menghindari area tertentu. Jangan hanya memaksa anak pergi ke sekolah, tapi cari tahu kenapa anak tidak mau bersekolah. Kenapa ia yang biasanya bersemangat menjadi kurang gairah. Perhatikan tanda sekecil apapun. 

Suatu ketika anak saya enggan membawa bekal tertentu ke sekolah. Setelah ditelusuri, ternyata ia merasa ditertawakan oleh teman-temannya. Mungkin sebagian kita menganggap ini hanya gurauan, tapi ternyata berdampak pada perubahan perilaku anak. Apa yang kami lakukan sebagai orang tua adalah mengapresiasi keterbukaannya, mengomunikasikan dan membantu anak menghadapi situasi serupa, juga membicarakan tindakan tersebut pada gurunya. 

  • Merespon bullying dengan tepat

Setelah mengetahui bentuk-bentuk bullying diatas, penting bagi kita untuk tidak memberi ruang pada perilaku bullying dengan alasan apapun. Karena mungkin sepele saat ini, tapi jika dibiarkan beresiko akan menjadi tindakan besar yang akan kita sesali nantinya. Dalam kelompok anak usia dini, mungkin kita hanya melihat sebagai bentuk permainan atau candaan saja, tapi pahami bahwa bercanda itu hal yang menyenangkan bagi kedua belah pihak bukan hanya satu tapi yang lainnya merasa sakit hati. 

  • Nilai-nilai penting untuk diajarkan pada anak
Kembali pada nasihat adab sebelum ilmu. Sejak awal, ajarkan anak tentang nilai-nilai baik-buruk, benar-salah, tepat-tidak tepat, nilai kesopanan, dan adab-adab melakukan sesuatu. Dari segi spiritual, ajarkan anak tentang perintah Tuhan dan teladan Rasul-Nya. Nasihati anak terus menerus sembari memberi teladan yang baik. Hindari bercanda yang menjelekkan atau merendahkan. Bangun kepercayaan diri anak. Ajarkan anak tentang batasan diri serta cara membela diri. Serta tidak lupa, ajarkan anak tentang keberagaman, tentang perbedaan masing-masing kita baik itu yang tampak fisik maupun kondisi masing-masing anak yang berbeda dan itu tidak membuat mereka lebih tinggi ataupun lebih rendah. 

  •  Menghadapi bullying

Melalui cerita, beri anak contoh yang rinci atas tindakan bullying. Cerita ini bisa disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan anak. Misalkan jika melihat anak memukul temannya, atau ketika anak merasa dikucilkan, apa yang harus ia lakukan. Secara garis besar, anak bisa menghadapi perilaku tersebut mulai dengan berkata jangan, berteriak lalu melaporkan pada orang dewasa yang mereka percaya. Jangan ajarkan anak untuk membalas dengan tindakan serupa, karena sama dengan mengajarkan anak tindakan keliru dan justru akan menjadi lingkaran yang tak berkesudahan. 


Sebagai orang tua, kita tentu tidak ingin anak menjadi pelaku, korban, ataupun saksi dari tindakan bullying. Tapi sayangnya, kita tidak bisa benar-benar tahu dan menghindarinya. Apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah dengan membangun ikatan yang kuat, komunikasi yang terbuka dengan anak, serta membekali mereka dengan nilai-nilai diri yang kuat; sehingga jika pun ada situasi tersebut, anak tetap bisa merasa aman untuk mengomunikasikannya kepada kita dan tahu bagaimana seharusnya bersikap. Dan yang tak kalah penting adalah berdoa, memohon perlindungan bagi anak-anak kita ini dari Yang Maha Kuasa. 



Salam, Nasha

Masa pemilihan umum sudah selesai. Kita yang awalnya berdebat karena berbeda pilihan, perlahan belajar menerima apapun hasilnya, meski tugas kita belum selesai. Bukan hanya untuk mengawal hasil akhir pesta demokrasi ini agar berjalan jujur dan adil, tapi juga terus mengawasi pemerintahan, mengoreksi pekerjaan mereka hingga menuntut apa yang memang sudah menjadi hak kita. Hidup kita secara langsung ataupun tidak, akan dipengaruhi oleh apa yang mereka kerjakan. Sehingga wajar jika kita perlu mengerti politik, membahas kebijakan, mengkritik pemerintahan. Politik sejatinya adalah milik kita semua, termasuk para ibu, baik yang berkarir di luar rumah maupun di dalam rumah. 


