Berbeda dengan dahulu, pernikahan kini bukanlah hal yang menjadi target utama, khususnya bagi perempuan. Isu yang terus bergaung seputar kehidupan dan pernikahan membuat kekhawatiran kian bertambah, hingga semakin banyak pertimbangan yang dimiliki sebelum memutuskan untuk menikah. Apalagi, budaya patriarki yang masih melekat erat di Indonesia membuat perempuan semakin enggan terlibat dalam urusan rumah tangga. Seperti isu lain, fenomena ini juga mengundang pro kontra yang menarik untuk kita bahas.
Tentang Waithood
Waithood pertama kali disebut dalam jurnal yang ditulis oleh Diane Singerman pada tahun 2007 silam yang menyoroti soal penundaan pernikahan pada pemuda di wilayah Timur Tengah. Keyakinan dan kebudayaan yang berkembang disana sebenarnya berpengaruh besar dalam keputusan seorang pemuda untuk menikah pada usia tertentu. Namun, dekade belakangan alasan itu seperti tidak lagi berlaku. Jika dilihat datanya, yang mendorong terjadinya penelitian ini, angka mortalitas yang terus menurun sedangkan angka harapan hidup cenderung meningkat. Dalam pernikahan yang terjadi, umur pengantin cenderung lebih tua dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Belakangan, pemuda disana umumnya menikah pada akhir 20an atau 30an. Beberapa alasan yang ia kemukakan antara lain karena transisi demografis, meningkatnya partisipasi perempuan dalam pendidikan dan sebagai tenaga kerja, pergeseran norma gender, globalisasi, hingga finansial.
Bisa dikatakan bahwa apa yang terjadi di wilayah Timur Tengah itu tidak khusus terjadi di sana. Fenomena itu sudah meluas dan ada diberbagai negara. Bahkan disebut pula sebagai sebuah tren global yang terjadi pada abad 21. Salah satunya dari jurnal yang diterbitkan Yale pada 2020 lalu yang meneliti secara lebih luas bukan hanya di wilayah Timur Tengah namun juga di Afrika, Asia, Eropa, juga Amerika. Dalam kesimpulannya, diterangkan bahwa fenomena waithood ini, baik dilakukan secara sengaja ataupun tidak, akan mendorong pada pergerseran peran gender dan keluarga.
Di Indonesia sendiri, istilah waithood baru populer belakangan meskipun fenomenanya sudah terjadi ditahun-tahun sebelumnya. Mulai banyak para pemerhati dan ahli yang membahas fenomena ini dari berbagai perspektif yang mereka kuasai. Dalam masyarakat sendiri, ada perbedaan pandangan mengenai pernikahan pada pemuda. Ada yang menganggap bahwa pernikahan dibutuhkan untuk meningkatkan strata sosialnya, sedangkan sebagian lagi menganggap bahwa ia perlu untuk meningkatkan kualitas hidup dahulu sebelum memutuskan untuk menikah. Belakangan, pendapat kelompok kedua inilah yang mayoritas dimiliki oleh pemuda-pemudi di Indonesia, sesuai dengan data BPS yang menyimpulkan pergerseran usia menikah dan penurunan jumlah anak yang dimiliki tiap pasangan menikah.
Waithood pada Perempuan Indonesia
Paradigma tentang pernikahan yang semakin bergeser ini tidak terlepas dari pandangan bahwa menikah adalah penambahan peran baru yang bisa mempengaruhi kualitas hidup seseorang didalamnya. Semakin padatnya manusia di bumi seiring dengan tingkat persaingan yang juga meningkat, membuat kekhawatiran akan hidup dimasa datang juga semakin tinggi. Ada banyak aspek lain yang diprioritaskan selain pernikahan dan tanggung jawab akan orang lain.
Generasi saat ini memikirkan tentang pendidikan dan karir, yang dianggap sebagai pintu untuk membuka gerbang kehidupan yang lebih baik. Sehingga mereka lebih mengutamakan mengenyam pendidikan lebih tinggi dan memiliki karir yang stabil sebelum mempertimbangkan untuk menikah. Lalu, tidak sedikit mereka merupakan sandwich generation yang tidak hanya memikirkan biaya untuk menghidupi diri sendiri namun juga keluarga seperti orang tua dan saudara. Ini membuat mereka lebih berat untuk membangun keluarga sendiri.
Dalam kacamata perempuan sendiri, angka perceraian dan kdrt yang juga meningkat, disinyalir sebagai faktor yang mendorong waithood ini. Penggugat pada kasus perceraian sebagain besar adalah perempuan. Pada kasus kdrt, mayoritas korban juga adalah perempuan. Ketidak puasan perempuan pada pernikahan hingga trauma sebagai korban kdrt tentu memberatkan langkah perempuan untuk menikah. Apalagi di zaman saat berita mudah didapat, informasi tersebar dengan luasnya, menambah banyak beban yang ditanggung pikiran perempuan pada umumnya. Wajar jika pernikahan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan bahkan menakutkan.
