• Anak & Keluarga
  • Kesehatan Mental
  • Perempuan & Pernikahan
  • Lingkungan
  • Review & Rekomendasi
Salam, Nasha

Jejak Perjalanan dan Catatan Pelajaran

Kasus-kasus hangat yang terjadi belakangan membuatku cukup banyak berpikir tentang kecenderungan kita sebagai masyarakat luas. Ketika ada hal yang salah, kekeliruan, tindakan menyimpang; yang tidak mempengaruhi kita secara langsung, kita biasanya memilih diam. Mulai dari teman sekolah yang diolok-olok, pelecehan ringan di tempat kerja, bahkan perselingkuhan. Ada banyak alasannya, padahal hal-hal ini sebenarnya bisa dicegah atau setidaknya ditekan andai saja kita berani bersuara. Miris memang, ketika kita dikenal sebagai warga dengan tingkat kolektivisme tinggi tapi pada hal-hal tertentu mayoritas kita memilih diam.



Pengalaman yang Mungkin Pernah Kita Alami

Aku pernah di-bully, pernah banget. Sedih, iya. Kesal, iya. Tapi, perasaan itu tidak semembekas ketika aku menjadi saksi dari tindakan perundungan.

Kejadian ini sudah lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika aku masih sekolah. Seorang teman dirundung oleh seorang guru. Iya, guru. Dia sedang mengajar di kelas, ketika berkomentar merendahkan begitu. Guru. Di kelas. Merundung. Tiga kata yang seharusnya tidak pernah ada dalam satu sambungan kalimat. Kepalaku mendidih. Rasanya ingin kuludahi saja wajahnya. Tapi, tidak ada satupun dari kami yang merespons kejadian itu. Semua hanya terdiam. Temanku itu sempat menjawab, terdengar datar seperti ia biasanya. Sungguh, aku tidak tahu apa yang ia rasakan, karena sampai sekarang aku tidak pernah berani menanyakan. Sampai sekarang, aku menyesal. Sangat menyesal. Kenapa aku tidak bisa membelanya? Kenapa tidak bisa aku menunjukkan keberpihakanku, sih?!

Tahun-tahun berikutnya, kejadian serupa masih aku temui, meski rasanya tidak semembekas sebelumnya. Subjek dan objek yang sama. Pengajar kepada murid. Bahkan beberapa di antara murid ikut tertawa, padahal setelah aku pikir-pikir sekarang, ini bisa disebut pelecehan. Saat itu, kami hanya bisa misuh-misuh dan ngamuk di belakang. Tidak ada yang berani melawan otoritas tertinggi di kelas, begitulah kira-kira pikir kami saat itu.

Belakangan, seiring dengan meningkatnya kasus perundungan di Indonesia dan maraknya media sosial; aku baru menyadari apa yang aku alami dan saksikan dulu itu termasuk bullying, perundungan. Mungkin teman-temanku yang menjadi saksi, yang menjadi korban; juga baru menyadari hal itu. Mungkin kamu juga pernah mengalami hal serupa? Kejadian yang rasanya tidak tepat, candaan yang rasanya tidak lucu bahkan tidak nyaman untuk didengarkan, tindakan yang tampaknya justru menyakitkan; tapi selama ini kamu diam. Simply, karena tidak tahu kalau itu salah.


Meningkatnya Kesadaran Kita 

Untuk perundungan sendiri, kesadaran akan kejadian itu baru meningkat sekitar tahun 2021 di mana laporan kasus bullying meningkat hingga tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan partisipasi di media sosial juga mendorong percepatan informasi akan hal ini, sehingga edukasi yang disampaikan baik oleh lembaga resmi maupun perseorangan menjadi lebih cepat tersampaikan.

Sayangnya, mengubah bentuk pemahaman menjadi tindakan nyata tidak semudah itu. Banyak orang yang kini sudah tahu, sudah paham; tapi belum berani melakukan apa-apa. Mungkin karena masih diliputi keraguan, belum terlalu paham caranya, atau karena belum terbiasa menyaksikan atau melakukannya. Padahal, diam bisa memelihara tindakan keliru.

Jika kita coba telaah faktor penyebabnya, ada beberapa teori yang bisa menjabarkan hal ini. Beberapa di antaranya memang terjadi di seluruh dunia, tapi sebagiannya karena budaya hidup kita.

Dalam psikologi, dikenal fenomena bystander effect, di mana seseoang cenderung tidak melakukan tindakan apa-apa ketika ada banyak saksi lainnya. Dorongan berupa, "Ah, udahlah. Ada dia, biar dia aja yang bertindak." Bayangkan, semua yang ada di sana berpikiran serupa. Akhirya  tidak ada yang melakukan apa-apa. 

Dengan banyaknya orang yang melihat, juga ada semacam pengaruh sosial yang membuat kita mempertimbangkan dulu reaksi orang lain. Kalau orang lain diam, kita cenderung akan ikut diam. Belum lagi, terpengaruh karena tidak ingin terlihat aneh, menonjol, ataupun takut salah intervensi. Hal-hal ini disinyalir menjadi faktor yang menyebabkan banyak saksi memilih diam, meski tahu ada tindakan keliru di depan matanya.

Cara kita hidup bermasyarakat juga ikut berperan. Seperti yang tadi disebutkan, tentang kolektivisme. Kecenderungan ini seperti pisau bermata dua. Kita memang lebih mudah bekerja sama, tapi di sisi lain kita pun jadi lebih sulit untuk melakukan tindakan yang berbeda. Kita menjaga keharmonisan sampai sulit melakukan konfrontasi spontan. Kita memilih diam untuk tetap damai daripada melakuan sesuatu yang dapat menimbulkan konflik terbuka.

Selain itu, kita juga punya kepedulian yang cukup tinggi terhadap label sosial, "apa kata orang?" Ini membuat kita lama mempertimbangkan sebelum memutuskan sesuatu. Menimbang apakah kita sanggup menghadapi reaksi setelahnya, baik itu dianggap ikut campur, dikomentari negatif, dianggap sok pahlawan, dikucilkan, dan seterusnya. 

Belum lagi dengan ketidakpastian sistem saat ini. Berapa banyak pengaduan yang ujungnya malah disuruh damai saja? Berapa banyak laporan yang berakhir makin merugikan korban?

Sampai sini, aku cukup paham kenapa kebanyakan kita diam melihat penyimpangan. Tapi, sekali lagi, ini bukan pembenaran. 


Mengubah Kesadaran Menjadi Tindakan

Penjelasan tentang faktor-faktor penyebab tadi hanya sebagai jembatan untuk memahami kalau apa yang terjadi selama ini cukup bisa dimengerti. Apalagi, kita belum terlalu aware dengan isu-isu tersebut. Tidak tahu, kalau mengolok-olok itu adalah tindakan salah. Tidak tahu kalau kita boleh melawan jika menyaksikan kejadian demikian, meskipun pelaku adalah orang yang statusnya di atas kita (dalam kasusku, guru). Tapi, aku tekankan. Ini bukan alasan ke depan. Kita udah paham. Kita udah sadar. Ketidaknyaanan yang selama ini kita rasakan itu, benar. Maka, sudah sepatutnya kita bertindak. Tidak ada lagi pembenaran dalam diam. 

Dengan kesadaran, diam kita justru menjadi senjata yang menyuburkan tindakan salah. 

