Mengenal Gray Divorce dan Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Pernikahan Lanjut Usia

Hubungan antara dua orang dalam pernikahan selalu menjadi hal menarik untuk dibahas. Apalagi jika bentuk komitmen jangka panjang ini adalah apa yang juga kita jalani. Impian meniti hari bersama hingga tua nanti, terukir indah saat ikrar diucapkan di depan para saksi. Sayangnya, kenyataan tidak sesuai rencana. Tren perpisahan kini melanda pasangan lanjut usia. Pernikahan yang telah terjalin puluhan tahun lamanya mengalami gray divorce. Sebagai pasangan yang masih terbilang muda, kita jadi bertanya-tanya apa itu gray divorce dan kira-kira  apa ya yang bisa kita pelajari supaya tidak perlu mengalaminya? 



Gray Divorce

Tidak ada pasangan yang merencanakan perpisahan, namun tetap saja itu bisa terjadi. Data terbaru menunjukkan pernikahan yang berakhir pada perceraian belakangan justru tinggi pada pasangan berusia lima puluh tahun keatas, yang dikenal sebagai gray divorce. Jadi gray divorce (perceraian abu-abu) berarti fenomena demografi dimana terjadinya peningkatan angka perceraian pada pasangan lanjut usia dalam pernikahan jangka panjang yang sudah dijalani. Orang yang berpisah ini juga disebut sebagai silver splitter atau pemecah perak karena biasanya usia pernikahan mereka sudah mencapai angka 25 tahun. 

Dari datanya, di Amerika saja sekitar 40-50% pernikahan berakhir pada perceraian. Jika kita lihat di Indonesia, dari data tahun 2022 ada sekitar 1,7 juta pernikahan yang tercatat. Ini menjadi angka terendah dalam satu dekade terakhir. Sedangkan tercatat hampir 450 ribu kasus perceraian yang diputus pada tahun yang sama. Ini angka tertinggi selama enam tahun kebelakang. Dari angka itu saja berarti persentase perceraian terhadap pernikahan berada pada angka 26%. Angka ini menjadi semakin memprihatinkan jika dilihat grafik dari tahun ke tahunnya dimana angka pernikahan menurun namun angka perceraian justru meningkat.

Jika dulu perceraian terjadi pada usia pernikahan yang muda yakni dibawah lima tahun atau setidaknya delapan tahun, kini fenomena tersebut bergeser, khususnya pada kasus di Amerika sehingga muncul istilah gray divorce. Banyak peneliti yang mengungkapkan bahwa pernikahan pada tahun-tahun awal adalah masa kritis dari dua orang yang harus beradaptasi dengan pola hidup yang baru, kadang bisa menemukan stabiltas, kadang juga mulai merasa gelisah hingga ketidakcocokan. Dengan perbedaan latar belakang, kebutuhan, serta ekspektasi tersebut, mereka diharuskan berkompromi untuk menemukan jalan tenganya. belum lagi pada usia ini biasanya seseorang juga memiliki fokus-fokus lain seperti sedang membangun karir, proses berdamai dengan masa kecil, juga berbagai rencana jangka panjang. Di masa ini, jika pasangan tidak mampu menjalin komunikasi yang baik maka pernikahan bisa menjadi perjalanan yang sangat berat dengan seringnya pertengkaran, saling mendiamkan atau mengasingkan diri, hingga berujung perceraian.


Studi-studi terus diperbarui sesuai dengan fenomena gray divorce belakangan. Faktor-faktor penyebabnya terus dikaji, karena alasan-alasan diatas yang dikemukakan untuk usia pernikahan muda tidak lagi relevan. Pasangan lanjut usia ini dianggap sebagai orang-orang yang sudah berhasil melewati masa kritis pernikahan, mereka bisa beradaptasi dan berkompromi atas perbedaan diantara keduanya, mereka bertahan hingga puluhan tahun, tidak jarang kita melihat mereka sering menghabiskan waktu bersama dan menumpuk memori romantis. Namun kenapa hubungan tersebut tetap berujung pada perpisahan?

