• Anak & Keluarga
  • Kesehatan Mental
  • Perempuan & Pernikahan
  • Lingkungan
  • Review & Rekomendasi
Salam, Nasha

Jejak Perjalanan dan Catatan Pelajaran

Akhir Juli ini secara berturut diperingati sebagai Hari Mangrove Sedunia pada tanggal 26, Hari Konservasi Alam Sedunia pada tanggal 28, Hari Harimau Internasional pada tanggal 29, juga ada Hari Penjaga Hutan Sedunia dikhirnya tanggal 31 Juli. Ditengah itu semua ada Hari Persahabatan Internasional yang diperingati pada tanggal 30 Juli. Peringatan hari-hari yang berkaitan dengan alam disekitar hari persahabatan itu seolah menyadarkan kita akan gentingnya rasa persahabatan dengan alam sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.


Kondisi Alam sesuai Hari Peringatan

Istilah konservasi alam harusnya bukan hal asing lagi ditelinga kita. Banyak seruan yang mengajak kita bersama-sama untuk melakukannya demi masa depan planet yang kita tinggali ini. Semakin hari semakin banyak yang bersuar, meski belum mencapai jumlah yang cukup untuk memperjuangkannya. Konservasi alam sendiri diartikan sebagai upaya menjaga dan melestarikan keberlangsungan hidup seluruh makhluk juga sumber daya dalam lingkup yang dimaksud. 

Upaya itu mendapatkan tempat secara simbolis dengan ditetapkannya World Conservation Day pada 23 Juli yang diawali dari India. Banyak negara yang kemudian turut memeriahkan peringatan tersebut, tidak sedikit juga yang menetapkan hasi konservasi alam secara nasional seperti Indosia pada setiap tanggal 10 Agustus. Gerakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran kita dalam melestarikan lingkungan dan sumber daya alam yang sehat, termasuk didalamnya agar menjaga berbagai komponen alam seperti flora, fauna, sumber daya energi, tanah, air, juga udara. 

Selain itu, ada hari lainnya yang turut mendukung paya konservasi alam ini yakni Hari Mangrove, yang dimaksudkan sebagai sarana sosialisasi pada masyarakat untuk menjaga ekosistem mangrove karena manfaatnya yang besar bagi kehidupan kita di muka bumi; Hari Harimau agar kita semua semakin sadar akan rentannya hidup harimau dalam dunia modern kita saat ini.

Mangrove sebagai bagian dari flora, sedangkan harimau adalah salah satu jenis fauna; ini bisa kita ambil sebagai perwakilan dari alam yang harusnya kita jaga dan lestarikan. Seiring dengan kehidupan manusia kini, keduanya berada dalam kerentanan. Mangrove sebagai tanaman unik yang dapat tumbuh di tanah basah, daerah pesisir yang tahan terhadap fluktasi pasang surut, sangat berguna dalam mencegah abrasi, menyerap karbon hingga lima kali lipat lebih banyak daripada pohon pada umumnya, hingga sebagai habitat hidup berbagai jenis fauna. Sayangnya, area mangrove terus berkurang, sebagian besar karena alih fungsi lahan baik untuk industri maupun penambakan.

Pengalihan fungsi lahan juga berdampak pada terancamnya kehidupan harimau. Dari tiga jenis harimau yang ada di Indonesia yakni harimau jawa, bali, dan sumatera kini hanya tersisa harimau sumatera yang jumlahnya pun terus berkurang hingga tahun ini diperkirakan hanya sekitar 150 ekor tersisa. Deforestasi habitat harimau terus dilakukan hingga semakins sedikit wilayah yang tersisa untuk harimau bisa hidup. Efeknya, keseimbangan ekosistem akan terganggu, sehingga dalam jangka panjang kita juga bisa kehilangan sumber daya untuk bertahan hidup. 

Kondisi memprihatinkan itu memang tidak akan selesai hanya dengan menyediakan satu hari untuk memperingati hidup mereka. Namun, hari peringatan itu dapat dijadikan langkah awal untuk meningkatkan kesadaran kita semua mengenai makhluk-makhluk lain yang menghuni bumi, yang menyeimbangkan dengan peran dan manfaat masing-masing untuk keberlangsungan hidup kita semua. 


Bersahabat dengan Alam

Sebenarnya mengambil istilah bersahabat dengan alam tidak sepenuhnya tepat, karena seolah kita bukan bagian dari alam. Padahal kita, manusia, sesungguhnya tidak berbeda dengan tumbuhan, binatang, atau entitas lain di bumi ini, karena kita sama-sama makhluk yang diciptakan oleh Sang Pemilik untuk menghuni planet ini secara bersama-sama. Kita semua berperan sama agar keberlangsungan hidup di planet ini bisa sehat dan seimbang. Makna sebagai makhluk paling sempurna, pemimpin, juga penjaga alam harusnya tidak kita salah artikan dengan memiliki kuasa lebih dalam mengambil manfaat sebesar-besarnya dari alam lalu menentukan kehidupan makhluk lain yang ada didalamnya.

Sebab, apa yang kita lakukan sekarang bisa dikatakan demikian. Kita mengeksploitasi alam dengan dalih untuk kepentingan umat manusia. Pertanyaannya, manusia yang mana? Dalam penerapannya, kita seolah merasa berhak untuk menebang pohon, membunuh hewan jika dirasa tidak memberi manfaat sesuai dengan yang kita inginkan, mengeruk sumber daya sebanyak-banyaknya melebihi kebutuhan dari manusia itu sendiri demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi. Padahal kita sama-sama makhluk, memiliki hak, dan ketidak berhak an yang sama dengan makhluk lainnya. Hanya karena akal, tidak menjadikan kita berhak atas hidup makhluk lainnya. Justru ini yang mengherankan, mereka yang tidak berakal saja tahu saatnya berhenti ketika kebutuhan sudah terpenuhi, mengapa kita yang berakal justru tidak tahu batas cukupnya ya?

Tidak sulit menemukan gerakan yang mendukung aksi persahabatan dengan alam, mulai dari menanam pohon yang kini bisa kita lakukan secara online hanya dengan mengirimkan donasi seperti yang dilakukan oleh @mangroveactionproject atau @lingkari.institute dengan menanam pohon mangrove di daerah Kalimantan Tengah.  Bisa juga dengan gerakan bring your own tumblr atau bawa wadah sendiri untuk pembelian makanan dan minuman yang dilakukan oleh komunitas @lyfewithless bahkan gerakan membersihkan sampah di sungai oleh @pandawaragrup. Ada banyak lagi gerakan dan usaha untuk membuktikan persahabatan kita dengan alam, seperti para influencer yang terus mengedukasi tentang pentingnya kelestarian alam, juga para produsen yang mengupayakan produk sekaligu kemasan yang dihasilkan usahanya tidak menambah beban bumi. 

Upaya itu bukannya tidak ada hasil, karena setidaknya sudah bertambah sedikit jumlah pohon yang ada di bumi kita, sudah lebih sedikit sampah yang mencemari lingkungan kita, sudah tidak terlalu cepat pemanasan global yang kita rasakan. Namun sayangnya, perubahan yang dilakuakn prang-orang baik itu masih belum signifikan dengan jumlah pengrusakan masif yang dilakukan sebagi besar orang lainnya. Di tengah gerakan hidup minimalis pakai yang ada, produsen produk fashion tetap menciptakan tren an memproduksi pakaian meski jumlahnya saat ini sudah mencukupi untuk enam generasi mendatang. Pemilahan sampah yang sudah mulai banyak dilakukan, masih ada pengelola yang ujung-ujungnya kembali menyatukan sampah itu di tempat pembuangan akhir. Disaat konservasi terumbu karang terus dilakukan, masih banyak orang yang menormalkan buang sampah di selokan hingga sungai dan lautan. Mungkin kita perlu mundur sejenak untuk melihat pemahaman kita sendiri terhadap alam.

