Luas hutan Indonesia mencapai 2% dari luas hutan dunia, menduduki peringkat ke-8 dalam wilayah hutan terluas. Hutan hujan tropis Indonesia sendiri disebut sebagai peringkat ketiga terbesar di dunia. Namun, untuk peringkat persentase hutan dibanding daratan, Indonesia berada di peringkat 20an dibawah negara-negara seperti Korea, Jepang, Finlandia, hingga Suriname. Angka dan peringkat tersebut juga diiringi dengan angka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang tidak menurun dari tahun ke tahun. Artinya, melestarikan hutan masih menjadi PR besar kita semua.
Hutan Indonesia
Penyebutan hutan sebagai paru-paru dunia merupakan gagasan yang sempurna, dengan perannya sebagai sumber kehidupan setiap makhluk yang ada di bumi. Kehebatannya itu bukan sebatas dengan banyaknya pohon yang berkumpul di area tersebut lalu menyediakan oksigen untuk kita hirup, namun juga sebagai area yang menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi banyak sekali entitas hidup. Jika ingin dirinci, hutan berfungsi sebagai sumber keanekaragaman hayati dengan banyaknya jenis tumbuhan yang hidup didalamya, menjaga kesuburan tanah, menyerap kotoran bahkan racun di tanah sekitar, mencegah erosi, tanah longsor, banjir, juga mengatur iklim, menahan pemanasan global dengan penyerapan karbondioksida, pengatur tata air, menyediakan cadangan air tanah, menyediakan berbagai hasil hutan untuk dimanfaatkan, sumber pengobatan alami dari berbagai bagian tubuh tumbuhan, hingga penunjang sektor ekonomi dengan menambah devisa negara melalui ekspor hasil hutan, pariwisata, dan juga dapat menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Apalagi hutan hujan tropis, keistimewaannya dalam menunjang kehidupan sangat luar biasa. Hutan hujan tropis ini dapat diketahui dari cirinya berupa daun yang lebar-lebar, selalu hijau, memiliki kerapatan yang tinggi, serta terdiri atas berbagai jenis tanaman dengan tinggi yang beragam atau diistilahkan dengan vegetasi berlapis. Hutan jenis inilah yang kita temui di Indonesia sebagai negara yang berada dalam wilayah tropis dekat dengan karis ekuator bumi. Dibandingkan dengan jenis hutan lainnya, hutan hujan tropis berisi jenis flora dan fauna dengan jumlah paling tinggi. Dengan curah hujan yang cukup sepanjang tahun dan sinar matahari yang selalu menaungi, pepohonan di area ini dapat tumbuh tinggi dan lebat, bahkan bisa mencapai tinggi lebih dari lima puluh meter.
Dengan karakteristik tersebut, keberadaan hutan hujan tropis sangat krusial. Berkat banyak kemampuannya mulai dari menyuplai hingga 30% oksigen dunia, menyimpan ratusan miliar karbon, dapat menjaga kestabilan iklim dan pola cuaca, mencegah banjir dan kekeringan, menstabilkan kondisi tanah, menyediakan berbagai produk lokal yang bermanfaat, sampai menjadi rumah bagi berbagai spesies satwa liar dan masyarakat sekitar kawasan.
Ilustrated Picture Edited by Canva
Sayangnya, jenis hutan ini juga yang paling rentan akan kerusakan. Ekosistemnya saling bergantungan satu sama lain. Jika satu jenis komponennya saja terganggu, maka dapat mempengaruhi keseimbangan seluruh ekosistem. Misalkan jika jumlah salah satu jenis makhluk dalam rantai makanan hilang, maka keseluruhan ekosistem dapat musnah. Begitu juga dengan kondisi tanahnya. Tanah awalnya tidak begitu subur, namun kesuburan itu akan meningkat dengan adannya unsur hara dari dedaunan dataupun pephonan yang mati diatasnya. Artinya, jika pohon-pohonnya ditebang atau dibawa ke tempat lain maka tidak ada tambahan unsur hara pada tanah tersebut, sehingga akan lebih sulit untuk menumbuhkannya menjadi area hutan kembali.