Politik

Merujuk pada KBBI, definisi politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan; segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara. Sedangkan wikipedia merumuskan politik, yang merupakan serapan dari bahasa belanda, sebagai proses pembentukan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan keputusan khususnya dalam negara. Dari sini, bisa kita ringkas politik sebagai bagian dari jalannya pemerintahan, dimana sebagai warga negara kita termasuk pihak yang berkaitan dengan jalannya ketatanegaraan tersebut. Apalagi dalam sistem pemerintahan kita yang berlandaskan pada pilihan rakyat. Mereka yang menjalankan roda pemerintahan bukan dari keluarga tertentu saja, tapi dipilih langsung oleh mayoritas masyarakat.

Dengan jumlah pemilih lebih dari dua ratus juta orang di ribuan pulau yang tersebar di seluruh wilayah, Indonesia menjadi negara dengan pemungutan suara sehari terbanyak di dunia. Ini bisa menjadi kebanggaan sekaligus pengingat bahwa kelancaran pemilu perlu ditambahkan dengan banyak catatan. Mulai dari pengawalannya yang harus ketat dari hulu hingga ke hilir sampai pada pengesahan hasil akhir yang bisa diterima dengan damai. Bagaimana pemimpin yang awalnya 'hanya' dipilih oleh sebagian besar rakyat, tapi bisa diterima oleh seluruh rakyat. 

Sama seperti bentuk kehidupan bersama lainnya, setiap kelompok membutuhkan pemimpin dan mereka yang mau dipimpin. Bukan yang sempurna, bukan yang tiada cacatnya, tapi yang memiliki visi sejalan dengan yang kita inginkan. Mungkin tidak sama persis, tapi setidaknya mendekati. Maka wajar jika kemudian semakin santer terdengar, pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Karena kita-lah yang memilih mereka.  


Pentingnya Hubungan Politik dan Ibu

Pengetahuan diatas mungkin sudah sebagian besar kita pahami sejak lama. Bisa jadi dari pelajaran di sekolah dulu, bisa jadi dari pemberitaan diberbagai media, atau memang karena ada sebagian kecil kita yang memiliki ketertarikan dengan politik. Iya, sebagian kecil, karena berbagai sumber menyebutkan kurang dari 20% masyarakat berusia 40 tahun kebawah yang tertarik dengan isu politik. Litbang Kompas pada 2022 lalu menghitung sebanyak kurang dari sepuluh persen masyakarat usia 17-35 tahun yang mengikuti isu politik. 

Awalnya, saya termasuk dikelompok mayoritas, meski kini tidak merasa sudah ditempat yang mengikuti isu politik juga. Namun setidaknya, keingin tahuan saya tentang kebijakan dan ketatanegaraan sedikit meningkat dibanding waktu-waktu sebelumnya. Saat hanya membaca koran ketika ada kewajiban ujian. Tidak tahu nama pejabat pemerintahan selain pemimpinnya, dan tidak benar-benar paham apa tugas para wakil rakyat itu. Sebagian besar alasan saya karena pemberitaan negatif yang terus hadir, mengikis rasa percaya bahwa mereka benar-benar bekerja mewakili aspirasi mastakarat kebanyakan. Apapun alasannya, keapatisan tersebut tidak bisa dibenarkan.

Setelah menjadi ibu, baru saya paham, bahwa bagaimana negara ini kedepan akan berpengaruh pada apa yang akan dihadang anak-anak saya ini kelak. Ketika memiliki tanggung jawab pada hidup anak-anak, saya tahu aspek-aspek penting, yang seharusnya negara bisa hadir di sana, tapi ternyata tidak benar-benar ada.


