• Anak & Keluarga
  • Kesehatan Mental
  • Perempuan & Pernikahan
  • Lingkungan
  • Review & Rekomendasi
Salam, Nasha

Jejak Perjalanan dan Catatan Pelajaran

Berbeda dengan dahulu, pernikahan kini bukanlah hal yang menjadi target utama, khususnya bagi perempuan. Isu yang terus bergaung seputar kehidupan dan pernikahan membuat kekhawatiran kian bertambah, hingga semakin banyak pertimbangan yang dimiliki sebelum memutuskan untuk menikah. Apalagi, budaya patriarki yang masih melekat erat di Indonesia membuat perempuan semakin enggan terlibat dalam urusan rumah tangga.  Seperti isu lain, fenomena ini juga mengundang pro kontra yang menarik untuk kita bahas. 


Tentang Waithood

Waithood pertama kali disebut dalam jurnal yang ditulis oleh Diane Singerman pada tahun 2007 silam yang menyoroti soal penundaan pernikahan pada pemuda di wilayah Timur Tengah. Keyakinan dan kebudayaan yang berkembang disana sebenarnya berpengaruh besar dalam keputusan seorang pemuda untuk menikah pada usia tertentu. Namun, dekade belakangan alasan itu seperti tidak lagi berlaku. Jika dilihat datanya, yang mendorong terjadinya penelitian ini, angka mortalitas yang terus menurun sedangkan angka harapan hidup cenderung meningkat. Dalam pernikahan yang terjadi, umur pengantin cenderung lebih tua dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Belakangan, pemuda disana umumnya menikah pada akhir 20an atau 30an. Beberapa alasan yang ia kemukakan antara lain karena transisi demografis, meningkatnya partisipasi perempuan dalam pendidikan dan sebagai tenaga kerja, pergeseran norma gender, globalisasi, hingga finansial. 

Bisa dikatakan bahwa apa yang terjadi di wilayah Timur Tengah itu tidak khusus terjadi di sana. Fenomena itu sudah meluas dan ada diberbagai negara. Bahkan disebut pula sebagai sebuah tren global yang terjadi pada abad 21. Salah satunya dari jurnal yang diterbitkan Yale pada 2020 lalu yang meneliti secara lebih luas bukan hanya di wilayah Timur Tengah namun juga di Afrika, Asia, Eropa, juga Amerika. Dalam kesimpulannya, diterangkan bahwa fenomena waithood ini, baik dilakukan secara sengaja ataupun tidak, akan mendorong pada pergerseran peran gender dan keluarga.   

Di Indonesia sendiri, istilah waithood baru populer belakangan meskipun fenomenanya sudah terjadi ditahun-tahun sebelumnya. Mulai banyak para pemerhati dan ahli yang membahas fenomena ini dari berbagai perspektif yang mereka kuasai. Dalam masyarakat sendiri, ada perbedaan pandangan mengenai pernikahan pada pemuda. Ada yang menganggap bahwa pernikahan dibutuhkan untuk meningkatkan strata sosialnya, sedangkan sebagian lagi menganggap bahwa ia perlu untuk meningkatkan kualitas hidup dahulu sebelum memutuskan untuk menikah. Belakangan, pendapat kelompok kedua inilah yang mayoritas dimiliki oleh pemuda-pemudi di Indonesia, sesuai dengan data BPS yang menyimpulkan pergerseran usia menikah dan penurunan jumlah anak yang dimiliki tiap pasangan menikah. 


Waithood pada Perempuan Indonesia

Paradigma tentang pernikahan yang semakin bergeser ini tidak terlepas dari pandangan bahwa menikah adalah penambahan peran baru yang bisa mempengaruhi kualitas hidup seseorang didalamnya. Semakin padatnya manusia di bumi seiring dengan tingkat persaingan yang juga meningkat, membuat kekhawatiran akan hidup dimasa datang juga semakin tinggi. Ada banyak aspek lain yang diprioritaskan selain pernikahan dan tanggung jawab akan orang lain.

Generasi saat ini memikirkan tentang pendidikan dan karir, yang dianggap sebagai pintu untuk membuka gerbang kehidupan yang lebih baik. Sehingga mereka lebih mengutamakan mengenyam pendidikan lebih tinggi dan memiliki karir yang stabil sebelum mempertimbangkan untuk menikah. Lalu, tidak sedikit mereka merupakan sandwich generation yang tidak hanya memikirkan biaya untuk menghidupi diri sendiri namun juga keluarga seperti orang tua dan saudara. Ini membuat mereka lebih berat untuk membangun keluarga sendiri. 

Dalam kacamata perempuan sendiri, angka perceraian dan kdrt yang juga meningkat, disinyalir sebagai faktor yang mendorong waithood ini. Penggugat pada kasus perceraian sebagain besar adalah perempuan. Pada kasus kdrt, mayoritas korban juga adalah perempuan. Ketidak puasan perempuan pada pernikahan hingga trauma sebagai korban kdrt tentu memberatkan langkah perempuan untuk menikah. Apalagi di zaman saat berita mudah didapat, informasi tersebar dengan luasnya, menambah banyak beban yang ditanggung pikiran perempuan pada umumnya. Wajar jika pernikahan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan bahkan menakutkan. 