Dengan kita diam, pelaku merasa apa yang ia lakukan itu tidak salah, bisa diterima, sehingga dia akan terus melakukannya. Mungkin saja dia sebenarnya tahu kalau tindakannya salah, tapi karena tidak adanya teguran, tidak ada konsekuensi, maka ia tidak akan merasa bersalah. Di sini, diam kita menjadi reinforcement pasif. Pola yang sama akan terus berulang. Makin lama, batas antara benar-salah, baik-buruk, jadi semakin samar. Hal yang sebenarnya salah dan buruk bisa saja dianggap benar dan baik, karena tidak ada yang mempermasalahkannya. 

Ini tidak hanya soal perundungan di sekolah, tapi juga setelah kita dewasa ini. Di tempat kerja, misalkan. Pelecehan seksual terutama pada perempuan masih sering terjadi. Jika ada yang protes, dianggap baper atau terlalu sensitif. Kalau ada yang menegur, dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi. Begitu juga dengan perselingkuhan, yang jelas-jelas salah. Jangan sampai hal-hal ini menjadi penyimpangan yang tidak lagi terasa menyimpang saking didiamkannya.

Lagipula, coba bayangkan sebagai korban. Sudahlah disakiti, tidak ada yang membela, mau bersuara juga tidak bisa. Beban yang ia tanggung makin berat karena merasa sendiri, tidak ada yang peduli, tidak ada yang menganggap apa yang ia alami sebagai hal penting. Mungkin ia juga jadi punya kepercayaan sabar bahwa justru dialah yang salah, ia yang terlalu sensitif, ia yang lemah, ia yang kurang sabar. Sedih, kan?

Jujur, menulis ini pun menakutkan untukku. Bagaimana kalau ada kejadian serupa yang aku saksikan? Bagaimana kalau keberanianku diuji supaya aku benar tidak lagi diam? Tapi, aku didorong dengan keinginan menjadikan lingkungan yang lebih baik untuk anak-anakku. Aku tidak ingin mereka tumbuh dalam lingkungan yang menormalisasi penyimpangan. Aku ingin mereka tumbuh berani menegakkan kebenaran. Setidaknya, kali ini, aku ingin menjadi jelas di pihak mana kakiku aku injakkan.



Salam, Nasha

Tiga dekade sudah berlalu sejak kehadiranku di muka bumi ini. Usia dengan pertumbuhan yang sudah sempurna, otak yanng sudah berada pada ukuran paling besarnya. Jelas, aku sudah dewasa. Sepanjang perjalanan itu, ada banyak hal yang berubah dariku. Mulai dari di mana aku tinggal, peran yang aku emban, mimpi-mimpiku, serta bagaimana jalan pikiranku. Aku senang, setidaknya itu menandakan kalau aku berkembang. Perubahan adalah tanda kita mengalami pertumbuhan, kan? Tidak memenuhi standar orang pada umumnya tidak apa, aku hanya akan fokus pada kesadaran aku ada di mana dan hendak menuju ke mana. 



Ternyata emang gak semua hal perlu kita ikuti

Orang mungkin mengenal istilah joy of missing out sebagai counter dari fear of missing out; bahwa gak semua yang lagi tren, viral, hype; terutama di media sosial, perlu diikuti. Tertinggal dari tren ternyata hal yang cukup baik, bahkan bisa jadi menyenangkan. Dalam kehidupan nyata, prinsip ini juga bisa kita terapkan, dengan lebih luas, dengan lebih dalam. Dalm memberlakukan standar orang misalkan. 

Aku cukup yakin, sebagian besar kita hidup di tengah ekspektasi. Bahkan sejak bayi. Aku tidak bicara soal kurva tumbuh kembang yang jelas ada sumber ilmiahnya, tapi standar-standar lain yang diciptakan dalam masyarakat, kemampuan berbicara dan berjalan, contohnya. "Kok, umur segini belum bisa begini, sih?" Selain dikaitkan dengan usia, kadang juga dihubungkan dengan perkembangan anak-anak tetangga. "Eh, si itu umur segitu udah bisa ini itu, tuh."

Padahal, menurut dokter yang merawatnya, perkembangannya masih sesuai. Tidak ada masalah, tapi tetap saja dibanding-bandingkan. Apa begitu sulit dipahami, setiap anak berbeda-beda perkembangannya? Setiap kita, setiap individu itu juga berbeda-beda proses dan jalannya?

Tidak berhenti di situ, perbandingan dan standar tak kasat mata akan terus membayangi kita hingga dewasa, atau mungkin hingga nanti tua. Ada ekspektasi tentang apa yang harusnya dilakukan atau dicapai setiap pertambahan usia. Mulai dari umur patut untuk masuk sekolah, dengan perdebatan yang melibatkan bukan hanya orang tua tapi seluruh keluarga bahkan juga tetangga untuk usia enam atau tujuh mendaftarkannya. Lalu, lulus usia berapa, masuk jurusan apa, lulus lagi mau bekerja di mana?

Semuanya memiliki standar yang entah dari mana asalnya. Seperti prosedur yang mengatur hidup dari sekolah, bekerja, menikah, memiliki anak. Diberlakukan pada semua orang. 

Membayangkan begini saja sudah lelah rasanya, apalagi benar-benar menjalaninya. Itulah kenapa, bisa terlepas dari standar yang ditentukan itu akan terasa menyenangkan. Melegakan rasanya bisa tidak terikat dengan ekspektasi orang tentang bagaimana hidup harusnya dijalankan. Memiliki standar dan definisi sendiri, bagaimana hidup yang layak dijalani. Karena pada akhirnya, orang hanya akan berbicara, sedangkan kita yang bertanggung jawab atas segala konsekuensinya.

Jadi, dalam perjalanan panjang ini, aku pelan-pelan sudah berdamai dengan ke mana hidup telah membawaku. Setiap hari aku memilih diriku sendiri. Setiap pilihan yang muncul, aku berusaha untuk lebih mendengarkan diriku daripada menjawab pikiran tentang apa kata orang. Aku menentukan pilihan sesuai dengan apa yang mau aku tanggung. Aku tidak lagi mau memusingkan standar apa yang orang-orang taruh padaku. Ternyata, rasanya jauh lebih ringan, lebih lapang, lebih damai. 


Hidup Itu Mengerjakan bukan Mendapatkan

Sejak kecil, kita, aku, diajarkan untuk melakukan ini itu agar bisa mencapai ini itu, menjadi ini itu. Fokusnya selalu pada nilai, peringkat, hasil. Jarang, bahkan seingatku tidak ada, yang membicarakan prosesnya. Bagaimana aku melakukannya, apakah sudah sesuai dengan nilai dan etika, apakah aku melukai orang dalam prosesnya. Tidak ada yang peduli.

Mungkin itu kenapa, ketika dewasa, seringnya kita merasa begitu tertekan. Seperti tergesa-gesa untuk menggapai ini itu. Kecewa saat sudah mengusahakan tapi tidak menghasilkan juga. Perasaan-perasaan yang memberatkan kita karena fokusnya di mendapatkan, mengumpulkan apa-apa saja yang bisa dianggap keberhasilan, mewujudkan apa yang digambarkan orang -orang tentang kesuksesan.

Padahal, sudah terang diulang-ulang, hasil tidak pernah kita yang tentukan. Rencana selalu bersama dengan kejutan yang tak terduga. Tiba-tiba hidup membelokkan kita ke arah yang berbeda. Biasaaa. Memang begitulah hidup ketika dewasa. 

Kalau sebelumnya aku menyebutkan tentang melepaskan bagaimana standar yang orang tentukan tentang hidup, kali ini kita bisa fokus pada hidup sendiri. Bukan pada apa yang akan kita dapatkan, tapi lebih fokus pada apa yang kita lakukan. Dengan apa yang lau punya saat ini, aku bisa melakukan apa saja. Dengan tubuh, waktu, ruang, kesempatan; yang ada padaku hari ini, apa yang bisa aku lakukan secara optimal? Jawabannya tentu berbeda dari masing-masing kita, tergantung keadaannya. Tapi fokusnya sama, lakukan yang terbaik yang kita bisa.