Kekayaan Hutan Hujan Indonesia
Indonesia memiliki luas hutan hujan terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Ciri detilnya dapat dibedakan berdasarkan wilayah persebarannya yakni hutan hujan wilayah barat, wilayah peralihan, dan wilayah timur. Keberadaan hutan inilah yang membuat Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna yang cukup tinggi di dunia.
Tercatat di seluruh Indonesia ada lebih dari 25.000 jenis flora yang tersebar, dengan 6000 diantaranya dapat ditemukan di hutan hujan, mulai dari pohon, perlu, lumut, rumput, bahkan jenis anggrek. Begitu juga dengan fauna, ada ratusan jenis mamlia, ribuan jenis aves, amfibi, pisces, reptilia, bahkan ada lebih dari 200.000 jenis serangga bemukim di hutan tersebut.
Pembagian jenis fauna itu juga dilakukan berdasarkan wilayah persebarannya yang menandakan ciri fauna tersebut, yakni fauna asiatis yang didominasi mamalia besar seperti kera, orang utan, badak bercula satu, gajah, berbagai ikan air tawar, dsb; fauna australiatis yang mayoritas adalah mamalia berukuran kecil dan hewan berkantung seperti kukus bertutul, landak, walabi, burung kasuari, burung cendrawasih, dsb; sedangkan fauna peralihan diisi oleh fauna yang mirip dengan asiatis dan australiatis seperti babi rusa, beuang, kuda, kukus kerdis, komodo, dsb.
Diantara ribuan jenis tersebut, banyak yang termasuk jenis fauna endemik yang artinya hanya dapat ditemui di hutan hujan Indonesia. Mereka adalah tarsius, tarantula, beruang madu, macan dahan, tapir, orang utan, belalang, gaja, harimau sumatra, juga burung kasuari. Hampir seluruh binatang ini termasuk dalam kategori dilindungi.
Keberadaan mereka sangat penting bagi keseluruhan ekosistem, yang nantinya juga akan berdampak pada kehidupan kita sehingga tidak boleh diperjual belikan, diburu, diganggu kehidupannya. Tarsius sudah dilindungi sejak tahun 1931 dan termasuk dalam jajaran binatang yang tidak boleh diperdagangkan sesuai dengan Appendix II CITES. Macan dahan dilindungi sejak tahun 1999. Sebagai binatang arboreal atau binatang dengan ketergantungan tinggi terhadap habitat hutannya, macan dahan sangat rentan terhadap deforestasi. Sama halnya dengan orang utan, beruang madu, harimau sumatra, juga gajah sumatra. Populasi mereka terus mengalami penurunan akibat pakannya yang semakin menipis dan wilayahnya yang semakin sempit. Beruang madu dikategorikan sebagai binatang terancam punah pada 2004 menyusul gajah sumatra yang telah lebih dulu disebut terancam pada tahun 1999. Harimau sumatra bisa saja menyusul kepunahan dua kerabatnya yakni harimau bali pada 1940 dan harimau jawa yang pada 1980. Kehidupan tapir sebagai jenis hewan elusive atau tidak suka menampakkan diri akan sangat terganggu dengan aktivitas manusia yang terus masuk ke wilayah mereka. Wilayah yang seharunsya menjadi tempat tinggal mereka saja, sekarang terus digarap dan dialihfungsikan untuk perkebunan, pertanian, pemukiman, hingga industri. Keserakahan manusia tidak berhenti dalam menjarah wilayah fauna ini saja, namun juga pada perburuan binatang-binatang tersebut seperti kasuari yang dikejar untuk diambil dagingnya, bulunya, hingga telurnya.