Pandangan dari Berbagai Perspektif

Jika dilihat dari konstruksi sosial, waithood juga bisa disebabkan oleh perkmebangan perempuan menjadi sosok yang lebih mandiri, percaya diri, juga lebih erat memegang nilai yang diyakini. Sehingga mencari pasangan juga yang bisa sesuai dengan dirinya tersebut.  Perubahan sosial juga besar dipengaruhi oleh pesatnya media sosial, yang memungkinkan setiap kita mengakses informasi dari belahan dunia manapun, membuat kita mudah membandingkan kehidupan di luar sana, meski kadang tidak umum di negara kita. 

Maraknya gerakan feminisme juga dianggap turut mempengaruhi fenomena waithood ini. Sebelumnya, budaya patriarki membatasi usia pernikahan ideal perempuan dengan alasan kesehatan reproduksi, namun alasan lain juga karena menganggap bahwa wanita berdaya dari rumah saja mengurus keluarga. Sehingga, gerakan feminisme yang mendorong perempuan untuk berdaya secara mandiri akan membuat perempuan memantapkan terlebih dahulu pijakannya sendiri sebelum nanti menikah. 

Isu kesehatan mental yang semakin santer dibicarakan juga menambah pertimbangan seorang perempuan sebelum menikah. Istilah, selesai dulu dengan diri sendiri, menjadi populer agar seseorang tidak membawa luka masa lalunya dalam pernikahan. Sebagian menunda pernikahan karena masih menganggap bahwa ia belum siap untuk berbagi luka dengan orang lain, belum mampu untuk menghadapi ketidak dewasaan seseorang, tidak punya energi jika harus menunggu pasangan stabil secara emosional. Maka untuk menghindari drama-drama yang menguras tenaga, lebih baik menunda menikah saja.  

Ada juga urusan pengasuhan yang diilai lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya. Tantangan generasi mendatang yang semakin berkali lipat, kesadaran akan pentingnya menjadi orang tua yang siap, dan kehidupan yang semakin sibuk membuat orang berpikir ulang untuk menikah dan memiliki anak. Belum lagi jika ditambah dengan kerisauan soal biaya yang semakin menjadi-jadi. Bahkan alasan lingkungan juga pernah dikemukakan.

Jika semua alasan itu dikumpulkan dan kita mau melihat secara lebih luas, bukan hal yang ganjil jika waithood ini menjadi fenomena. Apa yang terjadi saat ini jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Hidup, entah bagaimana, menjadi semakin kompleks. Pernikahan yang dulu hanya terjadi antara suami istri dan keluarga yang kenal baik kini terjadi dengan lebih banyak pertimbangan, lebih banyak pertanyaan, lebih banyak kekhawatiran. Setelah melihat alasan-alasan yang mungkin menjadi penyebabnya, setidaknya kita bisa lebih memahami apa yang terjadi belakangan ini. Tidak bisa kita menghakimi ini fenomena yang baik atau buruk. Karena setiap ornag memiliki kondisi dan pendapat yang berbeda-beda.

Sebagai perempuan yang sudah menikah, saya juga sering ditanya oleh teman tentang keputusan menikah dahulu, dimana saya tidak bisa menjawab banyak selain dengan kata takdir. Karena pikiran saya dulu saat memutuskan menikah dengan saat ini, sudah jauh berbeda. Beberapa tahun lalu, saya tidak memiliki banyak pertimbangan, berpikir dengan pola sederhana, dan banyak mengandalkan intuisi. Sebaliknya sekarang, saya melihat lebih banyak hal, tahu lebih banyak, pikiran menanggung banyak bayangan negatif. Mungkin benar bahwa seiring dengan bertambahnya usia, kita menjadi semakin mudah khawatir sedangkan hal yang dipikirkan juga bertambah banyak. 

Maka apa yang bisa saya sampaikan dari fenomena ini adalah bahwa pernikahan memang harusnya didasari dengan banyak pertimbangan. Tanpa dengan sengaja menunda-nunda, namun perlu kesiapan diri sendiri dan dilakukan bersama pasangan yang serupa, yang memiliki visi yang sama. Sebab, pernikahan sejatinya adalah pekerjaan yang paling panjang, tidak ada usainya, maka pilihlah untuk bekerja sama dengan orang yang memudahkan, yang mampu membuat lebih nyaman, yang mau bersama-sama mencari jalan tengah. Tidak ada pernikahan yang mudah, hanya ada dua orang yang mau sama-sama berjuang.



Salam, Nasha

Sekali lagi, Korea membuktikan kelasnya dengan menghadirkan drama yang tidak hanya menghibur, tapi juga menyinggung kondisi sosial sekaligus memberi kita pelajaran. Seolah belum cukup dengan visual yang memanjakan mata, drama ini juga dilengkapi dengan bumbu komedi tanpa adegan yang terlalu 'ngilu' disaksikan. Delapan orang dalam delapan lantai yang dipertontokan selama delapan episode, The 8 Show hadir dalam genre psychology thriller, dark comedy dengan plot survival. Singkatnya, ini termasuk salah satu drama yang cukup memuaskan dan akan saya rekomendasikan.


Sinopsis

Hampir semua dengan unsur delapan, drama ini menceritakan tentang delapan orang yang bertahan hidup di suatu gedung berlantai delapan. Selama delapan episode kita dijadikan penonton yang menebak-nebak kemana arah cerita ini akan dibawa. Sedangkan para pemain, yang memang adalah orang-orang yang membutuhkan uang tersebut, akan dibayar per menitnya. Jadi uang mereka akan terus berambah seiring dengan banyaknya waktu yang mereka habiskan disana.