Tentu, kita mendapati ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Banyak sekali pilihannya. Coba kerucutkan dengan hal-hal yang dapat mendekatkan kita pada tujuan, apapun itu. Sesuaikan saja dengan definisi hidup yang sudah kita tentukan sebelumnya. Fokus saja di sana, meski kelihatannya bukan pencapaian, meski kelihatannya tidak menghasilkan, tidak apa-apa. Tugas kita hanya berusaha.

Mungkin akan ada bias ketika memilih cara seperti ini, antar damai dengan hari yang dijalani atau tidak terpacu untuk meraih ini itu. Menurutku, kita bisa ada di antaranya. Merasa terpacu pun tetap bisa damai. Keduanya bisa beriringan. Hari ini aku menulis, berbayar atau tidak, yang penting aku lakukan. Hari ini aku bekerja, entah dihargai atau tidak, aku lakukan dengan kemampuanku secara optimal. Kalau aku merasa apa yang aku lakukan tidak sepadan, aku usahakan hakku dengan cara yang sudah ditentukan. 

Dalam jangka panjang, aku berusaha untuk tidak fokus lagi dalam mengumpulkan pencapaian, tapi mengumpulkan hal-hal baik yang aku lakukan. Aku sudah melakukan ini, aku sudah melakukan itu. Aku berupaya untuk mengupayakan yang terbaik yang aku bisa dengan apa yang aku punya. Aku akan bertanggung jawab dengan waktu dan anugerah yang telah diberikan padaku.

Tentu aku paham, dunia dewasa tidak sesederhana itu. Ada banyak sekali tuntutan dan tekanan, tapi lagi-lagi, seringnya itu pilihan kita apakah tekanan itu benar menekan kita atau tidak. Mungkin segala kegundahan yang kita rasakan ini adalah pertanda bahwa semua itu sudah melampaui kemampuan kita, mengendalikan apa yang tidak kita bisa. Mungkin pertanda kalau kita sudah mengambil pekerjaan Tuhan dalam menentukan apa yang harusnya kita dapatkan. Mungkin sudah saatnya kita kembali pada jati diri kita yang tidak berdaya. Lakukan, lalu serahkan. Kerjakan semaksimalnya, serahkan hasilnya. 



Salam, Nasha

Tahun ini, Indonesia ternyata sudah berusia 80 tahun. Cukup tua di Asia Tenggara, meski masih jauh dari usia negara-negara lain di dunia. Kenyataannya, ada banyak hal yang terjadi pada perayaan tahun ini. Ada yang serius dengan harapannya pada ibu pertiwi dan ada pula yang nyeleneh menyampaikan pandangannya. Tidak hanya perayaan, sepanjang bulan ini juga ada kejadian yang melegakan dada, banyak pula yang menyesakkan. Semua turut serta mewarnai perayaan kemerdekaan Indonesia. 



Indonesia, Tanah Tercinta

Tidak hanya luas, Indonesia memiliki pesona yang sulit ditandingi. Tidak perlu diragukan tentang kekayaan alam yang ada. Tanahnya yang kaya dengan pemandangan luar biasa. Ke mana mata ingin melihat, di situ kita bisa mengucap syukur atas keindahannya. Gunung dan perbukitan menjulang dengan gagahnya, hamparan hutan rimbun menyegarkan, lautan mengelilingi dengan magisnya. Semua karunia yang mudah kita dapatkan dengan berada di Indonesia. 

Setidaknya saya sudah menginjakkan kaki di empat pulau besar di Indonesia, bahkan sudah tinggal di tiga di antaranya. Kekayaan alam dan pemandangan fantastis memang tidak perlu diragukan. Lebih dari itu, saya juga mendapati bahwa setiap daerah memiliki keistimewaannya masing-masing, yang menambah kaya negeri kita. Dari sebuah tanah yang penuh aroma rempah, kita dapat mengenal kehidupan yang lekat dengan tradisi. Dari wilayah yang lebih padat, kita mengenal tentang kemajuan peradaban serta keanekaragaman masyarakat yang bisa saling peduli. Serta dari bumi yang dikelilingi hutan dan perkebunan, kita dapat merasakan bahwa hidup ini adalah soal ketenangan. 

Belum lagi perihal sajian makanan. Keunikan rasa tiap daerah adalah kemakmuran yang mustahil diabaikan. Ada masyarakat yang menyukai sajian penuh bumbu dan rasa yang kuat, ada yang memilih paduan rasa lebih sederhana dengan penambahan sedikit gula, ada pula yang berhasil memadukan preferensi keduanya. Ada yang masih mempertahankan proses pengolahan dari nenek moyang, ada pula yang berhasil menyulap sajian internasional dengan kearifan lokal. Semua menawarkan kenikmatan yang sayang sekali untuk dilewatkan. 

Hal tidak kalah penting yang menambah kecintaan saya adalah warganya. Mudah sekali menemukan orang asing yang bersedia menyapa bahkan membantu. Di sinilah, ita bisa mendapati sapaan tulus menghangatkan hati bahkan tidak mustahil bisa menyelamatkan hari. Gotong royong adalah semangat yang sudah mendarah daging, kebersamaan menjadi dasar utamanya. Dari tetangga hingga pedagang, dari kerabat dekat hingga orang yang baru pertama ditemui, semua menghadirkan pengalaman manusiawi yang membuat hidup terasa lebih berarti dan ringan dijalani.

Kehangatan ini berpadu dengan nikmatnya sajian dan indahnya pesona alam, bagaimana mungkin tidak jatuh cinta? Sayangnya tidak sedikit catatan yang mencederai rasa cinta saya itu. 



Indonesia di Tengah Harapan dan Tantangan

Dengan seluruh keistimewaan itu, tidak salah jika kita berharap bisa hidup sejahtera di tanah Indonesia. Apalagi sudah 80 tahun merdeka, paling lama se-Asia Tenggara, jika mengecualikan Thailand yang tidak pernah dijajah sebelumnya. Apalagi kita punya cita-cita besar menjadi bangsa emas 20 tahun dari sekarang. Namun kenyataannya, makin hari hidup tidak terasa makin mudah, malah makin susah. Bukan hanya faktor ekonomi, tapi juga aspek lain yang membuat bertahan hidup makin terasa menantang.

Setidaknya sebulan ke belakang, ada banyak sekali topik negatif yang menjadi bahan perbincangan. Mulai dari berita korupsi yang seakan tidak ada habisnya, kualitas pendidikan yang seperti jalan di tempat, meningkatnya harga kebutuhan pokok, hingga isu lingkungan yang tak tampak ada jalan penyelesaian. Dinamika politik para pejabat dan kebijakan publik pun kerap menimbulkan pro kontra yang membuat gaduh ruang media sosial. 

Apa yang diributkan hingga memicu aksi demo sebenarnya bukan hanya karena satu dua persoalan angka, tapi lebih pada menumpuknya persoalan yang sudah ada, ketidakjelasan prioritas pengurus negara, dan cara komunikasi yang buruk. Secara berkala, ditemukan kasus korupsi dengan nilai yang bisa membiayai banyak hal urgen di negeri ini, kesehatan dan pendidikan salah duanya. Sedangkan dana tersebut malah dialihkan demi kesejahteraan segelintir pihak saja. Ketimpangan yang terjadi antara rakyat dan wakilnya inilah yang paling membuat frustasi. Di satu sisi, warga sulit mendapatkan sumber penghasilan, begitu mendapatkan pun harus dipotong untuk dana kebersamaan. Ternyata bukannya digunakan untuk pembangunan malah digunakan untuk kemakmuran sebagian pengelolanya. Bagaimana warga tidak murka?