Hari persahabatan memang dimaksudkan untuk menyatukan perbedaan kita sebagai sesama manusia, namun dalam kesempatan ini bisa kita gunakan untuk menyatukan kita sebagai sesama makhluk Tuhan, sebagai sesama entitas yang diperbolehkan menggunakan sumber daya yang ada di bumi tanpa merusaknya. Melihat makhluk hidup lain, seperti binatang dan tumbuhan sebagai makhluk yang juga berhak atas kehidupan di planet ini, berhak juga atas sumber daya tersebut. Jika saja pemahaman dasar kita seperti itu, harusnya tidak ada pengalihan lahan yang mengusir paksa binatang yang hidup di dalamnya, tidak ada penebangan liar atau pembakaran hutan yang dilakukan. Sebab, kita tahu bahwa mereka juga berhak ada di situ.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk memulai persahabatan kita dengan alam?

  • Mulai dari pemahaman hingga ke praktik hidup sehari-hari. Pemahaman ini akan menjadi pengalaman yang menakjubkan, karena kita bisa melihat ulat di sayur dengan tidak lagi jijik ataupun kesal, melainkan gembira.
  • Meminimalisir penggunaan bahan yang membahayakan lingkungan, seperti plastik kemasan hingga produk pembersih kimia yang tidak ramah lingkungan.
  • Jangan pernah bosan mengedukasi orang sekitar, baik dengan tindakan ataupun ucapan.
  • Ikut berbagai kegiatan atau gerakan persahabatan dengan alam, ini juga akan menjadi pengalaman berharga yang tidak terlupa.
  • Prinsip hidup secukupnya dalam hal apapun, entah itu energi yang kita pakai atau barang yang kita punya.
  • Tidak lupa ggerakan praktis menanam pohon dimanapun kita berada, tambah terus jumlah tanamannya.
  • Bawa wadah sendiri kemanapun kita pergi, pelan-pelan mengurangi sampah yang akan kita tumpuk di rumah.

Ada banyak sekali hal yang bisa kita lakukan untuk mulai bersahabat dengan alam, ada banyak juga informasi yang sudah dibagikan di dunia maya sana, tinggal kita mau mencari yang seperti apa. Nah, kalau ada hal lain yang bisa dilakukan, coba share ke teman-teman ya!



Salam, Nasha

Isu tentang anak dan bagaimana mengurusnya seiring dengan perkembangan zaman, tidak akan pernah habis diperbincangkan. Berbagai upaya dikerahkan agar anak-anak bisa tumbuh menjadi generasi yang membawa kemajuan pada peradaban. Seluruh elemen paham akan pentingnya hal ini. Namun dalam praktiknya, kita dihadapkan pada tantangan yang tak habis-habis. Dalam dunia digital kini, persoalan utamanya adalah bagaimana kita bisa melindungi anak, menerapkan pengasuhan cermat, sekaligus bisa memanfaatkan teknologi dengan tepat. Salah satunya adalah dengan mengelola screen time agar penggunaannya bisa berdampak positif pada perkembangan anak.



Pengasuhan Anak Dulu vs Kini

Banyak dari kita yang sebenarnya sudah memahami bahwa merawat anak sama dengan merawat masa depan, mengasuh mereka serupa dengan mengasuh generasi. Karena apa yang kita lakukan kini akan berpengaruh pada kehidupan mereka nantinya. Namun, hari hari yang kita lalui bersama anak, entah kita berperan sebagai orang tua atau bukan, kita seringnya tidak benar-benar paham apa yang seharusnya kita lakukan.

Perhatian pada anak mulai digalakkan sejak setengah abad yang lalu dengan disahkannya peraturan perundangan yang mengutakan kesejahteraan anak hingga ditetapkannya hari anak secara nasional setiap tanggal 23 Juli. Sebelumnya, juga suah diungkapkan dalam UUD bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan atas diskriminasi dan kekerasan.

Tahun ini, peringatan hari anak dicanangkan dengan tema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju" yang dibagi menjadi enam sub tema antara lain Anak Cerdas, Berinternet Sehat - Suara Anak Membangun Bangsa - Pancasila di Hati Anak Indonesia - Dare to Lead and Speak Up: Anak Pelopor dan Pelapor - Pengasuhan Layak untuk Anak: Digital Parenting Anak - Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja. Tema ini sebenarnya sudah cukup mewakili apa yang perlu menjadi perhatian bagi anak-anak Indonesia saat ini.

Jika kita bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, temanya terus berubah dan berkembang. Misalkan pada 2015, Wujudkan Lingkungan dan Keluarga Ramah Anak atau pada 2019 diangkat tema Pentingnya Kualitas Keluarga dalam Perlindungan Anak. Kedua tema ini hampir sejalan untuk memenuhi kebutuhan dan hak anak serta menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka bertumbuh. Pada tahun ini, meski memiliki tema yang sama sejak tahun 2020, subtema yang dijabarkan memiliki perbedaan. Jika tahun-tahun sebelumnya lebih fokus pada perlindungan anak terhadap kekerasan juga diskriminasi, tahun ini perlindungan anak juga difokuskan pada kejahatan digital karena penggunaan internet. Bukan hanya dalam lingkup media sosial, tapi lebih luas lagi. 

Sebagai warga negara, harapan kita jelas, agar momentum ini bukan hanya sekedar simbolisme namun juga dipraktikkan dengan sungguh-sungguh sepanjang waktu. Bersama-sama melindungi anak Indonesia. 

Tantangan yang kita hadapi, seperti tersirat pada tema dan sub tema Hari Anak Nasional tersebut, berbeda dari tahun ke tahun, apalagi jika dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Apa yang kita khawatirkan jelas berbeda dengan apa yang orang tua kita dahulu. Bukan lagi kekerasan fisik, tapi juga mental. Bukan hanya penindasan raga tapi juga jiwa dan pikiran. Bukan lagi penyakit yang disebabkan oleh virus atau kebersihan lingkungan, namun juga penaykit karena gaya hidup yang serba instant. Sebagai orang tua, kita dituntut untuk terus berproses dan mempelajari apa yang terjadi kini dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan anak-anak ini. Salah satu yang paling mengusik saat ini adalah bagaimana memanfaatkan teknologi, bagaimana mengelola screen time pada anak sehingga apa yang mereka dapatkan bisa sejalan dengan nilai kebaikan yang ingin kita tanamkan. Bagaimana memitigasi resiko sehingga anak tidak perlu mendapat dampak buruknya. 


Dunia Digital Anak

Perlu kita pahami bahwa anak-anak dulu dengan sekarang sebenarnya tidak mengalami banyak perubahan. Mereka tumbuh dengan alur yang sama, mereka berkembang sesuai dengan apa yang kita contohkan, mereka memiliki kebutuhan yang juga hampir sama. Apa yang berbeda adalah keadaan yang mereka hadapi. 

Dulu anak-anak makan masakan rumahan dengan cemilan buah yang dipetik langsung dari pohon di sekitar rumah. Kini, kemajuan teknologi memungkinkan kita untuk menyimpan berbagai jenis makanan dalam waktu yang lama. Anak-anak tidak perlu lagi menungu lama atau berjalan jauh untuk menikmati sesuatu, mereka tinggal membuka lemari pendingin atau membuka bungkus kemasan. Makanan lezat sudah langsung tersaji. Apa yang mereka makan berbeda, sehingga mereka menjadi anak yang berbeda pula. Anak-anak sekarang menjadi lebih rentan terkena penyakit akibat perubahan pola makanan, mereka juga menjadi lebih tidak sabar dengan sesuatu yang memerlukan proses panjang. 

Dulu anak-anak makan lesehan di lantai kadang sembari bercanda dengan orang tua atau kakak adik, sekarang anak-anak makan dengan menatap layar. Semakin lama, pemandangan tidak sepatutnya ini semakin mudah kita temukan. Untuk memudahkan anak makan, untuk mengalihkan perhatian mereka, untuk memudahkan kita, anak diberi fokus lain berupa layar yang mereka saksikan. Akhirnya anak-anak tumbuh dengan keterlambatan perkembangan salah satunya speech delay, mereka juga cenderung memiliki rentang fokus yang pendek bahkan sulit berkonsentrasi. Kedepannya, mereka semakin sulit untuk hidup dengan berkesadaran. 