Kebutuhan Dasar Hidup

Bisa disebut ini yang paling menyedihkan, bahwa teryata negara tidak bisa benar-benar memberi hak kebutuhan dasar kita, berupa udara dan air yang layak. Udara yang berkualitas baik, air yang layak dikonsumsi. Mungkin kita sudah lupa kapan terakhir kali mengonsumsi air tanpa harus membayarnya. Saking sudah terbiasanya membayar sendiri air untuk minum, kita jadi menganggap itu hal yang wajar saja. Bahkan di kota tertentu, air saja begitu sulit diperoleh. Sebagian lagi, harus mengolahnya dengan mandiri, agar air bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Begitu juga dengan udara. Langit yang cerah, udara yang layak dihirup bebas, yang tidak dipenuhi polusi.

Belum lagi bahan makanan. Urusan yang sudah kita serahkan pada mereka dengan kapasitasnya, ternyata juga perlu diawasi. Ingat kasus obat batuk anak yang mengakibatkan gagal ginjal akut? Atau pada perkara jajanan yang meningkatkan resiko berbagai penyakit pada anak salah satunya obesitas? Kita memang bisa mengupayakan secara mandiri, mencari informasi lebih giat, mendapatkan uang lebih banyak, tapi tidak setiap kita punya keleluasan untuk hal tersebut, apalagi sebenarnya urusan ini sudah kita serahkan pada mereka yang katanya mau mengabdi pada rakyat itu. 

 

Kualitas Hidup Ibu dan Anak

Saya juga baru tahu, bahwa pembentukan kehidupan seseorang sudah dimulai jauh sebelum ia bisa memutuskan sendiri apa yang ia kehendaki. Perkembangan otak anak telah selesai sebanyak 80% saat masih dalam kandungan. Untuk itu, harus dimulai dari gizi ibu hamil bahkan jauh sebelumnya saat orang tua masih menjadi calon pengantin. Pasangan yang sehat, tidak memiliki penyakit bawaan yang beresiko diturunkan pada naka, dan yang memiliki status gizi baik. Dari mana seluruh informasi itu bisa diakses oleh seluruh lapisn masyarakat, kalau bukan dari pemerintah? Bagaimana masyakarat bisa menjangkau jenis makanan yang lebih sehat jika yang disodorkan setiap saat adalah makanan kemasan dan minuman berlabel susu?

Kita semua tahu, membesarkan anak bukan pekerjaan yang mudah. It takes a village to raise a kid. Jika saja, dalam kesulitan itu, ada fasilitas yang bisa meringankan beban para orang tua, mungkin kita bisa lebih tenang dan fokus mendidik anak. Hari-hari pertama mereka yang bisa diasuh oleh tenaga kesehatan mumpuni, fasilitas kesehatan yang terjangkau tanpa perlu kita khawatirkan biayanya, tempat penitian anak yang terjamin dan mudah diakses siapa saja, hingga pendidikan yang berkualitas tanpa harus berpindah kota. Tampaknya perjalanan negeri kita untuk bisa menyediakan semua itu memang masih panjang dan butuh banyak perjuangan. 


Lingkungan Hidup Anak 

No future without nature. Berpegng dari kalimat itulah saya mulai memikirkan bumi, memikirkan masa depan dengan bertanya, kira-kira bagaimana anak-anak saya akan bisa tetap hidup jika bumi akan terus memanas seperti ini? Apa yang akan mereka makan, dimana mereka akan tinggal, penyakit apa lagi yang akan mereka hadapi, alat apa lagi yang perlu mereka upayakan sendiri. Mungkin saat ini kita bisa bergerak sendiri-sendiri, memilah sampah dari rumah hingga menghemat energi, tapi coba bayangkan penggunaan energi fosil ditekan, pemerintah menggalakkan penggunaan panel surya, semua bank sampah bergerak aktif lengkap dengan instruksi pilah sampah dan anjuran membawa wadah sendiri. Mulai dari kantor pemerintahan dari pusat hingga ke daerah. Sayang hingga kini, tidak tampak keseriusan dalam menangani isu ini. 

