Setelah sepuluh hari melewati HPL, pagi itu ada flek yang muncul. Masih normal. Siang dan sorenya, muncul lagi, kali ini ada sedikit bercak darah. Saya juga mulai merasakan sakit-sakit perut. Tapi rasanya masih belum intens, dan jaraknya masih jauh.
"Kalau terasa mules setiap 10 menit selama sekitar 30 detik, berarti masih pembukaan awal. Tetap tenang."
"Kalau rasa mules, kontraksinya maju jadi setiap 7 menit, lalu 5 menit selama sekitar 40 detik, itu bukaan 3 atau 4. Nah, ini siap-siap langsung ke RS."
Kira-kira seperti itu kalimat dr. Enny tentang persiapan melahirkan dan instruksi ke RS. Karena belum ditahap itu, jadi saya masih beraktifitas seperti biasa. Melanjutkan kegiatan sampai malam, makan malam dan bersiap tidur. Mungkin besok pagi saya akan ke RS.
Tapii..
Sekitar pukul 10 malam, rasa sakitnya mulai semakin 'mengganggu'. Saya coba bawa tidur, kok susah. Sampai pukul 11, rasa sakit perut mulesnya mulai beraturan. Karena sudah melihat saya kesakitan, suami menyarankan agar kami ke RS malam itu. Tapi, saya masih menolak. Biarlah bukaan awal-awal di rumah saja, mendekati lahiran baru ke RS, pikir saya waktu itu. Akhirnya, setelah dirasa tidak tahan lagi, jam 12 malam kami berangkat ke RS JIH. Hanya saya dan suami.
Sesampainya di JIH, saya pun diperiksa oleh bidan jaga saat itu, dan dikonfirmasi saya sudah bukaan 1. Loh, masih bukaan 1 ya? Kok rasanya udah sakit banget? Batin saya. Kemudian, saya menjalani beberapa pemeriksaan. NST untuk mengetahui kontraksi, gerak bayi, dan detak jantungnya. Pengambilan sampel darah untuk beberapa pemeriksaan, termasuk Rapid Test Covid-19.
Bidan jaga pun menghubungi dr. Enny tentang status saya. dr. Enny meminta agar malam itu saya rawat inap sambil diobservasi. Setelah diberi infus, bidan pun meminta agar saya beristirahat dulu. Itu sekitar pukul 01.30 dini hari. Saat itu, kami beranggapan lahirannya mungkin pagi atau siang, jika semua lancar.
Sampai di kamar apakah saya istirahat? Ya lumayan badan bisa rebahan. Mata terpejam beberapa menit, sebelum kemudian kontraksi dan terbangun lagi. Begitu berulang-ulang. Meski pikiran akan tetap sibuk berkelana kemana-mana. Doa, doa, doa.
Sebenarnya istirahat ini penting, karena butuh banyak tenaga untuk proses lahiran nanti. Namun, sekitar pukul 02.30 saya tidak bisa tenang. Posisi apapun, rasanya sangat sakit. Saya pun memanggil bidan jaga sekitar pukul 03.00. Saat dilakukan pemeriksaan, ternyata sudah bukaan 6. Wah, cepat sekali! Saya pun segera dibawa ke ruang bersalin. Sampai disana diperiksa lagi, sudah bukaan 8. Saya dalam kondisi antara sadar dan tidak atas apa yang dilakukan dan dikatakan para bidan. Pertanyaan mereka pun, hampir semua suami yang menjawab. Instruksi pun perlu diulang agar saya paham.
Sampai akhirnya dr. Enny tiba. Saya sudah dipasangi oksigen, dan dalam kondisi boleh mengedan saat terasa kontraksi. Katanya, itu sudah bukaan lengkap saya. Jadi ya, saya hanya perlu mengedan untuk melahirkan..
Tidak tau berapa kali mengedan. Tidak jelas berapa teriakan. Tidak peduli berapa kali jahitan. Yang jelas, sebelum mendengar adzan subuh hari itu, saya mendengar teriakan seorang bayi, sangat keras, memecah keheningan pagi. Saat orang lain terbangun dan menunaikan sholat subuh, saya sudah mendekap seorang bayi laki-laki dengan berat melebihi 4kg dan panjang melebihi 50cm.
Seluruh rasa yang saya alami beberapa jam kebelakang, rasanya sirna dan terjadi sudah sangat lama, seperti tahunan yang lalu. Katanya memang seperti itu 'kenikmatan' proses persalinan.