Pandangan dari Berbagai Perspektif
Jika dilihat dari konstruksi sosial, waithood juga bisa disebabkan oleh perkmebangan perempuan menjadi sosok yang lebih mandiri, percaya diri, juga lebih erat memegang nilai yang diyakini. Sehingga mencari pasangan juga yang bisa sesuai dengan dirinya tersebut. Perubahan sosial juga besar dipengaruhi oleh pesatnya media sosial, yang memungkinkan setiap kita mengakses informasi dari belahan dunia manapun, membuat kita mudah membandingkan kehidupan di luar sana, meski kadang tidak umum di negara kita.
Maraknya gerakan feminisme juga dianggap turut mempengaruhi fenomena waithood ini. Sebelumnya, budaya patriarki membatasi usia pernikahan ideal perempuan dengan alasan kesehatan reproduksi, namun alasan lain juga karena menganggap bahwa wanita berdaya dari rumah saja mengurus keluarga. Sehingga, gerakan feminisme yang mendorong perempuan untuk berdaya secara mandiri akan membuat perempuan memantapkan terlebih dahulu pijakannya sendiri sebelum nanti menikah.
Isu kesehatan mental yang semakin santer dibicarakan juga menambah pertimbangan seorang perempuan sebelum menikah. Istilah, selesai dulu dengan diri sendiri, menjadi populer agar seseorang tidak membawa luka masa lalunya dalam pernikahan. Sebagian menunda pernikahan karena masih menganggap bahwa ia belum siap untuk berbagi luka dengan orang lain, belum mampu untuk menghadapi ketidak dewasaan seseorang, tidak punya energi jika harus menunggu pasangan stabil secara emosional. Maka untuk menghindari drama-drama yang menguras tenaga, lebih baik menunda menikah saja.
Ada juga urusan pengasuhan yang diilai lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya. Tantangan generasi mendatang yang semakin berkali lipat, kesadaran akan pentingnya menjadi orang tua yang siap, dan kehidupan yang semakin sibuk membuat orang berpikir ulang untuk menikah dan memiliki anak. Belum lagi jika ditambah dengan kerisauan soal biaya yang semakin menjadi-jadi. Bahkan alasan lingkungan juga pernah dikemukakan.
Jika semua alasan itu dikumpulkan dan kita mau melihat secara lebih luas, bukan hal yang ganjil jika waithood ini menjadi fenomena. Apa yang terjadi saat ini jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Hidup, entah bagaimana, menjadi semakin kompleks. Pernikahan yang dulu hanya terjadi antara suami istri dan keluarga yang kenal baik kini terjadi dengan lebih banyak pertimbangan, lebih banyak pertanyaan, lebih banyak kekhawatiran. Setelah melihat alasan-alasan yang mungkin menjadi penyebabnya, setidaknya kita bisa lebih memahami apa yang terjadi belakangan ini. Tidak bisa kita menghakimi ini fenomena yang baik atau buruk. Karena setiap ornag memiliki kondisi dan pendapat yang berbeda-beda.
Sebagai perempuan yang sudah menikah, saya juga sering ditanya oleh teman tentang keputusan menikah dahulu, dimana saya tidak bisa menjawab banyak selain dengan kata takdir. Karena pikiran saya dulu saat memutuskan menikah dengan saat ini, sudah jauh berbeda. Beberapa tahun lalu, saya tidak memiliki banyak pertimbangan, berpikir dengan pola sederhana, dan banyak mengandalkan intuisi. Sebaliknya sekarang, saya melihat lebih banyak hal, tahu lebih banyak, pikiran menanggung banyak bayangan negatif. Mungkin benar bahwa seiring dengan bertambahnya usia, kita menjadi semakin mudah khawatir sedangkan hal yang dipikirkan juga bertambah banyak.
Maka apa yang bisa saya sampaikan dari fenomena ini adalah bahwa pernikahan memang harusnya didasari dengan banyak pertimbangan. Tanpa dengan sengaja menunda-nunda, namun perlu kesiapan diri sendiri dan dilakukan bersama pasangan yang serupa, yang memiliki visi yang sama. Sebab, pernikahan sejatinya adalah pekerjaan yang paling panjang, tidak ada usainya, maka pilihlah untuk bekerja sama dengan orang yang memudahkan, yang mampu membuat lebih nyaman, yang mau bersama-sama mencari jalan tengah. Tidak ada pernikahan yang mudah, hanya ada dua orang yang mau sama-sama berjuang.
Salam, Nasha