Saya sampai tidak habis pikir, bagaimana orang bisa se-serakah itu? Sudah tampak memiliki segala, tapi masih mengambil milik orang lain juga. Mungkin ini yang disebut, orang haus minum air laut, tidak akan pernah tercukupi.

Padahal ada banyak masalah lain yang lebih mendesak untuk diperhatikan. Lingkungan. kesehatan, dan pendidikan. Di saat negara lain berlomba-lomba untuk mencapai zero carbon, kita masih sibuk memerdebatkan izin tambang baru. Di tengah kota dan negara dunia yang sibuk mengelola sampah dan membuat kebijakan mencapai tingkat kebersihn tinggi, kita masih berkutat dengan penuhnya tempat pembuangan akhir hingga menjadi wilayah berpenyakit bagi warga sekitar.

Penyakit dan kesehatan juga menjadi persoalan serius, apalagi dengan ditemukannya kasus luar biasa dari penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan vaksin dan lingkungan yang bersih. Dari tahun ke tahun, kasus berbagai jenis penyakit menunjukkan penyelesaian yang tidak sampai ke akar. Sebagian besar karena adanya gap antara pencegahan dengan pengobatan, khususnya pada kesadaran masyarakat sendiri dan lingkungan yang mereka tinggali. Ketersediaan air bersih dan rumah layak huni adalah aspek wajib yang harus dipenuhi. 

Ironi kesehatan lainnya adalah hak udara bersih yang masih perlu diperjuangkan secara mandiri. Bukan hanya alat penjernih udara yang harus diusahakan sendiri, tapi juga kebijakan yang mendukungnya. Perokok aktif masih berkeliaran mengembuskan asapnya di mana saja, tanpa perlindungan pasti pada orang-orang di sekitarnya. Bahkan banyak orang yang sungkan untuk menegur mereka, untuk mendapatkan haknya berupa udara bersih. Makanan instan dalam kemasan pun masih merajalela di media hingga warung-warung warga, menjadi pilihan mudah dan murah untuk dinikmati. Gaya hidup sehat yang digaungkan akun-akun pribadi di media sosial ternyata tidak seiring dengan apa yang dikerjakan oleh penggerak kehidupan massal di atas sana. Hal ini memperlihatkan lemahnya sistem kita dan kesadaran dalam.

Pendidikan pun menghadapi tantangan serupa. Akses untuk pendidikan tidak bisa ditembus semua orang, apalagi jika tinggal jauh dari perkotaan. Fasilitas seadanya dengan kualitas yang tidak sama. Di sisi lain, sekolah negeri yang ditujukan untuk meringankan beban warga ternyata tidak optimal berfungsi, sehingga banyak orang yang memilih beralih pada swasta. Dengan biaya yang lebih tinggi, tapi lebih bisa diharapkan. Hal yang paling menyedihkan dari proses persiapan generasi ini adalah pada tingkat literasi yang jauh dari harapan. Di tengah dunia yang sibuk berinovasi, kita masih berjuang untuk sekadar meningkatkan fokus agar bisa membaca dari awal sampai akhir tulisan.

Pada akhirnya, dengan kekayaan alam yang berlimpah kita miliki, potensi untuk menjadi negara maju sangatlah besar. Namun dengan kondisi berbagai aspek penopang berupa lingkungan, kesehatan, serta pendidikan saat ini, jelas perjalanan kita tidak sebentar. Perbaikan perlu dilakukan di semua lini, dari atas hingga ke bawah. Dari niat kebersamaan hingga integritas dalam melaksanakan. Harapan akan terus ada, untuk kejayaan Indonesia.



Salam, Nasha.


"Libur t'lah tiba! Libur t'lah tiba! Hore!"

Mungkin begitu penggalan lirik yang disenandungkan anak-anak kita saat ini. Akhir Juni memang biasanya menjadi awal musim liburan sekolah dalam rangka kenaikan kelas di Indonesia. Minggu ini, hampir semua anak sudah memulai liburan mereka. Menyenangkan, sih, benar. Namun, ada tambahan pikiran bagi orang tua terkait dengan kegiatan anak selama liburan ini. Apalagi jika tidak ada rencana pergi berlibur, maka orang tua perlu memutar otak, anak-anak mau ngapain ya di rumah? Masa mau screen time terus? Nah, berikut beberapa ide kegiatan di rumah yang simple dan bisa dipraktikkan. Tetap menyenangkan dan bermanfaat bagi anak!

Ide Kegiatan Anak selama Libur Sekolah

Sebenarnya momen libur sekolah ini cukup menjadi momen pengingat bagi orang tua, saya khususnya, bahwa anak terus bertumbuh semakin besar. Wah sekarang dia sudah masuk TK. Wah sekaang dia sudah masuk SD. Wah, dia sudah kelas segini. Mengharukan melihat ia berkembang jauh dari bocah yang mungkin menangis ketika diantar ke sekolah hingga sekarang sudah memiliki banyak teman atau bahkan justru merindukan sekolahnya. Dengan menyisakan perasaan yang muncul ketika hari perpisahan anak di sekolah itu, kerumitan untuk menyiapkan kegiatan libur sekolah mereka di rumah akan terasa lebih mudah. Menyadari bahwa waktu kebersamaan kita bersama mereka semakin berkurang. 

Nah, berhubung anak saya memang masih tergolong anak-anak (dibawah 10 tahun), bukan pre-teen apalagi remaja, maka ide kegiatan di bawah ini diperuntukkan bagi anak-anak dalam golongan usia tersebut, ya! Kegiatan lainnya bisa tetap menyesuaikan.

  • Olahraga Bersama
Anak membutuhkan setidaknya 60 menit aktivitas fisik untuk kesehatan dan pertumbuhannya. Upayakan anak memiliki ruang agar kebutuhan mereka itu terpenuhi. Mulai dari rumah, kita bangun bersama kebiasaan sehat anak. Ajak mereka memulai hari dengan peregangan ringan, dan permainan fisik atau olahraga kompetitif seperti bermain bola sebagai kegiatan keluarga yang menyenangkan.
  • Mengolah Makanan
Ajak anak untuk memasak menu kesukaan mereka. Aktivitas bisa dimulai dari berbelanja, menyiapkan bahan, dan memasaknya. Biasanya mengolah menu cemilan akan lebih menyenangkan bagi anak. Biarkan mereka yang menimbang, mencicipi, membentuk, bahkan menggunakan alat tertentu. Hasilnya tidak perlu sempurna, yang penting prosesnya menyenangkan. 
  • Membuat Jadwal Aktivitas Bersama
Daripada pusing sendirian, ajak saja anak untuk memikirkannya sekalian. Biarkan mereka berpikir, membayangkan, memberikan ide, memutuskan ingin melakukan apa. Beri juga mereka kesempatan untuk menyiapkannya. Pajang hasilnya, berupa jadwal itu, di tempat yang mudah terlihat. Ini bisa menjadi ruang diskusi yan sehat dalam keluarga sekalugus memupuk kepercayaan diri anak.
  • Berkebun
Aktivitas sederhana seperti menyiram tanaman saja dapat menjadi ruang belajar bagi anak. Saat liburan, beri mereka tanggung jawab untuk menyirami tanaman secara berkala. Selain itu, ajak mereka bereksperimen dengan menanam benih tumbuhan, menyiraminya, dan menyaksikan bagaimana tumbuhan itu berkembang. Mulai saja dari yang paling sederhana, seperti biji kacang hijau di kapas. 
  • Bermain harta karun
Ada harinya kita harus benar-benar masuk ke dunia anak dan melupakan jarak diantaranya. Coba dengan permainan harta karun dengan menyembunyikan suatu benda lalu buat peta dan teka-teki untuk menemukannya. Siapkan pula hadiah jika anak berhasil menemukannya. Pencarian ini bisa dilakukan bergantian, dengan anak yang mencari lalu anak yang menyembunyikan. 
  • Menyusun Puzzle
Menyusun puzzle ternyata bisa menjadi kegiatan yang seru dan menantang bagi kita yang sudah terbiasa serba instant ini. Harus diam mencari potongan mana yang diinginkan dan harus teliti dalam menemukan posisi yang paling cocok. Bahkan sering kali anak-anak melakukannya dengan lebih baik. Jumlah puzzle-nya bisa disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak, ya!
  • Membuat buku cerita