Konflik mulai terjadi ketika para pemain saling bertemu dan mengunjungi kamar masing-masing. Dari sanalah mereka mengetahui perbedaan kondisi kamar sesuai dengan lantai yang secara acak mereka pilih. Kamar lantai satu adalah yang paling kecil dengan upah yang paling rendah. Sebaliknya, kamar lantai delapan yang paling luas sekaligus upah yang paling tinggi. Perhitungan upahnya menggunakan teori fibonacci yang menjumlahkan dua lantai sebelumnya. 

Hal yang membuat cerita ini menarik adalah kepribadian dan tingkah para tokohnya. Lantai delapan yang suka menghamburkan uang, lantai tujuh yang paling pintar, lantai enam yang suka berkelahi, lantai lima yang paling tidak tegaan, lantai empat yang cerewet, lantai tiga yang paling biasa, lantai dua yang terlihat kasar namun baik hati, serta lantai satu disabled yang baik hati. Saya menggambarkan lantai tiga (Ryu Jun Yeol) sebagai yang paling biasa sesuai dengan bakat yang ia tunjukkan dan tidak adanya hal menonjol yang ia miliki. Tokoh lantai tiga ini seolah mewakilkan mayoritas orang, tanpa bakat istimewa, tidak ada sifat yang menonjol, namun kadang bisa diandalkan juga. 

Untuk mengumpulkan uang, mereka bekerja sama menambah waktu. Sejak awal tidak tahu apa-apa mengenai caranya, lalu menebak dengan berlari menaiki tangga, hingga tahu bahwa pertunjukan menariklah yang akan menambah waktu mereka. Seolah para penoton yang puas dengan apa yang mereka tunjukkan akan menambah waktu mereka. Konflik delapan orang dengan latar belakang yang berbeda ditambah dengan usaha mereka menambah waktu sekaligus mengumpulkan uang yang dilengkapi dengan bumbu komedi membuat drama ini sangat layak disaksikan.

Sedangkan saya merasa paling attached dengan drama ini karena penokohan dan lokasi lantai yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat kita. Mereka yang dilantai atas, memiliki lebih banyak uang, lebih berkuasa, meskipun yang rajin bekerja adalah yang lantai bawah. Bahkan ada masanya mereka yang dilantai bawah saja yang bekerja, dan lantai atas hanya menikmati hasil yang jauh lebih banyak. Terasa tidak asing kan?


Pelajaran

Penokohan yang sesuai dengan lantai itu yang menjadikan drama in semakin layak disaksikan sekaligus membuat saya semakin sebal. Seperti tertampar kenyataan. Drama in menjadikan kita sebagai penonton yang haus pertunjukan, menantikan konflik, menunggu adegan dramatis. Dengan begitu kita akan terus menonton, dengan begitu waktu mereka akan ditambah seiring dengan upah mereka yang juga bertambah. 

Adanya jalur distribusi dari atas ke bawah juga menambah persoalan dalam kisah ini. Lantai delapan sebagai titik awal distribusi makanan bisa saja tiba-tiba menghentikan distribusi tersebut. Lantai selanjutnya juga bisa saja mengambil apa yang ada tanpa menyisakan apapun untuk lantai dibawahnya. Lantai satu hanya bisa menerima apa yang diberi oleh lantai diatasnya. 

Ini hampir sama dengan apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Ada hal-hal yang memang sudah digariskan, tidak peduli sekeras apapun kita berusaha mengubahnya. Ingat, bagian dimana kamar satu ingin mengganti kamar? Mereka yang diatas, paling berkuasa, memiliki paling banyak uang, meskipun tidak memiliki keistimewaan dan bekerja paling sedikit. Orang yang paling pintar (lantai tujuh) dan mereka yang paling kuat (lantai enam juga lantai dua) juga tidak bisa berkutik pada kekuasaan lantai delapan. Apalagi yang tidak memiliki apa-apa seperti lantai tiga. Namun ditengah itu, ada orang seperti lantai 4 yang bisa cepat berubah untuk ikut kemana ia akan merasa diuntungkan. 

Pada akhirnya, drama ini ditutup dengan cukup memuaskan, setidaknya bagi saya. Semua mendapat akhir yang cukup sesuai. Seperti lantai delapan yang tidak bisa menghargai apapun, baik itu uang atau kerja keras, yang berujung pada kejadian tidak menguntungkan. Lantai enam yang pulang dalam kondisi nahas. Lantai-lantai bawah yang berusaha tetap baik juga mendapatkan akhir yang sepadan. 

Mungkin apa yang bisa saya ingatkan pada diri sendiri adalah untuk tidak perlu membandingkan apa yang kita dapat dengan apa yang orang lain miliki. Karena memang begitulah garisnya, tidak peduli setidak adil apapun itu kelihatannya. Memang begitulah yang terjadi, dan kita hanya bisa memaksa diri untuk berpuas dengan apa yang kita miliki. 