Berbagai teori membahas faktor-faktor ini. Biasanya ada permasalahan yang sudah terjadi bertahun-tahun tapi tidak mendapat penyelesaian hingga sudah terlalu terlambat untuk melakukannya. Salah satu pihak, lebih banyak perempuan, saat memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan dan merasakan hubungan yang dijalani dan diinginkan kedepannya, mulai berpikir tentang pilihan-pilihan yang ia punya. Ide tentang perpisahan biasanya muncul saat dirasa kebutuhan emosional tidak bisa terpenuhi dan muncul bayangan pilihan antara hidup sendiri atau terus hidup bersama dengan seseorang yang juga tidak bisa mengisi kekosongan tersebut. Mode autopilot yang dijalani selama ini ternyata tidak cukup. Energi untuk menoleransi loveless dan sexless marriage dilihat tidak lagi sepadan. Apalagi biasanya kondisi itu telah berlangsung selama enam tahun atau lebih. Setelah waktu yang panjang itu, perpisahan menjadi ide penyelesaian yang terasa lebih baik untuk ditempuh. 

Jika dilihat pada kondisi pasangan lanjut usia ini secara umum, pasangan usia lanjut ini biasanya sudah memiliki karir yang matang bahkan bisa berada pada puncaknya, sedang bersiap untuk pensiun. Anak-anak mereka sudah beranjak dewasa, biasanya si bungsu sedang atau telah selesai menumpuh pendidikan perguruan tinggi. Hal yang harus dikejar bisa dikatakan tidak lagi ada, namun ternyata justu itulah faktor utamanya. Mereka pada masa ini mulai mencari hal-hal baru untuk menjadi pusat perhatian, mulai bisa melihat ke hal-hal yang selama ini tidak begitu diperhatikan, termasuk pernikahan. Apalagi tidak jarang pernikahan lama bertahan karena adanya anak diantara pasangan. Saat anak sudah memiliki kehidupan sendiri, hanya ada kedua orang tua yang tidak tahu lagi harus membahas apa, karena biasanya fokus selalu tentang anak. Kebingungan itu bisa memunculkan berbagai perasaan tak keruan dicampur dengan luka-luka yang tidak selesai dimasa lalu. Mereka menganggap tidak lagi ada alasan untuk bertahan. 

Penjelasan ini diperkuat dengan berbagai faktor yang tercatat menjadi penyebab perceraian, dimana yang paling tinggi adalah karena kurangnya dukungan pasangan. Faktor lain seperti ketidak cocokan, kurang kedekatan personal, juga kurangnya komitmen. Faktor-faktor yang bisa dikatakan merupakan buah dari tidak baiknya komunikasi yang terjalin, sehingga adaptasi dan kompromi sebenarnya tidak berjalan baik namun terus diabaikan karena merasa ada banyak hal lain yang lebih butuh perhatian, anak misalkan. Kerenggangan yang terjadi dari tahun ke tahun akhirnya mencapai puncak saat dirasa sudah terlalu terlambat untuk melakukan perbaikan.

Dari berbagai ulasan tersebut, kita bisa berkata bahwa gray divorce ini sebagai perpisahan yang tertunda. Kebanyakan penyebab perceraian pada pasangan lanjut usia ini sudah ada sejak lama, ada yang menyebutkan rinci selama setidaknya enam tahun. Penundaan dilakukan dengan berbagai keyakinan. Pertama, anak yang masih perlu sosok orang tua untuk tumbuh, sehingga ketika anak dianggap sudah mandiri dan dewasa, mereka punya lebih banyak waktu untuk memikirkan diri sendiri dan akhirnya memilih menjalani hidup tanpa pasangan saat ini. Kedua, dulu memikirkan apa kata orang sedangkan masyarakat sekarang sudah jauh lebih terbuka. Perpisahan dalam pernikahan tidak dianggap setabu dekade-dekade lalu. Atau ketiga, keyakinan bahwa waktu bisa menyelesaikan masalah. Konflik-konflik yang ditumpuk dianggap bisa hilang dengan sendirinya, yang mana nyatanya tidak sama sekali. 




