• Anak & Keluarga
  • Kesehatan Mental
  • Perempuan & Pernikahan
  • Lingkungan
  • Review & Rekomendasi
Salam, Nasha

Jejak Perjalanan dan Catatan Pelajaran

Jogja memang kota dengan sejuta pesona. Tujuan liburan dengan berbagai arena wisata. Memasuki akhir semester sekolah begini, pikiran sudah sampai pada rencana liburan. Apalagi, semakin banyak penginapan yang menawarkan berbagai promo untuk liburan. Semuanya terlihat menarik. Tapi sebelum memilih satu dari sekian banyak pilihan tersebut, perlu tahu dulu apa yang kita utamakan dalam memilih penginapan, seperti jenis, fasilitas, hingga anggarannya. Untuk keluarga juga ada tambahan pertimbangan sendiri, seperti luas kamar juga ketersediaan arena bermain anak.


Jogja sesungguhnya adalah kota yang cukup dekat dengan kami. Pernah liburan di sana, pernah tinggal di sana, dan dengan izin Allah akan kembali ke sana. Dengan segala daya tariknya, Jogja memang patut disebut sebagai kota yang istimewa. 

Dengan kentalnya budaya dan tradisi dalam kehidupan warganya, Jogja berhasil menarik minat pendatang, termasuk saya, untuk berlama-lama di sana. Meskipun perlu ada pengaturan yang lebih mumpuni tentang jalanan yang semakin padat, tapi Jogja dengan akarnya yang kuat dan kemajuannya yang juga pesat, membuat banyak orang berkunjung bahkan hingga menetap di sana.

Untuk keperluan liburan, khususnya liburan keluarga bersama anak-anak, ada banyak tempat wisata yang tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta, baik itu di Kota Jogja, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, hingga Kabupaten Kulon Progo dan Kab. Gunung Kidul. Ada ribuan hotel dengan berbagai jenis tersebar di sana. Tinggal kita sesuaikan dengan preferensi kita masing-masing. Biasanya kami memiliki beberapa pertimbangan dalam menentukan penginapan, seperti:

  • Jenis Penginapan. Biasanya, kami memilih hotel atau resort, tergantung kebutuhan. Karena kalau resort cenderung untuk liburan yang tidak kemana-mana alias staycation saja, sedangkan hotel biasanya tetap mengunjungi tempat wisata di sekitar. Bisa juga villa jika ingin staycation dengan keluarga besar.
  • Fasilitas. Utamanya adalah kolam renang, karena anak-anak tahunya memang nginap itu sekalian dengan berenang di sana. Selain itu juga, AC juga sudah seperti kewajiban dan hampir seluruh penginapan menyediakan. Biasanya turut serta free wifi dan TV. Lalu, juga ada pertimbangan tentang kebersihan hotel, bia
  • Lokasi. Pertimbangan yang disesuaikan dengan tujuan liburan, apakah ingin dekat tempat wisata atau berdiam diri saja di kamar. Kemudahan akses dengan pusat perbelanjaan atau kuliner, hingga tingkat kemacetan, bisa jadi bahan pertimbangan. 
  • Anggaran. Pada akhirnya memang ini yang membatasi keinginan. Kadang kalau memang ingin staycation, bolehlah cari penginapan dengan banyak fasilitas dan harganya lebih tinggi. Tapi kalau hanya untuk tempat singgah, lebih baik cari penginapan dengan fasilitas secukupnya, harga lebih terjangkau, dan lokasi strategis.
  • Kamar Luas. Belakangan ini menjadi prioritas kami karena liburan bersama dua anak yang sedang aktif-aktifnya. Empat orang dengan luas kamar tidak sampai 20m2 rasanya tidak bisa pilihan. Maka, setiap pilih penginapan kami cari yang luasnya cukup untuk anak-anak ini bisa bergerak.

Berdasarkan pertimbangan itulah, saya memilih tiga penginapan terbaik untuk keluarga dengan kamar yang luas berlokasi di Jogja, seperti bisa dilihat:

1. The Westlake Resort Jogja

Resort ini berlokasi di Ringroad Barat Bedog di Kec. Gamping Kab. Sleman. Tidak begitu jauh dari pusat kota, sekitar 9km menuju Malioboro. Jadi kalau mau staycation tapi tetap ada tujuan ke sana, tetap bisa ditempuh di hari yang sama.

Areanya sangat luas dengan shuttle car yang selalu hilir mudik siap mengantarkan tamu ke kamar masing-masing. Fasilitas yang menarik, selain kolam untuk anak dan dewasa, adalah kolam ikan yang berada ditengah-tengah area. Fasilitas tersebut memungkinkan kita, khususnya anak-anak, untuk menikmati waktu santai di balkon sembari memberi makan ikan. Bisa juga menaiki wahana perahu yang mengelilingi area tersebut. Benar-benar menjadi pengalaman menginap yang tidak terlupakan.

Untuk kamarnya, ada beberapa pilihan yang tersedia. Mulai dari muatan dua dewasa yakni deluxe room dengan luas kamar 32m2 lalu ada executive room dengan luas 38m2. Ada pula kamar untuk 3 orang dewasa yang berisi satu king bed dan satu twin bed, luasnya mencapai 52m2, ini bisa jadi pilihan untuk keluarga dengan anak yang tidak lagi balita. Diatasnya, ada pilihan suite dan presidential suite dengan jumlah sangat terbatas, luasnya lebih dari 100m2. Tips dalam memilih kamar disini adalah pilih yang lake view, karena itu jenis kamar dengan balkon yang langsung terhubung pada danau buatan berisi ikan-ikan ditengah area tersebut. Memang sedikit lebih mahal dibanding river view, tapi bisa terbayarkan dengan kepuasan yang didapat.

2. Grand Senyum Hotel Jogja

Ini hotel keluarga dengan lokasi yang sangat strategis, yakni hanya 100an meter dari Tugu Jogja. Bahkan dari kamarnya bisa melihat langsung Tugu Jogja tersebut. Jika biasanya hotel yang berlokasi strategis menawarkan pilihan kamar yang relatif kecil, Grand Senyum menyediakan kamar seluas 40m2 untuk Deluxe  Room dan 60m2 untuk tipe Executive Roomnya. Berbeda dengan hotel lain, twin bed yang disediakan juga besar yaitu 140x200. Bahkan untuk keluarga dengan anak bukan balita, kamar deluxe juga sudak cukup. 

Fasilitas yang ditawarkan sesuai dengan hotel bintang empat lainnya yaitu AC, wifi, TV, kulkas, juga hair dryer. Meski dengan tambahan meja rias, meja kerja, juga meja pantry di kamar, tidak membuat kamar ini sesak karena luasnya tersebut. Kamar mandinya juga luas. Kolam renang berada di lantai paling atas, sehingga kita juga bisa bersantai dengan pemandangan kota sekitar Tugu Jogja, sayang saja pagarnya terlalu tinggi. Area playground juga ada di rooftop meskipun tidak luas, sebatas pojok arena bermain anak. Namun dengan harga yang ditawarkan, rasanya cukup masuk akal. Makanan sarapan yang disajikan juga sangat beragam bahkan sebagian disediakan dalam kondisi hangat saat dipesan. Ditambah dengan pelayanannya yang ramah, hotel ini bisa jadi pilihan untuk menginap sekeluarga dengan lokasi di pusat kota.

3. Eastparck Hotel Jogja

Ini hotel bintang lima yang banyak direkomendasikan untuk keluarga berkat area bermain anaknya yang luas dan lengkap. Semua wahana merupakan bagian dari fasilitas yang bisa dinikmati oleh semua tamu. Lokasinya juga cukup dekat dengan pusat keramaian yakni di Jl. Adi Sucipto, Seturan, Depok, Yogyakarta atau sekitar 5km dari Keraton Yogya.

Kamar yang disediakan juga luas, mulai dari 40m2 untuk tipe Deluxe, 60m2 untuk Junior Suite, 80m2 untuk Executive Suite, dan 100m2 untuk Presidential Suite. Semuanya ditawarkan dengan balkon yang juga dilengkapi meja dan kursi. Layaknya hotel bintang lima, fasilitas kamar tentu sangat lengkap seperti sofa, AC, wifi, TV, kulkas, hair dryer, bahkan jubah mandi. Bedana untuk jenis suite, sudah dilengkapi dengan bathub dan sofa berlengan dan sandaran.

fasilitas bermain anak yang menjadi keistimewaan hotel ini adalah adanya kolam renang yang dilengkapi dengan superslider atau persotoan raksasa yang menambah sensa menyenangkan saat bermain air. Ada pula arena bermain air tambahan bagi anak-anak lengkap dengan tantangan masing-masing, serta arena berjalan yang luas dan asri. Bahkan jika hanya berjalan, sudah cukup untuk relaksasi. Area playgroundnya sangat luas, ada di dalam dan luar ruangan. Permainannya banyak. Beberapa arena juga disediakan khusus untuk yang menginap dengan paket staycation, seperti area bermain pasir, arena outbond dan adventure. Kalau menginap di sini dengan anak, rasanya tidak perlu bermain ke luar lagi, karena sudah disediakan lengkap di dalam hotelnya.


Salam, Nasha


Mungkin sudah akrab di telinga kita, kata-kata seperti sumbangan, amal, infak, sedekah, donasi, hingga wakaf ataupun hibah. Semuanya sama, tentang aktifitas berbagi yang kita lakukan. Intensitas kita berbagi ini, ternyata sudah diakui dunia dengan predikat sebagai negara paling dermawan selama enam tahun berturut sejak 2018. Penilaian yang dilakukan oleh Charities Aid Foundation itu memiliki beberapak indikator seperti pertolongan pada orang tak dikenal, donatur sumbangan, serta partisipasi dalam kegiatan sukarela. Meski tidak meraih skor tertinggi pada masing-masing kriteria, tapi rata-rata keseluruhan nilai yang tinggi membuat Indonesia menempati peringkat pertama dalam World Giving Index 2023 tersebut.