Salam, Nasha

Ramai pembicaraan tentang BPJS belakangan, membuat saya ingin berbagi pengalaman tentang pengobatan yang saya lakukan menggunakan fasilitas BPJS beberapa waktu lalu. Mulai dari pemeriksaan di faskes awal hingga tindakannya di faskes lanjutan, sesuai dengan domisili saat ini yakni di Kota  Solo, dengan harapan pengalaman ini bisa menjadi informasi bagi yang ingin memanfaatkan BPJS juga.

Sejak mulai berlakunya BPJS Kesehatan sekitar sepuluh tahun yang lalu, ada banyak sekali cerita tentang layanan BPJS ini. Ada yang bersyukur karena tertolong dengan pengobatannya, ada juga yang mengeluh karena menganggap pelaksanaannya merepotkan atau pelayanannya tidak memuaskan. Memang, jika kita bandingkan dengan Askes dulu dimana pengobatan akan ditanggung di faskes manapun tanpa perlu alur tertentu, pelayanan BPJS yang memerlukan rujukan bertingkat tentu dirasa merepotkan. Namun, dengan meluasnya manfaat untuk tidak hanya bagi PNS tapi bisa seluruh warga Indonesia, hal ini bisa kita anggap sebagai kemajuan. 

Kasus yang banyak terdengar, mulai dari pelayanan yang tidak merata, fasilitas ala kadarnya, ataupun penanganan nakes yang tidak sesuai harapan; sebagian justru terjadi karena salah paham antara pihak-pihak terlibat. Ada yang tidak benar-benar memahami alur ketentuan yang telah ditetapkan BPJS lalu menyalahkan nakes yang bertugas. Ada nakes yang kurang komunikatif menjelaskan, lalu BPJS yang disalahkan. Meskipun tidak bisa diabaikan, masih ada pengelolaan yang kurang memadai dari lembaga BPJS itu sendiri. 

Saya sendiri pengguna Askes yang didapat sebagai fasilitas orang tua yang merupakan PNS. Tidak terlalu paham mengenai pembiayaan pengobatan dulu, tapi memang bia ditanggung Askes, khususnya yang rawat inap di rumah sakit. Sekarang, terdaftar juga sebagai peserta BPJS mengikuti suami, dan bisa mendapat manfaat juga dengan mengurusnya sesuai ketentuan berlaku.


Pengalaman Fasilitas BPJS

Sebelum menceritakan pengalaman saya menggunakan layanan BPJS di Solo, saya sudah pernah menggunakan sebelumnya untuk melahirkan. Tanpa direncakan sebelumnya, karena saya ingin melahirkan di RS sedangkan kondisi kehamilan normal, saya pun sudah pasrah jika harus membayar mandiri biaya persalinan. Lalu, hari ketika kontraksi muncul dan saya memutuskan ke rumah sakit, kondisi kehamilan dikategorikan darurat sehingga tindakan lahiran tersebut bisa ditanggung oleh BPJS. Memiliki pengalaman yang cukup positif dengan pelayanan BPJS begitu, membuat saya optimis menggunakan BPJS kembali untuk pembiayaan pengobatan saya berikutnya. 

Ketika melakukan pemeriksaan rutin secara mandiri sekitar tahun lalu, ada hal tidak normal yang saya ketahui, dan menurut dokter yang bersangkutan diperlukan tindakan medis untuk menanganinya. Dengan biaya yang tidak sedikit, tentu saya berpikir untuk memanfaatkan layanan BPJS. Berikut langkah-langkah yang saya lakukan:


  • Men-download aplikasi Mobile JKN

Diluar dugaan, ternyata apps ini cukup lengkap dan membantu. Kita bisa mengambil antrean melalui apps dan status pengobatan kita pun terlihat jelas disana. Selain itu, data anggota keluarga juga ada lengkap, serta juga bisa melakukan perubahan data dari aplikasi saja. Sangat membantu.

  • Mendaftar ke Faskes 1

Awalnya saya cukup skeptis apa benar nomor antrian bisa berjalan sesuai dengan aplikasi, ternyata benar. Saya datang ke Klinik Pratama Ananda, sesuai dengan data saya, pada jam perkiraan layanannya, lalu tidak perlu menunggu lama hingga saya masuk sesuai antrian yang saya dapat dari apps. Berbekal hasil lab dan surat rekam medis yang saya bawa, saya langsung mendapat rujukan ke Rumah Sakit tipe C. 

  • Mendatangi Faskes 2
Fasilitas Kesehatan 2 yang dimaksud disini adalah Rumah Sakit Tipe C yang ada di Solo, diantaranya adalah RS Panti Waluyi, RS Mata Solo, RS Kustati, RS Slamet Riyadi (DKT), RS Triharsi, RS Hermina, RS Braya Minulya, RS Kota Surakarta, RSUP Kota Surakarta, RS Bung Karno, RS Pku Sampangan. Saat itu, dokter yang bertugas meminta saya untuk memilih RS mana yang saya inginkan, bahkan diberi waktu dulu untuk mengobservasi.

Setelah memilih RS Hermina, mendaftar ke dokter spesialis yang ada di sana secara online, dan keesokan harinya ikut antri dengan pasien-pasien lainnya, saya akhirnya dirujuk lagi dengan alasan rumah sakit tersebut tidak menyediakan alat yang dibutuhkan untuk tindakan pada kondisi saya. Saya pun menyetujui, karena qadarullah, dokter pertama saya adalah dokter yang bertugas di RS Tipe B. Maka saya pun meminta RS tersebut sebagai rujukan selanjutnya.