Apa yang Bisa Kita Lakukan

Seperti kalimat pembuka diatas, tidak ada hubungan yang mnginginkan perpisahan. itulah kenapa kita di sini, untuk menghindarinya terjadi. Sembari melihat apa ya yang bisa kita lakukan khususnya untuk mencegah gray divorce tersebut? Dari berbagai faktor penyebab dan penjelasan di atas sepertinya kita bisa sedikit tercerahkan bagaimana agar hubungan pernikahan yang kita jalani tidak berakhir dalam perceraian. 

  • Merawat yang Kita Miliki Saat Ini

Meskipun terdengar klise tapi ini merupakan pondasi yang kuat karena seringnya memang kita baru bisa menyadari apa yang kita miliki saat hal tersebut telah pergi. Begitu juga dengan pasangan dan pernikahan. Banyak tips menjaga romansa pernikahan yang bisa kita praktikkan.

Gersho menyebutkan untuk mencoba melakukan satu hal baru bersama, bisa dengan mengikuti hobi pasangan atau mencari kegiatan baru yang bisa dilakukan berdua. Jadwalkan secara berkala. Biasanya kita melewatkan hal-hal kecil karena dirasa tidak memberi dampak, namun kumpulan perkara kecil itu justru yang terpenting. Memberi perhatian tulus pada kondisi sehari-harinya, mengucapkan kalimat romantis, puji dan hargai keberadaannya, sesekali juga beri kejutan. Bahkan tanpa masalah khusus, tidak ada salahnya untuk melakukan konseling pernikahan. 

  • Komunikasi adalah Kunci

Hubungan adalah tentang komunikasi, karena menyatukan dua orang manusia dengan segala keunikan itu bukanlah pekerjaan mudah, dan tidak akan pernah mudah. Namun, kita bisa mengusahakannya. 

Komunikasikan secara dua arah, bicarakan dan dengarkan. Apa yang kita inginkan, apa yang pasangan butuhkan. Dengarkan apa yang menjadi beban pikirannya hari ini, simak apa yang ia rasakan tentang apa yang terjadi. Diskusikan tentang rencana masa depan, impian-impian bersama, sampai ke bagaimana menjelang hari tua. Pembicaraan-pembicaraan ini tidak akan terjadi tanpa adanya obrolan ringan sehari-hari, tentang banyaknya pekerjaan di kantor, tentang rekan kerja yang menyebalkan, tentang atasan yang selalu menuntut, tentang teman yang berkhianat, tentang tetangga yang terlampau ikut campur, atau bahkan tentang keluarga yang kelewat merepotkan. Bicara hal-hal yang terlihat tidak penting adalah hal penting dalam pernikahan. 

Sediakan waktu khusus untuk membicarakan tentang hubungan berdua. Bukan tentang anak, bukan tentang aset, bukan tentang keluarga, namun tentang bagaimana hubungan ini bisa lebih baik ke depannya. Ketahui love language masin-masing, atau praktikkan berbagai ide pertanyaan untuk deep talk atau coba jawab tebak-tebakan psikologi tentang hubungan asmara. Ini bisa menjadi hal yang seru untuk dilakukan, bisa sebagai media refleksi diri sekaligus untuk bisa lebih mengenal pasangan, misalkan dengan bertanya How Can I love You Better Next Week?

  • Mengalokasikan Energi yang Sesuai

Sama dengan peran apapun dalam hidup, peran sebagai suami atau istri juga butuh waktu dan tenaga. Sayangnya kita sering menganggap pasangan sebagai bagian dari kita yang tidak terlalu dipedulikan. Berjalan alami lebih seperti autopilot.

Memberi perhatian, menanyakan kabar, memastikan kebutuhan seseorang bisa kita dukung untuk terpenuhi, atau bekerja sama untuk mewujudkan mimpi itu jelas butuh tenaga. Meluangkan waktu untuk dihabiskan berdua dari terbatasnya waktu yang kita punya, juga bisa jadi terasa melelahkan. Tapi bukankah apa yang berharga itu memang perlu diperjuangkan?