Ilustrated Picture Edited by Canva
Karhutla di Indonesia
Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim (PUSTANDPI) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai kebakaran yang meluas dengan cepat dan tidak terkontrol. Kebakaran biasanya diperparah dengan kondisi lahan kering di musim kemarau, adanya embusan angin yang bisa memusnahkan lahan dan hewan di dalamnya dalam hitungan menit, mengakibatkan kerusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial budaya dan politik.
Dari data yang dihimpun oleh berbagai lembaga baik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun lembaga swasta mandiri, luas hutan Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahunnya. BPS melaporkan hampir satu juta hektare hutan Indonesia hilang dalam lima tahun terakhir, setara dengan 0.5% luas total daratan Indonesia. Pengurangan terbanyak berada di Kalimantan yang disusul kemudian oleh Papua. Bahkan dalam forestdigest pada tahun 2020 meskipun luas hutan Indonesia secara hukum adalah 120,5 juta hektare, secara faktual area yang benar-benar memiliki tutupan hutan hanya 86,9 juta hektare. Ada selisih lebih dari 30 juta hektar yang meskipun tanpa tutupan hutan tetaplah area perhutanan, area yang harus dipertahankan agar tidak sampai menjadi area non hutan.
Pengalih fungsian yang mengubah area hutan menjadi non hutan inilah yang cukup menjadi perhatian. Pasalnya, selain karena mengurangi area hutan sebagai airea yang esensial bagi kehidupan kita, pengalih fungsian hutan dan lahan tersebut dilakukan dengan cara pembakaran. Penyebab ini dikategorikan sebagai ulah manusia. Angkanya jauh melebihi kebakaran hutan akibat kondisi alam. Bahkan dalam situsnya BNPB mengeklaim 99% kebakaran hutan adalah entah itu memang disengaja ataupun akibat kelalaian.
Dibanding tahun sebelumnya, data karhutla pada 2022 memang mengalami penurunan, namun jika kita lihat lima hingga sepuluh tahun ke belakang, data karhutla ini masih fluktuatif dengan pembakaran area karhutla terluas pada tahun 2019 yakni lebih dari 1,6 juta hektare hutan terbakar. Angka 200ribu hektare pada 2022 memang terlihat kecil, namun kitia pernah mencatatkan angka 61ribu pada 2011 lalu atau angka 165ribu pada 2017. Membandingkan dengan tahun-tahun tersebut artinya kita mengalami kemunduran, dan bila dilihat secara keseluruhan dapat kita ambil kesimpulan bahwa data kasus karhutla masih fluktiatif sehingga perlu mendapat perhatian lebih agar angkanya terus ditekan serendah mungkin. Karena dekade berlalu bukankah seharusnya kita lebih baik dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan ini?
Setelah memahami pentingnya hutan bagi kehidupan kita dan seluruh makhluk bumi, sepatutnya kita mempertahankan area hutan agar tidak terus berkurang, apalagi akibat kebakaran. Kebakaran hutan ini merugikan bukan hanya karena total luas hutan yang berkurang namun juga karena dampak-dampak negatif lainnya. Tidak hanya untuk masyarakat yang ada di sekitar namun lebih luas lagi bagi kita semua baik itu ekologi, ekonomi, sosial, budaya, juga politik. Dampak tersebut antara lain adalah:
Asap yang muncul akibat pembakaran sampah tetangga saja rasanya cukup menggangu, apalagi akibat terbakarnya ribuan hektare hutan yang jauh lebih luas. Pemadamannya pun membutuhkan usaha yang lebih besar, lama, dengan biaya yang tidak sedikit. Mungkin masyarakat Sumatera bagian timur dan tengah lebih paham, bagaimana hari-hari dimana pandangan mereka terbatas dan udara yang dihirup terasa padat. Bahkan, kabut asap ini pernah dikategorikan sebagai bencana nasional pada 2015 lalu.
Adanya kebakaran hutan akan mematikan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya. Tumbuhan yang tidak mungkin berpindah akan mati di tempat, akibatnya kita kekurangan penghasil oksigen dan penyerap karbon dioksida. Pemanasan global adalah efek selanjutnya.