Negara Paling Dermawan

Beberapa waktu lalu, Charities Aid Foundation merilis data World Giving Index 2023 dengan menobatkan Indonesia pada peringkat pertama. Ini artinya Indonesia diakui sebagai negara paling dermawan di dunia, dengan skor indeks 68, enam poin lebih unggul dibanding Ukraina dengan 62 poin, dan delapan poin lebih unggul dibanding Kenya dengan 60 poin. Negara lainnya adalah Liberia, Amerika Serikat, Myanmar, Kuwait, Kanada, Nigeria, dan Selandia Baru. Tahun ini, Ukraina cukup mendapat sorotan karena berhasil naik dari peringkat sepuluh di tahun sebelumnya, dan meningkatkan skor terbanyak di tahun ini. Negara lain yang juga mendapat sorotan adalah Inggris, dengan skor cukup tinggi pada sumbangan uang, namun mendapat skor yang rendah pada bantuan untuk orang asing dan kerelawanan. 

Dalam penilaian tersebut, ada tiga indikator yang dinilai dengan raihan poin tinggi dari Indonesia. Pertama, ada memberikan sumbangan pada orang lain dengan 56 poin, berada dibawah Jamaika. Kedua, indikator menyumbangkan uang dengan perolehan tertinggi oleh Myanmar dan disusul Indonesia dengan 78 poin. Hingga terakhir adalah orang-orang yang menjadi sukarelawan, dengan persentase tertinggi adalah Liberia, baru Indonesia dengan 53 poin. Meskipun bukan peraih skor tertinggi di masing-masing kategori dibanding 144 negara lainnya, namun skor rata-rata yang didapatkan Indonesia mengungguli negara-negara lainnya.

Berkat kemurahan hati kita semua berbagi pada orang lain, setidaknya ada 4,2 miliar orang yang membantu orang yang tidak mereka kenal, bersedia menyumbangkan waktu ataupun uang untuk tujuan yang baik. Dari survey itu didapati, bahwa orang-orang yang mudah berbagi cenderung merupakan mereka yang memiliki keyakinan tinggi pada agamanya serta mereka yang menilai hidupnya sendiri secara positifatau yang puas terhadap hidup yang mereka jalani. Fakta lainnya adalah para imigran (atau bisa dibilang kelompok minoritas) didapati elbih mudah berbagi daripada warga pribumi khususnya di wilayah Eropa, Timur Tengah, juga Afrika Utara.

Meskipun di negeri kita sendiri, ada saja kejadian mencelakai filantropi di Indonesia, seperti kasus korupsi yang masih tinggi ataupun skandal penyelewengan dana ACT yang terjadi tahun lalu, ditambah dengan masa pasca pandemi dimana perekonomian kita baru saja pulih. Namun nyatanya, aksi kemanusiaan yang kita lakukan tetap masih membara. Mungkin ini sesuai dengan penutup dari pejabat CAF bahwa kemurahan hati adalah bawaan dari perilaku manusia dan yang mengikat kita secara global. 


Bagaimana Baiknya Peduli dan Berbagi 


Bisa dikatakan, bahwa ada dua faktor utama yang menggerakan kita dalam tindakan mudah berbagi ini. Pertama karena keyakinan agama yang masing-masing kita anut. Berderma dan berbuat baik pada orang lain merupakan ajaran ditiap agama. Bahkan, zakat menjadi penggerak paling kuat dalam kegiatan filantropi di Indonesia. Ajaran agama lain dan bentuk derma yang lain juga mengisyaratkan hal yang sama, untuk saling peduli dan ringan tangan membantu yang membutuhkan. 

Kedua, budaya gotong royong. Kentalnya rasa kolektivitas yang kita miliki sebagai bagian dari adat ketimuran dibanding individualis membuat kita mempedulikan kehidupan orang lain dan membantu mereka yang kesulitan. Salah satu buktinya adalah saat masa pandemi. Kesulitan yang kita alami dan kemerosotan ekonomi, nyatanya tidak menghalangi kita untuk berbagi. Malah pada tahun 2021 tersebut, tercatat sebagai tahun terbanyak untuk bantuan pada orang asing. Mereka yang terdampak pandemi pun tetap berbagi, hanya dalam jumlah dan bentuk yang berbeda dibanding masa normal. Kesulitan nampaknya telah meningkatkan rasa solidaritas kita sebagai satu kelompok manusia. 

Salah satu bentuk kebudayaan yang menarik dari peduli dan berbagi ini adalah tradisi rewang yang melekat pada masyarakat jawa. Rewang sendiri berarti membantu atau bisa juga merujuk pada orang yang membantu. Istilah rewang ini biasanya digunakan dalam keadaan membantu kerabat, biasanya tetangga, yang mengadakan hajatan atau acara besar. Mereka akan bersama-sama beberes rumah, memasak, dan menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan. Seluruh keluarga akan turut andil tanpa upah, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, juga muda-mudi di sekitar lokasi acara. Intinya, acara satu rumah tapi yang ikut 'repot' bisa satu kampung. 

Selama rewangan, mereka akan bekerja sama sembari bertukar cerita. Interaksi sosial ini juga merupakan ajang silaturahmi yang akan meningkatkan hubungan kekerabatan. Sehingga tidak heran, jika mereka sangat siap siaga dan ringan tangan membantu siapa saja. Ini sudah menjadi kebiasaan. Tindakan menolong dalam bentuk waktu dan tenaga seperti ini ternyata punya manfaat dan dampak yang lebih besar dari sekedar meringankan beban kenalan. Asalkan kita benar mengingat, tujuannya untuk membantu pekerjaan, bukan malah tambah merepotkan, atau malah membicarakan orang lain (yang mengubah pekerjaan manfaat menjadi mudharat).

Sayangnya, seiring dengan kemajuan peradaban, tradisi ini hanya bisa kita temui di perkampungan. Di kota, orang sudah menyerahkan pengerjaan perhelatan pada organisas profesional, atau jika tidak, cenderung hanya menyumbang uang. Bukan waktu dan tenaga seperti yang biasa dilakukan. Bagaimanapun, ini bisa dimaklumi, tapi juga baiknya tidak dihilangkan mengingat manfaatnya dalam menjalin silaturahmi dan membentuk sifat kita. Sesuaikan saja dengan keadaan masing-masing kita. 

Baik itu karena keyakinan agama ataupun tradisi yang sudah melekat, berbagi merupakan kebiasaan baik yang patut kita langgengkan. Saling membantu, bekerja sama, serta meringankan beban sesama manusia. Dari sini, ada beberapa hal yang bisa kita jadikan catatan dalam kebiasan berbagi sebagai bentuk kepedulian kita tersebut, antara lain:

  • Berbagi itu bukan hanya uang, tapi juga waktu dan tenaga. Malah, sekarang waktu dan tenaga itu yang biasanya lebih berharga, sehingga kita juga perlu mengapresiasi saat orang mau menysisihkan waktu dan tenaganya untuk kita.
  • Berbagi semakin mudah dilakukan dengan digitalisasi, bisa jadi opsi untuk orang dengan tingkat mobilisasi tinggi. Meskipun seringnya mengurangi perasaan puas karena tidak terlibat langsung dalam membantu orang lain
  • Sumbangan juga perlu didata, apalagi dalam bentuk bantuan produktif yang tujuannya jangka panjang, sehingga lembaga-lembaga amal perlu juga didukung.
  • Karena bantuan bukan hanya uang, tapi juga bentuk kerelawanan, kita juga perlu menuntut pemerintah untuk memberi perlindungan dan regulasi yang jelas pada para relawan.
  • Dalam ajaran Islam, semua bisa jadi sedekah asal niat tulus karena Allah. Senyum adalah bentuk sedekah. Memberi hadiah pada keluarga yang mampu juga adalah bentuk sedekah. 
  • Sedekah memiliki banyak fungsi, seperti untuk membantu, untuk meringankan beban, untuk berbagi kebahagiaan, juga sebagai penyambung silaturahmi.
  • Sedekah juga ada batasan yang baiknya kita ingat, agar memberi yang sesuai dengan kebutuhan penerimanya agar tidak mubazir. Begitu juga sebaliknya, jangan menerima jika dirasa tidak akan berguna, serta normalkan penolakan, dengan cara-cara yang baik.


Mudah-mudahan dengan berbagi bisa membuat kita semakin menyadari ada banyak hal yang bisa kita beri. Ada lebih banyak hal lagi yang kita miliki. Dengan semangat berbagi, semoga menjadi latihan untuk kita untuk bisa ikhlas (baik memberi ataupun menerima) dan selalu bersyukur. 



Salam, Nasha

Pernah tidak bertanya-tanya kenapa canggung sekali rasanya bilang aku mencintaimu, padahal maknanya sama dengan i love you? Untuk kita yang bahasa sehari-harinya adalah Bahasa Indonesia atau bahasa daerah, harusnya bilang cinta atau sayang adalah hal yang mudah ketimbang berbahasa asing, love. Tapi kenyataannya, kita memilih menyampaikan dengan I Love You, kadang juga disingkat dengan ILY. Bagi sebagaian orang, itupun juga sudah cukup asing. Mengungkapkan sayang atau perasaan masih menggelikan bagi sebagian kita yang dibesarkan dalam Kebudayaan Asia atau dikenal Asian Parent.

Kecenderungan Asian Parent

Istilah Asian Parent sebenarnya lebih sering disebut oleh Orang 'Barat,' mereka yang tinggal dalam kebudayaan Amerika serta Eropa. Ungkapan itu mengacu pada pola asuh masyarakat Asia, dibelahan bumi bagian timur mencakup Asia Timur, Asia Selatan, juga Asia Tenggara, yang jauh berbeda dan kadang sulit dimengerti oleh orang barat. Salah satunya adalah ketidak biasaan kita untuk mengungkapkan kasih sayang. Bahkan tidak sedikit anak yang hingga dewasa belum pernah mendengar ibu apalagi ayah mengucapkan sayang pada mereka. Ini bukan berarti orang tua Asia tiak menyayangi anaknya, namun cara mengungkapkannya yang memang berbeda.

Anak-anak Asia dididik dengan cara yang sama selama bergenerasi. Mulai dari kondisi yang cukup terbatas. Peradaban kita yang dimulai belakangan membuat kita harus berlari mengejar ketertinggalan. Salah satu pendapat menyebutkan muasal dari pola ini adalah masyarakat Cina Kuno yang memegang teguh prinsip kerja keras, bertahan dalam kesukaran, serta menempuh pendidikan untuk memperbaiki hidup. Dari sinilah, para orang tua menekan anaknya harus rajin, belajar dengan keras agar bisa unggul dalam akademik, dan memiliki disiplin diri yang tinggi. Mendidik dengan keras dianggap sebagai cara yang harus ditempuh agar anak bisa tumbuh sukses dan memiliki hidup yang lebih baik. Karena yang dikejar adalah keunggulan, maka tidak heran bahwa pola asuh asia juga tentang kompetisi menjadi yang terbaik, mengejar kesempurnaan, dan berakibat pada orang tua yang tidak pernah puas pada prestasi anak.  

