Belakangan, ramai di media sosial seruan YONO (You Only Need One) sebagai bentuk perlawanan atas gaya hidup YOLO (You Only Live One) yang mengacu pada konsumerisme. Pro kontra dari keduanya sudah banyak dibahas baik bagi diri sendiri khususnya kesehatan mental dan keuangan, serta bagi lingkungan. Lalu, untuk membuktikan kekeliruan gaya hidup impulsif itu, muncullah No Buy Challenge dengan tujuan mengajak masyarakat khususnya anak muda untuk lebih bijak berkonsumsi sebagai wujud peduli diri sendiri dan juga bumi. Kira-kira bagaimana ya kita bisa memenangkan tantangan agar lebih mindfull dalam aktivitas pembelian ini?
Ganti YOLO dengan YONO
Istilah YONO (You Only Need One) ini memang baru ramai belakangan, dengan makin maraknya penggunaan media sosial, yang memungkinkan gaungnya menjadi makin besar. Tapi ternyata, istilah ini sudah pernah digunakan oleh komunitas gaya hidup minimalis bernama Lyfe with Less pada 2021 silam. Dalam unggahannya, metode ini ditujukan pada mereka yang suka mengoleksi barang cadangan dengan fungsi yang persis sama, padahal hanya butuh satu saja.
Ramainya pembicaraan soal ini disinyalir karena dampak gaya hidup YOLO sudah mulai banyak dirasakan. YOLO sendiri merupakan akronim dari You Only Live One yang memberi alasan untuk hidup demi hari ini. Orang dengan prinsip ini mengedepankan keinginan hari ini tanpa peduli apakah itu benar penting atau tidak. Mereka melakukan sesuatu secara spontan, baik itu membeli barang ataupun pengalaman. Alasan 'kamu hanya hidup sekali' digunakan untuk membenarkan perilaku tersebut.
Seperti yang bisa kita duga, perilaku tersebut menimbulkan banyak masalah. Dari sisi keuangan, banyak yang berakhir terlilit pinjaman online. Kebutuhan diri yang benarpenting jadi tidak terpenuhi karena uangnya sudah tidak ada lagi. Perencanaan masa depan jelas berantakan karena hanya mementingkan hari ini. Masalah finansial tersebut akan merembet ke kondisi mental seperti gangguan kecemasan hingga depresi. Dari sisi kesehatan, membiasakan belanja ternyata dianggap sebagai bentuk pengalihan diri dari perasaan tidak nyaman seperti sedih, marah, ataupun kesepian. Pola ini justru berbahaya bagi kesehatan baik mental juga fisik. Terakhir, dari sisi lingkungan, yang turut menyumbang kesia-siaan energi. Tidak peduli berapa murahnya suatu barang, ia membutuhkan energi untuk tercipta. Ditambah pula dengan tumpukan sampahnya. Jika hanya untuk memuaskan nafsu kita, berapapun harganya jelas tidak akan sepadan.
Dampak negatif dari gaya hidup tidak sehat inilah yang melahirkan penawarnya, YONO atau You Only Need One. Dengan prinsip ini, diharapkan kita dapat lebih bijaksana dalam mengendalikan keinginan. Gaya hidup ini mendorong ketelitian dalam perencanaan kebutuhan dan keinginan yang disesuaikan dengan anggaran dan fokus pada apa yang benar-benar penting dibutuhkan dengan jumlah secukupnya. Hidup hari ini tanpa mengabaikan hari esok.
Gaya hidup ini dianggap lebih baik karena kita didorong untuk benar-benar mempertimbangkan sebelum melakukan pembelian. Efeknya seseorang jadi terlatih untuk lebih berkesadaran, bijaksana, hemat anggaran, hingga sehat secara fisik dan mental.
Tips Ikut Challenge-nya
Karena sudah paham prinsip dasarnya juga dampaknya, sekarang kita bahas bagaimana melakukannya. Beberapa hal penting yang perlu kita ingat dalam menjalankan prinsip YONO ini antara lain:
- Mengenal diri sendiri
Dari banyaknya aktivitas belanja yang sudah kita lakukan sebelumnya, kita tentu sudah tahu kecenderungan pola konsumsi kita masing-masing. Coba benar-benar selami. Apa hal yang paling penting untukku? Hal yang bisa menambah kebahagiaan? Apakah selama ini berbelanja memang untuk memenuhi kebutuhan, menambah kesejahteraan, atau mengisi ego? Agar bisa tampil 'layak' di depan orang banyak? Menjawab pertanyaan ini juga bisa menjadi refleksi diri kita, seperti apa hidup yang sudah kita jalani sejauh ini. Apakah memang mendekatkan pada tujuan kita atau banyak pengalihan dari lalu lalang banyak orang?