Bila kita coba rangkum, beberapa dampak buruk yang sering muncul sebagai akibat  dari tidak terpatnya pengelolaan screen time pada anak antara lain:

  • Gangguan perkembangan fisik, akibat anak lebih memilih duduk pasif menyaksikan layar daripada bergerak aktif yang memang dibutuhkan untuk perkembangan motoriknya
  • Terhambatnya perkembangan sosial emosional yang harusnya didapatkan anak dari berinteraksi langsung dengan orang lain, anak juga tidak terlatih belajar adab dan sopan santun. Anak menjadi kurang bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan kurang mandiri. 
  • Terganggunya kemampuan kognitif anak salah satunya kemampuan mereka untuk berbicara, karena hanya pasif mendengarkan saja bukan komunikasi langsung dua arah. Mereka yanng terbiasa melihat tontonan dilayar juga cenderung memiliki rentang fokus yang pendek sehingga beresiko kesulitan beradaptasi di sekolah nantinya.
  • Gangguan mental juga dikaitkan dengan penggunaan gadget yang tidak tepat, karena anak tidak belajar banyak hal tentang emosinya. Ia biasa dilihkan, kurang kesempatan untuk bisa berempati pada orang lain sehingga bisa memiliki temperamen yang buruk, regulasi emosi yang rendah. 

Dibalik semua dampak negatif itu, penggunaan gadget tidak bisa sepenuhnya kita hilangkan dari kehidupan anak-anak sekarang. Mereka menyaksikan orang dewasa disekitar menggunakannya, mereka melihat kita berkomunikasi dengan gadget tersebut, mereka melihat masyarakat yang sudah semakin asik dengan gadget ditangan masing-masing. Lagipula, mereka membutuhkannya untuk aktivitas sekolah. Banyak laman juga aplikasi yang dapat dimanfaatkan untuk percepatan proses mereka belajar. Banyak pembelajaran interaktif yang bisa mereka akses dengan menggunakan gadget.

Nah, cara terbaik yang bisa kita lakukan kini bukanlah dengan melarang screen time sama sekali pada anak, namun dengan mengelola screen time paling tepat pada anak. 

Kiat Mengelola Screen Time Anak

Penggunaan gadget yang disarankan oleh berbagai perhimpunan dokter anak adalah setelah dua tahun. Di usia ini, anak dianggap sudah memiliki kemampuan dasar yang mereka perlukan. Untuk anak usia dua tahun, penggunaan yang disarankan adalah tidak lebih dari satu jamper hari, lebih sedikit lebih baik. Paling disarankan adalah sebatas panggilan video. Selain itu, harus dibatasi.

Awal-awal mengenalkan gadget pada anak, saya juga memulainya dengan panggilan video lalu dengan mengakses galeri foto. Kadang kami bercerita dengan menggunakan ponsel sebagai media pendukungnya. Lalu, baru mengakses video online di kanal tertentu untuk menjawab keingintahuan mereka. 

Nah, cara terbaik yang bisa kita lakukan kini bukanlah dengan melarang screen time sama sekali pada anak, namun dengan mengelola screen time dengan tepat pada anak.


  • Pastikan Niat dan Tujuan

Sama seperti hal apapun di dunia ini, memberi gadget pada anak juga perlu dilandasi dengan pertanyaan, untuk apa? Apa niat yang mendorong kita memberikan alat itu ke tangan anak, akan berpengaruh besar pada bagaimana anak menggunakan gadget kedepannya. jangan sampai kita tidak tahu tujuannya dan hanya ikut-ikutan saja. Piliannya bisa untuk media belajar anak, sekedar sebagai hiburan mereka, atau ada juga yang untuk memudahkan aktivitas orang tua. Apapun alasannya, pahami fitrah anak yang sudah ada, yang sedang kita bentuk, dan juga konsekuensi setelahnya.


  • Tentukan Batasan
Batasan ini berhubungan dengan waktu, tempat, dan kondisi, tergantung masing-masing keluarga. Namun, banyak ahli membatasi durasi satu jam per hari untuk anak dibawah lima tahun serta maksimal dua jam untuk anak dibawah dua belas tahun. Tidak disarankan ada gadget di meja makan dan kamar tidur karena akan berpengaruh pada keterampilan makan serta kualitas tidur anak. Batasan-batasan lain bisa disepakati oleh orang tua, bisa juga dengan melibatkan anak yang sudah bisa berdiskusi. Setelah mengerjakan kewajiban seperti sholat atau mengerjakan tugas sekolah misalkan.


  • Filter apa yang Anak Akses
Ada banyak fitur yang bisa menyaring apa yang anak-anak saksikan secara online. tapi hal tersebut bersifat umum bukan berdasarkan preferensi keluarga masing-masing. Maka sepakati apa saja yang boleh anak tonton, kanal apa yang bisa mereka akses, dengan terlebih dahulu pelajari kontennya apakah sesuai dengan nilai yang kita anut atau tidak. Awalnya kami hanya menyediakan layanan video offline pada anak sehingga mereka hanya bisa menyaksikan apa yang sudah saya kurasi sebelumnya. Hingga kini, anak-anak hanya menyaksikan dari kanal tertentu yang sesuai dengan batasan kami.


  • Dampingi Anak dan Jadilah Teladan

Memberi gadget pada anak bukan berarti menyerahkan pengasuhan pada alat tersebut sehingga kita bisa lengah pada apa yang mereka akses. Tapi tetap dampingi mereka sehingga kita juga tahu apa yang mereka konsumsi. Kita juga perlu mencontohkan penggunaan gadget yang tepat pada anak-anak, seperti tidak menggunakan ponsel di area makan dan tidur serta tidak bermain dengan anak tapi perhatian tetap tertuju pada ponsel. Be fully presented.


  • Tegas dan Sabar Membangun Kebiasaan

Kebiasaan screen time yang tepat ini bisa dimulai pada usia berapa saja, namun ingat semakin besar anak akan butuh waktu yang semakin panjang untuk membentuknya. Jadi lebih baik membiasakannya sejak awal, sejak mereka belum mengenal gagdet sama sekali. Tapi jika sudah terlanjur, tidak ada kata terlambat untuk mulai suatu hal yang lebih baik.


Baca Juga: Tips Mengurangi/ Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!



Meskipun semakin mudah kita jumpai pemandangan anak yang diam terpaku pada layar di tempat umum, semakin jarang kita melihat anak berlarian kesana kemari di keramaian, sesungguhnya ini kondisi yang menyalahi fitrah anak-anak  itu sendiri. Alamiahnya anak-anak itu memang aktif bergerak, berlarian tak tentu arah, berisik. Alamiahnya memang anak itu banyak bertanya pada orang yang mereka percayai, orang tua harusnya. Alamiahnya memang anak itu makan dengan berantakan pada awal-awal prosesnya. Alamiahnya memang kita akan banyak berteriak melarang melihat ide mereka yang mendekati bahaya. Alamiahnya kita memang banyak mengelus dada melihat kelakuan mereka yang ada-ada saja. Alamiahnya anak akan merasa bosan menyaksikan dunia dewasa dan akan mengasah kreatifitas karenanya. Alamiahnya memang anak akan senang mengeksplorasi mencoba ini itu bertanya banyak hal sebagai proses mereka belajar. Jangan sampai hal-hal lain yang lebih kita utamakan justru mematikan apa yang sudah alamiah ada dalam diri mereka, lalu menciptakan anak-anak yang tumbuh dewasa tanpa pemenuhan hasrat anak-anak didalam dirinya.


Menerapkan Screen Time untuk Orang Tua



Salam, Nasha


Dengan teknologi yang semakin pesat berkembang kini, setiap kita berkemungkinan memiliki panggung megah dengan suara diperlantang yang bisa menarik lebih banyak penonton untuk menyaksikan. Kita berlomba belajar bagaimana berbicara agar semakin menarik perhatian. Tidak ada batasan siapa yang bisa berbicara, sehingga dunia menjadi semakin banyak suara. Ditengah dunia yang semakin hiruk pikuk ini, sayangnya kita lupa berkomunikasi juga tentang mendengarkan. Untuk bisa lebih memahami, untuk bisa belajar dengan bijak, untuk bisa bersikap dengan lebih tepat, untuk bisa berempati, dan menjadi manusia yang lebih baik lagi.

