Proses pendidikan adalah perjalanan panjang. Berbeda dengan belajar yang sudah sejak dahulu anak lakukan, pendidikan adalah jenjang formal yang punya ketentuan. Ada sistem yang mengatur, ada batasan yang perlu diikuti, ada standar yang harus dipenuhi. Setidaknya perlu dua belas tahun perjalanan sebagai siswa dan butuh tahunan lagi sebagai mahasiswa. Memang ini tidak menentukan segala, tapi jalur inilah yang paling luas dan paling terbukti membentuk diri. Maka, mari kita mulai perjalanan ini!
Mungkin perjalanan ini tidak akan semulus dugaan. Awal-awalnya akan terasa menyenangkan karena engkau baru melakukan. Lalu, engkau mulai merasa kelelahan, kadang rasa bosan juga datang menyerang. Ada-ada saja tantangan di depan. Tidak apa.. Semua memang akan ada halangannya, tidak ada yang benar-benar mudah dilakukan.
Wajar jika suatu waktu engkau tidak mengerjakannya dengan gembira. Pulang tidak lagi dengan senyuman tapi dengan gurat keletihan. Ingat, akan selalu ada rumah sebagai tempatmu berpulang. Beristirahat sebelum kembali melanjutkan. Aku tidak bisa menjanjikan perjalanan bebas hambatan, tapi engkau tidak akan sendirian.
Meskipun tidak ada jaminan perjalanan ini kan terus menyenangkan, tapi waktu dan tenagamu akan sepadan. Jika dari hari ke hari engkau tahu rasanya berjuang, berlatih untuk kapasitas dirimu sendiri. Jadi mari kita mulai ini dengan cara menyenangkan. Kita berangkat melalui jalan yang lebih engkau suka, dengan cara yang lebih menarik bagimu. Karena engkau yang menjalani, aku yang mendampingi.
Setelah masa pengenalan sekolah ini usai, saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri, anak, serta kita semua sebagai orang tua bahwa pendidikan adalah hak anak. Mereka berhak untuk pergi bersekolah, mendapat kesempatan untuk tumbuh berkembang sesuai dengan tahapan usianya, memperoleh pengalaman yang menyenangkan. Mereka-lah yang akan menjalani, yang akan memikul kewajibannya nanti, yang akan bertanggung jawab dalam kegiatannya. Kita mendampingi, memfasilitasi, mengingatkan mereka, mendukung pertumbuhannya.
Dengan kesadaran itu, harusnya tidak perlu ada paksaan apalagi ancaman. Anak akan perlahan memahami kewajibannya di usia yang matang, rata-rata tujuh tahun. Anak belajar bertanggung jawab pada apa yang ia jalani, mereka juga akan berlatih paham konsekuensi. Jadilah tempat yang aman untuk anak berbagi, apa yang ia rasakan, pikirkan, apa yang ia hadapi, juga apa yang ia inginkan.
Di waktu lainnya, saya juga menulis ini lagi-lagi sebagai pengingat diri..
Nak, saat tumbuh semakin besar nanti mungkin akan semakin akrab ditelinga untukmu lebih unggul dari teman-teman sebayamu. Menjadi yang terbaik dalam lingkaran yang dituntut semakin membesar. Kalimat bersaing dalam kompetisi global akan semakin kerap kau dengar.
Bagaimana rasanya Nak, tumbuh dalam dunia denga populasi yang terus meningkat berkali lipat? Mereka kebanyakan semakin agresif berebut tempat. Berhenti sebentar seakan sudah tak sempat. Mulai belakangan agaknya sudah sangat terlambat.
Namun ketahuilah Nak, tidak benar-benar ada kompetisi di luar sana. Itu hanya wujud ketakutan mereka, yang sayangnya, nyaring bersuara. Mungkin mereka tidak tahu, kita tidak perlu memiliki segalanya. Sehingga mereka lupa, pada banyak hal yang sudah mereka terima.
Lihat engkau Nak, lihat dirimu, lihat sekitarmu saja. Ada banyak yang sudah kau dapat, dan banyak pula yang bisa kau perbuat. Hasratmu meraih jangan membuatmu lupa pada apa yang ada di depan mata. Tidak perlu melihat jauh ke sana, karena jalan itu tidak akan pernah ada ujungnya. Orang yang semakin ramai, bukanlah alasan agar lebih banyak engkau menggapai. Untuk apa berebut jika engkau bisa berbagi. Untuk apa saling menyikut jika engkau bisa saling memberi. Dunia yang semakin padat harusnya membuatmu menggenggam lebih erat. Bersama-sama mewujudkan dunia yang lebih berdaulat.
Sehingga jika terlihat kompetisi di mana-mana, tidak perlu engkau ikut serta. Jika begitu sulit mengajak mereka bercengkerama, biarkan saja. Lihat saja dirimu, perhatikan jalanmu. Tujuanmu apa, lihat ke sana saja. Teruslah melangkah, beristirahat jika engkau lelah. Kau tidak perlu lebih unggul, kecuali dari dirimu yang lalu. Manfaatkan sebaik-baiknya waktu. Kau akan mempertanggungjawabkan, ingat saja itu selalu.
Tulisan itu sebagai bentuk kegundahan hati saya akibat pilihan sekolah yang semakin beragam. Mulai dari jenisnya, kurikulumnya, hingga biayanya. Masing-masing menawarkan keunggulannya, yang semua terdengar hebat. Namun ada satu kalimat yang terus diulang-ulang, kompetisi global. Hal itu semacam warning yang memberi tahu kita bahwa dunia akan semakin ramai dengan orang-orang yang semakin pandai.
Saya juga merasa kalau anak tidak bisa ini, ia akan tertinggal. Kalau anak tidak unggul begini, ia bisa kewalahan. Kalau anak tidak jadi yang paling, ia bisa kesusahan. Rasanya masa depan diliputi ketakutan. Padahal kan tidak perlu begitu. Setidaknya buat saya.
Membanggakan mungkin ya jika anak menjadi yang paling cemerlang, paling dulu bisa, paling hebat di kelasnya, menjadi juara. Tapi, tidak pun tidak apa, saya akan tetap cinta. Menekankan anak untuk menjadi si paling unggul sebenarnya tidak perlu menjadi prioritas, karena perlu kita sadari bahwa persaingan itu tidak akan ada habisnya, akan selalu ada yang lebih baik, begitu pun akan selalu ada yang lebih buruk. Tergantung ke arah mana mata kita melihat, ke atas atau ke bawah.
Bagi saya, selama anak melakukan kebaikan, melakukan hal yang benar, itu sudah cukup. Ia hanya perlu menjadi lebih baik dari dirinya yang kemarin. Mensyukuri apa yang ia miliki dengan berjuang optimal memanfaatkan itu. Sudah diberi waktu, maka gunakan dengan sebaiknya lalu bertanggung jawab atas konsekuensinya. Justru di dunia yng semakin padat, alih-alih kompetisi kita perliu mengedepankan kolaborasi. Bekerja sama bukan hanya untuk kemenangan diri sendiri, tapi untuk kebaikan bersama.
Salam, Nasha