• Anak & Keluarga
  • Kesehatan Mental
  • Perempuan & Pernikahan
  • Lingkungan
  • Review & Rekomendasi
Salam, Nasha

Jejak Perjalanan dan Catatan Pelajaran

Pertama, kisah ini diceritakan melalui perspektif seorang perawat, berbeda dari biasanya yang melalui perspektif dokter. Kedua, latar belakangnya dikhususkan pada poli kesehatan jiwa, bukan tentang kehidupan di RS pada umumnya saja. Ketiga, temanya adalah hal penting yang masih sering kita abaikan, kesehatan mental. Tiga alasan ini saja sudah cukup untuk saya mulai menyaksikan Daily Dose of Sunshine. Setelah ditonton, ternyata ada lebih banyak lagi alasan untuk merekomendasikannya!

 

Singkatnya, serial ini berkisah pada kehidupan di sekitar Jung Da Eun, perawat poli penyakit dalam yang baru saja pindah ke poli kesehatan jiwa. Kepindahan Da Eun ini atas rekomendasi kepala perawatnya, karena ia dinilai terlalu baik dan peduli [ada pasien sehingga lalai pada berbagai tetek bengek pekerjaan lainnya. Di sini, ia bekerja satu tim dengan beberapa perawat lainnya dan beberapa dokter kejiawaan atau psikiater. Ada beberapa sub tema penyakit mental yang diangkat disini, dan inilah yang membuat kita cukup banyak belajar. Bukan hanya jenis penyakit mental saja, tapi juga bagaimana kita juga perlu aware dengan kondisi mental sendiri hingga bagaimana menghadapi orang dengan penyakit mental. 

Tontonan sebanyak dua belas episode ini semoga bisa cukup membuka mata kita bahwa penyakit mental, apapun itu jenisnya, adalah penyakit. Sama dengan berbagai jenis penyakit fisik lainnya, perlu diobati, diberi penanganan yang tepat sesuai dengan kondisi masing-masing pasien oleh tenaga profesional. Siapapun bisa sakit, begitu juga siapa saja bisa memiliki penyakit mental, tenaga medis poli kesehatan jiwa sekalipun. Tidak peduli usia, penyakit bisa datang kapan saja, kita bisa terkena penyakit mental diusia berapapun. 

Hanya karena lukanya, sakitnya tidak tampak, penyakit mental sering dianggap tidak ada, padahal penyakit ini menyumbang angka yang cukup besar dalam berakhirnya hidup seseorang. Maka, beri perhatian yang sama pada penyakit mental. Lihat dengan kaca mata yang sama, siapapun yang sehat ada kalanya bisa terkena penyakit. Saat itulah, kita perlu berobat. Tidak perlu ragu, takut, mempertanyakan sebab, apalagi tidak terima dengan kondisi diri, segera upayakan penanganan. Begitu pula dengan kita yang tidak merasakan, jangan melihat penyakit mental dengan tatapan istimewa, lihat pasien dengan biasa, dukung, temani, beri bantuan, dan berlaku lebih baik. Bukankah begitu yang biasa kita lakukan pada orang sakit?


Situasi-situasi yang Menyakitkan Mental

Ada beberapa penyakit mental yang dikenalkan dalam drama ini, antara lain bipolar, gangguan kecemasan (anxiety disorder), serangan panik (panick attack), OCD (Obsessive Compulsive Disorder), delusi, demensia palsu (pseudodementia),  skizofrenia, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), BPD (Borderline Personality Disorder), serta depresi. Semuanya dijahit menjadi satu kesatuan cerita yang layak disaksikan, dengan latar belakang kisah masing-masing penderita dan orang di sekitarnya. 