Lingkungan anak ini bukan hanya tentang kondisi alam yang menaungi kita, tapi juga semua hal yang mengelilingi anak-anak. Bagaimana pendidikan mereka, seperti apa orang-orang yang ada di lingkungan tempat mereka berada, amankah mereka saat tidak berada dalam radius penglihatan kita, siapa yang bisa kita percaya untuk mengasah bakatnya, bagaimana dengan penyedia makanan mereka, vaksin apa yang harus mereka dapatkan, hingga pada nilai kesetaraan, keadilan, dan kebaikan yang ingin kita tanamkan. 


Baca Juga: Harapan Orang Tua pada Pendidikan, Kesehatan, hingga Kesejahteraan Sosial


Isu-isu diatas sangat dekat kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari, sedekat urusan dapur saat harga bawang, cabai, atau minyak naik. Ada kehidupan lain yang juga sedang kita perjuangkan, yaitu kehidupan anak-anak kita saat ini dan perjalanan panjang nanti. Jika kita memberi perhatian pada isu-isu tersebut, sebenarnya ini sudah menjadi urusan petugas kenegaraan, bersinggungan dengan politik. Siapa yang berinisiatif mewakili rakyat, apa tujuannya, isu apa yang ingin ia perjuangkan, siapa saja orang yang mendukungnya, siapa yang akan memimpin ratusan juta orang ini, kebijakan seperti apa yang akan semakin memungkinkan kita mendapatkan hak-hak kita sebagai warga negara. 

Tidak apa jika kita terlambat memulai, daripada terus menerus hanya mengeluh, menuntut, dan menyalahkan. Mulai dengan beberapa langkah sederhana ini:

  • Berhenti apatis. Segala konflik kepentingan yang disuguhkan para penguasa pada kita ini memang melelahkan. Belum lagi, media yang kadang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Wajar, jika kita merasa ingin menyerah, tapi tidak bisa dibenarkan jika kita benar-benar menyerah dan berhenti peduli. Bagaimanapun, kita bersama-sama tetap punya kuasa. Salah satunya ya menyadari bahwa satu suara kita berarti. Protes kita di dunia nyata ataupun dunia maya mendapat sorotan. Obrolan kita dengan kenalan juga bisa membuka banyak pikiran.
  • Banyak belajar. Tidak terbatas hanya pada siapa saja yang menjabat tapi lebih pada kebijakan apa yang sedang mereka garap. Apa yang menjadi perhatian didalam juga luar negeri, bagaimana kondisinya. Apa yang pernah terjadi, apa kemungkinan yang akan terjadi. Baca data, bukan video pendek. Lihat secara utuh, jangan sepotong saja. Dari sana kita bisa lebih mengerti, bahwa satu yang terjadi ternyata punya banyak lapisan faktor dibelakangnya.  
  • Berlatih untuk bersuara. Sebagai perempuan, sering kali suara kita kalah nyaring dengan laki-laki, bahkan sejak dari dalam rumah. Apalagi jika kita tidak punya peran tambahan yang didapat dari luar rumah, seolah apa yang kita pahami tidak cukup untuk kita bisa berpendapat. Tapi lakukan saja, karena semakin kita sering bersuara, semakin kita banyak mendengar serta membaca, semakin pikiran kita terbuka. 

Saya sendiri juga bisa dikatakan terlambat untuk mulai menaruh perhatian pada politik. Dari apatis, tidak percaya pada apapun yang ditampilkan media, hingg kini, beruntungnya, kita bisa memilih channel mana yang ingin kita percaya. Pilihan semakin banyak untuk kita mendapat informasi, tapi ini juga berarti kita harus lebih kritis dan berhati-hati, mana informasi yang perlu kita cerna dan mana yang tidak. Karena bagaimanapun juga, apa yang kita dengar dan lihat akan membentuk pikiran kita. Apa yang kita konsumsi, akan membentuk siapa kita. Jadi, coba pelan-pelan kita belajar bersama tentang kependudukan, ketatanegaraan, dan melangkah satu-satu dari titik apa saja yang bisa menjadi awal mula tindakan kita. 