Alhamdulillaahhirabbilalamin..
Point-point yang perlu diperhatikan dari pengalaman saya ini antara lain tentang:
dr. Enny S. Pamuji
dr. Enny memang dikenal sangat detail dan tegas dari berbagai review yang pernah saya baca. Bagi saya, beliau adalah tipe orang yang totalitas dan profesional. Karena itu, beliau memeriksa keseluruhan secara detail dan 'nyinyir' kepada pasiennya. Terbukti dari durasi kontrol bisa rata-rata 20 menit dan adanya catatan ataupun PR dari tiap konsul. Bahkan setelah melahirkan pun, saya diberi PR untuk buang air kecil dulu sebelum ke kamar, dan harus bisa menyusui tanpa terasa sakit sebelum diperbolehkan pulang. Saya juga suka dengan kemampuan dr. Enny menjelaskan kepada pasiennya. Rasanya seperti guru dan murid, guru yang benar-benar peduli dengan muridnya, dipastikan agar kita mengerti dan menjalankan seperti seharusnya. Untuk tipe pasien yang pasif, jangan khawatir, karena beliau akan menjelaskan semua secara rinci tanpa perlu kita tanya.
RS JIH (Jogja International Hospital)
Ini RS pertama yang saya masuki saat berada di Jogja, dan tentunya langsung jatuh cinta. Fasilitas dan pelayanan memuaskan. Biaya memang lebih tinggi namun tidak jauh berbeda dari RS lain. Sangat sebanding dengan apa yang didapatkan. Untuk melahirkan, pintu masuk ibu dan anak dipisahkan dengan pintu masuk umum, yakni dari Lobby Timur, yang tentunya juga buka 24 jam. JIH juga menyediakan paket-paket persalinan normal, mulai dari kelas 3 sampai VVIP. Tapi dalam masa pandemi ini, ruang untuk kelas 2 dan kelas 3 ditiadakan. Kelas 1 dengan 2 pasien dalam 1 kamar. Kelas VIP dst, masing-masing 1 pasien di 1 kamar. Di luar ekspektasi, makanan pasiennya ternyata juga lezat dengan menu bervariasi.
Pandemi Covid-19
Melahirkan pada masa ini tentu memiliki tantangan berbeda. Kemana-mana mesti pakai masker. Bahkan saat melahirkan, saya mesti pakai masker dan face shield. Syukurnya pakai oksigen, jadi terasa lebih lega. Kebijakan masing-masing RS tentunya berbeda, tapi umumnya tidak boleh ada kunjungan. Di JIH, proses bersalin hanya boleh ditemani 1 orang, dan pasien hanya boleh ditunggui maksimal 2 orang. Hal yang paling perlu dipraktikkan tentunya tetap jaga jarak, memakai masker, dan sering mencuci tangan.
Melahirkan adalah proses alamiah. Tubuh kita sudah dibekali dengan kemampuan itu. Semua makhluk mamalia pun begitu. Sudah sejak dulu. Jadi, buang segala pemikiran dan perasaan tidak bisa, tidak mungkin, tidak sanggup. Singkirkan pertanyaan, bagaimana bisa, bagaimana mungkin, karena tidak ada yang tidak mungkin dengan Allah yang menentukan.
Segala upaya yang katanya memudahkan persalinan, akan membedakan di rasa sakit dan prosesnya. Segala makanan yang katanya melancarkan persalinan, akan membedakan di kondisi badan dan nutrisi bayi, bukan mengubah dari tidak bisa menjadi bisa. Kita semua bisa. Tanggalnya sudah ada. Dan keyakinan ini yang paling kita butuhkan saat persalinan. Begitu juga dengan proses meyusui nantinya.
Namun, bukan berarti semua persalinan harus berjalan normal. Karena memang ada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan, dan berkat perkembangan ilmu dan atas izin Allah, kondisi-kondisi tersebut bisa diatasi. Dan dokter atau tenaga medis lainnya, dengan ilmu yang Allah titipkan pada mereka, yang mampu memberi analisa dan saran atas permasalahan yang kita hadapi.
Jadi, dengan keyakinan alamiah itu, semoga memberi kita kekuatan untuk menjalani apa yang telah Allah berikan. Keyakinan itulah yang menguatkan saya setiap hari pada tanggal-tanggal mendekati dan melewati HPL. Yang penting, terus berusaha dan tidak berhenti berdoa.