  • Berobat di Faskes 3

Di Solo, pilihan RS Tipe B adalah RS Kasih Ibu, RS dr. Oen, dan RS Pku Muhammadiyah. Sedangkan, RS Tipe A adalah RS Moewardi dan RS Soeharso. Sesuai dengan niat saya untuk berobat dengan dokter yang melakukan pemeriksaan saya pertama, saya pun mendaftar sebagai pasien BPJS di RS dr. Oen Kandang Sapi. Setelah konsultasi, pengurusan berkas, dan penyetujuan layanan dari BPJS, maka disepakatilah tanggal tindakan.

Proses tersebut berjalan lancar, saya dilayani dengan baik, ditempatkan di kamar sesuai dengan kelas saya, dan mendapat apa yang menjadi hak saya sebagai pasien. Setelahnya, saya diminta untuk melakukan kontrol pasca tindakan yang juga ditanggung BPJS sebanyak satu kali konsultasi.


Nah, demikian cerita pengalaman saya menggunakan layanan BPJS Kesehatan. Sejauh ini, saya cukup puas dengan pelayanan yang diberikan, meskipun harus sabar dengan alur rujukannya. Maka dari itu, saya berobat mandiri dahulu, jika ada yang perlu ditindak lanjuti barulah saya mengurus penggunaan BPJS. Saya percaya, bahwa ketentuan itu awalnya dibuat dengan maksud yang baik, seperti subsidi silang dari yang lebih mampu ke kurang mampu, juga pemanfaatan seluruh faskes bukan hanya RS terkenal saja. Memang menjadi PR juga bagi BPJS bagaimana pengelolannya agar layanan BPJS bisa optimal sampai ke masyarakat luas. 



Salam, Nasha


Kota Padang dikenal sebagai surganya kuliner, bukan hanya di kancah nasional tapi juga internasional. Rendangnya yang melegenda sering kali dinobatkan sebagai makanan nomor satu di dunia. Tapi, rendang bukanlah satu-satunya makanan sedap di Kota Padang. Ada masakan lain yang juga wajib dicoba. Dengan racikan bumbu yang khas dan sulit ditemukan di tempat lain, deretan kuliner berikut tidak akan saya lewatkan ketika mudik ke Kota Padang dan bisa jadi panduan untuk wisata kuliner kamu yang berlibur ke Padang!


  • Lontong Gulai

Selama tinggal di Jawa saya tidak lagi mengenal lontong gulai karena namanya adalah ketupat sayur. Ini masakan yang sama, karena di Padang, lontong yang dimaksud itu adalah ketupat, olahan beras yang dimasak menggunakan anyaman daun kelapa. Ada sebagia yang menyebutnya dengan katupek, tapi tidak jarang yang menyebutnya tetap lontong. Lontong gulai khas padang berisi ketupat, gulai sayuran (gulai cubadak/ nangka, gulai tauco, gulai paku/ pakis),  kerupuk merah muda, keripik balado, gorengan, juga telur bahkan mi goreng. 

Pilihan yang paling umum dan hampir pasti ada adalah gulai cubadak atau nangka muda. Biasanya disajikan dengan sedikit campuran kuah pical, semacam kuah kacang yang agak encer. Jangan lupa tambahkan bakwan atau yang paling nikmat adalah sala lauak, gorengan berbentuk bulat asal pariaman yang terbuat dari tepung beras, ikan teri, dan rempah-rempah lainnya. Sangat mudah menemukan penjual lontong gulai di Padang dengan rasa yang hampir sama enaknya, bahkan saya sulit menentukan mana yang paling recomended.


  • Soto Padang

Sebagai warga yang hanya paham masakan itu enak dan tidak, saya agak culture shock ketika orang Jawa makan soto dengan komentar "segar". Ternyata, karena soto yangs aya kenal dari Padang jauh berbeda dengan aneka soto di Jawa. Soto Padang sangat berbumbu, bahkan kuahnya berwarna cenderung gelap dibandingkan dengan soto di Jawa yang kuahnya cenderung bening. Di Padang, soto yang disajikan pada umumnya adalah soto daging sapi yang diiris tipis dan digoreng kering. Daging sapi tersebut, dipadukan dengan lasa (sohun), perkedel kentang, dan kerupuk merah. 

Ada beberapa restoran yang menjual soto padang, namun saya paling suka Soto Garuda. Dengan beberapa cabang yang tersebar di Kota Padang, soto ini mewakili rasa soto yang khas padang dengan rempah kuat dan rasanya yang nikmat. Jangan lupa nikmati bersama kerupuk jangek/ kerupuk kulit.


  • Sup Daging

Berbeda dengan soto yang berkuah gelap, sup biasanya memiliki kuah yang lebih bening meskipun tidak sebening soto atau sop seger yang ada di Jawa. Sup padang  berisi daging sapi yang dipotong kotak-kotak, kentang, wortel, juga daun seledri dan bawang goreng. Aneka rempah dipadukan untuk menghasilkan hidangan sup yang menggugah selera. 

Ada lebih banyak restoran yang menyajikan sup daripada soto, tapi yang cukup mewakili bagi saya adalah Sup Rajawali. Tempat makan yang disebut bopet ini sangat ramai dikunjungi sejak pagi hari, di jam bukanya pukul 06.00. Sama dengan soto, jangan tekejut dengan harga sup di Padang yang bisa melebihi harga nasi bungkusnya. Mungkin porsi dagingnya yang tidak pelit, bahan masakannya yang beraneka macam, juga prosesnya yang kompleks. 