Dari pola asuh demikian, lahirlah istilah tiger mom, mengacu pada ibu-ibu asia yang umumnya mengasuh dan mendidik anaknya dengan tegas, kontrol penuh pada orang tua, dan berkuasa atas hidup anak, dengan dalil anak harus patuh.  Orang tua seperti ini membahasakan cinta dengan merencakan serinci mungkun hidup anak, menuntut anak agar berprestasi, dan menjadi yang paling tahu yang terbaik untuk anak. Jika mundur, dan melihat lebih luas, hal ini bisa jadi disebabkan oleh orang tua sendiri yang sudah tertekan dengan standar sosial kesuksesan dari lingkungan. Akhirnya orang tua juga menekan anak, melakukan segala upaya agar anak bisa memenuhi tuntutan, yang tidak tahu memang sesuai dengan anak atau tidak. Paling penting, anak terlihat berprestasi, lebih unggul, bisa dibanggakan. Apa yang ada di kepala orang tua akan berputar di indikator kesuksesan itu, sehingga seringkali komunikasi orang tua pada anak hanya berupa instruksi dan kalimat-kalimat lecutan agar anak bekerja keras. Wajar, jika kalimat sayang menjadi kalimat yang jarang kita dengarkan. 

Orang tua asia memang cenderung kaku, karena mereka pun dibesarkan tanpa memiliki ruang untuk berpendapat. Mereka juga adalah anak-anak yang tumbuh dengan keharusan mematuhi orang tuanya, lalu menurunkannya pada kita, dan besar kemungkinan juga kita turunkan pada anak-anak kita ini. Berbagai pendapat mencirikan orang tua asia sebagai orang tua otoriter, yang dominan, memiliki kuasa, dan harus dipatuhi oleh anak. Anak dididik menjadi pribadi yang memegang teguh prinsip keluarga dan menjalani standar tertentu yang telah ditetapkan untuk mereka. Ini dasar yang menjadi pembeda kita dengan pengasuhan barat, dimana anak dididik untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab pada hidup sendiri, sehingga anak diberi keleluasaan berpendapat dan menentukan apa yang ia inginkan. Hal ini juga mendorong mereka untuk lebih bisa mengekspresikan perasaan, termasuk mengungkapkan sayang.   

Sebagai anak asia, kita tahu bahwa apa yang dikatakan berbagai pendapat tentang orang tua asia tergolong cukup akurat. Pengasuhan yang seperti itulah yang membentuk bagaimana kita sekarang, baik dengan meraih kesuksesan ataupun terbiasa bekerja keras. Hanya saja ada beberapa catatan yang perlu kita perbaiki dari pola asuh turun termurun tersebut. Karena tidak terbiasa memilih, banyak anak yang tumbuh selalu ragu-ragu dan banyak pertimbangan hingga dewasa. Bahkan untuk urusan sepele, tetap meminta pendapat orang lain. Mereka cenderung diam menunggu instruksi, takut salah, tidak ingin mencoba, dan sulit untuk berkreasi. Memaksakan kehendak orang tua pada anak, selain membuat anak kehilangan suara untuk hidupnya sendiri juga beresiko tinggi membuat anak menjadi pembangkang nantinya. 


Dampak-dampak buruk tersebut bisa kita mitigasi jika kita bersedia menerima dan mengakui akar permasalahannya. Berusaha memperbaiki dan memiliki kesadaran penuh, anak seperti apa yang akan kita bentuk dengan pola seperti apa. 

Kebaikan yang Bisa Kita Teruskan

Melihat kecenderungan pengasuhan asia ini bukan untuk membandingkan apalagi merendahkan, namun kita perlu menyadari bahwa orang tua memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Kebiasaan dan budaya yang ada di sekitar mereka, akan menjadikan siapa anak ini nantinya. Mengambil hal-hal baik yang nilainya sesuai dengan prinsip kita, lalu dengan sadar menerapkannya pada anak. Serta menghindari apa-apa yang dulu pernah kita terima namun ternyata tidak kita suka. Bawa memori tersebut dari alam bawah sadar ke alam sadar, agar bisa dengan sadar kita menyaring mana yang ingin diteruskan pada anak dan mana yang tidak.

Kita tidak bisa menyalahkan, karena pola asuh seperti itu mungkin memang perlu dilakukan karena keadaan, atau karena ketidak tahuan tentang bentuk pola asuh yang lebih tepat. Sekarang, dengan mudahnya informasi yang kita dapat dan semakin tingginya kesadaran orang tentang banyak hal penting yang perlu dilihat selain tampak sukses secara materiil, kita bisa memilah dan menentukan apa prioritasnya ditiap perkembangan anak.

  • Aturan yang Harus Ditaati

Tidak semua aturan bisa diberlakukan fleksibilitas, ada aturan yang emmang ada untuk ditaati, karena kita hidup sebagai makhluk Tuhan yang berhubungan dengan makhluk lainnya. Namun, sesuaikan aturan ini dengan usia anak dan buat sesederhana mungkin. Ini mencakup ajaran agama, adab-adab, hingga sopan santun. Masing-masingnya disesuaikan dengan keyakinan dan nilai keluarga. Seperti ajaran untuk sholat wajib, adab makan duduk dengan tangan kanan, sopan santun saat bertemu dengan orang lain, dsb. 

Sebagai catatan, anak dibawah tujuh tahun, rata-rata masih belum mengenal makna kewajiban, maka jangan berlakukan keharusan pada mereka, tapi selalu ingatkan, selalu beri konsekuensi yang sesuai, sehingga perlahan mereka juga paham ada aturan yang harus dipatuhi. Kita memang tidak bisa hidup seenaknya. 

  • Pilihan yang Terbatas

Mungkin memilih adalah satu hal langka yang kita terima dalam pola asuh asia. Seringnya justru mendapat kalimat, kamu harus patuh, anak kecil tidak tahu apa-apa, ayah dan ibu tahu yang terbaik untukmu. Ditambah lagi, setiap melakukan kesalahan, ada kata, makanya.., sudah dikasih tau kan.. Akhirnya kita tumbuh dengan sedikit keberanian, keengganan memilih dan menanggung resiko. Padahal, decision making skill termasuk dalam kemampuan yang penting dalam kehidupan. Kenyataan setelah dewasa, kita menyadari bahwa kita perlu berlatih terus untuk bisa memilih secara mandiri, dan menganggap kesalahan adalah hal biasa yang tinggal dijalani saja konsekuensinya. Namun seiring dengan itu, kita juga sadar bahwa bebeas memilih bukan berarti semua pilihan bisa diberlakukan. Pilihan kita terbatas.

Termasuk penerapan pada anak. Hal yang bagus untuk memberikan anak kebebasan memilih, dan bebas berpendapat. Namun, tidak semua pilihan anak perlu diwujudkan. Ada kalanya anak perlu menerima apa yang ada, meski tidak sesuai dengan pilihan dan keinginannya. Untuk makan misalkan, bagus jika anak punya kebebasan untuk menentukan apa yang ia ingin makan agar pengalaman makannya menjadi menyenangkan, namun ada kalanya anak juga perlu mengikuti pilihan orang lain. Anak juga perlu belajar mensyukuri apa yang sudah tersedia dan menikmatinya. 

  • Latih Kemandirian

Melatih anak disiplin dan bekerja keras adalah ajaran yang baik, tapi ada ajaran lain yang bisa kita tambahkan yaitu kemandirian. Mulai dari mengambil keputusan, hingga menanggung resikonya. Mungkin sebagai orang tua, ada perasaan tak tega, lalu mengambil alih tugas anak untuk membereskan masalah yang ia buat, tapi kita harus belajar menahan diri dan memberikan anak ruang untuk bertumbuh.

Beri mereka kebebasan memilih bidang yang mereka sukai, ajarkan tentang kerja keras dan disiplin dalam melaksanakannya, dan beri mereka ruang untuk melakukan kesalahan lalu bertumbuh setelahnya. Anak tidak perlu berprestasi sesuai dengan keinginan kita, mereka tidak punya kewajiban mewujudkan mimpi orang tua. Pada anak yang lebih kecil, beri mereka pilihan bidang yang mereka minati, fasilitasi sesuai kemampuan, lalu ajak anak untuk bergabung dalam kelompok dan berkompetisi. Jangan paksa anak untuk menang, tapi tuntut mereka untuk disiplin bekerja keras. Berkompetisi dengan adil, kalah menang dampingi mereka dengan dukungan dan kasih sayang.

  • Mengungkapkan Perasaan

Saking tidak punyanya suara, tidak jarang kita tidak mengerti dengan apa yang kita rasakan. Kita hanya diam mendapat perlakuan, yang kadang tidak megenakkan, dari orang yang lebih berkuasa. Dalilnya selalu kewajiban dan ancaman. Lihat saja kasus-kasus kekerasan, apalagi pada anak. Ketidakbiasaan mengungkapkan menjadi salah satu faktor anak asing dengan dirinya sendiri, merasa tidak nyaman pun jadinya tidak bisa melawan karena harus patuh. 

Sejak dini, beri anak ruang untuk mengekspresikan dirinya. Ajarkan anak tentang batasan pribadi dan siapa saja yang boleh mengakses. Beri anak ruang untuk menyampaikan apa yang ia rasakan, kenalkan dengan berbagai emosi serta cara tepat menerimanya. Jika senang, ungkapkan. Jika kesal, katakan. Jika tidak suka, sampaikan. Apa yang diinginkan dan tidak diinginkan. Aku merasa kesal kalau kamu begitu. Aku tidak suka diperlakukan seperti ini. Aku sedih dan kasihan melihatnya. Termasuk membiasakan ungkapan sayang, ibu ayah sayang kakak, sayang adik.

