Beberapa hari lalu tepatnya tanggal 2 Januari diperingati secara internasional sebagai World Introvert Day. Hari yang digagas sejak tahun 2011 bertepatan dengan akhir dari masa liburan nataru. Tanggal itu dipilih dengan pertimbangan para introver dianggap perlu mengisi energi lagi setelah menghabiskan sekitar seminggu dengan kegiatan bersosialisasi dan keramaian pada masa liburan. Tujuannya agar semakin banyak orang yang sadar bahwa kebutuhan orang untuk mengisi energi itu berbeda-beda, dan tidak perlu juga sama. Jadi pada tanggal 2 itu diperingati bukan dengan mengadakan perayaan namun justru untuk tidak mengadakan apapun, dengan memberi ruang bagi para introver mengisi kembali energinya.
Konsep introvert dan extrovert ini sendiri pertama kali dirumuskan oleh psikolog asal Swiss bernama Carl G. Jung yang membagi setiap kita atas dua kelompok besar yaitu introvert dan extrovert. Perbedaan dasar keduanya adalah dari kenyamanan dan bagaimana mereka recharge diri. Dari dasar ini turunlah karakteristik masing-masing tipe. Sejak saat itu banyak penelitian yang diakukan dengan dasar tipe introver dan ekstrover, bahkan kemudian muncul tipe yang ketiga yaitu ambivert oleh Edmund S. Conklin Tipe yang singkatnya adalah titik tengah dari dua tipe yang betolak belakang tersebut. Aku menulis saat hari introvert lalu di Kompasiana ini.
Cerita Kala Kecil
Nah, sekarang aku ingin berbagi cerita sebagai seorang introvert yang memang terbukti dari berbagai test kepribadian, bahkan dengan skor yang relatif cukup tinggi. Pernah di suatu acara, menjadi yang tertinggi di ruangan tersebut juga. Pantas saja sejak kecil aku dikelompokkan sebagai anak yang pendiam atau pemalu. Aku gak bisa langsung berbaur dengan orang lain, susah nyaman berada di suatu acara, apalagi kalau bentuknya pesta. Otakku bisa seperti membeku. Berbicara hanya untuk menjawab singkat-singkat kalau ditanya. Tapi aku bisa ingat momen-momen tertentu, detail-detail yang kadang terlewat begitu saja bagi sebagian orang lain.
Sampai beranjak remaja, aku punya segelintir teman yang itu-itu aja. Bisa seru kalau cuma ada beberapa orang, tapi langsung diam kalau rame-an. Seringkali memilih kelompok kecil untuk bertukar cerita daripada jadi pusat acara. Pilihan warna baju yang aku pakai pun berkisar antara hitam, biru dongker, atau abu-abu. Sampai nenekku turut menasihati, "masa gadis begini bajunya gelap terus." Sebenarnya aku tidak suka hitam, abu-abu juga tidak, tapi untuk apa yang aku pakai, aku memilih warna itu. Lebih nyaman rasanya. Mungkin supaya tidak terlalu terlihat kali ya. Jika teman-teman adalah Potterhead, ataupun bukan, tapi tahu tentang deahtly hallows, udah bisa ditebak dong aku paling kepingin yang mana? Yup, invisibility cloak! Jubah tidak kelihatan 💙
Bahkan aku pernah tiba-tiba menjauh pada teman yang berusaha mengakrabkan diri padaku. Aku dulu juga tidak mengerti kenapa ya gitu, baru sekarang oh karena aku tidak nyaman. Aku perlu waktu yang jauh lebih lama, bertahap, untuk bisa mengubah status dari teman sekolah jadi teman akrab atau sahabat misalkan. Risih aja rasanya mengetahui ada orang yang tahu begitu banyak tentang aku.
Tertutup? Dulu aku juga pikir begitu. Tapi ada kok orang-orang yang aku biarkan masuk ke hidupku, tahu banyak tentang aku. Ternyata aku hanya perlu waktu dan proses lebih lama untuk 'menyeleksi' untuk akhirnya bisa percaya. Susah ya setelah dipikir-pikir. Ada ya yang bisa tahan temenan sama aku. Beyond Grateful!
