Tiga dekade sudah berlalu sejak kehadiranku di muka bumi ini. Usia dengan pertumbuhan yang sudah sempurna, otak yanng sudah berada pada ukuran paling besarnya. Jelas, aku sudah dewasa. Sepanjang perjalanan itu, ada banyak hal yang berubah dariku. Mulai dari di mana aku tinggal, peran yang aku emban, mimpi-mimpiku, serta bagaimana jalan pikiranku. Aku senang, setidaknya itu menandakan kalau aku berkembang. Perubahan adalah tanda kita mengalami pertumbuhan, kan? Tidak memenuhi standar orang pada umumnya tidak apa, aku hanya akan fokus pada kesadaran aku ada di mana dan hendak menuju ke mana.
Ternyata emang gak semua hal perlu kita ikuti
Orang mungkin mengenal istilah joy of missing out sebagai counter dari fear of missing out; bahwa gak semua yang lagi tren, viral, hype; terutama di media sosial, perlu diikuti. Tertinggal dari tren ternyata hal yang cukup baik, bahkan bisa jadi menyenangkan. Dalam kehidupan nyata, prinsip ini juga bisa kita terapkan, dengan lebih luas, dengan lebih dalam. Dalm memberlakukan standar orang misalkan.
Aku cukup yakin, sebagian besar kita hidup di tengah ekspektasi. Bahkan sejak bayi. Aku tidak bicara soal kurva tumbuh kembang yang jelas ada sumber ilmiahnya, tapi standar-standar lain yang diciptakan dalam masyarakat, kemampuan berbicara dan berjalan, contohnya. "Kok, umur segini belum bisa begini, sih?" Selain dikaitkan dengan usia, kadang juga dihubungkan dengan perkembangan anak-anak tetangga. "Eh, si itu umur segitu udah bisa ini itu, tuh."
Padahal, menurut dokter yang merawatnya, perkembangannya masih sesuai. Tidak ada masalah, tapi tetap saja dibanding-bandingkan. Apa begitu sulit dipahami, setiap anak berbeda-beda perkembangannya? Setiap kita, setiap individu itu juga berbeda-beda proses dan jalannya?
Tidak berhenti di situ, perbandingan dan standar tak kasat mata akan terus membayangi kita hingga dewasa, atau mungkin hingga nanti tua. Ada ekspektasi tentang apa yang harusnya dilakukan atau dicapai setiap pertambahan usia. Mulai dari umur patut untuk masuk sekolah, dengan perdebatan yang melibatkan bukan hanya orang tua tapi seluruh keluarga bahkan juga tetangga untuk usia enam atau tujuh mendaftarkannya. Lalu, lulus usia berapa, masuk jurusan apa, lulus lagi mau bekerja di mana?
Semuanya memiliki standar yang entah dari mana asalnya. Seperti prosedur yang mengatur hidup dari sekolah, bekerja, menikah, memiliki anak. Diberlakukan pada semua orang.
Membayangkan begini saja sudah lelah rasanya, apalagi benar-benar menjalaninya. Itulah kenapa, bisa terlepas dari standar yang ditentukan itu akan terasa menyenangkan. Melegakan rasanya bisa tidak terikat dengan ekspektasi orang tentang bagaimana hidup harusnya dijalankan. Memiliki standar dan definisi sendiri, bagaimana hidup yang layak dijalani. Karena pada akhirnya, orang hanya akan berbicara, sedangkan kita yang bertanggung jawab atas segala konsekuensinya.
Jadi, dalam perjalanan panjang ini, aku pelan-pelan sudah berdamai dengan ke mana hidup telah membawaku. Setiap hari aku memilih diriku sendiri. Setiap pilihan yang muncul, aku berusaha untuk lebih mendengarkan diriku daripada menjawab pikiran tentang apa kata orang. Aku menentukan pilihan sesuai dengan apa yang mau aku tanggung. Aku tidak lagi mau memusingkan standar apa yang orang-orang taruh padaku. Ternyata, rasanya jauh lebih ringan, lebih lapang, lebih damai.