 


Seiring berjalannya waktu, saya menyadari seperinya kenapa begitu sulit mengatakan aku mencintaimu, aku sayang kamu, dibandingkan i love you. Kemungkinan besar karena kita jarang atau tidak pernah mendengarnya. Ungkapan cinta i love you sering kita dengar dari layar kaca atau percakapan orang asing. Sedangkan cinta, jarang kita dengan dalam percakapan kita sehari-hari, dengan keluarga ataupun teman. Cukup menggelikan tidak membayangknnya? Enggan ya rasanya karena begitu asing. 

Selain mulai memilah antara mana prinsip yang bisa kita teruskan dari pola asuh asia, kita juga bisa mulai berani dan membiasakan ungkapan sayang. Pada pasangan, anak, orang tua, keluarga, teman. Terlambat rasanya tapi tidak apa, setidaknya melakukan hal yang benar. Lalu, sadari bahwa tuntutan sukses pada pola asuh asia, pada satu sisi mungkin bisa membuat kita sampai pada titik yang diidamkan banyak orang, tapi ada banyak hal yang terlupa karenanya. Hidup bukan semata untuk meraih kesuksesan itu. Tidak semua orang pula ingin berada disana. Maka, kita bisa perlahan mengajarkan hal-hal yang lebih fundamental pada anak, tentang berbuat baik, jujur, menghargai proses daripada hasil, berbagi manfaat, memanfaatkan waktu dengan sebaiknya, berkasih sayang, melestarikan alam, bertanggung jawab, peduli, dsb. 


Salam, Nasha

Cukup akrab dengan pemandangan sekelompok orang yang duduk bersama tapi sibuk masing-masing? Atau pernah merasa diabaikan oleh seseorang karena ia lebih memilih untuk menatap layar daripada wajah kita? Fenomena ini disebut sebagai phubbing, singkatan dari phone snubbing. Istilah yang muncul di era digital seiring dengan semakin maraknya kita, dengan atau tanpa sadar, melakukannya. Meskipun kita semakin terbiasa menyaksikan kondisi ini, tidak serta merta phubbing menjadi hal benar untuk dilakukan. Apalagi dengan anak-anak dalam jangkauan. Terlihat sepele namun kebiasaan ini bisa berdampak pada pembentukan kepribadian hingga kehidupan sosial kita dan anak di masa datang. 


Mengenal Phubbing

Mungkin istilah phubbing masih asing di telinga kita, namun kondisinya bukanlah hal yang asing. Tidak sulit menemukan sekelompok orang yang duduk satu meja namun asyik dengan gawai masing-masing, atau seseorang yang meminta perhatian karena tidak diacuhkan saat berbicara. Secara bahasa, phubbing merupakan singkatan dari phone yang mengacu pada telepon genggam dan snubbing yang artinya menghina. Istilah ini sendiri pertama kali muncul pada 2012 lalu dari Australia seiring dengan perkembangan era digital dan meningkatnya penggunaan smart phone.

Keasyikan pada canggihnya gadget membuat banyak orang mengabaikan teman ataupun keluarga yang berada di depannya. Perilaku ini tentu saja dianggap sebagai perilaku tidak sopan, kasar, dan menyinggung. Apalagi kebanyakan yang melakukan adalah gen-Z, pemegang gawai termuda dibandingkan gen-Y dan gen-X. Usia berkorelasi negatif dengan perilaku phubbing, artinya seseorang dengan usia yang lebih muda justru lebih tinggi terlibat dalam perilaku phubbing dibandingkan seseorang di usia yang lebih tua. 

Ada beberapa ciri seseorang dapat dikategorikan melakukan phubbing, antara lain adalah:

- Meletakkan handphone selalu dalam jangkauan, meskipun saat sedang bersama dengan orang lain.
- Tidak fokus dalam percakapan karena perhatian terbagi pada ponsel, kadang berlagak mendengarkan padahal tidak, kadang ikut berbicara namun dengan perhatian yang tidak penuh atau terlaihkan.
- Mengabaikan percakapan yang sedang berlangsung, menyinggung bahkan menyakiti orang lain karena tidak menghargai 

 


Mungkin kita sendiri pernah melakukannya, karena dalam studi dari Healthline, sekitar 17% orang melakukan phubbing rata-rata empat kali sehari, dengan 32% orang menjadi korban phubbing setidaknya 2-3 kali sehari. Ini data harian yang cukup memprihatinkan, apalagi jika dilihat efek-efek negatif dari phubbing ini seperti:

- Menurunkan kualitas hubungan

Jenis hubungan apapun akan rusak tanpa orang yang saling memperhatikan dan hadir utuh didalamnya. Interaksi yang harusnya menjadi momen berkualitas, akan hambar dengan mata yang tidak benar-benar menatap dan telinga yang tidak sungguh-sungguh menyimak. Teralihkannya perhatian juga bisa memperbesar kemungkinan salah paham. Hubungan yang seperti itu jelas menjadi tidak lagi berkualitas, dan bukannya menyehatkan namun juga memperburuk keadaan. 

- Mengganggu kesehatan mental 

Seseorang dapat merasa terkucilkan atau tidak dihargai hanya karena benda asing di tangan lawan bicaranya. Ini menyalahi empat kebutuhan dasar manusia secara sosial yaitu rasa memiliki, harga diri, keberadaan yang berarti, dan pengendalian. Sehingga, ia bisa merasa frustasi bahkan depresi. Ketidakpuasan pada hubungan tersebut bisa mendorong seorang korban menjadi pelaku phubbing, sehingga ini menjadi lingkaran yang sama sekali tidak sehat dalam interaksi sosial. 

Dengan semakin tingginya penggunaan smartphone, diprediksi perilaku phubbing akan semakin meluas dan bertambah parah. Perilaku yang dapat dilakukan oleh siapa saja ini, khususnya oleh digital native, terlepas dari mereka memiliki peran sebagai orang tua atau tidak. Kondisi ini membuat anak-anak yang harusnya mendapat perhatian penuh menjadi harus berusaha lebih keras, dengan cara-cara yang mereka tahu, agar perhatian orang tuanya beralih dari kotak pintar di tangan ke wajah mungil mereka. 


Phubbing pada Anak


Bisa bayangkan, bagaimana anak-anak kita menjalani kehidupan mereka kelak sebagai generasi yang terlahir dalam era yang hampir sepenuhnya digital. Mereka kenal gawai bahkan sebelum mereka mengenal sendok garpu. Banyak anak yang belajar berbicara melalui video yang mereka tonton, meniru dari tingkah tokoh-tokoh fiksi yang ada di hadapan mereka, serta mendengar lebih banyak suara digital dari kotak canggih di dinding rumah. Melihat apa yang terjadi belakangan, dikhawatirkan perilaku phubbing menjadi sesuatu yang lumrah di generasi mendatang. Lalu jenis hubungan seperti apa yang mereka miliki jika tidak bisa saling terkoneksi secara nyata? Bentuk kehidupan mereka jika kebutuhan dasar sosial mereka sja sudah sulit terpenuhi sejak dini?

Baca Juga: Tips Mengurangi/ Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Ini memang berkaitan erat dengan pembatasan penggunaan gadget pada anak, tapi harus ada pemahaman bahwa membatasi gadget bukan semata durasi tapi lebih pada membatasi perilaku yang tidak tepat. Apa lagi cara lebih jitu mengajakan anak kalau bukan melalui teladan? Maka, beberapa catatan yang perlu kita ingat saat membersamai anak, terkait perilaku phubbing ini adalah:

  • Anak sebagai Peniru Ulung

Dengan berlandaskan pada studi bahwa siklus phubbing ini seperti lingkaran dimana korban kemungkinan besar akan menjadi pelaku, serta pada fakta bahwa anak adalah peniru ulung, maka hal pertama yang perlu kita hindari adalah melakukan phubbing kepada anak. Jangan sampai kita menjawab pertanyaan anak dengan perhatian yang terlaihkan pada ponsel. Jika ada keperluan, katakan terlebih dahulu. Hanya butuh lima detik untuk menatap matanya dan berkata, "tunggu sebentar ya, ibu sedang bekerja." Lalu, selesaikan dalam maksimal lima menit, karena rentang kesabaran anak masih tipis. Jika anak sudah lebih besar, maka minta ia menunggu hingga waktu yang ditentukan. Pesan singkat bisa dibalas nanti, scrolling media sosial bisa saja tidak dilakukan. Anak-anak akan segera bertumbuh besar, dan kita tidak lagi dibutuhkan. 

  • Ajari Anak tentang Adab Berinteraksi

Pada dasarnya anak itu banyak tidak tahunya, dan kita sebagai orang tualah yang berkewajiban memberi tahu, mendidik, mengajarkan hal yang benar dan baik, termasuk adab berinteraksi. Dalam setiap kebudayaan, ada sopan santun pada setiap jenjang lawan bicara, seperti kromo inggil dalam bahasa Jawa dan kato nan ampek dalam bahasa Minang. Meskipun belum bisa bahasa daerahnya, ajarkan anak untuk bisa menghormati dan menghargai lawan bicara dengan porsi yang sesuai. Memberi perhatian penuh, menatap lawan bicara, tidak menjawab dengan menyambi, bisa juga dengan aturan tidak ada handphone di meja makan, atau saat berkumpul bersama. 

  • Berlakukan Waktu dan Tempat Bebas Gadget

Banyak ahli menganjurkan waktu berkualitas keluarga dengan memberlakukan family time yang dihabiskan bersama tanpa gadget, bisa diisi dengan bermain atau sekedar bercengkerama. Misalkan sabtu pagi dimana semua anggota keluarga bebas dari rutinitas dan lebih santai sehingga bisa memberi perhatian pada rumah, pekerjaan rumah atau orang di dalam rumah. Sedangkan untuk tempat, bisa jadikan area makan ataupun tidur sebagai area bebas gadget. Kebiasaan ini dapat membangun kesadaan seluruh keluarga mengenai batasan dalam menggunakan gawai. 

Penulis Andy Crouch bahkan merekomendasikan waktu khusus no screen time untuk seluruh keluarga, yakni satu jam dalam satu hari, satu hari dalm satu minggu, dan satu minggu dalam satu tahun.  Di waktu-waktu itu, hanya nikmati apapun yang ada tanpa terhubung dengan dunia digital. Awalnya memang berat, namun lama-kelamaan kita akan bisa menyesuaikan, lalu mendapatkan manfaatnya.