  • Martabak Kubang

Juga dikenal sebagai martabak mesir, adalah makanan yang sekilas mirip dengan martabak telur. Tetapi jika dilihat lebih dekat, martabak kubang/ mesir lebih tebal dengan isian daging dan disaikan dengan kuah. Kubang  sendiri adalah nama daerah di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Sedangkan banyak sumber menyebut, bahwa penamaan martabak mesir karena awalnya makanan ini dikenalkan oleh orang Timur Tengah atau India, namun disebut warga setempat dengan orang Mesir, yang datang ke ranah minang. Makanan tersebut kemudian dimodifikasi dengan cita rasa lokal seperti yang kita kenal sekarang. 

Martabak ini terbuat dari adonan tepung yang biasanya sudah disiapkan berbentuk bulat-bulat, lalu akan disiapkan sedemikian rupa dengan adonan telur agar bisa diisi dengan potongan daging sapi berbumbu dan daun bawang. Setelah dibentuk menyerupai persegi panjang, martabak akan dipanggang di wajan bulat pipih. Disajikan hangat dengan kuah cuka dan potongan cabe, satu gigitan saja sudah bisa dibedakan dengan martabak telur yang kita kenal biasa. Restoran yang paling terkenal untuk sajian martabaknya adalah Bopet Kubang Hayuda dan Bopet Malabar. 


  • RM Padang

Tidak perlu sulit mencari, karena semua rumah makan akan menyediakan nasi padang. Sebenarnya apa yang membedakan nasi padang dengan nasi lauk lainnya adalah cita rasa dari lauk-lauknya itu sendiri. Gulai di Padang sangat kental dan kaya rasa. Tidak banyak pilihan sayuran. Biasanya ditambahkan dengan sambalado (cabe goreng) juga karupuak balado (kerupuk cabe). Di Rumah Makan Padang, lauk yang menjadi andalan bukanlah ayam goreng seperti rumah makan pada umumnya, namun adalah dendeng balado, rendang, gulai cancang, tunjang, juga ayam pop. Sayurannya tidak banyak variasi seperti di rumah makan Jawa, hanya gulai pucuak ubi (daun singkong), kubis, atau kacang panjang. 

Hampir semua rumah makan di Padang menawarkan rasa yang serupa, silahkan dipilih berdasar lauk yang direkomendasikan. Saya akan merekomendasikan RM Lamun Ombak untuk aneka lauk yang terjaga rasanya sejak pagi, lalu RM Simpang Raya untuk ayam pop, RM VII Koto Talago untuk gulai tunjang, RM Uni Devi atau Fuja untuk pilihan seafood, RM Mutiara Malam atau RM Singgalang untuk masakan malam hari.

  • Nasi Goreng

Tidak sulit menemukan nasi goreng yang lezat di Padang, tentu dengan bumbu yang cukup kuat juga. Cita rasanya dibangun dengan campuran bawang dan cabai keriting, bukan dengan cabai rawit dan kecap. Sehingga akan berwarna cenedrung merah bukan coklat, dan dominan rasa pedas asin bukan manis. Sebagian lagi juga menambahkan bumbu kari untuk memperkuat rasa rempahnya. Hampir semua nasi goreng di Padang menawarkan cita rasa demikian, jadi cari saja kedai nasi goreng yang rata-rata buka di sore hingga malam hari.

Namun, jika ingin benar-benar khas minang, siahkan coba nasi goreng patai atau nasi goreng yang dicampur dengan tambahan petai. Karena saya kurang suka petai, jadi hanya bisa merekomendasikan satu tempat makan yang paling terkenal yaitu Nasi Goreng Patai Thamrin. Lokasiny juga cukup strategis. Tidak jauh dari sana ada area pecinan yang juga menjual aneka nasi goreng. 

  • Menu Cemilan

Selain makanan 'berat' diatas, Padnag juga memiliki aneka masakan lain yang bisa disantap diantara waktu makan. Saya merekomendasikan olahan martabak manis (kadang juga disebut roti prata juga planta atau roti canai), lalu ada kerupuk kuah yang semakin sedap dinikmati di pinggir pantai, sala lauak yang juga banyak dijual di pinggir pantai. Tak lupa, ada minuman khas teh talua yang wajib dicoba, karena akan suli dijumpai di wilayah lain. Penikmat durian juga tidak boleh melewatkan es durian yang rasanya tentu berbeda dengan es durian yang ada di kota lain, karena durian dari Sumatera Barat ini wangi, manis, meskipun tidak terlalu besar. 


Nah, itu sediki rekomendasi makanan yang harus dicoba ketika berkunjung ke Kota Padang. Ada banyak makanan lain yang tidak kalah lezatnya, tapi terletak di luar Kota Padang, meskipun masih sama-sama di Sumatera Barat, seperti di Kabupaten Pariaman, Bukittinggi, juga Payakumbuh. Selamat mencoba!