  • Jatuh Cinta Lagi

Ingat apa yang membuat jatuh cinta dulu, hal-hal kecil yang disukai dari pasangan, hal-hal kecil yang menyenangkan pasangan. Ingat dan sering bicarakan, sehingga pasangan tahu apa yang bisa ia lakukan, bagaimana hal-hal kecil yang mungkin kadang tidak ia sadari menjadi hal yang berarti dan justru kita sukai. 

Sebagian menyebutnya sebagai attraction, ada juga yang mengistilahkannya sebagai spark, tidak apa. Selama kita berkomitmen untuk menjaga rasa, menjaga batas-batas interaksi pada pasangan dan orang lain, memelihara apa yang dinilai baik oleh pasangan, baik itu secara fisik ataupun non fisik. Dari penampilan, bagaimana kita memberi perhatian, sikap kita sehari-hari, juga ketulusan perhatian yang bisa kita beri. Ada yang suka dikirimi pesan romantis, ada yang senang diberi kejutn sekecil apapun itu, atau ada yang suka dibelai setiap hari. Menjaga pernikahan juga tentang terbuka pada hasrat sexual, satu-satunya kegiatan yang bisa dan harus dilakukan bersama pasangan. Apa yang baik sudah ada, saat terus dipelihara, mudah-mudahan bisa jadi letupan-letupan kecil hubungan yang akan menjaga kita sampai nanti tua.


  • Kebersamaan

Setiap kita setidaknya punya persamaan, entah itu keyakinan spiritual, bahasa, prinsip hidup, nilai yang diyakini, hingga hobi. Daripada terus menggerutu pada perbedaan, lebih baik temukan hal basic yang menjadi persamaan kita dan pasangan. Fokus pada hal itu, dan ambil keputusan yang berangkat dari sana. Tentukan juga hal apa yang bisa kita lakukan bersama, mulai saja dari sesederhana pekerjaan rumah saat akhir pekan atau menonton bersama lalu membahasnya berdua. Jika terlalu sulit untuk menemukan momentnya, lebih baik dijadwalkan. Mungkin rasanya asing masa pertemuan suami istri dijadwalkan, tapi dengan rentetan kegiatan kita di dunia yang serba cepat ini, tidak ada salahnya kita juga menyesuaikan diri. Daripada moment nya terus hilang sama sekali.


Penting untuk digaris bawahi, grey divorce umumnya terjadi karena adanya kondisi yang tidak nyaman dari salah satu pihak atau justru keduanya yang terus dibiarkan. Kondisi yang awalnya sepele namun lama kelamaan menurunkan hasrat, melebarkan jarak, dan menghilangkan rasa. Jika sudah sampai pada tahap demikian, tidak ada lagi yang bisa dipertahankan hingga berujung pada perpisahan. Maka selagi kita masih punya kesempatan untuk memelihara dan memperbaiki apa yang kini kita punya, lakukan, lakukan agar tidak ada penyesalan. 


Salam, Nasha







4 Comentarios

  1. Baru tahu istilah ini malah, ehehe. Sebuah pilihan berat sepertinya ya, memang agak terlambat tapi jika keputusan tersebut diambil untuk kehidupan yang lebih nyaman dan tenang nggak masalah lah ya meskipun terlambat

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mba, sepertinya sekarang orang lebih terbuka sehingga gak mempermasalahkan. kalau dlu rasanya tabu dan menganggap biasa bertahan dengan dalih anak.
      btw thanks udah mampir mba

      Hapus
  2. Ada toh istilahnya, baru tahu. Pernah dengar cerita dari teman ada keluarga temannya mengalami grey divorce. Padahal dilihat baik-baik saja selama ini pernikahannya.

    Komunikasi sepertinya jadi faktor yang sangat penting dalam hubungan antar manusia. Karena semua hal kan diawali dengan komunikasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mba, gak mungkin menjalankan sesuatu yg sama dengan dua kepala berbeda, tanpa komunikasi. sayangnya masih banyak yg abai sampai jadi terlalu terlambat untuk memperbaiki.

      Hapus

Mau nanya atau sharing, bisa disini!