Salam, Nasha

Belum lama ini, kita dikejutkan dengan berita anak usia lima tahun yang melakukan tindakan asusila pada teman sekolahnya. Pelaku dan korban yang sama-sama anak dibawah umur ini, sedikit banyak menunjukkan beban berat yang kita pikul dalam mendidik anak-anak kita dizaman sekarang. Semakin terang bahwa ada pelajaran yang tidak boleh terlewat bagi anak, yakni pendidikan seks (sex education) yang ternyata patut sudah kita mulai sejak anak masih bayi atau 0 tahun. Berikut penjelasan bagaimana mengajarkan seks pada anak khususnya dibawah enam tahun berdasarkan pada standar WHO dan UNESCO.



Apa itu Pendidikan Seks

Pendidikan seks atau lengkapnya pendidikan seksual adalah pengajaran dan pembelajaran mengenai topik yang berhubungan dengan kelamin (seks menurut kbbi berarti kelamin dan hal yang berhubungan dengan itu). Hanya 1/10-30 juta kelahiran bayi di dunia ini yang tidak disertai dengan alat kelamin. Melihat langkanya kasus tersebut terjadi, harusnya topik mengenai seks adalah pembicaraan yang umum kita lakukan. Karena hampir setiap tubuh kita dilengkapi dengan organ tersebut. Entah apa sebabnya, hingga kini topik seksual masih dianggap pembicaraan yang tabu, bahkan begitu sulit bagi kita menyebut organ kelamin sendiri dengan nama yang sebenarnya.

Urgensi mengajarkan pendidikan seks pada anak semakin meningkat seiring dengan kondisi zaman yang terus berubah. Globalisasi, mudahnya mobilisasi, pesatnya kemajuan teknologi membuat anak-anak saat ini lebih mudah terpapar hal-hal yang belum porsi mereka, dibandingkan degan masa saat kita masih anak-anak dulu. Berbagai perubahan seperti cepatnya penyebaran informasi, meningkatnya penggunaan internet serta telepon seluler, penyebaran penyakit kelamin, kasus kekerasan seksual, hingga perubahan perilaku seksual menuntut kita semua untuk meletakkan pendidikan seksual sebagai prioritas, khususnya bagi anak dan remaja. Menjadikan topik ini sebagai topik umum yang aman dibicarakan. 

Mungkin keenganan kita yang turun-temurun itu karena perspektif keliru topik seksual hanya sebatas aktivitas pasangan untuk memiliki keturunan. Padahal, jauh lebih luas daripada itu, pendidikan seksual dimulai dengan mengenal organ tubuh diri sendiri dengan benar, menjaganya dengan tepat, hingga nilai-nilai yang ditanamkan dan perilaku-perilaku yang mengiringi. Maka, tidak salah jika pendidikan tersebut dimulai sejak anak masih bayi. Pembahasan ini tidak tertutup hanya untuk orang tua, tapi untuk kita semua, yang pernah tumbuh dari anak-anak, yang juga akan berhadapan dengan anak-anak. 


Mengajarkan Sex pada Anak 

Merujuk pada dokumen yang dirilis WHO tentang pendidikan seksual, ada empat konsep yanng perlu kita pahami secara jelas, yakni:

  • sex yang didefinisikan sebagai karakter biologis yang menentukan kita female (perempuan) atau male (laki-laki)
  • sexuality merujuk pada konsep yang lebih luas yang alamiah mengikuti setiap fase kehidupan manusia, termasuk komponen fisik, psikologis, dan sosial
  • sexual health adalah kondisi fisik, emosional, juga kesejahteraan mental dan sosial yang berkaitan dengan seksualitas
  • sexual rights mencakup banyak hak terkait mulai dari mendapatkan informasi, fasilitas kesehatan, ragam pilihan, hingga kepuasan kehidupan sexual. 

Sejauh ini, konsep dari WHO sudah cukup luas mewakili apa yang perlu kita ketahui dan dapatkan dari pendidikan seksual. Hanya saja, praktiknya masih jauh dari kata memadai. Itu kenapa kita perlu bersikap terbuka, dan memulainya dengan benar. Pendidikan seksual yang diartikan sebagai pembelajaran aspek kognitif, emosional, sosial, interaktif, serta fisik dari seksualitas. Berikut saya coba bahas bagaimana mempraktikkan pendidikan seks pada anak, khususnya dibawah 6 tahun.