Salam, Nasha

Beberapa hari terakhir, sepertinya media sosial kita cukup dihebohkan dengan berakhirnya Serial Korea berjudul Queen of Tears. Tayang setiap Sabtu Minggu di Netflix, drama ini berhasil menduduki peringkat teratas drama TvN dengan rating penutup hampir 25%. Angka itu menunjukkan banyaknya penikmat drakor yang menyaksikan drama ini. Ditambah dengan berbagai cuplikan dan pembicaraan setelahnya, membuat siapa yang belum menyaksikan seakan ketinggalan. Namun, tidak perlu risau, karena ada beberapa alasan yang menguatkan bahwa tidak apa tidak menyaksikan, tidak apa tidak mengikuti keseluruhan ceritanya.


Sejak munculnya pemberitaan tentang kerja sama antara Kim Soo Hyun dan Kim ji Won dalam satu serial drama ditahun lalu, saya sudah mencatat bahwa saya akan menonton drama mereka, tidak peduli ceritanya tentang apa. Kemudian, disebutkan pula bahwa genrenya adalah komedi romantis, salah satu genre favorit saya. Tentu semakin bersemangat menunggu tayangnya drama ini di Maret lalu.

Episode-episode awal berisi semacam perkenalan antara kedua tokoh utama, lengkap dengan latar belakang mereka masing-masing. Hong Hae In (Kim Ji Won) sebagai direktur utama pasaraya sekaligus keluarga pemilik sedangkan Baek Hyun Woo (Kim Soo Hyun) dari keluarga sederhana di pinggiran kota yang kemudian menjabat sebagai direktur hukum. Dengan alur maju mundur, kita paham bahwa kedua orang ini pernah begitu saling menyayangi hingga memutuskan menikah. Sayangnya, hubungan romantis itu tidak berlangsung lama karena beberapa tahun kemuudian hubungan mereka memburuk. Berbagai masalah pernikahan menghantui, komunikasi mereka memburuk, tidak ada lagi waktu dan tenaga yang disisihkan untuk satu sama lain, seolah kasih yang dulu bersemi sudah berguguran semua.

Ditengah perbedaan kondisi mereka yang semakin kentara dan istri yang semakin dingin, Hyun Woo berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri melalui perpisahan. Ia ingin keluar dari keluarga chaebol yang tidak cocok dengannya tersebut. Diam-diam Hyun Woo memantapkan hati dan menyiapkan berkas perceraian. Namun disaat yang bersamaan, Hae In memberitahunya bahwa usianya tidak lama lagi akibat penyakit langka yang ia derita. Dari sinilah, kisah cinta lama bersemi kembali antara pasangan ini dimulai. Dan disini jugalah, sulit untuk menemukan adegan romcom sesuai yang disebutkan pada genre drama ini. 

Saya sendiri tidak bisa menganggap lucu potongan adegan komedi apa yang ditampilkan karena tokoh utamanya saja sudah begitu memprihatinkan kondisinya. Hae In yang sejak awal digambarkan dingin tapi sebenarnya lembut hati ditimpa berbagai masalah. Ia anak sulung yang terlahir dari keluarga konglomerat yang dikepalai oleh sang kakek, jadi tipikal cerita serupa akan ada perebutan hak waris yang membuat ia bekerja sangat keras. Ditambah dengan ia dituduh sebagai penyebab meninggal kakaknya oleh ibu kandungnya sendiri. Ia tidak akrab dengan keluarganya sendiri. Sekarang ditambah dengan penyakit langka itu. Belum lagi tambahan tingkah para tokoh antagonis dari pihak luar yang terus menyusahkan. 

Adegan-adegan terus disajikan untuk membangun empati kita pada para tokoh terutama tokoh utama. Bagaimana Hae In yang terlihat sangat mandiri ternyata begitu kesepian dan butuh kasih sayang. Ia dipertemukan dengan Hyun Woo yang tumbuh dalam keluarga hangat, tumbuh sebagai pria yang percaya diri juga kompeten. Hampir setiap tokoh diceritakan dengan lukanya masing-masing yang bis amembuat kita tersentuh dan berempati dengan kisah mereka. Bahkan, Eun Song (Park Sung Hoon) yang menjadi dalang dari banyaknya masalah, diceritakan juga memiliki luka sendiri sehingga sebagian kita sulit untuk benar-benar membencinya. Keterikatan emosional yang dibangun, acting para pemain, juga visual yang memanjakan mata inilah yang membuat penonton terus melanjutkan ke episode-episode berikutnya.

Setelah menyelesaikan keenam belas episodenya, sebenarnya saya cukup lega saja dengan keseluruhan ceritanya, terlepas dari hal-hal dramatis dan konflik-konflik yang sebenarnya tidak perlu ada. Setidaknya, akhirnya memang sesuai dengan yang diinginkan penonton, happy ending. Buah kerja keras dari seluruh tim yang mengerjakan proyek drama ini menghasilkan rating yang sangat memuaskan. Mungkin apa yang ditawarkan sesuai dengan selera mayoritas pasar. Mungkin memang cerita fiksi dramatis begini yang diinginkan. Mungkin banyak dari kita yang ingin sejenak bisa lupa dengan masalah sendiri dengan menyaksikan masalah kompleks orang lain, dalam hal ini tokoh fiksi dilayar sana. Mungkin kita hanya penasaran dengan potongan selanjutnya karena terlanjur teraduk emosi dengan potongan adegan sebelumnya. Mungkin memang naik turun emosi itu yang kita cari. Mungkin memang subgenre makjang ini yang banyak diminati.