Anak yang sudah terbiasa dengan buku, baik dibacakan cerita maupun membaca buku cerita sendiri, akan mampu menciptakan cerita mereka sendiri. Kali ini, daripada sekadar mendengar mereka menceritakan imajinasinya, ajak mereka untuk menuliskan kisah tersebut. Biarkan mereka menggambar, mewarnai, serta menuliskan potongan cerita-cerita tersebut.

  • Jurnal Harian
Hal seru lain yang bisa kita biasakan sejak libur sekolah ini adalah membuat jurnal harian. Sediakan waktu khusus untuk bersama-sama menuliskan apa yang kita pikirkan atau rasakan pada hari ini. Biarkan mereka untuk menulis ataupun menggambar. Sesekali bisa beri anak prompt untuk dijawab, seperti apa kegiatan yang paling menyenangkan, apa kebaikan yang ia terima, bagaimana ia bersyukur akan hari ini, dsb.

  • Misi Kebaikan Harian

Menindak lanjuti jurnal harian yang telah kita tulis bersama, tambahkan misi kebaikan harian yang perlu anak penuhi. Berupa tindakan baik atau hal-hal sederhana yang bisa mereka lakukan sehari-hari. Bisa berupa membantu pekerjaan rumah (di luar hal yang menjadi tanggung jawab mereka), tersenyum dan menyapa orang lain, menghibur orang lain dengan cerita, bermain bersama, berbagi cemilan dengan saudara, berterima kasih, bertanggung jawab dan meminta maaf atas kesalahan, dan lain-lain.

  • Percobaan STEAM Sederhana

Ternyata ada banyak hal sederhana yang bisa menjadi ruang bagi anak belajar bahkan video tutorialnya bisa ditemukan dengan mudah. Seperti membuat pelangi di gelas, gunung meletus mini, eksperimen dengan telur dan air garam, membangun menara dari stik, membuat mobil dari tutup botol dan balon, berkreasi dengan kardus bekas, dll. 

Baca Juga: Belajar Al Quran Mudah dari Rumah, Pilihan Kelas Mengaji Online untuk Anak

Sebenarnya, anak tidak mengharapkan liburan bermewahan ke mana-mana, mereka hanya berharap bisa menghabiskan liburan melakukan hal yang tidak biasa mereka lakukan. Bermain seharian sepuasnya, misalkan. Bermain bersama ayah dan ibu, tanpa harus diburu-buru dengan jadwal sekolah atau pekerjaan. Melakukan aktivitas bersama-sama. Memang kadang tidak mudah untuk menyesuaikan jadwal kegiatan kita dengan jadwal anak, namun saat kita sudah berupaya setidaknya ada sedikit jalan yang akan terbuka. Setidaknya, anak bisa merasakan bahwa kita sudah berupaya. Menjadikan momen yang singkat, menit-menit bersama di sela-sela aktivitas kita, menjadi memori menyenangkan bagi mereka.



Salam, Nasha

Buku terjemahan dengan judul asli Never Get Angry Again ini cocok untuk kita yang ingin lebih dalam memahami tentang emosi dan bagaimana menghadapinya, khususnya pada jenis emosi yang membuat kewalahan seperti marah. Entah apa sebabnya, tapi kita semua pasti pernah merasa marah, kesal, kecewa, ataupun tersinggung. Dalam buku ini, Davd J. Lieberman mengajak kita untuk memahami dari mana emosi itu berasal, apa batasan baik dan tidak baik yang bisa kita lakukan, serta bagaimana mengelolanya bukan asal menekannya. 


Sekilas tentang Buku

Buku setebal 280 halaman ini ditulis oleh David J. Lieberman, seorang penulis buku asal Amerika yang juga merupakan tokoh di bidang perilaku manusia dan hubungan antarpribadi. Genrenya adalah pengembangan diri dengan subjudul Mengerti Daya Ledak Emosi dan Cara Ampuh Mengelolanya Hingga Kamu Bisa Tetap Tenang-Terkendali di Segala Situasi. Terdiri dari tujuh bagian dengan total 30 bab di dalamnya.

Bagian-bagian tersebut antara lain:

  1. Sebenarnya Alasanmu Marah Adalah...
  2. Biaya Hidup, Harga untuk Melepaskan Diri
  3. Memahami Rasa Sakit dan Penderitaan
  4. Berdamai dengan Masa Lalu, untuk Selamanya
  5. Bagaimana Caranya Mencintai Kehidupan
  6. Merebut Kembali Diri Sendiri dan Menetapkan Ulang Batas
  7. Strategi Psikologi Lanjutan untuk Hidup Bebas Amarah

Dari judul bagiannya, mungkin sudah sedikit ada gambaran bagaimana kita-kira isi buku ini. Dari mengenal diri sendiri, emosi yang ada di dalamnya, luka yang pernah ada, hingga merekonstruksi ulang pemahaman-pemahaman yang kita miliki. 

Topik yang dibahas memang tidak ringan apalagi melalui pendekatan ilmiah dari segi psikologi, namun penulis dapat menyampaikannya dengan cara sederhana. Kadang juga dilengkapi dengan contoh praktikal sehingga lebih mudah dipahami,dengan catatan, kita benar-benar fokus saat membacanya. Secara keseluruhan memang antar bagian saling berkaitan agar bisa dipahami, tapi untuk membaca ulang, tidak masalah jika hanya di bagian tertentu saja. Jadi, buku ini memang cocok untuk dewasa muda yang kadang merasa kewalahan dengan emosi diri sendiri, ingin lebih memahami berbagai emosi yang dirasakan, serta ingin hidup lebih tenang, bijaksana, dan tentunya berbahagia.


Personal Review

Menariknya, buku ini tidak langsung membahas apa itu marah, apa yang seharusnya kita lakukan, dan apa saja yang tidak boleh kita lakukan. Namun, buku ini diawali dengan penjelasan tentang diri kita sendiri khususnya emosi yang kita rasakan. Seolah kita merasa dimengerti dulu, baru pelan-pelan dibenahi apa yang selama ini keliru, yang dimulai dari diri sendiri dulu, baru pada situasi di luar diri, hingga ke hubungan dengan orang lain. 

Dimulai dengan memahami bahwa setidaknya kita terdiri atas jiwa, ego, dan tubuh. Jika jiwa ingin melakukan sesuatu yang benar, tubuh ingin merasa nyaman, ego ingin terlihat benar. Iya, terlihat. Idealnya semua harus seimbang, tapi sering kali, terutama ketika kita merasa kehilangan kendali, ego mengambil alih. Kita melakukan sesuatu agar telihat baik, sesuatu dengan pembenaran, bukan yang benar-benar benar. Inilah yang membuat pandangan kita semakin subjektif dan memicu amarah yang tidak berkesudahan.