Anak Usia 0-3 Tahun

Pada usia ini, kita mulai dengan mengenalkan organ kelamin anak dengan sebutan yang benar. Iya, sebutan bukan perkara sekedar, karena ini menyangkut apa yang ada di pikiran. Jika menyebutnya saja kita enggan, bagaimana mungkin anak bisa leluasa menceritakan apa yang ia alami terhadap penis/ uretra juga vaginanya? 

Lalu, terangkan pada anak bahwa Tuhan menciptakan dua jenis manusia yaitu laki-laki dan perempuan dengan karakteristiknya masing-masing. Setara, sama baiknya. Penanaman nilai kesetaraan gender juga bisa dimulai dari sini, dengan kalimat-kalimat yang tidak membeda-bedakan. Biasakan anak untuk membedakan hanya dari apa yang Tuhan beri, tidak perlu ada embel-embel lain, seperti warna perempuan, aktivitas perempuan, dst. Dari sini, kita juga bisa menanamkan tentang penerimaan diri pada anak, menerima bagaimanapun bentuk tubuhnya, sejalan juga dengan menghargai perbedaan bentuk tubuh orang lain. lengkapi pengetahuan pengenalan ini dengan cara merawat tubuh, menjaga kebersihannya, membasuh sesuai adab dan najisnya. 

Jika anak sudah tahu bagian tubuhnya, ajarkan anak tentang batasan pada tubuhnya sendiri. Bagian mana yang boleh dilihat atau disentuh, dan mana yang tidak. Kita tanamkan mereka tentang rasa malu dengan pengetahuan tentang aurat. Dari awal, kita yang harus membiasakan untuk tidak sembarangan memandikan atau menggantikan pakaian anak didepan umum, apalagi bagian yang tertutup oleh pakaian dalam. Jangan pula biasakan anak untuk buang air sembarangan, dengan dalih masih anak-anak. rasa malu dan menjaga diri perlu ditanamkan sejak bayi.

Setelah itu, baru ajarkan anak tentang bagaimana cara menjaga batasan tersebut. WHO menyebutkan tiga langkah menolak apa yang dirasa tidak nyaman dengan berkata tidak, menjauh, dan melaporkan pada orang lain. Disinilah, pentingnya kita membangun hubungan yang erat dan komunikasi yang baik dengan anak, sehingga kita bisa menjadi safe place mereka untuk menceritakan apa saja. Sentuhan, pelukan, ciuman pada anak itu, meski merupakan ekspresi sayang, harus dilakukan atas izin anak. Biasakan menghargai batasan mereka, dengarkan apa yang mereka rasa, jangan sekali-kali menyepelekan ketidaknyamanan anak. 

Sub topik selanjutnya tentang perkembang biakan atau proses reproduksi manusia. Mungkin bagian ini yang paling menakutkan bagi kita, saat anak tiba-tiba bertanya, darimana aku berasal? Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah tetap tenang, lalu tanyakan kembali pendapat anak, ini untuk mengukur sejauh mana anak tahu. Bisa mulai kita jawab dengan, dari Tuhan yang memberi lewat rahim ibu, bagian yang hanya dimiliki perempuan dan ada didekat perut. Pada usia ini anak biasanya cukup puas dengan jawaban tersebut. Pengajaran nilai bisa dilanjutkan dengan penjelasan bahwa tidak semua keluarga memiliki anak, dan itu memang hak mutlak Tuhan.


Anak Usia 4-6 tahun

Selanjutnya, pengajaran tetap kita lanjutkan berdasarkan sub topik yang sudah kita kenalkan sebelumnya, hanya saja dengan contoh yang lebih sesuai dengan tahap perkembangan anak. Tentang citra positif pada apapun kelamin yang ia ataupun orang lain miliki, tentang proses reproduksi yang benar dan kehendak Tuhan pada masing-masing orang, tentang cara-cara mengekspresikan sayang yang membuat nyaman, hingga pada penerimaan rasa apapun yang timbul dalam diri anak. 