Beberapa hal yang bisa menjadi catatan kita dalam menjalin hubungan yang sehat dengan diri sndiri dan orang lain adalah:

  • Anak Impian

Episode pertama dibuka dengan cerita tentang perempuan yang hidup memiliki segalanya. Pendidikan, karir, finansial, juga romansa yang banyak membuat orang iri. Setelah berbagai pemeriksaan, diketahui bahwa ia mengidap bipolar. Ada kalanya ia sangat energik dan bersemangat atas semua hal, namun tiba-tiba berada pada fase depresi. Disinyalir, ini berkaitan erat dengan rendahnya harga diri yang pasien miliki. Perasaan yang muncul karena merasa tidak punya kontrol pada apapun.

Perumpamaan Da Eun tentang itik yang dipoles menjadi angsa sangat mengena. Di sini, sang ibu memilihkan apapun yang terbaik untuk putrinya, bahkan pada pilihan buah untuk ia sukai. Semua orang iri pada kehidupannya yang mulus dan tampak tanpa cela. Sayang, ia bahkan tidak bisa memesan kopinya sendiri, saking terbiasanya didikte dan tidak pernahnya ia memutuskan sesuatu. 

Mungkin kita tidak asing pada perlakuan ibu tahu yang terbaik untukmu ini. Menganggap dengan memudahkan hidup anak, selalu ada untuk mereka, menjadikannya sosok yang diimpikan banyak orang, akan membuatnya bahagia. Padahal, bukankah bahagia berarti bisa bebas melakukan apa yang diinginkan?



  • Ibu yang Cukup Baik

Seorang ibu datang untuk memeriksakan anaknya yang menjadi korban perundungan di sekolah. Ternyata, anaknya baik-baik saja. Ibunyalah yang menanggung rasa bersalah hingga menderita pseudodementia. Ia mulai melupakan hal-hal kecil, bahkan tentang bullying yang anaknya alami. 

Mungkin perasaan ini banyak dimiliki oleh ibu bekerja yang terus berupaya untuk menyeimbangkan perannya sebagai ibu di rumah dan sebagai pekerja di kantor. Merasa tidak cukup baik karena harus 'meninggalkan' anak, sedangkan merasa perlu bekerja, apapun alasannya. Saat anak terkena masalah, bukan hanya lingkungan sekitar, si ibu inilah yang paling menyalahkan dirinya sendiri. Saya sempat mempertanyakan, dengan kejadian serupa saat anak bermasalah di sekolah, pernahkan ayah yang disalahkan?

Bukan untuk melempar siapa yang salah, tapi beban yang ditanggung dengan peran sebagai orang tua saja cukup berat. Apa salahnya untuk kita saling membantu meringankan beban orang lain? Untuk menjadi anggota keluarga yang saling menolong, menjadi rekan wali murid yang saling memudahkan, dan untuk menjadi manusia yang bisa menahan diri sebelum berkomentar menyalahkan.

  • Kurang Berusaha

Sepertinya kisah tentang Kim Seo Wan ini mengambil porsi yang paling banyak dibandingkan pasien lainnya. Ia muncul sejak episode awal sebagai pasien yang tampak baik-baik saja, beraktivitas normal layaknya orang sehat, namun ia mengalami delusi yang membuatnya merasa hidup di alam fantasi. Ia terjebak dalam dunia game yang ia mainkan. Sampai sini sudahkah kita men-judge dengan "nah itulah makanya.." atas apa yang ia lakukan?  

Ia telah mengikuti tujuh kali ujian pegawai negeri, dengan kegagalan hanya karena kesalahan di dua atau satu soal. Kesalahan yang membuat gregetan dan membuat ingin mencoba lagi karena merasa sudah sangat dekat. Mau menyerah rasanya tanggung sudah berjuang sejauh ini, tapi mau berjuang terus rasanya sangat melelahkan. Setelah melakukan segala hal yang ia bisa dengan apa yang ia punya, orang tidak pernah melihat apa yang ia upayakan selama tujuh tahun kebelakang, yang tampak hanya seorang pemuda yang kurang berusaha. Cukup akrab dengan situasi itu, dimana kita hanya foksu melihat hasil tanpa melihat usaha? Menyaksikannya saja, saya sendiri sudah lemas duluan.