Sedangkan, binatang ada yang bisa menghindari apa, ada pula yang tidak. Mungkin mereka yang bisa berlari akan terhindar dari kobaran api, namun tempat tinggalnya sudah habis terbakar. Tanpa wilayah untuk ditinggali dan pasokan makanan untuk dikonsumsi, hewan-hewan ini juga akan lebih cepat mati.
Radius polutan yang menyebar di udara saat terjadinya kebakaran hutan bisa sangat luas. Contohnya kebakaran di Provinsi Riau bisa mengakibatkan polusi hingga ke Singapura dan Malaysia. Selain asap, juga ada polutan yang merugikan seperti karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya. Polusi udara, air, tanah, dan masih banyak lagi yang timbul akibat kebakaran hutan tersebut.
Adanya polutan di udara akibat pembakaran mengakibatkan banyak gangguan pada tubuh kita seperti iritasi selaput lendir yang ada pada mata, hidung, hingga tenggorokan, lalu sakit kepala, mual, ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), hinga penyakit ke paru-paru dan jantung. Tidak sedikit korban jiwa yang pernah dilaporkan akibat dari kesehatan yang terganggu saat kebakaran hutan terjadi.
Banyaknya tumbuhan yang hilang dari tanah menyebabkan tidak adanya penyerapan air yang mengalir sehingga terkikislah permukaan tanah yang dikenal dengan erosi tanah. Struktur tanah akibat kebakaran tersebut juga bisa mengalami kerusakan, ditambah jika organisme penyubur tanah juga ikut terbakar. Kasus terparah adalah kebakaran lahan gambut yang disengaja, parit-parit pengering tanah dibuat hingga tanah kering dan terbakar, akibatnya tanah tidak lagi subur. Penggunaan penyubur kimia berlebih justru akan memperparah kondisi tanah tersebut.
Dengan area pepohonan yang menipis, air yang awalnya tertahan oleh akar tumbuhan, sebagai cadangat air saat kemarau, akan mengalir begitu saja. Akibatnya terjadilah banjir. Jika genangan air tersebut terjadi pada tanah yang sudah erosi, sangat mungkin terjadi longsor. Pada wilayah sungai, sedimentasi akibat debu dan sisa pembakaran dapat mengendap yang mengakibatkan pendangkalan sungai tesebut.
Di musim kemarau, air hujan yang harusnya tertahan oleh pepohonan di hutan, tidak lagi ada. Akibatnya, kekeringan. Banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Dua bencana yang kita hindari, namun sayanngnya tidak kita cegah penyebabnya terjadi.
Ilustrated Picture Edited by Canva
Karbon dioksida dan gas-gas lain yang berkumpul di udara saat kebakaran hutan menyebabkan meningkatnya suhu bumi. dari data emisi yang dirilis KLHK, sektor kehutanan menjadi sekotar yang menyumbang emisi terbesar pada tahun 2015 dan 2019 lalu, dengan nilai mencapai 1,5 juta Gg C02 di tahun 2015 tersebut. Kebakaran menghasilkan karbon dioksida, pepohonan yang harsunya menyerap gas tersebut malah semakin sedikit jumlahnya. Apalagi kebakaran yang disengaja, gas-gas yang dihasilkan jauh lebih banyak dan berbahaya dibanding kebakaran hutan alami. Zat tersebut, salah satunya karbon monoksida, mampu merobek lapisan ozon bumi. Efek lanjutannya, sinar ultraviolet masuk tanpa penghalang merusak tubuh kita, suhu bumi terus meninggi, es kutub mencair hingga bisa menenggelamkan daratan.