Untuk anak periode usia hingga tiga tahun, kita mengajarkan kesetaraan gender dengan salah satunya menghindari kalimat yang mengelompokkan warna berdasarkan gender, maka diusia ini kita bisa memperlakukan anak, laki-laki dan perempuan, dengan sama. Salah satu contoh yang mudah kita praktikkan adalah pada pekerjaan rumah tangga, memberi contoh bahwa ayah juga memasak, bahwa anak laki-laki juga menyapu. Pekerjaan rumah tangga adalah bentuk kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap orang tanpa terkecuali. Di periode ini, anak sudah bisa dikenalkan dengan peran dan tanggung jawabnya dalam keluarga. Partisipasi bagaimana yang diharapkan pada masing-masing anggota keluarga.

Bicara tentang keluarga, mungkin anak sudah bisa menyimak tentang bentuk hubungan keluarga tersebut. Biasanya, ia mulai memahami tentang suami, istri, anak. Dari logikanya, mungkin akan muncul pertanyaan kenapa ada pasangan yang tidak memiliki anak. Pertama, jangan panik. Ini bukan bentuk ketidaksopanan, hanya rasa penasaran. Maka, jawab saja dengan tenang, itu urusan Tuhan untuk menghadirkan anak dalam keluarga, apa kelaminnya, berapa jumlahnya, kapan waktunya. Biasanya, mereka akan cukup puas dengan penjelasan tersebut. 

Melanjutkan pengajaran tentang batasan pada usia sebelumnya, di periode ini biasanya sudah mulai tumbuh rasa malu pada diri anak. Pisahkan anak dengan saudaranya saat di kamar mandi, meskipun berjenis kelamin sama. Selalu handuki anak saat keluar dari kamar mandi, biasakan mereka untuk mengenakan pakaian di area tertutup, di kamar misalkan. Mulai ajarkan anak bagaimana cara membersihkan diri yang benar, sehingga mereka tidak melulu membutuhkan orang lain untuk membersihkan diri mereka. Terus sounding, area tubuh mana yang boleh diperlihatkan, mana yang tidak, siapa saja yang boleh melihat, siapa pula yang tidak boleh. Ini termasuk pada bagaimana anak menunjukkan ekspresi sayang, hormat, serta interaksi mereka dengan orang lain. Misalkan dengan keluarga dekat, bisa pelukan, atau ciuman di area kening, pipi, juga punggung tangan; dengan orang lain cukup dengan bersalaman dengan cium tangan. Meskipun awalnya, cium tangan ini dilakuakn dengan bibir atau hidung, tapi dengan berbagai pertimbangan, saya mengajarkan anak untuk menggunakan kening. 

Periode ini menjadi lebih menantang karena biasanya anak sudah bergaul dengan lebih banyak orang, sehingga ia mendapatkan informasi dari lebih banyak sumber. Kadang informasi itu sesuai dengan nilai yang inigin kita tanamkan, kadang juga tidak. Apalagi jika anak sudah berkenalan dengan gadget, mereka mendapatkan info yang lebih beragam lagi. Inilah pentingnya keterikatan kita pada anak, sehingga kita bisa tahu informasi apa saja yang anak dapatkan pada hari itu, dari siapa, apa yang anak pikirkan, sekaligus mengoreksi ketepatannya. Mungkin ada kalanya anak aakan mengonfirmasi perbedaan info yang mereka dapatkan diluar dengan yang mereka terima dari kita. Tetap tenang. Jangan sampai mencerca mereka dengan pertanyaa-pertanyaan panik. Tarik nafas, lalu tanyakan bagaimana pendapat anak, luruskan kembali dengan penjelasan sederhana sesuai dengan perkembangan pikiran mereka. 