Salam, Nasha.
"Kalau terasa mules setiap 10 menit selama sekitar 30 detik, berarti masih pembukaan awal. Tetap tenang."
"Kalau rasa mules, kontraksinya maju jadi setiap 7 menit, lalu 5 menit selama sekitar 40 detik, itu bukaan 3 atau 4. Nah, ini siap-siap langsung ke RS."
Kira-kira seperti itu kalimat dr. Enny tentang persiapan melahirkan dan instruksi ke RS. Karena belum ditahap itu, jadi saya masih beraktifitas seperti biasa. Melanjutkan kegiatan sampai malam, makan malam dan bersiap tidur. Mungkin besok pagi saya akan ke RS.
Tapii..
Sekitar pukul 10 malam, rasa sakitnya mulai semakin 'mengganggu'. Saya coba bawa tidur, kok susah. Sampai pukul 11, rasa sakit perut mulesnya mulai beraturan. Karena sudah melihat saya kesakitan, suami menyarankan agar kami ke RS malam itu. Tapi, saya masih menolak. Biarlah bukaan awal-awal di rumah saja, mendekati lahiran baru ke RS, pikir saya waktu itu. Akhirnya, setelah dirasa tidak tahan lagi, jam 12 malam kami berangkat ke RS JIH. Hanya saya dan suami.
Sesampainya di JIH, saya pun diperiksa oleh bidan jaga saat itu, dan dikonfirmasi saya sudah bukaan 1. Loh, masih bukaan 1 ya? Kok rasanya udah sakit banget? Batin saya. Kemudian, saya menjalani beberapa pemeriksaan. NST untuk mengetahui kontraksi, gerak bayi, dan detak jantungnya. Pengambilan sampel darah untuk beberapa pemeriksaan, termasuk Rapid Test Covid-19.
Bidan jaga pun menghubungi dr. Enny tentang status saya. dr. Enny meminta agar malam itu saya rawat inap sambil diobservasi. Setelah diberi infus, bidan pun meminta agar saya beristirahat dulu. Itu sekitar pukul 01.30 dini hari. Saat itu, kami beranggapan lahirannya mungkin pagi atau siang, jika semua lancar.
Sampai di kamar apakah saya istirahat? Ya lumayan badan bisa rebahan. Mata terpejam beberapa menit, sebelum kemudian kontraksi dan terbangun lagi. Begitu berulang-ulang. Meski pikiran akan tetap sibuk berkelana kemana-mana. Doa, doa, doa.
Sebenarnya istirahat ini penting, karena butuh banyak tenaga untuk proses lahiran nanti. Namun, sekitar pukul 02.30 saya tidak bisa tenang. Posisi apapun, rasanya sangat sakit. Saya pun memanggil bidan jaga sekitar pukul 03.00. Saat dilakukan pemeriksaan, ternyata sudah bukaan 6. Wah, cepat sekali! Saya pun segera dibawa ke ruang bersalin. Sampai disana diperiksa lagi, sudah bukaan 8. Saya dalam kondisi antara sadar dan tidak atas apa yang dilakukan dan dikatakan para bidan. Pertanyaan mereka pun, hampir semua suami yang menjawab. Instruksi pun perlu diulang agar saya paham.
Sampai akhirnya dr. Enny tiba. Saya sudah dipasangi oksigen, dan dalam kondisi boleh mengedan saat terasa kontraksi. Katanya, itu sudah bukaan lengkap saya. Jadi ya, saya hanya perlu mengedan untuk melahirkan..
Tidak tau berapa kali mengedan. Tidak jelas berapa teriakan. Tidak peduli berapa kali jahitan. Yang jelas, sebelum mendengar adzan subuh hari itu, saya mendengar teriakan seorang bayi, sangat keras, memecah keheningan pagi. Saat orang lain terbangun dan menunaikan sholat subuh, saya sudah mendekap seorang bayi laki-laki dengan berat melebihi 4kg dan panjang melebihi 50cm.
Seluruh rasa yang saya alami beberapa jam kebelakang, rasanya sirna dan terjadi sudah sangat lama, seperti tahunan yang lalu. Katanya memang seperti itu 'kenikmatan' proses persalinan.
Alhamdulillaahhirabbilalamin..