- Potensi bencana alam yang mengancam kehidupan
Keseimbangan alam yang terganggu, cepat atau lambat juga akan 'mengganggu' kehidupan kita, bagaimana pun kita berusaha menghindarinya. Tanah longsor, banjir, kekeringan, naiknya permukaan laut adalah bencana yang sangat mungkin terjadi, bahkan sudah beberapa kali terjadi. Bencana itu terus berulang, sama dengan kebakaran hutan yang terus berulang seiring dengan ulah manusia yang sengaja membakar area perhutanan. Tidak berhenti disitu, masih banyak efek jangka panjangnya, antara lain terganggunya transportasi; menghambat kegiatan pertanian, perkebuan, peternakan, dsb; kurangnya pasokan makanan, terganggunya sumber penghasilan, menurunnya produktivitas serta kualitas hidup kita semua.
Penyebab dan Pencegahan
Setelah mengetahui dampak buruk kebakaran hutan diatas, pengendalian kebakaran hutan menjadi hal yang mendesak. Tidak bisa lagi ditawar. Cuaca semakin memanas, iklim terus berubah lebih buruk dari waktu ke waktu, tidak mungkin kita tetap melanggengkan kebakaran hutan dan lahan yang semakin memperburuk keadaan.
Mengatasi kebakaran hutan ini, bisa kita mulai dengan mempelajari apa saja faktor penyebabnya lalu melakukan pencegahan agar tidak kejadian. Faktor penyebab karhutla secara garis besar adalah faktor alam dan faktor ulah manusia.
Faktor alam yang bisa menyebabkan karhutla antara lain adalah petir, yang melanda saat musim kemarau di area vegetasi kering; letusan vulkanik gunung berapi; musim kemarau dimana vegetasi kering yang mendorong kebakaran bahkan hanya dari daun yang bergesekan. Umumnya kebakaran dari faktor alam ini terjadi saat musim kemarau, dimana vegetasi tanah akan menjadi sangat kering. Munculnya setitik api dapat menjadi kebakaran besar dalam keadaan hutan yang rawan, ditambah pula dengan kondisi alam tertentu seperti gejala el nino, lahan gambut yang terdegradasi, hingga kondisi ekonsomi sosial masyarakat sekitar.
Dari banyaknya faktor alam tersebut, ada lebih banyak lagi ulah manusia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Mulai dari pembakaran disengaja untuk keperluan pembukaan lahan; penebangan batang pohon dengan peralatan yang memicu api atau yang menyebabkan panas matahari langsung ke tanah yang kering diwaktu mendatang; pemburuan hewan yang menggunakan senjata api; perambahan hutan untuk berbagai keperluan seperti pakan ternak ataupun tempat tinggal; hingga aktivitas sederhana seperti api unggun ataupun sisa api dari puntungan rokok. Masyarakat secara luas harus menyadari bahwa aktivitas apapun yang dikerjakan dalam hutan, dapat berdampak besar untuk kehidupan banyak makhluk di sekitarnya.
Dari sekian banyak penyebab tersebut, masyarakat dapat melakukan sejumlah cara untuk mencegah terjadinya peristiwa tersebut. Berikut hal-hal yang bisa kita lakukan #BersamaBergerakBerdaya untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan:
- Penyuluhan kebakaran hutan di setiap desa sekitar kawasan hutan
Menginformasikan bahayanya kebakaran hutan, dampak yang ditimbulkan, dan aktivitas-aktivitas apa saja yang dapat memicu kebakaran tersebut. Perbanyak peringatn di area rawan. Lakukan sosialisasi secara berkala ke seluruh lapisan masyarakat. Hal paling penting yang perlu ditanamkan adalah kesadaran bahwa kehidupan masyarakat tidak akan bisa berlangsung baik dengan adanya hutan dan lahan yang terbakar.
- Petugas terkait melakukan upaya yang serius dalam pencegahan, pemadaman, dan penanganan area pasca kebakaran
Upaya pencegahan dilakukan secara menyeluruh dengan menganalisa titik rawan kebakaran, melaksanakan patroli rutin, mendeteksi kebakaran sedini mungkin sebelum apinya semakin besar dan luas, serta melakukan sosialisasi pada seluruh pihak terkait. Dengan banyanya titik rawan api di Indonesia, pemantauan ketat oleh petugas merupakan hal sangat penting untuk dilakukan. Lakukan dengan mendirikan menara pengawas yang dilengkapi berbagai peralatan untuk bisa melihat dengan jarak pandang jauh, membuat pos jaga, menyediakan alarm yang bisa lebih cepat mengumpulkan massa untuk segera bertindak, menggunakan data satelit untuk pemantauan, serta menyediakan tempat penampungan air di wilayah terdekat titik-titik rawan.