Mengajarkan pendidikan seksual pada anak, sebenarnya hampir sama dengan topik-topik lainnya. Hanya satu hal yang membuat urusan ini lebih sulit, yakni pikiran kita sendiri yang tertutup. Wajar, mengingat kita tidak mendapat pengajaran yang serupa, namun kita perlu terus belajar dan tenang, sembar mengingat betapa urgensinya pendidikan ini sekarang. Betapa pentingnya kita menyiapkan anak-anak ini dengan bekal yang mumpuni agar mereka tetap bisa aman meski jauh dari jangkauan. Dalam dokumen WHO dan UNESCO tersebut, sebenarnya dijelaskan sampai anak remaja usia diatas 15 tahun hingga diatas 18 tahun, namun karena saya belum mempraktikkannya, jadi silahkan diunduh untuk dijadikan pedoman keluarga masing-masing. Dokumen tersebut bisa diperoleh secara gratis pada link yang tersedia dibawah ini. Ingat, sekarang ataupun nanti, anak pasti akan mempelajari topik seksual ini, pilihannya adalah anak dijarakan dengan nilai kebaikan sesuai yang kita yakini atau mendapat informasi abstrak dari sumber yang tidak jelas tanggung jawabnya, kita yang tentukan. Semoga bermanfaat!


Referensi:

https://www.bzga-whocc.de/fileadmin/user_upload/BZgA_Standards_English.pdf

https://cdn.who.int/media/docs/default-source/reproductive-health/sexual-health/international-technical-guidance-on-sexuality-education.pdf?sfvrsn=10113efc_29&download=true 

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Kenalan Dulu, yuk!

Hai, aku Nasha! Aku diberkahi dengan dua guru hebat dan akan seterusnya belajar. Sedang giat tentang gracefully adulting, mindfull parenting, dan sustainable living. Kadang review tontonan, buku, dan produk yang baik juga. Semoga berguna!
PS, untuk info kerja sama, bisa email aja ya! ;)

Follow @salamnasha

POPULAR POSTS

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Hubungi Aku di sini

Nama

Email *

Pesan *

Advertisement

Label

family REVIEW lifestyle rekomendasi BUMI lingkungan parenting kesehatan mental kesehatan netflix marriage adulting rekomendasi buku

Daftar Tulisan

  • ►  2025 (21)
    • ►  Mei 2025 (2)
    • ►  April 2025 (5)
    • ►  Maret 2025 (4)
    • ►  Februari 2025 (5)
    • ►  Januari 2025 (5)
  • ▼  2024 (41)
    • ►  Oktober 2024 (4)
    • ►  September 2024 (8)
    • ►  Agustus 2024 (5)
    • ►  Juli 2024 (5)
    • ►  Mei 2024 (5)
    • ►  April 2024 (3)
    • ►  Maret 2024 (5)
    • ▼  Februari 2024 (3)
      • Bagaimana Membicarakan Bullying pada Anak Usia Dini
      • Kenapa Ibu Perlu Mengerti Isu Politik dan Bagaiman...
      • Cara Mengajarkan Sex Education pada Anak dengan St...
    • ►  Januari 2024 (3)
  • ►  2023 (117)
    • ►  Desember 2023 (10)
    • ►  November 2023 (10)
    • ►  Oktober 2023 (10)
    • ►  September 2023 (10)
    • ►  Agustus 2023 (10)
    • ►  Juli 2023 (10)
    • ►  Juni 2023 (11)
    • ►  Mei 2023 (12)
    • ►  April 2023 (8)
    • ►  Maret 2023 (10)
    • ►  Februari 2023 (8)
    • ►  Januari 2023 (8)
  • ►  2022 (31)
    • ►  Desember 2022 (6)
    • ►  November 2022 (3)
    • ►  Oktober 2022 (4)
    • ►  September 2022 (3)
    • ►  Agustus 2022 (1)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (3)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (3)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Oktober 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (1)
    • ►  Juni 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (2)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (6)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (4)

BloggerHub Indonesia

Tulisanku Lainnya

Kompasiana Kumparan

Popular Posts

  • Review Popok Perekat (Taped Diapers) Premium: Mamy Poko, Fitti, Sweety, Merries
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Trending Articles

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Copyright © SALAM, NASHA. Designed by OddThemes