Setelah diulik-ulik lagi, seringnya kita marah bukan karena apa yang terjadi, tapi karena persepsi yang dibangun atas ego diri sendiri. Tersinggung mendengar perkataan seseorang, ternyata yang menjadi masalah bukan kalimat orang tersebut, tapi karena ego yang terluka, pengalaman di masa lalu, anggapan dan kesimpulan yang tidak terlalu berkaitan, dsb. Inilah awal yang akan ditelaah pelan-pelan dalam buku ini.

Selanjutnya, ada pula pembahasan tentang fenomena igital yang terjadi di sekitar kita. Ketika relaita kita begitu mudah teralihkan dengan teknologi, kita terbiasa kabur dari perasaan sendiri padahal perasaan itu tidak akan kemana-mana. Ia akan tetap ada di sana, menggerogoti kepuasaan hidup kita sedikit demi sedikit. Menyisakan kehampaan dan makna yang nyaris kosong. Dari sini, kita diajak untuk bersikap apa adanya dan mau mengambil tanggung jawab secara penuh atas hidup sendiri. 

Yang lebih penting daripada jalan yang kita tempuh adalah menjadi seperti apa diri kita sepanjang jalan itu.

Bagian berikutnya kita diajak untuk berdamai dengan apa yang terjadi, baik itu di masa lalu, masa kini, juga masa depan. Berdamai pada kemugkinan-kemungkinan yang tidak sesuai harapan. Sebab katanya ketika kita paham akan pengendalian diri dan ketidak mampuan kita mengendalikan dunia, kita tidak akan lagi merasa gelisah. Tenang. Kita juga akan belajar bagaimana membina hubungan yang damai dengan orang lain, sekalipun orang tersebut tidak sesuai dengan yang kita inginkan.

Kita tidak perlu membenci diri sendiri karena orang lain membenci kita. Kita tidak perlu menyakiti diri karena orang lain menyakiti kita. Kita bukan tidak pantas dicintai karena seseorang tidak mampu mencintai kita. 

Bukankah itu kutipan yang sangat indah? Sangat melegakan. Meski kita semua tahu, praktiknya tidak semudah itu. Tapi tenang, bagian selanjutnya akan membuat kita pelan-pelan belajar menerima dan mencintai diri sendiri juga kehidupan. Dimulai dengan seni memaafkan, memberi, menerima perbedaan, mengatur batasan, serta berbagai kiat yang bisa dipraktikkan seperti cara menjalin hubungan, bersyukur,  hingga teknik pernapasan.

Mungkin kita tidak akan langsung menjadi pribadi yang tenang dan bebas amarah setelah selesai membaca buku ini. Namun, kita akan sedikit memahami tentang emosi dan memiliki pandangan yang lebih luas ketika merasakan emosi tersebut. Sedikit banyak ini akan membantu kita lebih tenang ketika merasakannya.



Salam, Nasha 

 

Tidak lama lagi, tahun ajaran baru akan segera dimulai. Sebagian anak-anak baru akan memulai jenjang pendidikan mereka, sehingga, kita mulai sibuk untuk mempersiapkan kelengkapan sekolah mereka, salah satunya adalah tas. Sebagai bagian dari kebutuhan anak, kita menginginkan tas yang terbaik, bukan hanya yang populer, tapi juga yang berkualitas tinggi, sesuai dengan kebutuhan perkembangan mereka, serta sesuai dengan anggaran. Lebih baik lagi kalau tidak merusak lingkungan, seperti bahan plastik. Nah, berikut beberapa rekomendasi tas sekolah anak, yang bisa ditemukan dalam situs belanja daring, sesuai dengan kriteria orang tua dan kesukaan anak.


Memilih tas anak, khususnya mereka yang sudah masuk ke jenjang pendidikan dasar alias tas anak SD tidak lagi sekadar lucu tapi juga harus yang nyaman untuk mereka gunakan dan tahan dengan panjangnya deretan aktivitas mereka. Anak-anak ini mulai membawa banyak buku, alat tulis, botol minum, serta bekal setiap hari. Jika salah memilih, tas bisa cepat rusak atau bahkan dapat mengganggu kenyamanan tubuh terutama punggung mereka. Tapi orang tua tidak perlu khawatir, dengan kriteria itu ada cukup banyak pilihan yang tersedia dengan harga yang cukup terjangkau. Meski kebanyakan disediakan secara daring, kriteria tadi tetap bisa kita lakukan asal mau lebih teliti membaca deskripsi maupun bertanya pada penjual.

Berikut beberapa tips sebelum memilih tas sekolah anak khususnya untuk SD kelas 1-3 atau usia 6-9 tahun:

  • Pahami kebutuhan anak sehingga bisa menyesuaikan dengan ukuran dan bahan yang digunakan
  • Sesuaikan dengan tubuh anak, dimana berat tas yang diangkut tidak lebih dari 10-15% dari berat badan anak
  • Ukuran yang direkomendasikan adalah tinggi 30-40cm atau lebih dari 10L
  • Pilih bahan yang berkualitas, tahan lama, nyaman, juga ramah lingkungan, salah satunya dengan hindari bahan polyester dan turunannya. 
  • Cari tas dengan tali bahu yang empuk dan bisa diatur, serta memiliki bantalan punggung agar lebih nyaman
  • Perhatikan jumlah kompartemen seperti ruang utama untuk buku, ruang untuk botol minum, serta kantong bekal juga kantong untuk alat tulis jika diperlukan
  • Pertimbangkan desain yang memang disukai anak, agar mereka lebih bersemangat

Setelah saya coba mencari, ternyata kriteria yang sulit dipenuhi bukanlah yang murah terjangkau, melainkan yang bahannya bukan polyester ataupun nilon. Ternyata, banyak sekali produsen yang menggunakan bahan-bahan ini termasuk turunannya untuk menciptakan produk tas. Kalau bukan 100% tetap ada campuran polyester atau turunannya seperti cordura, dolby, crinkle, 600D, dll. Perlu diketahui, kedua bahan ini adalah serat sintetis yang terbuat dari minyak bumi, yang tidak dapat terurai secara alami, bahkan saat pencuciannya dapat melepaskan mikroplastik. Artinya, mulai dari proses pembuatan hingga nanti ketika menjadi barang yang tidak digunakan, bahan ini sangat  membebani bumi. 

Karena itu, rekomendasi berikut ini akan menampilkan tas yang terbuat dari bahan alami atau setidaknya mengandung sedikit bahan sintetis (jika sulit sekali memilih yang tidak ada sama sekali), model ransel, berharga tidak lebih dari 300ribu, dan dengan varian yang bisa dipakai untuk anak laki-laki maupun perempuan. Semua tautan dapat langsung diakses menuju ke marketplace, dengan harga yang tertera adalah harga denngan potongan voucher aplikasi. 

  • Twostrap - Mini Woofly Backpack


Ransel aneka warna yang terdiri dari satu kompartemen utama, laptop sleeve maksimal ukuran 11.5 inch, serta kantung bagian dalam dan depan untuk barang-barang yang lebih kecil. Terbuat dari bahan canvas ukuran 25.5 x 12.5 x 32 cm atau 11L. 

Rp 151.300

  • Skoola - Tas Ransel Dino Vinzel


Dengan dimensi 27 x 13 x 36 cm dan gambar dinosaurus yang penuh warna, tas yang terbuat dari canvas cordura ini cocok untuk ransel sekolah anak. Terdiri dari satu kompartemen utama, satu kompartemen di depan, kantong untuk botol minum di kiri kanan, dan back strap yang bisa disesuaikan.