Saat terjadinya kebakaran, akan lebih mudah jika seluruh masyarakat yang sudah teredukasi dapat bekerja sama memadamkan api dengan peralatan memadai yang sudah disiapkan sebelumnya. Setelah api berhasil dipadamkan, masih banyak lagi pekerjaan yang perlu dilakukan, mulai dari sanksi pelanggaran yang menyebabkan kebakaran, lalu bersama-sama melakukan pembersihan hutan dan lahan sisa kebakaran, melakukan reboisasi, juga pengolahan tanah agar kembali subur dan dapat berfungsi kembali.
- Tidak melakukan pembakaran di area hutan
Langkah paling baik adalah menghindari pilihan membakar area dengan alasan apapun. Namun jika pembakaran harus dilakukan, pastikan untuk menyingkirkan apapun yang dapat menimbulkan potensi api membesar, lalu tunggui sampai api benar-benar padam. Termasuk didalamnya agar tidak meninggalkan bekas api unggun dalam keadaan api menyala, dan tidak membuang puntung rokok ataupun sampah sembarangan.
- Penanganan Tepat pada Lahan Gambut
Kasus kebakaran yang paling menjadi perhatian adalah kebakaran di lahan gambut, apalagi pada tahun 2015 dan 2019 lalu dengan 29% karhutla adalah lahan gambut. Hal ini disebabkan karena degradasi lahan gambut dapat mengeluarkan rata-rata 50 metrik ton C02 setiap tahunnya atau setara dengan membakar lebih dari enam ribu galon bensin. Pengeringan gambut ini, jika dilanjutkan dengan pembersihan lahan menggunakan api, tentu menghasilkan karbon dioksida yang lebih besar lagi, yang akibatnya mempercepat pemanasan global. Apalagi area gambut lebih susah dipadamkan akibat lapisan bahan organik di dalamnya, bahkan proses pemadaman bisa mencapai bulanan. Penanganan kebakaran lahan gambut harus dilakukan dengan teliti mulai dari upaya pencegahan degradasi lahan, memantau ketat area gambut rawan, hingga menyiapkan strategi terbaik jika terjadi kebakaran agar cepat teratasi.
Lestarikan Alam, Jaga Hutan
Ilustrated Picture Edited by Canva
Mungkin kita pernah berpikir, apa ada yang bisa kita lakukan sebagai warga yang tidak punya kewenangan dan juga masyarakat yang tidak bersentuhan langsung dengan area hutan. Jawabannya ada #UntukmuBumiku. Banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai warga masyarakat untuk tetap melestarikan hutan, antara lain:
- Ikut dalam aksi menanam pohon
Tidak masalah jika kita mulai dari lingkungan terkecil di rumah, akan ada pengaruhnya, apalagi ika dilakukan dalam skala besar, dalam jumlah yang banyak,dengan area yang luas. Bisa jadi bagian dalam gerakan penghijauan kembali area hutan atau reboisasi, dengan terjun langsung ke lapangan atau donasi rutin untuk mendukung kegiatan tersebut.
Tidak membuang sampah, baik itu di area nonhutan apalagi di area hutannya langsung. Karena bagaimanapun tumpukan sampah akan berpengaruh pada kelangsungan hutan. Sampah bahan tertentu dapat memicu api, atau setidaknya memperparah saat terjadi kebakaran. Tumpukan sampah harusnya diperlakukan sebagaimana mestinya, organik bisa langsung dikubur, anorganik bisa diolah ke bank sampah, jangan sampai membakarnya. Berkunjung ke hutan juga jangan merusak apapun yang ada di dalamnya, baik itu tumbuhan maupun hewan.