Hidup Itu Mengerjakan bukan Mendapatkan
Sejak kecil, kita, aku, diajarkan untuk melakukan ini itu agar bisa mencapai ini itu, menjadi ini itu. Fokusnya selalu pada nilai, peringkat, hasil. Jarang, bahkan seingatku tidak ada, yang membicarakan prosesnya. Bagaimana aku melakukannya, apakah sudah sesuai dengan nilai dan etika, apakah aku melukai orang dalam prosesnya. Tidak ada yang peduli.
Mungkin itu kenapa, ketika dewasa, seringnya kita merasa begitu tertekan. Seperti tergesa-gesa untuk menggapai ini itu. Kecewa saat sudah mengusahakan tapi tidak menghasilkan juga. Perasaan-perasaan yang memberatkan kita karena fokusnya di mendapatkan, mengumpulkan apa-apa saja yang bisa dianggap keberhasilan, mewujudkan apa yang digambarkan orang -orang tentang kesuksesan.
Padahal, sudah terang diulang-ulang, hasil tidak pernah kita yang tentukan. Rencana selalu bersama dengan kejutan yang tak terduga. Tiba-tiba hidup membelokkan kita ke arah yang berbeda. Biasaaa. Memang begitulah hidup ketika dewasa.
Kalau sebelumnya aku menyebutkan tentang melepaskan bagaimana standar yang orang tentukan tentang hidup, kali ini kita bisa fokus pada hidup sendiri. Bukan pada apa yang akan kita dapatkan, tapi lebih fokus pada apa yang kita lakukan. Dengan apa yang lau punya saat ini, aku bisa melakukan apa saja. Dengan tubuh, waktu, ruang, kesempatan; yang ada padaku hari ini, apa yang bisa aku lakukan secara optimal? Jawabannya tentu berbeda dari masing-masing kita, tergantung keadaannya. Tapi fokusnya sama, lakukan yang terbaik yang kita bisa.
Tentu, kita mendapati ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Banyak sekali pilihannya. Coba kerucutkan dengan hal-hal yang dapat mendekatkan kita pada tujuan, apapun itu. Sesuaikan saja dengan definisi hidup yang sudah kita tentukan sebelumnya. Fokus saja di sana, meski kelihatannya bukan pencapaian, meski kelihatannya tidak menghasilkan, tidak apa-apa. Tugas kita hanya berusaha.
Mungkin akan ada bias ketika memilih cara seperti ini, antar damai dengan hari yang dijalani atau tidak terpacu untuk meraih ini itu. Menurutku, kita bisa ada di antaranya. Merasa terpacu pun tetap bisa damai. Keduanya bisa beriringan. Hari ini aku menulis, berbayar atau tidak, yang penting aku lakukan. Hari ini aku bekerja, entah dihargai atau tidak, aku lakukan dengan kemampuanku secara optimal. Kalau aku merasa apa yang aku lakukan tidak sepadan, aku usahakan hakku dengan cara yang sudah ditentukan.
Dalam jangka panjang, aku berusaha untuk tidak fokus lagi dalam mengumpulkan pencapaian, tapi mengumpulkan hal-hal baik yang aku lakukan. Aku sudah melakukan ini, aku sudah melakukan itu. Aku berupaya untuk mengupayakan yang terbaik yang aku bisa dengan apa yang aku punya. Aku akan bertanggung jawab dengan waktu dan anugerah yang telah diberikan padaku.
Tentu aku paham, dunia dewasa tidak sesederhana itu. Ada banyak sekali tuntutan dan tekanan, tapi lagi-lagi, seringnya itu pilihan kita apakah tekanan itu benar menekan kita atau tidak. Mungkin segala kegundahan yang kita rasakan ini adalah pertanda bahwa semua itu sudah melampaui kemampuan kita, mengendalikan apa yang tidak kita bisa. Mungkin pertanda kalau kita sudah mengambil pekerjaan Tuhan dalam menentukan apa yang harusnya kita dapatkan. Mungkin sudah saatnya kita kembali pada jati diri kita yang tidak berdaya. Lakukan, lalu serahkan. Kerjakan semaksimalnya, serahkan hasilnya.
Salam, Nasha
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!