Mengenal Legenda Inyiak Balang, dalam Rangka Ulang Tahun Kota Padang

Ilustrated Image

"Kalau durian jatuah, agiah ka inyiak dulu. Sasudah tu, baru diambiak."

(Kalau duriannya jatuh, kasih ke inyik dulu. Setelah itu baru diambil)

Begitu kira-kira pesan dari leluhur tentang inyiak atau inyiak balang, tokoh harimau yang dipercaya makan durian oleh masyarakat Minang. Inyiak sendiri sebenarnya adalah panggilan untuk kakek dalam masyarakat Minangkabau, balang adalah belang yang merujuk pada kulit harimau. Karena adanya legenda yang turun temurun tentang harimau (harimau sumatera), maka panggilan inyiak ditujukan untuk menghormati tokoh tersebut. Layaknya seorang kakek yang menjaga anak cucunya, inyiak balang juga dipercaya menjaga anak cucu di nagari tempatnya bernaung. Cukup banyak kisah asal muasal bagaimana hubungan istimewa ini dibangun. Setiap kampung mungkin punya versi hikayatnya masing-masing, namun secara keseluruhan di Sumatera Barat, garis besarnya sama. Tentang bagaimana inyiak, sosok harimau sumatera dan masyarakat Minangkabau saling menjaga satu sama lain.

 

Carito Inyiak

Jika orang mengenal Sumatera Barat hanya melalui ibukota provinsinya, yaitu Kota Padang, maka legenda inyiak balang kemungkinan besar akan sulit ditemui. Mengingat sudah cukup banyak pendatang yang bermukim di Padang. Apalagi, legenda seperti ini tidak sejalan dengan gaya hidup urban. Tidak banyak lagi mitologi ini diceritakan pada anak cucu di perkotaan. Namun, cerita ini terus hidup di wilayah perkampungan, pelosok yang masih memegang teguh nilai dari nenek moyang. 

Dari kepercayaan yang beredar, setidaknya ada dua jenis harimau yang dipercaya masyarakat Minang, yakni harimau sebagai binatang serta harimau sebagai makhluk supranatural. Tidak benar-benar bisa dipisahkan antara keduanya, sehingga masyarakat Minang jarang menyebut langsung harimau, tapi dengan panggilan inyiak. Ada yang percaya bahwa harimau dipelihara oleh leluhur dalam keluarga, biasanya mereka yang terpandang memiliki ilmu yang mumpuni, sehingga bisa berkomunikasi dengan harimau tersebut. Ada juga yang percaya bahwa inyiak ini sebenarnya adalah sosok gaib yang bisa berkomunikasi dengan manusia dan harimau, sehingga bisa menjadi penghubung antara keduanya. Orang yang bisa berhubungan dengan harimau ini, juga menguasai ilmu bela diri silat tingkat tinggi, atau dikenal dengan silek harimau. Perbedaan silek ini dengan bela diri lainnya adalah pada filosofi harimau yang gesit dan tangkas namun memiliki gerakan yang indah dalam menghadapi lawan. 

Dalam cerita yang disampaikan oleh Tuo Silek (pengasuh perguruan silat harimau) kepada jpnn, harimau merupakan semacam roh yang nantinya bisa menyatu ditubuh pendekar tertentu. Untuk itu, seorang pandeka harus memahami dulu dirinya sendiri, Tuhannya, dan ilmu agama lahir dan bathin, serta harus sabar dan mampu berlapang hati dalam situasi apapun, karena hakikat ilmu ini bukanlah untuk mengalahkan lawan tapi melawan hawa nafsu diri sendiri. Seorang pandeka hendaknya bisa bersikap layaknya harimau yang tenang namun sangat cekatan, tangguh, dan kuat dalam melawan yang mengusik.

Ilustrated Picture

Bukan hanya dalam ilmu silat, kepercayaan pada inyiak juga hidup dalam keseharian masyarakat Minang. Inyiak dianggap sebagai sosok yang menjaga anak cucu dan perkampungannya dari jarak jauh, sehingga ada beberapa pantangan inyiak yang tidak boleh dilanggar. Seperti di perkebunan durian, orang yang sedang menunggui durian jatuh dilarang langsung mengambil yang pertama, karena dianggap itu jatahnya inyiak. Durian jatuh setelahnya yang boleh diambil. 

Pantangan lainnya adalah pulang malam disekitar hutan, karena dalam kesepakatan yang dipercaya, manusia beraktivitas dikampung pada siang hari, harimau akan beraktivitas disekitar hutan pada malam hari. Jan sampai basobok (jangan sampai bertemu). Namun saat terpaksa harus beraktivitas dimalam hari, seperti mencuci piring dibelakang rumah karena ada acara, justru inyiak yang akan menjaga. Biasanya inyiak hanya akan terlihat dari sorot mata seperti cahaya dikegelapan malam tersebut. Penjagaan inyiak juga diceritakan dengan bagaimana masyarakat yang tersesat di hutan diberi pertanda untuk jalur keluar melalui berbagai cara, asalkan orang tersebut tidak berbuat zalim di dalam hutan tersebut.