Rp 150.450

  • Amicu - Backpack Kuuro Bag

Tas aneka warna dengan motif binatang sederhana di bagian depan, yang dibuat dari bahan canvas ini cocok untuk tas sekolah anak. Dengan dimensi 24 x 11 x 31 cm, ransel ini dilengkapi dengan kompartemen utama, dua kompartemen depan, serta dua kompartemen samping untuk botol minuman.

Rp 174.000

  • Kaija - Kitaro Bags


Pilihan ransel dengan warna-warna 'bumi' seperti hitam, coklat, serta hijau tua. Terbuat dari bahan canvas berdimensi 36 x 12 x 41 cm atau setara 20L, bisa menjadi pilihan orang tua dan anak penyuka gaya simple atau aktivitas outdoor.

Rp 213.945

  • Hoofla - Tas Ransel PimPom

Ransel polos dengan perpaduan berbagai warna yang bisa dipilih. Terbuat dari bahan canvas dengan ukuran 29 x 12 x 37 cm yang terdiri dari satu kompartemen utama, dua kompartemen tambahan di depan, laptop sleeve hingga 11 inch, kantong botol minum, dan strap bahu tebal yang bisa disesuaikan.

Rp 117.512

  • CRSL - Daysic Backpack

Pilihan ransel polos dengan perpaduan warna yang bisa untuk laki-laki dan perempuan. Dengan bahan canvas dan dimensi 28 x 12 x 40 cm atau setara 13L, tas ini bisa memut laptop hingga 14 inch, tambahan kantong botol minum, serta kantong kecil di bagian belakang tas.

Rp 204.085

  • MLF (My Little Fairies) - Hero Backpack

Tas anak motif logo superhero berupa avengers, spiderman, juga soccer yang dibuat dari bahan printed canvas dan tambahan sequin pada bagian depan yang dapat menjadi daya tarik tambahan bagi anak. Dengan dimensi 28 x 11 x 35 cm, ada kompartemen utama yang dilengkapi retsleting, kantong botol minum, dan tali bahu yang dapat disesuaikan. 

Rp 152.150

  • Haeykids - Ransel Buddybag

Tas polos dengan beberapa pilihan warna yang dirancang dengan model simple berukuran 28 x 12 x 43 cm atau setara 20Lyang bisa menampung berbagai keperluan sekolah termasuk laptop 14 inch. Terbuat dari bahan canvas yang terdiri dari kompartemen utama, kompartemen tambahan di depan, dan kantong botol minum di samping.

Rp 141.680

  • Sovlo - Cloud Backpack


Dengan desain unik, tas ini berdimensi 20 x 13 x 30 cm yang dapat menyimpan gadget hingga ukuran 11 inch. Terbuat dari bahan kanvas dengan kompartemen utama dan kompartemen tambahan di depan. Tali tas bisa disesuaikan dan ada pula kantung untuk botol minum yang disediakan.

Rp185.215


Sekian informasi untuk tas ransel sekolah anak dengan bahan yang dipilih bukan dari poliester. Mungkin sedikit lebih rumit, tapi semoga sedikit usaha kita ini menjadi catatan kebaikan kita dalam rangka menjaga bumi, planet untuk ditinggali anak-anak kita ini nanti. Semoga bermanfaat!



Salam, Nasha

Drama Korea besutan Netflix, Resident Playbook resmi mengakhiri cerita mereka pada pekan lalu di episode ke-12. Sebagai spin-off dari semesta Hospital Playlist, serial ini mengisahkan kehidupan para dokter residen di departemen obstetri ginekologi Rumah Sakit Yulje. Selama enam minggu, penonton diajak mengikuti tahun pertama keempat tokoh dengan masing-masing yang penuh tekanan, haru, tawa, juga berbagai kutipan bijaknya. Lebih dari sekadar dinamika dunia medis, berbagai potongan percakapan disini menyuguhkan sisi manusiawi para dokter muda yang terus belajar dan tumbuh dengan bijaksana. 



Saya tidak memungkiri ada keraguan pada awalnya ketika drama ini direncakan rilis. Selain pemerannya bukanlah aktor terkenal, selain Go Yoon Jung, keberhasilan Hospital Playlist season 1 dan 2 menciptakan standar tersendiri yang sepertinya bakal sulit ditembus. Namun setelah menyaksikan ke-12 episode Resident Playbook setiap minggunya ini, keraguan saya terpatahkan. Bahkan sulit rasanya move on dari imaji karya bersama Shin Won Ho dan Lee Woo Jung ini. Dari tahun pertama yang dikisahkan di sana, saya akan merangkum berbagai kutipan bijak yang terselip dalam dialog para tokohnya. Ternyata, lebih dari wawasan tentang dunia medis, kita juga belajar untuk menjadi manusia yang tidak berhenti tumbuh dan belajar makin bijaksana.

“You can get praised at home or school for coming in first place, but this is a hospital. Here, instead of your own desires, it’s where you put your patients first.”  

Ku Do Won

Dari awal muncul memang Ku Do Won ini tampak sebagai senior yang dapat mengayomi juniornya sekaligus sebagai dokter yang dapat diandalkan pasien. Ini potongan dialog pada episode awal ketika Kim Sa Bi seolah terus menargetkan diri menjadi yang pertama bahkan dalam mendapatkan tanda tangan pasien.

“It was my first time, so how could I possibly know anything?"

Chu Minha

Kehadiran Chu Min Ha bukan hanya sebagai pemanis tapi juga memberi kesan yang baik. Ia berbagi pengalamannya sebagai residen kepada Oh Yi Young yang datang mengantarkan pasien. Maksudnya bahwa kita semua berproses, bertumbuh, belajar dari tidak tahu menjadi tahu. 

“A full stomach makes you happy and keeps you from wanting to quit.” 

Ki Eun Mi

“It’s all about sleep. A good sleep resets your mood.”

Cha Dahye 

Ini percakapan yang cukup lucu antara residen senior termasuk Ku Do Won. Mereka membicarakan residen tahun awal di minggu ketiga, ketika semua beban terasa berat dan mereka belum terbiasa. Untuk membuat mereka bertahan, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Cukup makan dan tidur memang mujarab, tapi seperti kata Do Won, kuncinya tetaplah di gaji.

"So see things while you still have time and do things while you still can. Then you’ll have fewer regrets when you die. And you’ll miss them less. I hope you’ll live that kind of life.”

Elderly Patient

Itu adalah potongan wejangan dari seorang pasien, nenek yang akan menjalani operasi kepada Nam Kyung. 

“It’s always better to have company when you’re scared.” 

Kim Jun Wan

Kalimat penutup dari Jun Wan yang menemani Prof. Seo untuk menghadapi pasien yang menghadapi kematian bayinya dengan kasus sama seperti kehamilan sebelumnya. Meski ia dokter dan berkali-kali menghadapi kasus serupa, tidak menjadikannya lebih mudah dihadapi apalagi dengan kesedihan pasien.


“Wasting others’ time and getting them involved because you won’t take responsibility. That’s incompetence.” 

Ku Do Won

Lagi-lagi Dowon dengan kebijaksanaannya, ketika Um Jae Il bolak-balik merepotkan seniornya karena ia tidak yakin dengan kemampuannya sendiri yang sama saja dengan enggan bertanggung jawab atas hasil kerjanya sendiri.

“Don’t hide and cry. Don’t pretend to smile when you’re sad. Just do whatever you feel like doing.” 