 


Kenapa Mendengarkan Penting?

Dulu, hanya orang-orang tertentu yang bisa naik ke panggung. Hanya orang-orang yang memenuhi kriteria saja yang bisa ditonton. Hanya segelintir saja yang suaranya bisa banyak didengarkan. Namun sekarang, masing-masing kita memiliki media untuk menyampaikan apa yang kita pikirkan, apa yang kita lihat, dan apa saja yang kita kerjakan. Kita bisa lebih mudah bersuara. Tidak peduli profil orangnya, latar belakang, atau apa yang dibicarakan, asal bisa menarik perhatian, suara siapa saja bisa didengar oleh banyak orang. Sehingga tak heran kini semakin banyak orang memoles apa yang ingin ditampilkan menjadi lebih menarik sekaligus lebih terhubung.

Sisi baiknya kita semua punya kesempatan yang hampir sama untuk bisa memiliki penonton juga. Siapa saja bisa berada di atas panggung. Namun sayangnya, kita terlalu fokus untuk berbicara hingga lupa mendengarkan, untuk benar-benar memahami. Akibatnya kita sering terjebak salah paham, misinformasi karena ingin cepat-cepat bereaksi, membalas suara lagi. Hal ini tidak hanya terjadi dimedia sosial, namun terbiasa dilakukan hingga terbawa kekehidupan kita sehari-hari. Semakin kencang menyuarakan, semakin tidak sabar mendengarkan. Padahal, komunikasi itu hanya bisa terjalin jika ada yang berbicara dan ada pula yang mendengarkan. 

Seperti yang kita ketahui, komunikasi adalah proses terjadinya pertukaran pesan dari pemberi informasi kepada penerima. Pengertian ini mengesankan bahwa komunikasi didominasi oleh pembicara saja, menitik beratkan pada kemampuan berbicara saja, padahal tidak. Komunikasi juga berarti kemampuan mendengarkan. Pesan sebaik apapun yang ditampilkan dengan sebagus apapun, jika tanpa kemampuan mendengarkan tentu tidak akan tersampaikan juga. Artinya tanpa adanya kemampuan mendengarkan, proses komunikasi tidak akan berjalan lancar. 

Mendengarkan sendiri berarti proses menerima, menginterpretasikan, hingga memahami pesan yang disampaikan oleh pembicara. Meskipun tampaknya mudah, namun mendengarkan membutuhkan usaha dan perhatian yang sungguh. Setidaknya ada lima proses yang kita lalui saat mendengarkan yaitu mendengar, memahami, mengingat, mengevaluasi, serta memberi respon. 

Selain bagian dari komunikasi, mendengarkan juga sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan kita, misalkan aspek akademis, profesional, juga personal. Beberapa dampak baik dari memiliki kemampuan mendengar yang mumpuni bisa kita rangkum sebagai berikut:

  • Mendapatkan Lebih Banyak Informasi

Dengan memiliki kemampuan mendengarkan kita bisa mengetahui lebih banyak. Jika mendengarkan dengan sungguh-sungguh kita bisa mendapatan informasi secara utuh dari pembicara bahkan berikut dengan informasi yang tersirat, bisa dari ekspresi wajah, intonasi, bahasa tubuh, dan juga emosi yang terpancar. Dalam keseharian, kita yang terbiasa mendengarkan dengan baik akan lebih mudah menyerap informasi baik itu dari percakapan langsung, pembicaraan kelompok, juga media yang kita akses. 

  • Membantu Lebih Peka

Setelah mendapatkan informasi yang konkrit kita juga bisa terlatih untuk lebih peka atas apa yang orang lain rasakan. Karena kita mendengarkan dengan utuh, bukan hanya kalimat namun juga perasaan yang tertuang dalam kalimat tersebut. Kita bisa memahami secara keseluruhan dengan lebih mendalam. Jika sudah biasa mendengarkan dengan berkesadaran, lebih mudah bagi kita untuk tidak selalu berada dalam sorotan, untuk sabar mendengar cerita orang, untuk lebih sensitif pada apa yang mereka rasakan. 

  • Meningkatkan Kualitas Hubungan

Dalam hubungan personal, mendengarkan bisa mempererat hubungan persahabatan. Ketika kita mendengarkan dengan sungguh-sungguh, perasaan kita lebih mudah terhubung dengan orang lain. Ketulusan kita lebih mudah diterima, kita juga lebih bisa berempati dengan apa yang lawan bicara rasakan. Ini berlaku untuk semua hubungan, baik itu hubungan pertemanan, dengan pasangan, juga orang tua dan anak. Bukan hanya anak yang mendengarkan orang tua namun orang tua juga perlu menjadi contoh yang mendengarkan anaknya. 

  • Meningkatkan Pemikiran Kritis

Kritis bukan hanya terus menerus mempertanyakan, tapi juga mendengarkan dengan tepat. Dengan mendengarkan kita bisa mendapatkan informasi yang relevan, memiliki pemahaman yang mendalam, dengan sudut pandang yang lebih luas. Dengan memahami lebih baik, kita juga lebih mudah dalam mengidentifikasi kekurangan dari permasalahan yang ada. 

  • Membangun Kesadaran dan Kesabaran

Ketika kita berlatih untuk mendengarkan, murni hanya untuk memahami bukan utuk menjawab, kita juga sedang berlatih untuk fokus hanya disatu kegaitan, berlatih untuk hidup lebih berkesadaran. Saat mendengarkan orang lain berbicara, kita juga sedikit melonggarkan kontrol atas apa yang terjadi, menahan diri untuk tidak segera menginterupsi, yang membuat kita bisa lebih sabar menghadapi sesuatu kedepannya. Untuk seterusnya, hal ini sangat baik untuk kehidupan dan juga kesehatan mental kita. 


Latihan Mendengarkan

Dampak-dampak positif dari kemampuan mendengarkan yang baik itu tidak bisa kita dapatkan hanya dengan sekali dua kali mendengarkan. Namun dengan melatihnya secara terus menerus. Memberi perhatian penuh pada lawan bicara, menyimak sekeliling, menyingkirkan distraksi, melatih pikiran untuk fokus pada apa yang sedang kita lakukan.

Kemampuan ini benar-benar perlu mendapat perhatian, dengan semakin riuhnya lingkungan yang kita miliki ditambah dengan kemampuan literasi yang makin rendah. Kita perlu belajar mendengarkan agar tidak mudah termakan sepotong perkataan, tidak mudah berreaksi hanya dari sebagian informasi. Urgensi dari kemampuan mendengar ini bahkan ditetapkan dalam peringatan hari mendengarkan sedunia agar kita semua bisa bertumbuh dengan mempertajam kesadaran terhadap lingkungan sekitar, sadar akan pentingnya suara dalam membentuk pemahaman kita terhadap dunia.

Melatih kemampuan mendengarkan tentu dilakukan dengan mendengarkan, secara sungguh-sunguh, menyimak perkataan dengan fokus dan berkesadaran. Dengan pikiran dan perasaan yang ada ditempat, tidak berkelana kemana-mana. Dengan niat yang memang untuk mendengar dan memahami, bukan untuk membalas perkataan.

Beberapa kiat sederhana yang bisa kita praktikkan untuk berlatih mendengar antara lain adalah:

  • Luruskan niat, untuk benar-benar mendengarkan dan memahami apa yang diutarakan dengan lebih baik.
  • Fokuskan perhatian, dengarkan dengan seksama dan sepenuh hati
  • Singkirkan gangguan, seperti handphone. Letakkan ditempat yang tidak terlihat sehingga pikiran kita tidak mudah terdistraksi, ini juga membuat lawan bicara merasa lebih dihargai. 
  • Tahan diri untuk tidak menginterupsi, bagaimanapun gregetan rasanya, coba untuk menahan diri. Tarik nafas berulang kali agar kita bisa tetap fokus mendengarkan dulu. 
  • Berbicara saat waktunya, ketika lawan bicara sudah tampak diam dan menyudahi kalimatnya. Kita bisa mulai dengan mengulangi secara singkat apa yang didengar tadi, untuk memastikan bahwa kitia paham apa yang tadi disampaikan
  • Coba bertanya jika ada yang dirasa mengganjal, biasanya ini jadi sesuatu ketika ingin menginterupsi tadi. Tanyakan dengan jelas. 
  • Memberi pendapat hanya jika dibutuhkan, karena mendengarkan hakikatnya memang agar lawan biacara bisa menyampaikan maksudnya. Kalau ada pertanyaan setelahnya, baru ada kebutuhan jawaban disana. 