Point-point yang perlu diperhatikan dari pengalaman saya ini antara lain tentang:
dr. Enny S. Pamuji
dr. Enny memang dikenal sangat detail dan tegas dari berbagai review yang pernah saya baca. Bagi saya, beliau adalah tipe orang yang totalitas dan profesional. Karena itu, beliau memeriksa keseluruhan secara detail dan 'nyinyir' kepada pasiennya. Terbukti dari durasi kontrol bisa rata-rata 20 menit dan adanya catatan ataupun PR dari tiap konsul. Bahkan setelah melahirkan pun, saya diberi PR untuk buang air kecil dulu sebelum ke kamar, dan harus bisa menyusui tanpa terasa sakit sebelum diperbolehkan pulang. Saya juga suka dengan kemampuan dr. Enny menjelaskan kepada pasiennya. Rasanya seperti guru dan murid, guru yang benar-benar peduli dengan muridnya, dipastikan agar kita mengerti dan menjalankan seperti seharusnya. Untuk tipe pasien yang pasif, jangan khawatir, karena beliau akan menjelaskan semua secara rinci tanpa perlu kita tanya.
RS JIH (Jogja International Hospital)
Ini RS pertama yang saya masuki saat berada di Jogja, dan tentunya langsung jatuh cinta. Fasilitas dan pelayanan memuaskan. Biaya memang lebih tinggi namun tidak jauh berbeda dari RS lain. Sangat sebanding dengan apa yang didapatkan. Untuk melahirkan, pintu masuk ibu dan anak dipisahkan dengan pintu masuk umum, yakni dari Lobby Timur, yang tentunya juga buka 24 jam. JIH juga menyediakan paket-paket persalinan normal, mulai dari kelas 3 sampai VVIP. Tapi dalam masa pandemi ini, ruang untuk kelas 2 dan kelas 3 ditiadakan. Kelas 1 dengan 2 pasien dalam 1 kamar. Kelas VIP dst, masing-masing 1 pasien di 1 kamar. Di luar ekspektasi, makanan pasiennya ternyata juga lezat dengan menu bervariasi.
Pandemi Covid-19
Melahirkan pada masa ini tentu memiliki tantangan berbeda. Kemana-mana mesti pakai masker. Bahkan saat melahirkan, saya mesti pakai masker dan face shield. Syukurnya pakai oksigen, jadi terasa lebih lega. Kebijakan masing-masing RS tentunya berbeda, tapi umumnya tidak boleh ada kunjungan. Di JIH, proses bersalin hanya boleh ditemani 1 orang, dan pasien hanya boleh ditunggui maksimal 2 orang. Hal yang paling perlu dipraktikkan tentunya tetap jaga jarak, memakai masker, dan sering mencuci tangan.
Melahirkan adalah proses alamiah. Tubuh kita sudah dibekali dengan kemampuan itu. Semua makhluk mamalia pun begitu. Sudah sejak dulu. Jadi, buang segala pemikiran dan perasaan tidak bisa, tidak mungkin, tidak sanggup. Singkirkan pertanyaan, bagaimana bisa, bagaimana mungkin, karena tidak ada yang tidak mungkin dengan Allah yang menentukan.
Segala upaya yang katanya memudahkan persalinan, akan membedakan di rasa sakit dan prosesnya. Segala makanan yang katanya melancarkan persalinan, akan membedakan di kondisi badan dan nutrisi bayi, bukan mengubah dari tidak bisa menjadi bisa. Kita semua bisa. Tanggalnya sudah ada. Dan keyakinan ini yang paling kita butuhkan saat persalinan. Begitu juga dengan proses meyusui nantinya.
Namun, bukan berarti semua persalinan harus berjalan normal. Karena memang ada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan, dan berkat perkembangan ilmu dan atas izin Allah, kondisi-kondisi tersebut bisa diatasi. Dan dokter atau tenaga medis lainnya, dengan ilmu yang Allah titipkan pada mereka, yang mampu memberi analisa dan saran atas permasalahan yang kita hadapi.
Jadi, dengan keyakinan alamiah itu, semoga memberi kita kekuatan untuk menjalani apa yang telah Allah berikan. Keyakinan itulah yang menguatkan saya setiap hari pada tanggal-tanggal mendekati dan melewati HPL. Yang penting, terus berusaha dan tidak berhenti berdoa.
Salam, Nasha.