Binatang biasanya memiliki jalur tetap untuk dilewati, termasuk juga harimau, dalam hal ini dikenal dengan jalur pinteh inyiak. Mereka yang hafal pola kehidupan harimau bisa melihat rute perlintasan inyiak, dan akan menginformasikan keseluruh kampung untuk menghindari pembangunan di area tersebut agar tidak mengganggu. Dipercaya saat inyiak lewat, akan terdengar suara-suara binatang lain seperti kera dan sejenisnya mengiringi. Warga yang paham sudah bisa beradaptasi dan tidak pernah menganggap keberadaan harimau atau jejak kehadirannya sebagai suatu ancaman. Masyarakat malah menganggap hal-hal tersebut sebagai pertanda.

Inyiak harusnya menjaga dari jauh, tanpa menampakkan diri. Namun jika sudah terdengar kehebohan binatang lain di hutan, binatang ternak yang dirasa lebih liar dari biasanya, ataupun adanya jejak kaki harimau, maka dipercaya ada tindakan salah yang dilakukan warga. Bisa jadi ini berkaitan dengan perusakan atau tindakan zalim di wilayah inyiak, seperti penebangan hutan yang mengusik habitat para harimau. Para tetua adat juga mengisahkan dahulu kala inyiak juga mengaum yang diikuti dengan suara binatang-binatang lain, ini dibaca sebagai peringatan karena banyaknya perbuatan masyarakat kampung yang melanggar norma agama dan adat.

Memang, kadang ceritanya sulit ditafsirkan logika, apalagi untuk masa sekarang. Keyakinan seperti ini meskipun harus tetap diiringi dengan iman agar tidak menduakan Tuhan, bisa menjadi salah satu cara agar manusia bisa hidup damai berdampingan dengan alam.


Pasan dari Inyiak



Jika dilihat lebih luas, pantangan-pantangan yang dijauhi oleh masyarakat untuk menjaga jan sampai inyiak berang (jangan sampai inyik marah) ini, berhubungan dengan pedoman hidup yang sesuai dengan etika, nilai sosial, juga sopan santun. Misalkan dengan mempersilahkan yang lebih tua untuk makan terlebih dahulu. Dengan kepercayaan ini, ditumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa bukan hanya kita manusia yang hidup di muka bumi ini, namun juga ada binatang dan tumbuhan yang perlu dilestarikan. Bersama-sama kita bisa hidup dalam harmoni saling menjaga dan melindungi, tahu batasan kepentingan masing-masing, bisa beradaptasi dengan baik tanpa perlu saling mengganggu.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kepada langgam menuturkan bahwa kepercayaan ini cukup membantu dalam melindungi harimau di Sumatera Barat. Ia menambahkan bahwa sangat jarang, jika tidak bisa dibilang tidak ada, pemburu yang bersuku Minangkabau, terakhir yang tertangkap melakukan pemburuan adalah orang Sumatera Utara. Serupa, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kondisi keselamatan harimau di Sumatera Barat cukup kondusif dibanding wilayah lainnya, dengan adanya perbukitan untuk bersembunyi.

Seiring perkembangan zaman, legenda ini mengalami kelunturan makna dari generasi ke generasi. Jika dahulu, inyiak menjadi penengah berbahagi pertikaian antar suku sekarang konflik justru terjadi antara manusia dengan harimau. Melansir laman kalpatara, dari 2018 hingga 2021 setidaknya ada tiga puluh kasus human tiger conflict di lima wilayah Sumatera. Konflik ini merugikan kedua belah pihak, baik manusia yang terluka, kehilangan ternak, ataupun sentimen negatif lainnya; serta harimau yang semakin tersisih akibat ketakutan diserang, wilayahnya yang mengecil, ataupun makanannya yang semakin menipis. Dari catatan BKSDA yang diungkap langgam, hanya tersisa sekitar 120 ekor harimau di Sumatera Barat, sehingga harimau sumatera sebagai satu-satunya jenis yang tersisa setelah kepunahan harimau jawa dan harimau bali, digolongkan sebagai hewan critically endangered (CE). Ancaman terbesarnya adalah perambahan hutan (pembukaan lahan menjadi perkebunan atau pemukimam), perburuan liar, serta flu babi yang menjadi makanan harimau tersebut.

Sebenarnya legenda seperti ini merupakan alternatif positif yang bisa terus digiatkan, sebagai bentuk kegiatan konservasi yang dibungkus dalam nilai budaya. Untuk meningkatkan kesadaran bahwa kita bukan makhluk tunggal yang tinggal di bumi, ada makhluk lain yang juga perlu tempat tinggal dan makanan. Mereka tidak akan mengganggu selama tidak terusik. Keyakinan ini juga terbukti efektif dalam menjaga masyarakat Minangkabau untuk tidak menyakiti harimau ataupun merusak habitatnya.




Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!