Hal yang paling sulit dalam mendengar menurut saya adalah bersabar ketika rasanya ingin sekali menginterupsi, ketika lawan bicara mengungkapkan sesuatu lalu kita tiba-tiba teringat hal serupa yang ingin kita sampaikan saat itu juga. Begitu juga ketika kita sulit memahami apa yang dirasakan oleh lawan bicara, subjektifitas kadang membuat kita sulit merasakan apa yang dirasakan orang lain, namun saya percaya bahwa ketulusan akan selalu menemukan jalannya. Meski ada kalanya kita belum mengalami apa yang dihadapi oleh sahabat ketika bercerita, namun mendengarkan saja kadang sudah cukup untuk menunjukkan kepedulian kita. Memberi masukan secukupnya dan tetap mendampingi mereka semampu kita. 

Meski tampaknya semakin banyak orang yang ingin berbicara, berbuat baik dengan menyampaikan, menunjukkan kepedulian dengan mengingatkan, sehingga diam mendengarkan seolah tampak tidak lagi menarik untuk dilakukan; kita tetap perlu melakukannya. Kita perlu mendengar. Mendengarkan adalah perbuatan baik. Namun jangan lupa, sama dengan perbuatan baik lainnya, semua harus disesuaikan dengan kapasitas kita. Mendengar dari siapa, mendengar yang mana, mendengar apa perlu kita seleksi karena keterbatasan waktu dan tenaga yang kita punya. Akhirnya, selamat fokus mendengarkan!



Salam, Nasha


Belum lama ini cukup ramai diberitakan tentang tanggapan pejabat BKKBN terkait dengan tren kelahiran di Indonesia yang terus menurun. Kemudian, MenKes juga menyinggung soal menjaga range angka kelahiran sebagai bekal kemajuan Indonesia. Harapannya agar dekade mendatang, anak-anak tersebut dapat menjadi pemuda yang dapat menggerakkan produktivitas bangsa. Disaat yang sama, bumi kita mengalami kondisi yang semakin kompleks dengan terus meningkatnya jumlah manusia. Hingga bertepatan dengan terhitungnya lima miliar jumlah manusia di bumi pada 11 Juli 1987 lalu, ditetapkanlah sebagai Hari Populasi Sedunia. 



Tren Kelahiran di Indonesia dan Dunia

Sebelum membahas lebih jauh tentang angka kelahiran ini, perlu diketahui bahwa negara kita dikelola oleh pemerintah dalam berbagai lembaga dengan bidang khususnya masing-masing. Untuk masalah kependukukan, ada BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang bertanggung jawab kepada presiden melalui Kementerian Kesehatan. Salah satu tugasnya adalah mengendalikan jumlah penduduk serta penyelenggaraan keluarga berencana. Jadi wajar jika Kepala BKKBN mengeluarkan pernyataan tentang tren angka kelahiran di Indonesia ataupun TFR (Total Fertility Rate).  Meskipun sudah melakukan klarifikasi beberapa hari setelahnya, ditambah dengan penjelasan dari MenKes sendiri, pembahasan tentang hal ini tidak berhenti. Ramainya tanggapan yang dialamatkan atas pernyataan tersebut didasari oleh berbagai macam faktor, terutama isu terkait dengan perempuan dan keluarga di Indonesia sendiri. 



Sebenarnya permasalahan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Jepang sudah lebih mengalami dan tidak kunjung meningkat hingga sampai pada rekor terendah di TFR 1.21 pada 2023 lalu. Bahkan Korea Selatan sejak 2005 lalu memiliki angka TFR yang lebih rendah hingga menjadi negara dengan jumlah kelahiran per perempuan terrendah di dunia dengan TFR 0.72. Bisa dikatakan tidak ada satu bayi dalam rata-rata seribu perempuan subur di Korea. Tidak hanya di Asia, penurunan angka kelahiran juga dialami oleh Amerika dan negara-negara di Eropa. Beberapa negara di Eropa bahkan diprediksi mengalami penurunan populasi. Berbagai kebijakan sudah diterapkan untuk menarik pasangan muda agar mau memiliki anak. Namun nyatanya, kebijakan tersebut tidak merubah banyak hal. Angka kelahiran terus berada pada tren menurun dari tahun ke tahun.

Alasan negara perlu mempertahankan jumlah penduduk begini tentu sangat masuk akal, apalagi jika dikaitkan dengan segi ekonomi untuk keberlangsungan hidup warga negara tersebut. Sederhananya, penduduk usia produktif akan berkontribusi dalam menunjang kehidupan mereka yang belum atau sudah tidak lagi produktif. Jika jumlah usia non produktif lebih banyak dibanding yang produktif, tentu ini menjadi persoalan rumit bagi negara dalam mengelola penduduknya tersebut. Penurunan populasi juga dapat merusak tata kota yang sudah disiapkan untuk jumlah penduduk tertentu, salah satu contohnya adalah dengan kosongnya sekitar sembilan juta rumah di Jepang. Ancamannya bisa hingga melenyapkan kota-kota yang ada di negara tersebut, karena tidak adanya penduduk yang menghuni. Lalu, siapa yang akan mengelola negara jika sedikit jumlah  pemudanya? Sehingga, mengendalikan jumlah penduduk adalah upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan negara. 

Namun alasan dari banyak perempuan yang menunda punya anak, membatasi jumlah anak, juga cukup masuk akal. Mereka menyimpulkannya dalam quality over quantity. Tidak bisa dipungkiri bahwa hidup kini menjadi semakin kompleks dibanding generasi sebelumnya. Globalisasi memang seolah membuat kita bisa melakukan apa saja, namun globalisasi juga menambah lebih banyak kekhawatiran. Kemajuan teknologi bisa memudahkan hidup umat manusia, namun juga menempatkan kita dalam posisi yang lebih rentan. Anak-anak semakin mudah terpapar hal yang belum konsumsi mereka, sehingga orang tua perlu usaha ekstra untuk menjaga mereka. Beberapa kekhawatiran yang sering diungkapkan antara lain:

  • Kualitas Anak yang Dibesarkan

Sebenarnya, semakin banyak tahu, semakin banyak yang kita pikirkan, kita juga menjadi semakin mudah cemas. Isu pola pengasuhan, kesehatan, juga pendidikan yang bersiliweran menambah deretan pertimbangan ketika ingin menambah anak. Kekhawatiran itu menyangkut pada perhatian, waktu, juga tenaga yang tercurah akan cukup atau tidak jika ada lebih banyak anak. Dengan terbatasnya semau itu, banyak orang tua khawatir pembagiannya tidak akan cukup untuk anak dalam jumlah yang banyak. Dengan lebih banyak anak, ada lebih banyak hal yang dipikirkan, orang tua juga lebih rentan untuk tidak prima dengan tubuh mereka baik itu secara fisik maupun mental. Apalagi kita berada pada masa dengan peningkatan gangguan mental dari waktu ke waktu. Anak tidak bisa hanya besar dengan sendirinya, tanpa kualitas baik dari pengasuhan orang tua yang sehat. Sama halnya dengan pendidikan, anak butuh pola pengasuhan yang optimal dari rumah, yang dilanjutkan dengan pendidikan berkualitas dari luar rumah. Kesehatan dan pendidikan dianggap sebagai item yang perlu diiupayakan dengan maksimal, agar anak nantinya bisa menjadi generasi penerus yang berkualitas. Sedangkan, semakin banyak anak akan semakin banyak keperluan, yang dikhawatirkan akan semakin sulit untuk dipenuhi secara optimal. 

  • Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan ini memang erat kaitannya dengan faktor ekonomi, namun bukan hanya dari satu sisi itu saja karena kesejahteraan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan mulai dari material, spiritual, emosional, juga sosial. Dengan sumber daya yang dimiliki, kekhawatiran muncul akankah anak cukup sejahtera didalam keluarga tersebut. Biaya yang dibutuhkan dari hari ke hari semakin tinggi, sedangkan penghasilan yang diterima tidak bertambah signifikan. Untuk mendapat tambahan penghasilan, tidak banyak yang bisa dilakukan karena waktu dan tenaga yang juga terbatas. Tidak banyak lagi yang percaya dengan, banyak anak banyak rezeki. Orang tua yang harus bekerja siang malam memenuhi kebutuhan rumah tangga juga akan kelelahan secara emosional sehingga khawatir tidak mampu mendampingi anak dengan sepatutnya. Banyak orang tua khawatir dengan semakin banyaknya anak semakin berkurang pula kesejahteraan yang mereka semua bisa dapatkan. 

  • Alasan Personal

Ada banyak alasan lain yang diungkapkan oleh orang tua khususnya ibu terkait dengan jumlah anak ini. Mulai dari kesehatan seperti proses dari hamil hingga menyusui yang membutuhkan tubuh prima, waktu pemulihan tubuh yang tidak bisa sebentar, hingga berbagai rekomendasi kesehatan tentang tubuh perempuan untuk melalui proses tersebut. Tidak sedikit juga perempuan yang mengalami kondisi tertentu sehingga tidak disarankan untuk hamil kembali. Alasan lain berhubungan dengan sistem sosial patriarki yang masih melenggang di masyarakat kita. Perempuan dituntut untuk serba bisa, mulai dari mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah, juga tetap berkarya di luar rumah. Sebaliknya laki-laki hanya dituntut untuk mencari nafkah atau bekerja. Ketika ia melakukan pekerjaan rumah atau mengasuh anak, disebut ia membantu istri. Padahal itu adalah kewajibannya juga sebagai ayah dan penghuni rumah. Akibatnya banyak perempuan yang sudah kelelahan duluan dengan banyaknya tuntutan sehingga memilih untuk memiliki lebih sedikit anak. Alasan lingkungan juga tak jarang dikemukakan. Kualitas air dan udara yang terus memburuk, pemanasan global yang mencapai titik terendahnya, membuat banyak orang tua khawatir untuk membesarkan anak dalam kondisi ini. Apalagi kehadarian satu tambahan jiwa juga akan menambah daftar kebutuhan yang harus dipenuhi dari bumi. Akhirnya pilihan yang tersisa menjadi cukupkan dengan yang ada saja sebatas meneruskan keturunan.

Sebenarnya wajar jika sebuah negara memikirkan tenang nasib bangsanya jika penduduk terus berkurang. Namun alasan untuk membatasi jumlah anak juga cukup masuk akal. Masing-masing pihak memiliki kehawatirannya sendiri. Dari sinilah kita perlu belajar untuk melihat dengan lebih luas. Karena dengan kulitas hidup yang semakin menurun, bukan hanya segi ekonomi yang akan terganggu namun untuk bertahan hidup saja akan semakin sulit dilakukan. Harusnya negara bisa mengatasi dahulu kekhawatiran rakyatnya terkait dengan kebutuhan dasar baru bisa bicara tentang rekomendasi jumlah anak yang diharapkan. Bukan tiba-tiba mengeluarkan pernyataan tentang kelahiran anak perempuan, seolah sebagai objek untuk data penjumlahan saja.

Jika air dan udara bersih saja harus diusahakan secara mandiri, tentu banyak orang yang tidak berpikir lagi untuk menambah jumlah anak. Jika akses kesehatan saja masih sulit dijangkau, tentu kekhawatiran akan masa depan si anak menjadi berkali lipat banyaknya. Jika pendidikan yang disediakan masih jauh dari standar seharusnya, wajar jika orang tua berpikir untuk terus menambah pundi uang agar bisa mendapat sekolah yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Jika energi yang ada terus dipakai tanpa tampak ada pergantian yang disiapkan, tentu orang tua berpikir ulang bagaimana nasib anaknya kelak dimasa depan. Jika kekhawatiran tersebut mendapat jawaban yang jelas dan solutif, persoalan kelahiran tentu menjadi lebih mudah dibicarakan. Sedangkan Jepang dan Korea yang sudah jauh lebih dulu menerapkan berbagai kebijakan menguntungkan bagi anak saja masih kewalahan, harusnya Indonesia bisa belajar untuk mendapatkan solusi yang lebih komprehensif. 


Pro Kontra tentang Kelahiran dan Populasi Dunia

Bicara tentang tren kelahiran ini juga berkaitan erat dengan jumlah penduduk bumi yang terus bertambah. Hal yang mengejutkan dari pertambahan populasi adalah bagaimana ledakan jumlah manusia di bumi semakin menjadi hanya dalam seabad terakhir. Butuh ribuan tahun untuk mencapai satu miliar jiwa pada abad ke-18, lalu butuh satu setengah abad hingga mencapai 2.5 miliar pada 1950 lalu, dan tidak sampai satu abad hingga berjumlah lebih dari 8 miliar saat ini. Peringatan Hari Populasi sedunia yang ditetapkan oleh UN bertepatan dengan jumlah manusia yang 5 miliar pada tahun 1990 lalu.

Jumlah tersebut tidak hanya didapat karena angka kelahiran yang juga meningkat namun juga angka kematian yang rendah dan angka harapan hidup yang semakin tinggi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi memungkinkan manusia untuk bisa hidup dalam usia yang lebih panjang. Akses kesehatan lebih mudah, alternatif pengobatan lebih beragam, lebih banyak pengobatan yang dikembangkan untuk mengobati penyakit. Ini kabar gembira.

Disisi lain, kepadatan penduduk di bumi ini juga menimbulkan banyak kekhawatiran. Ada ketimpangan dari jumlah sumber daya yang tersedia dengan jumlah kebutuhan setiap manusia. Apalagi dengan pengelolaan yang serampangan dan tidak berkelanjutan, seolah hasil bumi digerogoti tanpa diperbarui kembali. Apa yang tidak lagi berguna dibuang begitu saja. Kita menjadi beban yang semakin berat untuk ditanggung. Delapan miliar yang kita bicarakan kini dalam satu bumi bukan jumlah yang sedikit. Sumber daya yang disediakan bumi semakin menipis, tidak sebanding dengan upaya manusianya untuk memperbarui. Ditambah kita menghasilkan ampas yang tidak habis-habis. Semakin hari, tingkat persaingan untuk bertahan hidup menjadi semakin tinggi. 

Untuk kebutuhan dasar saja misalkan, ada kebutuhan sandang, pangan, papan. Tambahan manusia juga membutuhkan tambahan hasil pertnian untuk mengenyangkan perutnya, butuh hasil produksi industri untuk menutupi tubuhnya sesuai dengan gaya hidup kini, butuh tambahan lahan lagi untuk area yang ia tinggali. Dengan kekuasaan yang dimiliki manusia kini, rasanya semua itu bisa saja dengan mudah didapatkan, meski harus mengorbankan kehidupan lain. Membabat pohon tempat bernaung orang utan atau mengurangi wilayah harimau hingga kesulitan lagi mencari makan misalkan.  

Sebenarnya, tidak akan masalah dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumi dengan catatan kita bisa hidup dalam harmoni. Tanpa keserakahan, tanpa usaha yang ingin menang sendiri. Namun hal yang menjadi sorotan adalah pola kehidupan manusia yang tidak berpikir panjang untuk keberlangsungan planet tempat ia tinggal. Banyak perkembangan teknologi yang memudahkan hidup manusia namun disisi lain tidak seleras dengan kelestarian lingkungan, misalkan pembangunan pabrik besar-besaran yang mengorbankan lahan hijau dan menambah banyak emisi karbon, penggunaan kendaraan bermotor yang juga banyak menghasilkan polusi udara, perubahan pola makan dari pengolahan tradisional ke pengolahan modern yang lebih ringkas dan tahan lama tapi sayangnya melibatkan zat yang berbahaya, hingga pada gaya hidup konsumerisme mengikuti tren yang semakin menjadi-jadi. 

