Sesi Mengenal Diri, Sepotong Ceritaku Menaklukkan Rasa Takut

Merasakan emosi yang sangat kuat, seperti sangat khawatir, sangat sedih, overthinking, juga sangat waspada terhadap kejadian tertentu, bisa jadi itu pertanda trauma. Aku saking gak jelasnya yang dirasakan, dan punya ciri-ciri mirip dengan yang aku sebut diatas sempat berpikir apa aku trauma ya? Tapi trauma kenapa? Definisi trauma itu cukup mengerikan, dari apa yang aku temui dari hasil berselancar di internet. 

Apapun definisinya, kali ini aku ingin menghadapi diriku sendiri sembari menjajaki apa yang terjadi pada aku dan masa laluku. 

Photo by Monstera in Pexels

Contoh Kasusku

Salah satu hal yang sejak dulu ingin aku taklukkan adalah nyetir mobil sendiri. Aku sudah dua kali ganti SIM A, pernah ikut kursus mobil dulu diusia legal punya KTP. Terus gak pernah nyetir mobil sendiri, karena entah kenapa sejak dulu mama gak pernah izin. Gak usahlah, kamu disupirin terus aja, katanya. Aku yang gak nekat-nekat amat yaudah juga. Toh, masih banyak opsi lain, nebeng sama teman misalkan. Jelas aku juga tidak diizinkan bawa motor sendiri.

Sampai suatu waktu, aku mempertanyakan apa ya yang bikin aku kok gak maju-maju buat mulai nyetir ini. Kan aku udah bisa. Aku pingin hadapi lah segala rasa yang ada itu, karena aku sering sampai kebawa mimpi. Biasanya ceritanya aku lagi nyetir terus ada aja kejadian aneh gara-gara keteledoranku. Jangan sampai yang mengerikan deh, tapi tetap aja duh, buah overthinking nih. Akhirnya, berbuah restu suami dan orang tua, dimulailah cerita aku dibalik kemudi.

Apakah setelah itu lancar jaya? Tentu nggak. Karena ada aja kecelakaan kecil yang aku alami. Iya, kecil. Jangan sampai yang besar. Apalagi yang sampai berhubungan sama orang, naudzubillah. Aku nabrak tembok jalan lah, aku nyerempet tiang parkiranlah, aku ngeluarin mobil susah payah sampai diomelin kang parkir lah. Kadang aku masih overthinking malam hari dengan ada mimpi, atau tiba-tiba deg-degan gak jelas pagi harinya. Tapi karena ini nyetir dan bisa berbahaya, jadi aku pastikan dulu aku bisa tenang sebelum jalan, kalau nggak ya cari opsi transportasi lain. Kalau gak membahayakan sih, menurutku kita perlu pelan-pelan secara berkala menghadapi ketakutan itu ya. 

Masalahnya kenapa aku sampai sebegitunya. Aku tidak merasa punya trauma apapun dengan kecelakaan mobil. Aku pernah jadi penumpang saat mobilku tabrakan, dua kali yang aku ingat, saat masih sekolah. Keduanya gak melukaiku, memang cukup bikin rusak mobil sih. Tentang perasaanku kala itu, hanya kaget, bingung, dan yasudah, kami menyudahi keduanya di kantor polisi. Aku kembali seperti biasa. Kalau menyaksikan kecelakaan sepertinya lebih banyak, tapi semua sepertinya berhenti sampai disitu. Aku melanjutkan apa yang aku kerjakan.  

Aku tidak tahu dengan pasti apakah aku memang alamiah memiliki ketakutan atau kecemasan berlebih, atau apa yang pernah aku alami cukup mempengaruhiku, atau kombinasi keduanya. Sekarang yg aku pahami adalah pertama, mungkin ini alasan kenapa ada batas usia untuk pemegang SIM dan kenapa ada psikotest untuk mendapatkannya (walaupun test nya rada-rada ya). Kedua, untuk aku, cerita perjalanan menyetir bisa menjadi refleksi dari perjalanan mentalku, lebih dari kemampuan menyetir itu sendiri.

Photo by Andrea Piacquadio in Pexels

Pelajarannya

Apa yang ingin aku sampaikan dengan cerita ini adalah bisa jadi kita punya trauma atau kesan mendalam atas kejadian yang kita lalui. Tidak perlu hal mengerikan, hal sepele yang membuat ritme jantung jadi berlari lebih kencang daripada biasanya. Mungkin kita hanya perlu mengungkapkan, menceritakan, seperti yang coba aku lakukan sekarang, bertanya keadaan pada orang yang mengalami atau ke diri sendiri, dan mengatakan tidak apa, semua akan baik-baik saja. Kejadian yang telah terjadi tidak mendefiniskan diri kita, tidak menentukan apa yang akan kita lakukan dihari yang akan datang. 