Oh Yi Young

Rasanya sulit untuk menahan air mata ketika Oh Yi Young akhirnya mengungkapkan isi hatinya saat ditinggal oleh ibunya. Di sini, ia menceritakan apa yang terjadi saat itu, apa yang ia rasakan, dan bahkan memberikan nomor telefonnya kepada seorang anak yang baru saja kehilangan ibunya. Orang bisa saja menyuruh kita kuat, tapi tidak mungkin untuk bisa kuat, tetap jadi anak baik, dan tidak bersedih saat kehilangan seorang ibu.


“Wasting your energy and time on something that won’t ever improve is only a loss for you in the end, so why do it?” 

Ku Do Won

“Whether I can fix them or not is not my problem. I have to speak my mind. I was the one negatively affected. Why should I tolerate, too?” 

Kim Sa Bi

Ini percakapan yag saling berlawanan tapi saya setujui keduanya. Percakapan yang berhubungan dengan cara menghadapi orang yang tidak sepaham bahkan menyebalkan. Do Won bisa jadi benar untuk tidak menggubris orang itu, tapi Sa Bi juga benar untuk mengekspresikan kekesalannya. Mungkin ada kalanya kita bersikap seperti Do Won, mungkin ada kalanya pula kita bereaksi seperti Sa Bi. 

“Even if you have to force yourself, try to eat. You must be so sad, so at least you won’t have to think about this.” 

Oh Yi Young

Adegan ini juga mengundang air mata, ketika Yi Young mengajak seorang pasien yang kehilangan janinnya untuk makan. Ia menghubungkannya dengan apa yang terjadi pada kakaknya. Kita akan lebih membenci diri ketika besedih dalam keadaan lapar.

“Getting mad and scolding someone isn’t easy. The one scolding feels uncomfortable, self-conscious, and unpleasant. But you still have to do it. We do it for a reason “Scold mistakes and praise success. Start with that. Then don’t you think you’ll develop a sense of when to get mad and when to comfort?” 

Ku Do Won

Ku Do Won ini memang tipe senior idaman yang dibutuhkan oleh banyak junior pada setiap lini pekerjaan. Ia bisa mengayomi dengan banyak kebijaksanaan. Kali ini, ia menyampaikannya pada Um Jae Il yang tidak dapat tegas menegur seorang dokter magang atas kelalaiannya. Jae Il beralasan karena selama ini ia tergerak bukan karena omelan melainkan kebaikan seperti yang dilakukan Eun Mi. Sayangnya kebaikan Jae Il justru dimanfaatkan. Itulah kenapa penting untuk memahami momen dan orangnya, kapan perlu tegas menegur, kapan perlu menoleransi dan membantu.

“If they make a mistake, of course you should scold them. But the location and content of the reprimand still requires common courtesy.” 

Prof. Ryu 

Seolah bersambung, kalimat bijak Prof. Ryu, yang berhasil membuat kita semua tersentuh, dapat menyimpulkan bagaimana mengomeli seharusnya. Menegur kesalahan memang perlu, tapi tetap ada etika yang harus diperhatikan. Menyampaikan hal baik tentu perlu dengan cara yang baik pula.

“It’s thanks to those who taught me how to fail with grace and how to let go with courage that I was able to become a better person.” 

Prof. Im

Pada akhirnya yang bisa membuat kita bertumbuh itu adalah kesempatan untuk melakukan kesalahan. Ketika kita berani melakukan sesuatu, membuka peluang melakukan kesalahan, dan berani pula memperbaikinya. Kita belajar dari waktu ke waktu dengan proses panjang itu. Kalimat perpisahan dari Prof. Im ini cukup mewakilkan bagaimana tokoh-tokoh dalam drama ini bisa bertumbuh selama setahun kisah mereka. 


“People say a baby completes a family and wonder how can you live without that happiness. But I’ll give that life a shot. My family may be incomplete to some, but I am happy with it. The joy a baby brings is something I’ll try to find elsewhere on my own.” 

Oh Joo Young

Terakhir, adalah kalimat dari kakak Oh Yi Young, Oh Joo Young yang seperti kita tahu sudah mengusahakan segalanya agar memiliki bayi. Adegan yang diletakkan pada akhir ini rasanya tidak mungkin tidak menghangatkan hati. Kita semua tahu bagaimana Oh Joo Young bolak-balik ke rumah sakit, melakukan berbagai macam pemeriksaan, menjaga tubuhnya dengan tidak mengonsumsi hal-hal yang dilarang, mengalami naik turun perubahan suasana hati. Suaminya pun sama berbesar hati menghadapi hari-hari perjuangan mereka bersama untuk seorang bayi. Hingga akhirnya mereka pun berani melepaskan apa yang ia impikan. Kasih sayang yang mereka tunjukkan pun cukup menghangatkan dan bisa jadi pelengkap yang manis pada serial ini.



Salam, Nasha


Referensi:

https://korean-binge.com/2025/04/16/70-quotes-resident-playbook-2025/

https://www.instagram.com/residentplaybook_official/







Postingan Lama Beranda

Kenalan Dulu, yuk!

Hai, aku Nasha! Aku diberkahi dengan dua guru hebat dan akan seterusnya belajar. Sedang giat tentang gracefully adulting, mindfull parenting, dan sustainable living. Kadang review tontonan, buku, dan produk yang baik juga. Semoga berguna!
PS, untuk info kerja sama, bisa email aja ya! ;)

Follow @salamnasha

POPULAR POSTS

  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Welcome to Samdal-Ri: Kisah Hangat dari Jeju, Aku dan Orang-orangku

Hubungi Aku di sini

Nama

Email *

Pesan *

Advertisement

Label

family REVIEW lifestyle rekomendasi BUMI lingkungan parenting kesehatan mental kesehatan netflix adulting marriage rekomendasi buku

Daftar Tulisan

  • ▼  2025 (28)
    • ▼  Oktober 2025 (1)
      • Bahayanya Abai Berjamaah, Diam yang Merawat Masalah
    • ►  September 2025 (1)
    • ►  Agustus 2025 (1)
    • ►  Juni 2025 (1)
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (5)
    • ►  Maret 2025 (4)
    • ►  Februari 2025 (5)
    • ►  Januari 2025 (5)
  • ►  2024 (41)
    • ►  Oktober 2024 (4)
    • ►  September 2024 (8)
    • ►  Agustus 2024 (5)
    • ►  Juli 2024 (5)
    • ►  Mei 2024 (5)
    • ►  April 2024 (3)
    • ►  Maret 2024 (5)
    • ►  Februari 2024 (3)
    • ►  Januari 2024 (3)
  • ►  2023 (117)
    • ►  Desember 2023 (10)
    • ►  November 2023 (10)
    • ►  Oktober 2023 (10)
    • ►  September 2023 (10)
    • ►  Agustus 2023 (10)
    • ►  Juli 2023 (10)
    • ►  Juni 2023 (11)
    • ►  Mei 2023 (12)
    • ►  April 2023 (8)
    • ►  Maret 2023 (10)
    • ►  Februari 2023 (8)
    • ►  Januari 2023 (8)
  • ►  2022 (31)
    • ►  Desember 2022 (6)
    • ►  November 2022 (3)
    • ►  Oktober 2022 (4)
    • ►  September 2022 (3)
    • ►  Agustus 2022 (1)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (3)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (3)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Oktober 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (1)
    • ►  Juni 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (2)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (6)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (4)

BloggerHub Indonesia

Tulisanku Lainnya

Kompasiana Kumparan

Popular Posts

  • Review Popok Perekat (Taped Diapers) Premium: Mamy Poko, Fitti, Sweety, Merries
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Trending Articles

  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Welcome to Samdal-Ri: Kisah Hangat dari Jeju, Aku dan Orang-orangku

Copyright © SALAM, NASHA. Designed by OddThemes