  • Rekan Kerja yang 'Harusnya' Manusiawi

Dinamika kehidupan kantor juga diceritakan di sini, khususnya pada tekanan yang diberikan oleh sesama pekerja. Pasien Kim Sung Sik menderita anxiety karena terus ditekan dan diperlakukan dengan kasar oleh atasannya. Kekerasan verbal dan non verbal yang ia terus terima membuatnya selalu gelisah, tidak bisa konsentrasi, dan sulit beraktivitas. Gangguan kecemasan yang ia alami membuatnya merasa seakan berada di dalam kotak transparan dimana semua orang lain akan menghakiminya. Menakutkan, kan?

Song Yu Chan, sahabat Da Eun juga mengalami gangguan mental karena pekerjaan. Dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang cemerlang, ia berhasil menjadi yang terbaik di kantor. Semua orang ingin pekerjaannya. Tapi, beban yang ditimpakan padanya tidak sebanding dengan tubuhnya sendiri. Ia kewalahan, sering merasa sesak,  hingga didiagnosis mengalami gangguan panik.

Tampaknya, lingkungan kerja yang sehat bisa mencegah itu semua. Beban pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas karyawan dan rekan pekerja yang menyadari bahwa kita sama-sama hanya pekerja. Perusahaan yang dibela dan terus dikejar hingga menyakiti orang itu, akan tetap bisa berjalan tanpa kita di dalamnya. Sedangkan diri kita yang terabaikan, bisa mengalami kerusakan tanpa dipedulikan perusahaan. Seperti Yu Chan, mungkin salah satu caranya adalah dengan berani membangun batasan. Membatasi berapa lama kita bekerja, berani menolak permohonan bantuan diluar kemampuan kita, hingga membela diri saat diperlakukan semena-mena. Betapapun berharganya pekerjaan, lebih berharga keselamatan kita.


  • Berandai-andai dan Menyalahkan Diri Sendiri

Akhir mngejutkan dari Kim Seo Wan membuat siapa saja berduka, termasuk perawat yang bertanggung jawab, Jung Da Eun. Bagaimana tidak, Seo Wan dipulangkan ke rumah karena ketahuan oleh Da Eun telah berpura-pura sakit. Lalu, Da Eun adalah orang terakhir yang dihubungi oleh Seo Wan karena ia ingin minum teh bersama. Sayangnya permintaan itu tidak bisa diluluskan langsung oleh Da Eun.

Duka yang mendalam, kesedihan yang tidak tahu bagaimana mengungkapkannya, dan rasa bersalah atas kematian orang yang dekat dengannya, membuat Da Eun mengalami amnesia disosiatif yang berujung depresi. Ini serupa dengan kasus yang sedang dibahas di RS yaitu PTSD, dimana kematian seseorang karena upayanya sendiri rata-rata akan mempengaruhi hidup 5-10 orang di sekitar, salah satunya Choi Jun Gi. Rasa bersalah mengahantuinya dengan bayangan seandainya saja ia melakukan hal yang berbeda.

Kenyataannya, pada banyak hal yang telah terjadi, hal-hal malang yang menimpa orang terdekat, kita sering melakukan hal yang sama. Menyalahkan diri kita dan melakukan perandaian. Padahal, seburuk apapun kejadian, hal itu sudah terjadi, tidak bisa kita cegah lagi. Perandaian hanya akan membuat kita semakin tenggelam dalam rasa bersalah dan keterpurukan. Kebiasaan yang mendatangkan penyakit. Bukan hanya dalam bentuk PTSD akibat kematian, namun bisa juga krisis seperti Ibu Kim Yeo Jin ataupun Perawat Park Soo Yeon, yang sering menyalahkan diri mereka karena menjadi ibu pekerja. Meski sudah memberi semaksimal yang bisa, kita cenderung hanya melihat bagian kurangnya, lalu menyalahkan diri sendiri.