Baru deh setelah mulai ikut tes kepribadian, tes minat bakat, ataupun test psikologi lainnya ketahuan kalau aku itu termasuk introvert, golongan yang masih sering disalahsartikan sebagai pemalu atau penyendiri bahkan anti sosial.
Sebagai Kaum Introvert
Kalau bisa memilih sih tentu aku lebih "sering" nyamannya untuk diam aja gak usah basa-basi ketemu orang. Di rumah aja ngerjain apa atau keluar tapi sendirigak interaksi sama orang. Tapi gak selalu gitu juga. Kadang aku mulai obrolan duluan, kadang aku emang sengaja keluar buat bersosialisasi, kadang aku juga kangen ngumpul-ngumpul, ngobrol, heboh-hebohan. Tetap aja ya, introver itu makhluk sosial yang butuh orang lain, senang punya teman. Bukan mengurung diri seterusnya.
Aku memang tidak menyukai kebisingan sama sekali, meskipun pada kelompok kecil tertentu justru aku bisa jadi yang berisik dan banyak bicara. Tidak menutup kemungkinan untuk karaoke-an juga.
Aku sulit berbasa-basi dengan orang lain, meskipun aku bisa saja melakukannya. Apalagi kalau emang harusnya begitu. Saat bekerja dulu, aku bepergian ke luar kota sendiri, bertemu banyak orang baru, harus lebih aktif berbicara, jadi orang yang lebih ceria membawakan suasana. Ya bisa aja. Tapi setelah itu, aku mengheningkan cipta di penginapan sendiri di kamar yang harus gelap, selimutan, dan rebahan miring mepet dinding. Begitu ternyata aku mengembalikan energi.
Jadi label penyendiri itu gak tepat. Sama juga dengan pemalu. Di lingkungan baru dan ketemu orang baru, tanpa tuntutan seringnya aku akan lebih banyak diam. Memperhatikan dulu, berpikir, 'membaca' situasi, memproses suasana hati sampai bisa merasa cukup nyaman untuk berbaur atau melakukan sesuatu. Masing-masing kita butuh waktu yang berbeda-beda untuk beradaptasi, dan introvert adalah mereka yang cenderung butuh waktu lebih lama. Bukan pemalu juga ya berarti. Apalagi anti sosial. Ini label yang cukup ekstrem, karena secara definisi ansos ini adalah bentuk gangguan kepribadian. Karena mereka ini karakteristiknya bisa melanggar hak orang lain, tidak berempati, tidak mawas diri, dan juga manipulatif. Bahkan perilakunya harus dikontrol agar tidak membahayakan.
Introver sesuai dengan yang diungkapkan mindbrained memiliki kecenderungan menyukai kesendirian, adalah orang yang fokus, pendengar yang baik, suka observasi, berpikir sebelum berbicara atau bertindak, kelelahan dalam perkumpulan sosial. Mereka lebih suka bekerja sendiri, lebih senang menulis daripada berbicara, kurang menikmati obrolan ringan, menghindari bahaya, punya percakapan di kepala, serta independen. Jadi itu memang kecenderungan tipe kepribadian, sehigga pandangan umum tentang introver sering kali tidak tepat.
Salah kaprah tentang intover ini bukan hanya tentang pelabelan ekstrem diatas. Tapi juga adanya dorongan agar berubah.
Padahal kecenderungan ini bukan perkara keinginan untuk bisa cepat berbaur atau tidak. Bukan tentang pilihan agar bisa cepat nyaman bersosialisasi juga. Sejak dikemukakannya teori tentang introvert dan extrovert, ada banyak penelitian lanjutan, bahkan mempelajari hingga ke sistem saraf dan otak masing-masing tipe. Ternyata, introver ataupun ekstrover memiliki respon yang berbeda terhadap rangsangan dari luar dan berbeda juga bagaimana proses berpikirnya.
https://introvertdear.com/news/introverts-and-extroverts-brains-really-are-different-according-to-science/
https://www.futurescienceleaders.com/surrey1/2019/03/14/the-brains-of-extroverts-and-introverts/
https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/08/202900565/apa-itu-introvert-berikut-ciri-ciri-dan-penyebabnya?page=all
https://www.mindbrained.org/2020/02/embracing-the-introverted-brain/
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!