  • Terus Sounding dan Tegur dengan Tegas

Tidak ada yang instant dalam mengajarkan anak. Terus sampaikan kenapa kita perlu berlaku sopan, kenapa mengabaikan orang lain itu tidak diperbolehkan, kenapa saat berbicara harus fokus memperhatikan lawan bicara. Beri anak pengandaian, bagaimana rasanya jika kamu yang diabaikan. Tegur jika anak melakukannya, jangan maklumi perilaku yang tidak tepat dari anak, karena kunci mendidik anak adalah konsistensi. Terapkan aturan sederhana lalu konsisten menegakkannya. Pada usia tertentu, saat anak sudah paham konsekuensi, berlakukan juga konsekuensi sesuai perkembangan mereka. 

Baca Juga: Gagdet Buat Anak Boleh, Begini Caranya Supaya Jadi Screen Time yang Ramah Anak

Bagaimanapun, kita adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan orang lain. Hubungan bisa terjalin dengan adanya saling menghargai dalam bentuk nyata. Perkembangan teknologi tidak mengubah apa yang memang membentuk kita sejak dahulu kala. Kita bisa memanfaatkan dengan bijak, pegang kendali jangan sampi dikendalikan teknologi.



Salam, Nasha

Kita langsung menjadi orang tua tepat ketika anak lahir ke dunia. Ketidaktahuan anak hampir sama dengan bingungnya kita menghadapi mereka. Sehingga wajar jika kita sering kewalahan dan bertanya, apa tindakan paling tepat untuk dilakukan? Kadang pertanyaan itu bisa terjawab dari buku bacaan, bertanya pada yang lebih berpengalaman, namun tidak jarang kita tetap buntu. Mungkin itu saatnya, kita bertanya pada profesional. Konsultasi ke psikolog anak, agar kita punya perspektif yang lebih luas dan mendapat jawaban yang lebih objektif.


Tentang Psikolog Anak

Singkatnya psikolog anak merupakan ahli yang mempelajari tentang mental juga perilaku anak dalam rentang usia 0-18 tahun, yang berkaitan erat dengan tumbuh kembang mereka. Dalam perannya tersebut, seorang psikolog dapat mengevaluasi tumbuh kembang anak, memberi arahan stimulasi yang dilakukan oleh orang tua, hingga mendampingi anak menghadapi masalah yang menekan mereka. 

Meningkatnya kasus penyakit mental dan pesatnya penyebaran informasi, membuat semakin banyaknya masyarakat yang aware dengan pentingnya menjaga kesehatan mental. Jika dulu penyakti kejiwaan dianggap sebagai hal yang tabu, sehingga banyak orang dengan kondisi mental khusus tidak mendapat penanganan yang tepat, sekarang masyarakat sudah lebih terbuka. Jenis gangguan mental berikut dengan data penderitanya sudah bisa tercatat rapi. Para ahli juga lebih mudah melakukan evaluasi dan memberikan penanganan yang sesuai. Begitu juga dengan kelompok anak-anak, mereka tetap memiliki kondisi mental yang perlu dijaga, dan kita sebagai orang tua-lah yang harus terbuka dan membuka jalannya. 

Beberapa artikel kesehatan merilis tanda-tanda yang perlu menjadi perhatian pada anak yang memerlukan penangan profesional psikologis. Memang setiap anak akan menunjukkan cara yang berbeda, dengan adanya perilaku-perilaku diluar kewajaran dari yang biasa kita perhatikan, namun beberapa ciri ini bisa kita jadikan acuan, antara lain:

- Gangguan tumbuh kembang
- Menghindari interaksi
- Sulit berkomunikasi hingga mengekspresikan emosi
- Pernah mengalami kejadian traumatis
- Sulit berkonsentrasi, sulit tidur, tidak bersemangat, dsb

Sebenarnya tanpa indikasi diatas pun, kita bisa saja melakukan konsultasi psikologi. Secara hukum pun, anak yang tidak terlihat gejala yang mencurigakan namun terlibat dalam kasus perundungan hingga kekerasan berhak mendapatkan layanan psikologi. 

Nah, sebelum memustuskan ke psikolog anak, ada baiknya kita mempersiapkan diri dengan penjelasan tentang keluhan atau masalah psikolgis anak yang menjadi perhatian, kondisi apa kira-kira yang menjadi memicu hal tersebut, serta data-data berupa tumbuh kembang anak, sehingga sesi konsultasi bisa berjalan dengan lancar. Biasanya konsultasi psikologi akan berjalan dengan wawancara dan observasi, tergantung dari kondisi masing-masing anak dan usia mereka. Setelah konsultasi, ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan seperti psikoterapi juga obat-obatan. Tidak ada efek samping khusus dari pemeriksaan psikologi, justru kita bisa mendeteksi lebih dini jika ada gangguan tumbuh kembang ataupun gangguan mental anak. Sehingga, tidak usah ragu untuk melakukan konsultasi psikologi. 


Pengalaman Konsultasi ke Psikolog Anak



Berangkat dari keyakinan itulah, saya meyakinkan diri untuk mendaftar pada salah seorang psikolog anak. Setelah maju mundur bimbang diantara pilihan online atau offline, dengan pertimbangan agar lebih lega dan bisa benar-benar clear, saya cari tahu tentang rekomendasi psikolog-psikolog yang tersedia offline. Mencari di Rumah Sakit hingga Klinik Ibu Anak dengan fokus layanan psikolgi anak, melihat berbagai ulasan di internet, sampai akhirnya membulatkan tekad untuk mendaftar di salah satu klinik ibu anak swasta di Solo. 

Tidak ada gangguan khusus anak sebenarnya yang saya ingin keluhkan, namun saat itu rasanya sudah penuh dada dan kepala menghadapi tingkah si kakak yang emosinya bisa meledak tidak karuan. Jika ada hal yang dia tidak suka, atau menyebalkan untuknya, dia mengekspresikan emosinya itu dengan cara yang tidak tepat. Sudah berulang kali saya sampaikan, baik itu tarik nafas hingga berwudhu. Tapi seringnya ia menolak, hingga menyakiti. Saya pikir apapun alasannya, ini tidak lagi bisa dimaklumi.

Maka hari itu, tanpa bekal apa-apa selain segala uneg-uneg yang ingin saya tumpahkan, saya memasuki ruang psikolog tersebut. Ia membuka sesi dengan bertanya dimana anaknya, lalu saya jawab bahwa saya hanya ingin mendapat jawaban. Dua saja, apa yang harus saya lakukan dan bagaimana saya menghadapinya.

Saya ceritakan, beberapa kejadian yang membuat anak saya mengalami emosi yang tak terganggung olehnya. Perkaranya, menurut saya dan kita sebagai orang dewasa mungkin sangat sepele, namun saya berusaha mengerti kalau itu bisa jadi hal besar untuk anak. Biasanya karena ada yang tidak sesuai dengan keinginannya (yang kadang tidak masuk akal), kadang juga karena dilarang melakukan sesuatu (yangia tahu aturannya atau karena alasan bahaya). Sebeneranya, saya berusaha untuk tidak mempermasalahkan alasan ia merasa marah, namun cara marahnya yang ingin saya tanyakan. Bagaimana saya bisa mendampingi anak menghadapi rasa marah tersebut. Saat itu, ia bisa berteriak-teriak, memukul, hingga menggigit, khususnya ke ayahnya, sembari menangis meraung dan mengeluarkan kalimat yang juga sama menyakitkannya. 

Saya membuat beberapa point pertanyaan, seperti bagaimana saya menghadapi anak, bagaimana saya harus bersikap dengan ngamuknya itu, hingga bagaimana saya menghadapi adik yang melihat kejadian tersebut.

Selama sekitar satu jam itu, saya jelas menangis. Meskipun berusaha tetap tenang dan mencoba mengisi kepala dengan berbagai ilmu pengasuhan, saya tetap saja kewalahan. Tetap saja ada banyak perasaan yang muncul dari apa yang saya dan anak alami. Saya tidak benar-benar siap dengan apa yang tidak pernah diharapkan itu. Tapi bagaimanapun, itu sedang terjadi, dan siap tidak siap harus saya hadapi. Melegakan rasanya, ada orang yang mendengarkan keluhan kita dan bisa menjawab secara profesional. Bisa berbagi secara objektif karena ia seorang ahli yang bertahun-tahun mempelajari ini, dan karena ia juga seorang ibu dengan pengalaman serupa.

Apa yang psikolog tersebut jelaskan, sebenarnya, tanpa kiat-kiat khusus yang rinci, namun saya pulang dengan pemahaman baru. Setiap anak memiliki fasenya masing-masing, dan itu normal. Ledakan emosi sangat mungkin dialami oleh anak-anak, apalagi usianya masih dibawah lima tahun. Apa yang ia lakukan, bisa jadi dari apa yang ia lihat, tapi bisa jadi juga itu hanya dorongan tubuh karena energi yang sangat besar ingin ia keluarkan pada objek yang ia anggap aman, dalam hal ini ayahnya, orang tuanya. 

Kita perlu menyadari bahwa mereka anak-anak, yang bukannya perlu kita maklumi tindakannya, namun perlu kita dampingi dan arahkan pada hal benar dan baik. Mereka belum berkembang sempurna, termasuk otak dan emosinya. Kita yang perlu berusaha lebih keras, untuk bisa mendampingi mereka tetap dengan tenang. Jangan bosan untuk mengajarkan mereka tentang bagaimana seharusnya, bagaimana tindakan yang tepatnya. Mereka juga sesungguhnya tidak nyaman dengan emosi tersebut, sehingga kita-lah yang harusnya mempengaruhi mereka, bukannya kita malah ikut terbawa emosi akibat tindakan mereka.

Untuk adik, menurut psikolog itu, yang lebih pentingnya adalah ia melihat bagaimana kita menghadapi emosi si kakak. Ia mungkin melihat apa yang tidak tepat dari itu, namun ia juga bisa melihat bagaimana kita meng-handle itu. Bagaimana kita bisa tetap tenang, menghadapi ledakan emosi orang lain. Justu itu bisa menjadi titik pembelajaran anak. 