- Tidak melakukan penebangan sembarangan
Sebenarnya kita boleh saja memanfaatkan hasil hutan, kayu-kayu pohon yang ada di hutan boleh ditebang, dengan sistem bernama tebang pilih. Yakni hanya menebang pohon yang sudah mati, hampir mati, akan roboh, atau sudah cukup tua dengan pehitungan diameter dan tinggi tertentu. Setelah ditebang, lakukan kembali penanaman sehingga tidak membiarkan area tandus tanpa pepohonan. Metode ini dapat menyisakan 90% peohonan di hutan sehingga kebutuhan kita bisa terpenuhi dan hutan tetap lestari.
- Upaya pelestarian flora dan fauna
Menjaga flora dan fauna di dalam hutan juga berarti turut menjaga kelestarian hutan itu sendiri. Karena hutan juga tidak bisa hidup tanpa makhluk-makhluk di dalamnya, misalkan organisme penyubur tanah, atau mamalia penyebar biji tumbuhan. Sekarang, melestarikan hutan bisa dilakukan dari rumah saja, baik itu menyebarluaskan fungsi vital hutan atau dengan donasi pada berbagai lembaga yang terjun langsung mendukung kelestarian hutan.
Penebangan pohon juga pembukaan lahan, erat kaitannya dengan aktivitas manusia dalam proses produksi. Tidak ada produksi tanpa adanya konsumsi. Tidak perlu merambah hutan jika kebutuhan sudah cukup terpenuhi. Maka, mengendalikan permintaan, mengendalikan konsumerisme akan berpengaruh pada kelestarian hutan. Salah satunya misalkan, jika kita tidak perlu kertas, maka penjualan dan produksi kertas akan menurun, begitu juga dengan penebangan pohon yang menjadi sumber dayanya. Akan selalu ada produksi selama ada pembelian dari masyarakat. Dengan kesadaran ini, kita harus lebih bijak berkonsumsi, tahu apa kebutuhan diri, tidak ikut-ikutan membeli karena tren, murah, atau hanya karena merasa mampu. Karena mampu bukan berarti perlu. Konsumsi sesuai kebutuhan, lalu tanggung jawab hingga selesai.
Setiap kita harusnya sudahb sadar akan pentingnya hutan bagi kehidupan, namun melihat fakta bahwa kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi, ternyata tugas untuk menjaga hutan masih panjang. Tugas negara juga tugas kita semua untuk melestarikan apa yang masih tersisa, agar tetap bisa hutan menunjang kehidupan kita semua. Yuk #BersamaBergerakBerdaya menjaga hutan!
Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_luas_wilayah_hutan
https://indonesia.go.id/ragam/keanekaragaman-hayati/ekonomi/anugerah-dari-hutan-indonesia#:~:text=Di%20hutan%20hujan%20tropis%20Indonesia,tumbuhan%20jenis%20flora%20di%20Indonesia.
https://lindungihutan.com/blog/daftar-hewan-endemik-hutan-hujan-tropis/
https://news.republika.co.id/berita/pfz6cr330/hutan-di-indonesia-terus-berkurang
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/12/21/luas-hutan-indonesia-berkurang-hampir-sejuta-hektare-dalam-5-tahun
https://bnpb.go.id/berita/99-penyebab-kebakaran-hutan-dan-lahan-adalah-ulah-manusia
https://data.kompas.id/data-detail/kompas_statistic/6491710d95db98031dbe3cb4#:~:text=Hasil%20pencatatan%20SiPongi%20Kementerian%20Lingkungan,517%20hektar%20dibandingkan%20pada%202015.
https://pusatkrisis.kemkes.go.id/dampak-karhutla-bagi-kesehatan-masyarakat
https://damkar.bandaacehkota.go.id/2020/07/19/17-cara-mencegah-kebakaran-hutan-dan-lahan/