Dasar inilah yang kemudian membuat para environmentalist sampai pada kesimpulan bahwa penurunan populasi dapat menjadi solusi dari berbagai masalah lingkungan. Bahkan beberapa ahli sudah membuktikan teorinya dengan perhitungan data ilmiah. Salah satunya yang dipublikasikan pada 2017 lalu oleh oleh Wynes dan Nicholas yang menyimpulkan bahwa mengurangi satu anak bisa mengurangi emisi karbon hingga 50 kali dibandingkan dengan mendaur ulang. Sederhananya, populasi yang lebih sedikit membutuhkan sumber daya yang lebih sedikit pula, sehingga emisi yang dihasilkan juga menjadi lebih sedikit. Dengan gaya hidup manusia yang semakin lama semakin merusak, mereka beranggapan bahwa menghambat laju pertumbuhan populasi bisa menjadi solusi. 

Namun, ada satu fakta lain yang tidak bisa diabaikan mengenai emisi karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim ini, yaitu pada data emsisi yang dihasilkan oleh masing-masing negara. Negara maju dengan jumlah anak yang lebih sedikit ternyata menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih banyak dibanding negara berkembang dengan jumlah anak yang lebih banyak. Hal ini bisa didapatkan jika kita menghitung emisi yang dihasilkan per kapita wilayah. China memang negara penghasil emisi karbon nomor satu di dunia, namun jumlah karbon yang dihasilkan per kapitanya hanya sebesar 8.05 ton jauh lebih rendah dibanding Amerika diangka 14.86 ton, bahkan juga dibawah Jepang sebesar 8.57 ton. Bahkan Lithuania dengan penurunan tajam pada jumlah populasinya menghasilkan 8.85 ton emisi karbon per kapitanya. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh earth.org bahwa urusan masalah iklim yang berhubungan dengan pengurangan emisi karbon ini tidak bisa hanya melihat dari jumlah manusianya saja, namun pada apa yang mereka lakukan. Negara-negara maju harusnya memiliki tanggung jawab lebih besar pada hal ini, untuk menghentikan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan, memperlambat laju industri dan konsumsi, serta melakukan segala aksi untuk aktivitas yang berkelanjutan. 

Mengatasi masalah iklim yang kita semua rasakan sekarang akibatnya ini, memang seharusnya dalam skala besar, yang menjadi pusat perhatian dari para pengelola negara di seluruh dunia. Bagaimana udara, air, serta kesehatan dan kesejahteraan penduduk diutamakan. Tidak terlalu banyak perubahan jika populasi berkurang namun masih dengan gaya hidup yang tidak peduli alam. Harusnya, menjaga angka kelahiran berjalan beriringan dengan menjaga kualitas hidup, yang artinya mengubah pola kehidupan menjadi lebih berkelanjutan. Melalui program dan kebijakan yang mereka buat, harusnya urusan pengendalian jumlah dan kualitas penduduk serta keberlanjutan kehidupan di bumi ini menjadi fokus pertimbangan utama sebelum membicarakan aspek kehidupan lainnya. Lagi-lagi, kita perlu diingatkan tentang there will be no future without nature. 



Salam, Nasha

Tahun ajaran baru sudah didepan mata, bahkan beberapa sekolah sudah memulai aktivitas belajar mengajar pada awal Juli ini. Ada orang tua yang baru pertama kali mendampingi anak sekolah, ada pula yang kembali setelah liburan panjang. Semuanya sama, butuh penyesuaian dan persiapan, apalagi bagi kita para orang tua. Sebab tidak ada anak yang siap tanpa orang tua yang lebih dahulu siap dan mendukung persiapan mereka. 



Persiapan Sebelum Sekolah

  • Anak dan Orang Tua yang Siap

Sebelum anak mulai bersekolah, pastikan dulu beberapa aspek kesiapan dari orang tua dan anak, antara lain seperti kondisi mental orang tua dan anak, finansial, kondisi keluarga, dan lingkungan yang mendukung. 

Ada kalanya anak sudah siap untuk memiliki rutinitas di luar rumah, namun orang tua yang belum siap melepaskannya. Sebaliknya, ada orang tua yang sudah ingin menyekolahkan anak, tapi anak masih belm mantap berinteraksi rutin di luar rumah. In hal pertama yang harus dipastikan terlebih dahulu, jangan sampai orang tua memaksakan kehendak pada anak, jangan sampai pula orang tua menghalangi perkembangan anak. Kita sebagai orang tua lah yang perlu lebih banyak menyesuaikan diri. Serta ingat, kesiapan mental setiap anak itu berbeda. Tidak masalah jika anak tetangga sudah bisa bersekolah diusia tiga, sedangkan anak kita yang sudah empat masih mau di rumah saja. 

Aspek selanjutnya adalah kondisi keluarga termasuk finansial didalamnya. Tidak dapat dipungkiri, biaya pendidikan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, berkisar antara 5-10% bahkan sekolah tertentu bisa mematok angka lebih tinggi lagi. Biasanya ada harga ada rupa. Sekolah dengan biaya selangit juga menawarkan fasilitas yang tidak main-main. Kembali lagi pada keluarga kita masing-masing, sekolah seperti apa yang diinginkan yang paling sesuai dengan kondisi keluarga. Bagus menurut mereka tidak serta merta bagus juga untuk kita.

Menyekolahkan anak juga berarti ada tambahan rutinitas baru, baik bagi anak maupun orang-orang di rumah. Pastikan kita semua siap untuk itu. Siap untuk mengantar jemput anak sesuai dengan jadwalnya, siap memenuhi perlengkapan yang kadang diminta oleh sekolah, siap untuk hadir dalam berbagai aktivitas sekolah anak, juga siap untuk berinteraksi dalam lingkaran sekolah anak. Dibandingkan saat kita bersekolah dulu, kegiatan sekolah anak sekarang jauh lebih beragam, yang artinya keterlibatan orang tua juga lebih banyak dibutuhkan. Bagi tugas antara ibu dan ayah, atau anggota keluarga lain, jika ada, dalam memenuhi agenda tersebut. Mungkin anak tidak selalu mengenang saat kita hadir, namun ia akan terus teringat kapan kita tidak hadir.

Ketika anak, juga orang tua, memang sudah siap untuk bersekolah, biasanya anak cenderung menjalaninya dengan lebih sedikit drama. Proses belajar mengajar di sekolah akan dijalani dengan lebih mulus. Anak berangkat sekolah lebih sering dalam keadaan siap bersemangat tanpa dipaksa. Ia bangun dalam kondisi tahu akan berangkat sekolah. Jika memang keadaan itu yang kita inginkan, maka pastikan kesiapan anak, dan kita, untuk mulai bersekolah. 


  • Pemilihan Sekolah 

Jika sudah benar-benar siap untuk memulai tahapan bersekolah, kita bisa lanjut dengan memilih sekolah yang tepat bagi masing-masing anak. Sekali lagi, ini akan berbeda pada tiap anak. Untuk itu ada beberapa pertimbangan penting dalam memilih sekolah yang sesuai dengan anak. Pertama, nilai apa yang keluarga kita inginkan dalam pendidikan anak. Ada sekolah yang mengutamakan pendidikan agama, karakter, akademis, minat bakat, kompetensi, ragam fasilitas; bahkan ini bisa terlihat sejak jenjang TK. Hal ini bisa kita lihat dari profil sekolah yang ada pada laman virtual masing-masing sekolah atau bisa langsung kunjungi ke sekolah tersebut. Pilih yang paling penting dan sesuai bagi keluarga kita masing-masing. 