Ini menjadi catatan penting untuk saya, hingga pelan-pelan saya bisa menerima kondisi tersebut. Saya berdamai dengan segala perasaan yang muncul baik itu sedih, kecewa, hingga kesalnya saya. Karena saya bisa mengupayakan apapun sebelumnya, namun jika memang hasilnya belum sesuai dengan teori yang saya baca atau kalau memang itu fase dari kepribadian anak, saya hanya bisa berserah. Mengendalikan emosi diri sendiri sambil terus memanjatkan doa. Tidak letih mengajarkan ia cara-cara yang tepatnya. Hingga pelan-pelan durasi amukannya memendek, semakin jarang, dan hilang sama sekali. 

Melakukan konsultasi dengan psikolog, sebenarnya bisa dilakukan kapan saja. Saat ada hal yang mengganjal ingin ditanyakan, atau saat ingin ada pemeriksaan lanjutan untuk anak. Sejauh ini, saya akan merekomendasikan konsultasi psikologi sebagai salah satu solusi dari ketidaktahuan kita tentang pengasuhan, dari bingungnya kita membersamai anak, dan dari sesaknya kita menghadapi tingkah ajaib mereka. Tidak usah ragu, tidak ada efek buruk, hanya efek baik. Semangat!!



Salam, Nasha

Belakangan semakin santer himbauan untuk tidak mendukung penyerangan masif yang dilakukan dalam merebut tanah suatu negara, atau boikot produk pro-Israel. Ada ratusan produk yang masuk dalam daftar hitam tersebut. Kita sebagai masyarakat rasanya cukup bingung dengan banyaknya produk yang harus diganti dan produk mana yang sebaiknya dipilih. Selain karena alasan diatas, ada beberapa produk yang punya nilai lebih baik karena berkualitas lebih tinggi, lebih tahan lama, ramah lingkungan hingga kepedulian sosial perusahaannya. Pilihannya ada banyak, tinggal kita yang lebih cermat dan berani beralih. 



Kenapa Perlu Dihindari

Sebenarnya ini bukan kali pertama perkara boikot produk pro-israel ini muncul, namun penggunaan media sosial membuat gerakan ini menjadi semakin besar. Pengulangan narasi dari media bear hingga perorangan membuat gambarannya semakin terlihat jelas, Seiring dengan pemberitaan langsung dari lokasi kejadian yang bisa disebar luaskan oleh siapa saja. 

Seingat saya dulu sepertinya sekitar tahun 2010, produk-produk Unilever, Disney, hingga Coca-Cola sudah masuk dalam daftar tersebut. Sepertinya karena serangan israel, namun karena informasi kala itu tidak sederas sekarang saya pun hanya tahu sekilas dan sempat berhenti sebentar. Tapi tanpa tahu banyak tentang apa yang terjadi, serta karean penawaran produknya yang beagam, harganya yang terjangkau, akses mendapatkannya mudah karena tersedia di mana-ana, jugua upaya pemasaran yang dilakukan, kita tetap saja kembali menggunakannya. 

Saya sendiri mulai beberapa tahun terakhir sudah pelan-pelan beralih karena punya kesempatan untuk melihat lebih jelas produk-produk seperti apa yang mereka tawarkan. Jika kita lihat perusahaan-perusahaan tersebut, ada beberapa alasan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang kita yakini

  • Mendukung Genosida
Alasan kemanusiaan adalah alasan utama kita berada disini. Ini yang menjadi alasan kuat belakangan karena perusahaan-perusahaan tersebut diduga atau terbukti menggunakan keuntungan dari hasil penjualannya di seluruh dunia untuk membiayai operasi genosida di Gaza. Tindakan yang menentang kemanusiaan dan tidak bisa ditolerir sama sekali.

  • Berkualitas Rendah

banyak dari produk-produk tersebut kita konumsi tanpa kesadaran penuh apa sesugguhnya yang mereka tawarkan. Karena tergiur dari pemasaran, karena ada di rak pusat perbelanjaan, serta karena harganya yang murah. Kita mengambil tanpa kesadaran, ini dibeli untuk apa. Ternyata barang yang ditawarkan dibuat dari bahan-bahan berkualitas rendah, namun dikemas seolah-olah berkualitas tinggi.

  • Tidak Sehat
Ini yang menjadi penggerak saya beberapa tahun sebelumnya, karena keadaran untuk memperhatikan makanan anak hingga diri sendiri. Kejelian itu membuat saya menyadari bahwa kebanyakan produk komersil yanga da di pasaran bukanlah produk yang sehat untuk tubuh. Bahkan, saya tidak tahu untuk apa kita mengkonsumi produk-produk tersebut. Hanya menambah beban tubuh untuk mengolah.

  • Tidak Ramah Lingkungan
Saya ingat sekali nada sumbang ini, "mana di mana sampah unilver, sampah unilever ada di mana" yang dinyanyikan oleh sekelompok aktivis peduli lingkungan saat melakukan protes terhadap perusahaan multinasional penyedia aneka kebutuhan rumah tangga tersebut. Ada ribuan ton sampah plastik yang dihasilkan produknya setiap tahun. Dengan skala perusahaan sebesar itu, harusnya juga ada solusi atas apa yang mereka buat. 

  • Menomorsatukan Keuntungan
Beberapa dari perusahaan tersebut sempat tersandung kasus yang berhubungan dengan kesejahteraan pihak-pihak yang berhubungan dengan mereka, seperti pekerja , pemasok, serta lingkungan sekitar. Dengan sampah dan limbah yang dihasilkan dari prosesnya ataupun bahan yang digunakan dalam produknya. 


Kehebatan dari semua perusahaan itu adalah teknik pemasaran dan komunikasi yang dilakukan. Opini kita terbentuk sesuai dengan produk yang mereka tawarkan. Mencuci bersih perlu banyak busa, kelezatan itu yang utama, anak-anak suka dengan tampilan atraktif, gula yang dikemas berbagai bentuk itu hal yang biasa, hingga nutrisi sintetis yang wajar ditambahkan, hingga kemasan kecil itu praktis digunakan tinggal buang. Maka, dengan lima alasan itu harusnya membuat kita semakin kuat untuk benar-benar meninggalkan produk-produk bernilai rendah tersebut, dan beralih ke produk-produk yang jauh lebih baik dan bernilai lebih tinggi.


Produk Baik Bernilai Tinggi

Perjalanan menjadi ibu memang perjalanan yang cukup banyak mengubah saya, termasuk pada barang yang dikonsumsi. Memiliki bayi ternyata membuka pikiran tentang apa yang ada di sekitar selama ini. Mulai dengan memilih makanan sebagai penunjang ASI agar semakin bernutrisi, makanan pendamping yang bergizi untuk mendukung pertumbuhan mereka, hingga produk rumah tangga yang lebih baik untuk kulit dan tubuh mereka. Jadi, perjalanan itu sudah dimulai perlahan sekitar lima tahun yang lalu. 

"Gut is our second brain"

Dalam mencari produk pengganti, beberapa hal yang menjadi pertimbangan saya adalah:

- Lebih Sehat

Ini pertimbangan mutlak saya saat menentukan suatu produk sejak punya anak. Jika itu makanan, pilih yang dari bahan alami atau natural ingridients, lebih rendah gula, serta kalau ada cari yang gluten free. Dengan berpikir bahwa apa yang kita konsumsi adalah apa yang masuk ke badan dan pengaruh ke kehidupan, saya jadi lebih selektif memilih barang. Termasuk sabun-sabunan, yang bersentuhan langsung dengan organ terbesar di tubuh kita yaitu kulit dengan menghindari SLS, Paraben, dkk. Dengan pertimbangan ini saja, banyak produk dalam daftar itu yang tidak memenuhinya.    

- Lebih Ramah Lingkungan

Lagi-lagi karena anak. Membayangkan bumi seperti apa yang akan diwariskan nanti, rasanya tidak tega jika terus melakukan hal-hal yang semakin merusak lingkungan. Jadinya saya beralih ke produk dari bahan sealami mungkin, sabun yang menghasilkan sedikit limbah, barang yang pengemasannya menggunakan lebih sedikit plastik, barang dengan kemasan yang didaur ulang atau bisa diisi ulang. Faktanya, mayoritas produk yang diboikot itu tidak memiliki semangat peduli lingkungan yang sebanding dengan skala perusahaannya. 

- Menawarkan Nilai Kebaikan

Dari lebih peduli pada kesehatan diri dan bumi, saya juga melihat produsen dan produk dari apa nilai tambah yang mereka tawarkan. Misalkan, kesejahteraan petani lokal tempat tanamannya dimanfaatkan, atau gerakan sosial perempuan secara berkala. Bisa jadi juga, perusahaan-perusahaan yang punya gerakan solutif untuk lingkungan akan menjadi nilai tambah. Saat mereka melakukan gerakan kebaikan, atau terbukti berkomitmen pada nilai positif yang mereka usung, saya cenderung akan memilih produsen tersebut.



Saat ini, platform jual beli sudah semakin banyak dan mudah diakses. Siapa saja bisa menjadi penjual maupun pembeli. Sehingga sebagai pembeli pilihan kita juga semakin banyak, tinggal ketik apa yang kita inginkan, semua pilihan akan muncul lengkap dengan lokasi pengiriman dan harganya. Mudah! Dari sanalah, pencarian saya dimulai. Survey dari toko daring, lanjut ke media sosial, hingga ke ulasan pengguna-pengguna lain. Beberapa kategori produk yang menjadi alternatif dari produk-produk bernilai rendah yang dianjurkan untuk ditinggalkan tersebut antara lain:

  • Produk Rumah Tangga 

Untuk produk pembersih rumah tangga, saya menggunakan sabun lerak dan sabun isi ulang dari penjual terdekat. Sabun lerak bisa digunakan untuk mencuci apa saja, saya menggunakannya untuk alat makan dan pakaian. Buat sendiri dengan mencampurnya dengan lemon, sereh, atau lavender. Tergantung mood saja. Untuk sabun isi ulang, salah satunya bisa coba usaha Omah Wangi, atau Griya Wangi, atau distributor-distributor deterjen laundry terdekat dari rumah kita. Selain bukan termasuk produk yang di blacklist, membeli dari pengusaha terdekat juga berarti mendukung perekonomian lokal. Selain itu, dengan mengisi ulang kita juga mengurangi sampah kemasan. Hanya saja, komposisinya sering kali belum benar-benar natural. Jika ingin membeli pembersih berbahan natural di toko online, ada pilihan Pure Co, Buds, Puro, atau beberapa brand yang manergetkan keluarga dengan bayi sebagai konsumennya.  