Dari drama ini saya tahu tentang subgenre drama makjang, dimana ceritanya akan penuh dengan plot twist yang dilengkapi dengan bumbu-bumbu dramatis. Tokoh protagonis akan ditampilkan memiliki sisi yang mengharukan, sebaliknya tokoh antagonis akan menjadi sangat kejam dan mengundang kebencian. Plot twist yang mengejutkan dan tidak masuk akal. Banyak adegan yang bisa mencengangkan, dan terus ditampilkan, bahkan dalam durasi yang cukup panjang, dalam serial ini per episodenya sekitar satu setengah jam. Padahal tanpa adegan tidak perlu, drama ini bisa diselesaikan saja menjadi 12 episode dengan durasi 1 jam per episode. 

Singkatnya, jika ingin menyaksikan apa yang menjadi perbincangan belakangan ya silahkan. Jika tidak, ya tidak apa karena tidak akan ketinggalan apa-apa juga. Ada bagian-bagian yang disajikan cukup rapi seperti karakter dari masing-masing tokoh serta perkembangan mereka. Mulai dari tokoh Hae In yang digambarkan dingin namun juga memiliki sisi lembut dan cute. Tokoh Soo Cheol (adik Hae In) yang tidak kompeten namun ternyata bersifat sangat kebapakan. Keluarga Hyun Woo khususnya sang ibu yang sangat bijaksana, serta ayah Hae In yang tidak ambisius sama sekali dengan karir menterengnya.  Ada pula adegan-adegan yang cukup mengena dihati, bahkan bisa membuat kita menitikkan air mata, dan masih saya kenang hingga sekarang. Ditambah dengan deretan soundtrack yang terus terngiang di telinga. 

Mungkin ini memang bukan jenis drama favorit saya, karena tidak bisa dikatakan menghibur, tidak bisa juga dikatakan mencerahkan dengan pelajaran-pelajaran kehidupan, juga tidak pula menambah pengalaman dengan merasakan apa yang dirasakan tokoh. Ceritanya terjahit dalam adegan-adegan yang kadang sulit diterima logika, dengan alur yang agak mengada-ada dan adegan yang terlalu dramatis. 

Jadi, ini cukup sekedar sebagai tontonan yang berpotensi membuat kita mengalami naik turun emosi. Sekian ulasan dari saya, yang tidak merasa rugi telah menyaksikannya namun sayangnya juga tidak akan merekomendasikannya.



Salam, Nasha

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Kenalan Dulu, yuk!

Hai, aku Nasha! Aku diberkahi dengan dua guru hebat dan akan seterusnya belajar. Sedang giat tentang gracefully adulting, mindfull parenting, dan sustainable living. Kadang review tontonan, buku, dan produk yang baik juga. Semoga berguna!
PS, untuk info kerja sama, bisa email aja ya! ;)

Follow @salamnasha

POPULAR POSTS

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Hubungi Aku di sini

Nama

Email *

Pesan *

Advertisement

Label

family REVIEW lifestyle rekomendasi BUMI lingkungan parenting kesehatan mental kesehatan netflix marriage adulting rekomendasi buku

Daftar Tulisan

  • ►  2025 (21)
    • ►  Mei 2025 (2)
    • ►  April 2025 (5)
    • ►  Maret 2025 (4)
    • ►  Februari 2025 (5)
    • ►  Januari 2025 (5)
  • ▼  2024 (41)
    • ►  Oktober 2024 (4)
    • ►  September 2024 (8)
    • ►  Agustus 2024 (5)
    • ►  Juli 2024 (5)
    • ▼  Mei 2024 (5)
      • Tentang Waithood, Fenomena Menunda Pernikahan, Dar...
      • Wajib Tonton! The 8 Show, Drama Permainan yang Men...
      • Pengalaman Pengobatan dengan BPJS di Solo
      • Rekomendasi Kuliner, Makanan Wajib Dicicip di Kota...
      • Ini Kenapa Tidak Apa Kamu Ketinggalan Queen of Tea...
    • ►  April 2024 (3)
    • ►  Maret 2024 (5)
    • ►  Februari 2024 (3)
    • ►  Januari 2024 (3)
  • ►  2023 (117)
    • ►  Desember 2023 (10)
    • ►  November 2023 (10)
    • ►  Oktober 2023 (10)
    • ►  September 2023 (10)
    • ►  Agustus 2023 (10)
    • ►  Juli 2023 (10)
    • ►  Juni 2023 (11)
    • ►  Mei 2023 (12)
    • ►  April 2023 (8)
    • ►  Maret 2023 (10)
    • ►  Februari 2023 (8)
    • ►  Januari 2023 (8)
  • ►  2022 (31)
    • ►  Desember 2022 (6)
    • ►  November 2022 (3)
    • ►  Oktober 2022 (4)
    • ►  September 2022 (3)
    • ►  Agustus 2022 (1)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (3)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (3)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Oktober 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (1)
    • ►  Juni 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (2)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (6)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (4)

BloggerHub Indonesia

Tulisanku Lainnya

Kompasiana Kumparan

Popular Posts

  • Review Popok Perekat (Taped Diapers) Premium: Mamy Poko, Fitti, Sweety, Merries
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Trending Articles

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Copyright © SALAM, NASHA. Designed by OddThemes