Setelah kita menyaring pilihan sekolah yang sesuai untuk kebutuhan keluarga, selanjutnya libatkan anak dalam pemilihan sekolah tersebut. Survei sekolah bersama dengan anak. Ajak ia berinteraksi dengan guru. dengan sesama calon murid atau murid yang ada, biarkan ia bermain dan melihat-lihat lingkungan sekolah yang akan menjadi tempat mereka berakivitas nantinya. Jawab pertanyaan anak dengan jelas. Tanggapi kekhawatiran mereka dengan tenang dan solutif, tidak peduli seremeh apapun kedengarannya kekhawatiran mereka tersebut. Hargai pendapat anak, karena mereka lah yang nantinya akan bersekolah. Dengan begini, kita memperbesar kemungkinan anak berangkat sekolah dengan kesadaran dan lebih bertanggung jawab.


  • Komunikasi dengan Anak

Proses mendampingi anak bersekolah berikutnya adalah dengan perlahan melepaskan anak, belajar percaya bahwa mereka bisa. Hal ini tentu tidak serta merta terjadi tanpa bekal yang dipersiapkan sebelumnya. Ajari anak bagaimana melindungi dirinya, apa saja hal berbahaya yang harusnya ia hindari, kepada siapa anak melaporkan perbuatan tidak menyenangkan yang ia terima di sekolah, bagaimana ia harusnya bersikap pada teman, dst. 

Pengajaran ini bisa dimulai dari membiasakan anak membersihkan diri sendiri ketika selesai buang air; membiasakan ia makan sendiri sehingga tidak canggung ketika makan bersama di sekolah; mengajari anak tentang aurat termasuk bagian boleh disentuh dan tidak boleh; bagaimana melampiaskan marah yang tidak menyakiti dan tidak merusak; bagaimana cara bermain bersama termasuk cara meminjam atau cara menolak ketika sedang tidak ingin meminjamkan; bagaimana mengkomunikasikan apa yang ia rasakan dan pikirkan tentang sesuatu  termasuk juga terbuka pada orang tua serta guru tentang apa yang terjadi selama di sekolah.

Maka jauh sebelum melepas anak bersekolah, kita harus sudah memiliki koneksi yang baik dengan anak, menjadi pendengar yang dapat ia percaya, menjadi tempat yang aman baginya bercerita. Sebab, anak yang mau berbicara adalah anak yang merasa didengarkan, merasa bahwa apa yang ia alami sehari-hari adalah kisah yang kita tunggu setiap hari, bahwa apa yang ia rasa dan pikirkan begitu penting untuk kita ketahui. Lagipula, dengan begitu kita juga lebih mudah bekerja sama dengan anak, mereka lebih mau mendengarkan nasihat juga instruksi batasan yang kita buat. 

Terakhir, jangan lupa apresiasi perjuangan anak dalam proses sekolahnya tersebut. Ketika ia memulai sekolah dengan ceria, ketika ia bersedia untuk diantar jemput tanpa ditunggui, ketika ia memiliki teman pertama, ketika ia mau berbagi dengan teman sekelasnya, ketika ia berbaikan dengan teman, ketika hari ini ia berhasil melewati kesulitan yang ia ceritakan kemarin, ketika ia perlahan mampu beradaptasi di lingkungan yang baru. Langkah-langkah yang kita lihat itu adalah lompatan besar yang telah mereka usahakan, hargai.


  • Bangun Disiplin Anak dengan Rutinitas

Tidak ada usia terlalu dini untuk memulai rutinitas dengan disiplin. Jika kita menginginkan anak yang bersekolah dengan kesadarannya sendiri, maka bangunlah kebiasaan dari sebelum mereka mulai bersekolah. Jika ini sekolah pertama, setidaknya bangun kebiasaan berbulan sebelumnya. Jika anak masuk sekolah kembali setelah liburan, setidaknya sediakan waktu satu minggu sebelum sekolah dimulai.

Awali dengan bangun pagi sesuai jam yang kita inginkan agar anak bisa bersekolah dengan tepat waktu. Lalu, rutinkan dengan mandi dan sarapan setelahnya. Kita sendiri juga perlu membiasakan ini, karena ada tambahan aktivitas di pagi hari, jangan sampai justru kitalah yang merusak ritme aktivitas sekolah anak. Jika anak mengalami pergeseran waktu istirahat selama liburan, maka geser kembali agar ia tidak kekurangan waktu tidur karena harus bangun lebih pagi. 

Selain rutinitas yang berkaitan dengan sekolah, sebenarnya kita juga perlu punya rutinitas di rumah. Misalkan dengan bangun untuk sholat subuh, lalu mandi dan sarapan sebelum keluar rumah, tidur setelah isya, dll. Rutinitas ini perlu diberlakukan secara berkelanjutan sehingga akan terbentuk sebagai kebiasaan bagi anak. Meskipun kebanyakan sekolah kini tidak lagi membebankan pekerjaan rumah pada anak, namun kebiasaan belajar di rumah juga perlu untuk diterapkan. Tanpa memaksa anak, tapi bangun kesadaran mereka dengan bertahap. Ajak mereka untuk mengulang kembali apa yang dipelajari di sekolah, apa yang perlu dipersiapkan untuk esok harinya. Jaga semangat anak bahwa bersekolah itu seperti mengisi hari dengan kegiatan seru yang menambah pengetahuan dan pengalaman. Setiap hari bertambah apa yang ia tahu, setiap hari bertambah banyak apa yang ia lakukan. 



Salam, Nasha

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Kenalan Dulu, yuk!

Hai, aku Nasha! Aku diberkahi dengan dua guru hebat dan akan seterusnya belajar. Sedang giat tentang gracefully adulting, mindfull parenting, dan sustainable living. Kadang review tontonan, buku, dan produk yang baik juga. Semoga berguna!
PS, untuk info kerja sama, bisa email aja ya! ;)

Follow @salamnasha

POPULAR POSTS

  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Hubungi Aku di sini

Nama

Email *

Pesan *

Advertisement

Label

family REVIEW lifestyle rekomendasi BUMI lingkungan parenting kesehatan mental kesehatan netflix marriage adulting rekomendasi buku

Daftar Tulisan

  • ►  2025 (24)
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (5)
    • ►  Maret 2025 (4)
    • ►  Februari 2025 (5)
    • ►  Januari 2025 (5)
  • ▼  2024 (41)
    • ►  Oktober 2024 (4)
    • ►  September 2024 (8)
    • ►  Agustus 2024 (5)
    • ▼  Juli 2024 (5)
      • Bersahabat dengan Alam, Turut Menjaga Hutan, sebag...
      • Mengelola Screen Time, Membangun Hubungan Baik ant...
      • Bukan Hanya Berbicara, Kita Juga Perlu Berlatih Me...
      • Bahas Pro Kontra Menurunnya Angka Kelahiran dalam ...
      • Hal-hal yang Perlu Orang Tua Pahami Ketika Mendamp...
    • ►  Mei 2024 (5)
    • ►  April 2024 (3)
    • ►  Maret 2024 (5)
    • ►  Februari 2024 (3)
    • ►  Januari 2024 (3)
  • ►  2023 (117)
    • ►  Desember 2023 (10)
    • ►  November 2023 (10)
    • ►  Oktober 2023 (10)
    • ►  September 2023 (10)
    • ►  Agustus 2023 (10)
    • ►  Juli 2023 (10)
    • ►  Juni 2023 (11)
    • ►  Mei 2023 (12)
    • ►  April 2023 (8)
    • ►  Maret 2023 (10)
    • ►  Februari 2023 (8)
    • ►  Januari 2023 (8)
  • ►  2022 (31)
    • ►  Desember 2022 (6)
    • ►  November 2022 (3)
    • ►  Oktober 2022 (4)
    • ►  September 2022 (3)
    • ►  Agustus 2022 (1)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (3)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (3)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Oktober 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (1)
    • ►  Juni 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (2)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (6)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (4)

BloggerHub Indonesia

Tulisanku Lainnya

Kompasiana Kumparan

Popular Posts

  • Review Popok Perekat (Taped Diapers) Premium: Mamy Poko, Fitti, Sweety, Merries
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Trending Articles

  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Copyright © SALAM, NASHA. Designed by OddThemes