  • Makanan Kemasan

Ada banyak produsen sekarang yang menjual makanan lebih ramah cerna. Memang, pembeliannya belum semudah produk komersil yang ada di daftar hitam, tapi jika bisa dibel secara online dan tunggu paketnya di rumah, berarti sama mudah saja kan? Beberapa produsen seperti Lingkar Organik, Ladang Lima, Mocafine, juga sudah ada di toko-toko ritel tertentu. Produk yang ditawarkan biasanya tanpa bahan 5P sintetis (Pengawet, Pewarna, Pemanis, Penyedap, Perasa). Umumnya juga lebih rendah gula maupun natrium, serta banyak juga yang gluten free. Untuk cemilan anak, juga bisa pilih yummy bites, yang sudah banyak tersedia di berbagai toko ritel. 

Sebenarnya, sebelum memutuskan untuk membeli makanan kemasan, tanyakan dulu pada diri sendiri, apa tujuannya? Untuk kenyang, mendapatkan nutrisi, atau iseng saja? Karena rasanya sayang sekali, jika niatnya sekedar iseng tapi malah memasukkan bahan yang berbahaya untuk tubuh. Dengan kesadaran itu, saya jadi lebih aware dengan makanan kemasan atau barang lainnya, perhatikan komposisi dan nilai gizinya, sehingga kalau hanya akan memberatkan tubuh seperti cemilan gula lebih baik tidak usah. 

Begitu juga dengan bumbu dapur, memang banyak bahan yang memudahkan kita memasak sekaligus membuat masakan lebih lezat. Tapi, kenikmatan lidah bukan segalanya, ada nutrisi yang harusnya lebih diprioritaskan. Batas kenikmatan hanya sampai lidah, sedangkan kandungan yang ditelan akan mengalir ke seluruh tubuh. Ada banyak produk homemade yang kini desediakan online seperti srunen, bunda elia, dmamam, pureland, yang bisa kita pilih. Berbagai produk buatan rumah lain juga bisa kita utamakan, baik secara offline ataupun cari online dengan fitur filter sekitar lokasi rumah kita. 

Untuk susu kemasan, ada pilihan susu segar yang dijual oleh peternak atau distributor terdekat sekitar rumah. Ini tentu jauh lebih sehat dan alami. Namun jika tidak ada, maish ada produsen lain yang bisa jadi pilihan. Ingat untuk perhatikan komposisi dan kandungan gulanya, apalagi untuk anak-anak. 

Makanan kemasan memang bukan hal yang dianjurkan meskipun juga sulit rasanya kita lepaskan dari keseharian. paling ampuh memang kita sadari penuh apa yang kita konsumsi dan tujuannya apa. Sadari benar apa yang kita masukkan ke badan.

  • Perawatan Tubuh

Setidaknya ada tiga jenis produk untuk membersihkan tubuh yaitu shampo, sabun, dan pasta gigi. Ketiganya didominasi oleh perusahaan raksasa dunia tersebut. Tapi tenang, lagi-lagi kita sebagai konsumen punya pilihan yang semakin beragam. Jenis castile soap bisa jadi pilihan yang jauh lebih baik karena ramah kulit dan limbahnya tidak akan merusak lingkungan. Produsen asal Bali, Sensatia Botanica bisa jadi salah satu perusahaan yang menyediakan seluruh perawatan tubuh. Selain itu, ada Kun Anta, Ailia, Maharati, Cahaya Naturals, dsb. Untuk ukuran produsen yang lebih kecil, ada lebih banyak lagi produsen yang menyediakan produk rumahan untuk perawatan tubuh dari bahan alami, seperti Herbz, Jinawi, Soul for Earth, dll. Sesuaikan saja dengan preferensi dan lokasi kita masing-masing. Jangan luap tetap teliti ya. 

Jika belum dimulai, mungkin rasanya memang berat untuk mencari pengganti. Bisa jadi karena kebiasaan, kita merasa cocok dengan suatu produk, eh ternyata digunakan untuk genosida sehingga tidak mungkin rasanya mengulang pembelian. Tapi, dengan alasan-alasan tambahan diatas, ditambah dengan banyaknya pilihan produk lain yang lebih berkualitas dan bernilai tinggi, substitusi akan menjadi langkah yang sepadan. berubah itu memang tidak akan nyaman awalnya, tapi dengan niat dan tujuan yang baik, semoga Allah mudahkan kita mendapat hasil yang baik pula. Semangat!



Salam, Nasha

"Tolerance is our way of being a human."

Keberagaman kita sebagai bangsa Indonesia telah banyak mendapat sorotan dunia. Bagaimana kita bisa hidup harmonis dengan berbagai perbedaan yang ada, sebut saja ribuan suku bangsa, ratusan bahasa daerah, enam keyakinan agama, yang tersebar di belasan ribu pulau di Indonesia. Kita bisa hidup harmonis berdampingan tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang jelas tampak. Beberapa kota bahkan menjadi percontohan berkat toleransinya. 


Toleransi

Dunia sekarang memang memungkinkan kita untuk lebih terhubung satu sama lain dengan psatnya perkembangan teknologi, namun sayangnya hal itu tidak serta merta dibarengi dengan lebih pengertiannya kita terhadap orang lain. Masyarakat bisa jadi lebih beragam, namun kasus intoleran masih kerap terjadi. Unesco menyebutkan tentang peningkatan kekerasan ekstrimisme serta pelanggaran besar-besaran atas hak asasi manusia. Bahkan, bukan sebatas rasisme, xenofbhia menjadi kasus yang semakin marak.

Ini menandakan bahwa toleransi masih menjadi isu yang penting untuk kita agar bisa hidup bersama-sama, dalam satu bumi yang sama. Delapan miliar orang dengan latar belakang dan keyakinan berbeda, bisa saling merasa bebeas berlaku tanpa menyinggung kebebasan orang lain. Toleransi memang banyak tentang penerimaan kebebasan atas keragaman. Bukan hanya menerima, namun juga menghargai dan menghormati, baik itu keragaman budaya, bentuk ekspresi, hingga cara kita masing-masing menjalani kehidupan. Tapi point yang perlu dicatat adalah bahwa kebebasan yang kita miliki sebagai makhluk Tuhan bukanlah kebebasan yang mutlak, namun adalah kebebasan yang terbatas. Terbatas norma hidup, terbatas pada kebebasan orang lain juga. 

Setiap tahunnya sejak ditetapkannya Declaration of Principle on Tolerance  pada November 1995, dunia memperingati 16 November sebagai Hari Toleransi Internasional. Catatan Unesco untuk kita ingat bahwa toleransi bukan berarti ketidak pedulian pada perbedaan, namun mengakui hak asasi manusia universal serta kebebasan mendasar orang lain. Sehingga tidak sepatutnya toleransi bersifat pasif, namun harus berupa tindakan, dengan nilai yang harus dijaga dan diajarkan. Unesco juga memberi penekanan pada peran negara dalam mewujudkan toleransi, yakni dengan memenuhi kebutuhan warganya akan hak-hak dasar, seperti pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, lingkungan yang inklusi, seta peluang yang setara. Dengan negara yang hadir untuk menciptakan tolernasi, harusnya tidak ada lagi warga yang ketakutan, tidak percaya, atau berada dalam kelompok marjinal. Harusnya yang ada adalah pluralisme, partisipasi, dan perhormatan atas perbedaan. 

Mungkin Bhinneka Tunggal Ika sudah mendarah daging bagi kita, mungkin keyakinan yang kita anut mendorong kita untuk bisa menerima perbedaan, mungkin ajaran turun temurun telah memupuk kita menjadi pribadi yang bersahaja atas keberagaman. Karena rasanya kita sudah terbiasa dengan perbedaan, ditambah dengan negara atau daerah yang mendukung berbagai bentuk perbedaan tersebut. memfasilitasi bukan hanya satu kelompok namun semua kelompok dengan merata. Celah konflik yang masih ada, harusnya bisa diselesaikan dengan fungsi pemerintah khususnya di daerah dalam menciptakan lingkungan yang toleran, memberi teladan tentang keberagaman, belajar pada daerah-daerah ini sehingga tidak perlu lagi adanya kasus-kasus intoleran apalagi sampai melibatkan kekerasan.


Kota Toleran Indonesia

Mengacu pada Indeks Kota Toleran 2022 yang dirilis oleh Setara Institute, ada sepuluh kota di Indonesia yang dinilai menjadi kota-kota dengan toleransi paling tinggi. penilaian tersebut didasarkan pada empat variabel yakni regulasi pemerintah kota yang dijelaskan dengan melihat indikator seperti rencana pembangunan dan ada tidaknya kebijakan diskriminatif. Variabel selanjutnya yaitu regulasi sosial dengan data ada tidaknya peristiwa intoleransi dan bagaimana dinamika masyarakat terkait isu intoleransi tersebut. Penilaian juga dilihat dari tindakan pemerintah seperti pernyataan pejabat publik dan tindakannya terkait isu intoleransi. Terakhir, demografi sosio keragaman yang melihat heterogenitas dan inklusi sosia keagamaan penduduk. 

Singkawang mendapat skor tertinggi secara keseluruhan dan pada tiap variabelnya. Ini mencerminkan keharmonisan dari ratusan ribu penduduk yang menghuni wilayah bagian Kalimantan Barat tersebut. Tidak ada satu kelompok yang mendominasi kelompok lainnya. Suku mayoritas Melayu, Tionghoa, dan Dayak berpadu dengan keyakinan Buddha, Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), serta Konghuchu dan Hindu. 

Selain Singkawang, ada Salatiga, Surakarta, Semarang, dan Magelang yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu ada Bekasi, Sukabumi, Kediri, Manado, dan Kupang. Jawa Tengah bisa dikatakan sebagai provinsi paling toleran dengan empat kotanya yang masuk dalam daftar. Mungkin ini juga selaras dengan fakta bahwa kota-kota tersebut juga termasuk kotakota paling nyaman ditinggali.