Selain itu, dari beberapa artikel kesehatan yang aku baca, perasaan yang kita miliki itu perlu kita terima sebagai hal yang valid. Entah merasa takut, cemas, khawatir, jantung berdebar, hingga mual. Tekanan itu disadari dan perlahan kita terima pelan-pelan. Jika itu menyangkut suatu hal, kita bisa melakukannya dengan cara berikut:

- Tenangkan diri 

Menenangkan diri dapat dilakukan dengan berbagai cara sederhana, diantaranya menarik nafas dalam-dalam, minum air putih dengan perlahan, atau jalan kaki. Alihkan energi dari tekanan itu ke aktivitas lain. Atau coba tips mengatasi overthinking dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ dengan mengaktifkan indra, sebut apa yang dilihat, apa yang didengar, bau yang tercium, apa yang diraba.

- Hadapi rasa itu

Jika takut, latihan untuk menghadapinya. Jangan terus-terusan menghindar. Ukur resikonya, lalu kerjakan, hadapi. Mungkin akan terasa sulit awalnya tapi akan berkurang seiring frekensi dihadapi. Pelan-pelan tidak apa, selangkah demi selangkah.

- Pikirkan bagian positif

Biasanya ketakutan terjadi karena bayangan hal buruk yang mungkin terjadi. Cari tahu data persentase kemungkinan buruk terjadi mungkin akan membantu. Lalu, lakukan tindakan pencegahan agar hal buruk yang ditakutkan tidak kejadian. Saat rasa itu kuat menekan, coba bayangkan hal-hal baik, yang indah, yang bisa menenangkan, agar tidak terus menambah kepanikan. 

- Rutinitas hidup sehat dan teratur

Bagaimanapun kebiasaan berupa pola makan gizi seimbang, cukup istirahat, dan berolahraga akan membantu keseimbangan hormonal di tubuh yang juga bisa membentuk diri yang tenang. Hal baik yang kita konsumsi akan menghasilkan hal baik, dan energi yang disalurkan juga baik akan membantu pikiran agar bisa lebih bijaksana.

- Berserah

The last but not least adalah menyadari kalau tidak ada yang bisa benar-benar kita kendalikan. Menyadari bahwa kita bisa berupaya dan terus berdoa, apa yang terjadi sesudahnya tidak bisa kita kendalikan. Sama juga dengan ketika dirasa upaya kita terbentur dengan ketidaktahuan, ketidakmapuan, boleh kok minta tolong profesional. Bahkan konsultasi untuk perasaan juga gak masalah kan, apapun yang kita rasakan.

Photo by Карина Каржавина in Pexels

Sebagai ibu, ini juga reminder buatku untuk bertanya ke anak-anak juga orang dewasa (termasuk suami sendiri), kamu gimana? bagaimana perasaanmu? Untuk sering-sering berkomunikasi dan bisa saling terbuka. Karena aku gak akan tau, kejadian mana yang akan anak-anak ini ingat dan apa yang mereka rasakan tentang itu. Aku juga gak bisa pastikan bagaimana semua yang terjadi saat ini akan berpengaruh pada mereka nantinya. 

Jangan lupa, apapun yang kamu rasakan, yang aku rasakan, adalah valid. Tidak bisa diganggu gugat dengan perasaan orang lain. Kalau kamu merasa takut, ya memang itu menakutkan buatmu. Begitu juga saat kamu merasa gembira, itu memang hal yang menggembirakan kamu. Bagaimana kita menangani perasaan itu kan yang penting. Saat takut, jangan sampai menghalangi kita melakukan. Saat kesal, jangan sampai menyakiti. Bukan perasaan yang perlu dikendalikan, tapi apa yang kita lakukan.



Salam, Nasha


Referensi:

https://www.helpguide.org/articles/ptsd-trauma/coping-with-emotional-and-psychological-trauma.htm

https://www.wikihow.com/Overcome-Trauma

https://www.mentalhealth.org.uk/explore-mental-health/publications/how-overcome-fear-and-anxiety

https://www.alodokter.com/segera-tanggulangi-trauma-sekarang-juga

https://www.halodoc.com/artikel/kenali-lebih-dalam-soal-trauma-dan-cara-mengatasinya

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!