  • Siapa Saja Bisa Sakit

Apa yang menimpa Jung Da Eun sebagai perawat poli kesehatan jiwa adalah hal yang cukup penting disorot. Bagaimana seorang tenaga kesehatan yang sudah paham dan akrab dengan segala hal tentang penyakit kejiwaan, juga mengalami sakit kejiwaan, bahkan hingga dirawat di unit tertutup. Ternyata tahu lebih banyak tidak serta merta membuat kita lebih kebal. Sering membersamai pasien, tidak membuat kita jadi mati rasa. Kita tetap manusia yang kadang bisa tetap tenang, kadang bersedih, kadang juga kewalahan, merasa lemah tak berdaya. Tidak apa.

Seperti Song Yu Chan dan Dong Go Yun yang mengatasi penyakit mereka dengan cara masing-masing, kita juga diajak untuk lebih peka terhadap diri sendiri. Yu Chan kembali bekerja namun tidak lagi memaksakan diri seperti sebelumnya. Go Yun dan Da Eun bersama-sama memulai olahraga pagi untuk rutinitas yang lebih sehat. Kita yang paling tahu apa yang bisa men-trigger kambuhnya kondisi diri tertentu, hindari semampunya, hadapi jika perlu, tapi pelan-pelan jangan memaksakan, karena kita yang paling tahu. Kesadaran bahwa siapa saja bisa sakit, dalam hal ini sakit mental, akan membuat kita lebih berhati-hati menjaga kesehatan mental kita. 

  • Berani Melepaskan

Adegan Deul Re yang diminta untuk melepaskan diri dari ibunya merupakan adegan yang cukup mengena menurut saya. Karena dalam situasi tersebut, ibunya benar-benar tidak menunjukkan perannya sebagai ibu atau bahkan sebagai orang yang normal, kita seringkali tetap berkilah dengan bantulah, dia kan keluarga, padahal keluarga terdekatnya saja sudah menyerah juga.

Mungkin pengambilan kasus seekstrem ini disengaja agar pesannya bisa kita dapat. Bahwa kita bisa saja menyerah pada orang lain, bahkan orang tua sekalipun. Tidak ada keharusan sekalipun dia keluarga atau orang terdekat, sekalipun semua orang menyuruh melakukan sebaliknya. Jika pada akhirnya ia menjadi penyakit atau racun dari hidup sendiri, lebih baik lepaskan. Ini berlaku untuk siapa dan apa saja. Kita berhak untuk melepaskan diri dari apa yang menyakiti, kita berhak untuk memperjuangkan yang terbaik untuk diri sendiri.


Baca Lanjutannya, Teruntuk Caregiver dan Kita Semua dari Review Daily Dose of Sunshine



Salam, Nasha



"Kebersihan itu sebagian daripada Iman"

Begitu pentingnya kebersihan sehingga selalu digaungkan bahkan diposisikan sebagai bagian dari orang yang beriman. Sebelum dan setelah beraktivitas, kita dianjurkan untuk membersihkan diri. Bersuci sebelum beribadah, mencuci tangan sebelum makan, bebersih sebelum masuk rumah. Sehingga penanaman nilai kebersihan harus dilakukan sejak dini, mulai dari kebiasaan-kebiasaan harian di rumah. Rutinitas kebersihan ini juga berkaitan erat dengan wujud menyayangi, menjaga, dan peduli pada diri sendiri serta lingkungan sekitar. 


Esensi Kebersihan

Mungkin jarang keluarga yang benar-benar menyeriusi perkara kebersihan, karena sepertinya termasuk perkara yang sepele. Kebanyakan orang tua fokus pada bagaimana meningkatkan kemampuan dan keahlian anak, tapi luput mengajarkan mereka tentang kebersihan, salah satu wujud menjaga diri. Kepedulian terhadap kebersihan dianggap bukan hal yang urgen, padahal ini hal dasar yang perlu ditanamkan sejak mereka anak-anak sehingga bisa terbawa sampai mereka dewasa kelak.