Sebaliknya, Setara juga mengeluarkan deretan kota yang dianggap paling intoleran se-Indonesia. Entah bagaimana, sebagian besarnya berada di Pulau Sumatera, yaitu Lhokseumawe, Prabumulih, Pariaman, Medan, Banda Aceh, Sabang, Padang. Selainnya adalah Mataram, Depok, dan Cilegon. Padahal, pada umumnya suku yang menghuni Pulau Sumatera juga adalah Suku Melayu, sama dengan mayoritas suku di Singkawang.

Bisa dikatakan, ada faktor lain yang menyebabkan gap ini. Menariknya saya pernah tinggal di salah satu dari deretan kota paling toleran dan salah satu dari deretan kota intoleran tersebut. Karena hidup sebagai kelompok mayoritas, saya tidak terlalu risih dengan perbedaan perlakuan. Namun ada beberapa hal yang saat ini saya sadari. 

Di kota toleran, tidak ada perbedaan kebijakan untuk perayaan pada kelompok mayoritas. Sedangkan, ada perlakuan khusus bagi kelompok mayoritas di kota intoleran. Ada kebijakan yang diberlakukan bagi lembaga negeri sebagai atribut wajib, padahal itu adalah atribut kelompok mayoritas. Kebijakan tersebut secara langsung ataupun tidak, berdampak pada perlakuan masyarakat secara umum. Bersikap ramah pada mereka yang dianggap sekelompok, tapi membedakan perlakuan pada mereka dari kelompok berseberangan. Tidak heran. fragmentasi ini bisa memicu konfik-konflik intoleran. 

Padahal, keberagaman adalah bagian dari kehidupan. Kita mengagungkan kebenaran kita sendiri, orang lain juga mengangungkan kebenarannya, jika kita sama-sama bersikeras dengan kebenaran masing-masing, apakah itu masih tindakan benar untuk dilakukan?


Belajar Toleransi

Seperti yang telah disebutkan diatas, toleransi adalah cara kita hidup sebagai manusia. Memang, Tuhan tidak menciptakan kita seragam, memang ada perbedaan yang harus kita hargai, ada rupa yang tampak berbeda, ada hal-hal tidak terlihat namun dipegang teguh oleh masing-masing kita. Itu yang perlu kita sadari dan hargai.

Di Singkawang misalkan, pemerintahnya memang memiliki regulasi agar masyarakat bisa hidup damai dalam keberagaman, yang tertuang dalam Peraturan Walikota Singkawang No. 129 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Toleransi Masyarakat. Tidak hanya regulasi, namun juga diperlihatkan dalam bentuk keteladanan dan aksi nyata. Tidak ada yang menghalangi kelompok masyarakat dalam melaksanakan ritual keagamaan ataupun kebudayaannya. Disana, ditanamkan bahwa tidak ada kelompok yang mendominasi di sana, sehingga tenggang rasa sudahmenjadi kebutuhan bagi masyarakat Singkawang. 

Perbedaan yang ada dijembatani dengan komunikasi yang baik oleh masyarakat Singkawang. Mereka bercengkrama antar etnis ataupun agama sebagai hal yang lumrah dan biasa. Mereka saling bertukar pikiran dan pendapat atas isu yang sedang hangat, menjalin silaturahmi membuat saling memahami sehigga tidak ada sekat yang dapat memunculkan konflik intoleran. Secara berkala, diadakan diskusi publik, silaturahmi lintas agama dan etnis, serta pagelaran budaya multietnis untuk melestarikan kerukunan masyarakat. 

Keharmonisan hidup masyarakat Singkawang itu tidak terlepas dari moderasi beragama yang mereka terapkan. Bagaimana mereka memiliki cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang mengedepankan perlindungan martabat kemanusiaan dan kemaslahatan bersama, berdasarkan prinsip adil, berimbang, dan taat pada konstitusi sebagai kesepakatan bernegara. Secara sederhana moderasi beragama memiliki empat indikator yaitu toleransi, komitmen kebangsaan, penerimaan terhadap tradisi, dan anti kekerasan.

Mungkin benar jika dikatakan bahwa pengalaman adalah guru berharga, karena sepertinya masyakarat Singkawang belajar banyak dari masa lalu saat terjadi konflik diskriminasi. Pengalaman tidak nyamannya hidup dalam konflik tersebut membuat seluruh pihak di Singkawang belajar untuk bisa hidup dalam akulturasi budaya. Hasilnya Singkawang juga terkenal dengan banyaknya perayaan keagamaan di sana, ornamen lampion saat Imlek, ornamen ketupat saat Idul Fitri, hingga ornamen pohon cemara saat Natal. Ditamah lagi, tahun 2022 lalu diluncurkan Tahun Toleransi oleh pemerintah Singkawang dalam rangka menjaga dan meningkatkan toleransi yang telah terbina dengan baik di sana. Maka wajar jika Singkawang disebut sebagai kota percontohan toleransi dengan berbagai upaya dari seluruh pihak untuk mencapai itu. 

Kota-kota lain, meski tidak memiliki heterogenitas seperti Singkawang, dan dipimpin oleh pejabat yang belum terlalu siap dengan perbedaan, bisa belajar dan mulai mengarah pada hal-hal baik tersebut, menuntun agar toleransi bukan lagi dianggap sebagai kewajiban namun mengalir seperti napas di masyarakat. 


Baca Juga: Mengajarkan Toleransi pada Anak untuk Hidup Damai Bermasyarakat


Dalam kehidupan kita dengan miliaran manusia lainnya yang sama-sama hidup di bumi, harusnya toleransi menjadi dasar yang mutlak kita miliki. Jelas setiap kita berbeda, meskipun beberapa atibut yang sama membuat kita berada pada satu kelompok tertentu. Tidak ada ketentuan bahwa satu kelompok lebih baik dari kelompok lainnya. Apalagi jika kelompok yang merasa superior itu merasa berhak hingga menyakiti kelompok lain yang dianggap lebih rendah. Jika kesadaran itu kita bawa dalam apapun yang kita lakukan, konflik tidak akan muncul, karena menganggap orang lain pun adalah sama dengan kita, sama-sama bagian dari semesta ciptaan Tuhan. 

Selanjutnya, setelah melihat bahwa kita semua adalah entitas yang sama, kita bisa berlatih untuk melihat kenyataan apa adanya, tanpa label penghakiman. Melihat suatu bentuk apa-adanya tanpa embel-embel ini leih baik atau ini lebih buruk. 

Terakhir, adalah praktik menerima dan mencintai diri sendiri. Orang yang telah berdamai dengan kondisi dirinya cenderung tidak akan membuat keributan dengan orang lain. Ia akan merasa cukup dengan dirinnya, tanpa perlu mengusik kedamaian orang lain, sehingga konflik pun juga akan terhindar. Ketenangan batin ini yang perlu kita upayakan seiirng dengan belajar toleransi itu. Jadi kita bisa mulai belajar toleransi dari Singkawang dengan pengalaman pahitnya, serta dengan kesadaran bahwa kita semua sama saja, tinggal terima dan cintai diri lengkap dengan fakta apa adanya. Karena sejatinya, setiap kita berbeda sekaligus sama di alam semesta.


Baca Juga: Memang Beda Agama, Tapi Kita Tetap Bersaudara


Salam, Nasha

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Kenalan Dulu, yuk!

Hai, aku Nasha! Aku diberkahi dengan dua guru hebat dan akan seterusnya belajar. Sedang giat tentang gracefully adulting, mindfull parenting, dan sustainable living. Kadang review tontonan, buku, dan produk yang baik juga. Semoga berguna!
PS, untuk info kerja sama, bisa email aja ya! ;)

Follow @salamnasha

POPULAR POSTS

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Hubungi Aku di sini

Nama

Email *

Pesan *

Advertisement

Label

family REVIEW lifestyle rekomendasi BUMI lingkungan parenting kesehatan mental kesehatan netflix marriage adulting rekomendasi buku

Daftar Tulisan

  • ►  2025 (21)
    • ►  Mei 2025 (2)
    • ►  April 2025 (5)
    • ►  Maret 2025 (4)
    • ►  Februari 2025 (5)
    • ►  Januari 2025 (5)
  • ►  2024 (41)
    • ►  Oktober 2024 (4)
    • ►  September 2024 (8)
    • ►  Agustus 2024 (5)
    • ►  Juli 2024 (5)
    • ►  Mei 2024 (5)
    • ►  April 2024 (3)
    • ►  Maret 2024 (5)
    • ►  Februari 2024 (3)
    • ►  Januari 2024 (3)
  • ▼  2023 (117)
    • ►  Desember 2023 (10)
    • ▼  November 2023 (10)
      • Rekomendasi Hotel Jogja untuk Keluarga yang Nyaman...
      • Saling Peduli dan Suka Berbagi Buat Kita jadi Nega...
      • Asian Parent, Alasan Kenapa Kita Lebih Mudah Bilan...
      • Menghindari Phubbing, Kebiasaan yang Dapat Menggan...
      • Pengalaman Konsultasi ke Psikolog Anak untuk Menja...
      • Daftar Produk Berkualitas Tinggi Pengganti Brand y...
      • Belajar Toleransi dari Kota Paling Toleran se-Indo...
      • Rekomendasi Set Skincare untuk Kulit Sehat Terawat...
      • Bagaimana Memberi Anak Pemahaman tentang Perang
      • Quality over Quantity, Kenapa Kita Perlu Mengutama...
    • ►  Oktober 2023 (10)
    • ►  September 2023 (10)
    • ►  Agustus 2023 (10)
    • ►  Juli 2023 (10)
    • ►  Juni 2023 (11)
    • ►  Mei 2023 (12)
    • ►  April 2023 (8)
    • ►  Maret 2023 (10)
    • ►  Februari 2023 (8)
    • ►  Januari 2023 (8)
  • ►  2022 (31)
    • ►  Desember 2022 (6)
    • ►  November 2022 (3)
    • ►  Oktober 2022 (4)
    • ►  September 2022 (3)
    • ►  Agustus 2022 (1)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (3)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (3)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Oktober 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (1)
    • ►  Juni 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (2)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (6)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (4)

BloggerHub Indonesia

Tulisanku Lainnya

Kompasiana Kumparan

Popular Posts

  • Review Popok Perekat (Taped Diapers) Premium: Mamy Poko, Fitti, Sweety, Merries
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Trending Articles

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Copyright © SALAM, NASHA. Designed by OddThemes