- Membuat Perencanaan Keuangan
Seteah mengenal diri sendiri, kita bisa beralih pada perhitungan keuangan yang berdasar pada apa yang menjadi prioritas kita. Ada orang yang mengutamakan kapasitas diri, pengalaman, kesehatan, masa depan, pendidikan, barang. Urutkan sendiri, mana yang paling penting untukmu? Menabung dana pensiun atau pergi liburan? Mengikuti kelas atau mengganti gadget baru? Cek kesehatan rutin atau membeli tas tangan? Semua pilihan kita masing-masing yang tentukan. Dari situ, buat pos pengeluarannya masing-masing. sesuai dengan kondisi.
- Kritis membedakan kebutuhan dan keinginan
Jika merujuk pada definisi, kebutuhan itu berupa hal dasar untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan sedangkan keinginan adalah hal tambahan yang tidak mendesak namun bisa meningkatkan kenyamanan ataupun kepuasan. Dari sini bisa kita pisahkan bahwa kebutuhan mengutamakan fungsi, sedangkan keinginan mengedepankan atribut lain seperti model, tren, preferensi, dsb.
Menurut saya, salah satu cara yang cukup ampuh adalah dengan menunggu. Biasakan untuk tidak langsung membeli ketika menginginkan, tapi tunggu beberapa hari, apakah keinginan itu masih ada atau sudah hilang. Dengan mudahnya aktivitas belanja untuk kita lakukan sekarang, tidak jarang kita justru mengalihkan perasaan negatif dengan berbelanja. Mengalihkan pikiran dengan 'tersesat' dalam aplikasi marketplace lalu puas setelah mendapat barang yang tampaknya bagus, padahal tidak kita butuhkan. Maka, tunggu. Biarkan keinginan menggebu itu teredam dulu, jika benar butuh kita akan kembali mencarinya.
- Pilih barang yang berkualitas
Setelah benar memastikan bahwa kita membutuhkan barang tersebut, selanjutnya carilah yang berkualitas. Barang yang dibuat dengan sungguh-sungguh sehingga bisa berfungsi dalam jangka waktu lama. Biasanya kualitas memang sejalan dengan harga, tapi perlu diingat, barang mahal belum tentu berkualitas baik. Disinilah dibutuhkan ketelitian kita dalam memilih. Agar bisa berfungsi lama, jangan lupa untuk tidak memilih berdasarkan tren karena tren akan cepat beralih. Pilih model yang sekiranya dapat bertahan lama dan dapat dipakai dengan berbagai cara. Barang multifungsi dan everlasting model, istilahnya.
- Decluttering
Merapikan barang baik yang memang tampak dan juga tidak juga termasuk hal yang tidak kalah penting. Biasanya saat melakukan decluttering, kita bisa menemukan barang-barang yang sudah terlupakan. Sebagian barang itu ternyata memang tidak kita butuhkan, sebagian lagi mungkin sudah kita dapatkan penggantinya karena tidak ingat kalau sudah punya. Maka merapi-rapikan ini penting untuk dilakukan secara berkala. Tidak hanya pada barang, tapi juga pada hampir semua aspek kehidupan, bahkan lingkaran sosial. Jika dirasa lingkungan yang ada sekarang tidak mendukung gaya hidup yang kita inginkan, mungkin sudah saatnya dilakukan perombakan.
Dengan kelima cara diatas, no buy challenge sebenarnya bukan hal mustahil lagi untuk dilakukan. Beberapa tips tambahan untuk menahan pembelian antara lain adalah dengan menyewa, khususnya untuk barang yang hanya dibutuhkan sesekali seperti baju pesta, peralatan bayi, dsb. Ada banyak sekali yang menyediakan jasa tersebut kini. Lalu, bisa juga dengan meminjam punya kenalan entah itu sahabat atau keluarga. Bisa pinjam, juga bisa tukar. Tidak bisa ditampik, ada kalanya kita bosan pada model barang yang kita punya, maka menukar adalah salah satu pilihan yang bisa kita lakukan. Normalisasi aktivitas ini, dalam batas wajar dan tetap bertanggung jawab. Membeli barang bekas (preloved ya bukan thrifting) sebenarnya juga bisa jadi solusi namun harus tetap dengan catatan seperlunya. Jangan hanya karena itu barang bekas, maka kita kurang menghargai dan seenaknya membeli. Terakhir, pakai saja apa yang ada. Pakai berulang kali, pakai di berbagai kesempatan, pakai lagi, perbaiki, pakai lagi. Barang-barang yang kita punya itu memang untuk dipakai berulang kali, normal!
Satu catatan yang paling penting untuk gaya hidup ini adalah kesadaran konsumsi. Untuk apa membeli? Mengapa kita butuh? Sebab, apa yang kita beli, kita gunakan, bukan hanya berpengaruh bagi diri kita sendiri, tapi juga pada lingkungan hari ini dan esok hari nanti. Bukan hanya pada generasi kita saja tapi juga pada generasi mendatang. Tanggung jawab!
Salam, Nasha
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!