Bukan hanya untuk menghindarkan mereka dari papaan virus, kuman, juga bakteri; membiasakan anak bersih juga dapat membentuk kepribadian mereka. Anak  yang terbiasa bersih, terlatih untuk peduli pada diri mereka sendiri, sehingga juga dapat meningkatkan kecintaan diri dan kepercayaan diri anak. Selain itu, anak juga terlatih untuk lebih peka dan peduli pada sekitarnya. Kebiasaan positif ini juga melatih anak untuk bertanggung jawab dengan apa yang mereka punya, terbiasa menjaga dan merawat apa yang ada. 

Lagipula, kebersihan juga membuat pikiran anak, termasuk kita, menjadi lebih tertata. Bersih dan rapi pada lingkungan membuat kita lebih mudah menemukan barang, ini juga akan mempengaruhi pikiran. Anak yang terbiasa membersihkan diri juga lingkungannya, akan lebih mudah untuk menata pikirannya sendiri. Aktivitas membersihkan, merapikan, hingga beberes juga menyehatkan mental. Lingkungan yang bersih juga dapat meningkatkan suasana hati menjadi lebih baik. 

Untuk saya, perumpamaannya begini. Jika pikiran berantakan, coba untuk merapikan ruangan. Karena lebih mudah menata ruangan daripada menata pikiran. Saat ruangan sudah tertata, efek lanjutannya pikiran juga jadi lebih mudah ditata. Tapi jika hanya diam dan berkutat dengan ruwetnya pikiran, kita tidak akan bergerak kemana-mana. Ini salah satu yang ingin saya tanamkan pada anak-anak. Jika pikiran terlalu sulit dijangkau, coba dengan yang dekat, yang nyata bisa digerakkan dulu. 

Singkatnya, menjaga kebersihan terbukti meningkatkan kesehatan baik raga maupun jiwa, menghindarkan dari penyakit fisik maupun mental. Kebiasaan baik ini juga dapat mempengaruhi interaksi sosial anak, kenyamanan dalam beraktivitas, membentuk kepribadian mereka yang peduli dan bertanggung jawab. Lalu, bagaimana kita memulainya?


Mengajarkan Kebersihan pada Anak

Sama seperti mengajarkan anak tentang hal lainnya, mengajarkan anak kebersihan juga dilakukan dengan penyesuaian terhadap usia dan perkembangan masing-masing anak. Praktiknya juga disesuaikan dengan kebiasaan di masing-masing keluarga. Namun, pada dasarnya kita bisa melakukannya dalam garis yang hampir sama.

  • Mulai dengan mandi dua ali sehari. Sejak anak bayi biasakan untuk mandi saat pagi dan sore hari. Teruskan kebiasaan ini hingga anak-anak paham bahwa manid memang dilakukan dua kali sehari. Sebelum keluar rumah saat pagi, dan selesai beraktivitas dari luar pada sore hari.
  • Membedakan pakaian di dalam dan luar rumah. Ini juga titik awal agar anak terbiasa untuk berpakaian sesuai dengan tempatnya. Lagipula, ini juga mengurangi kemungkinan kuman-kuman yang menempel di baju saat di luar terbawa hingga ke dalam rumah. 
  • Memotong kuku sekali seminggu juga mencukur rambut agar rapi
  • Lakukan sambil menjelaskan 
Untuk anak yang sudah lebih besar, mungkin sekitar lima tahun, anak sudah lebih paham tentang tanggung jawab dan kewajiban, maka bisa biasakan rutinitas berikut dari rumah:
  • Lanjutkan apa yang sudah dibiasakan sejak bayi
  • Membersihkan tempat tidur saat bangun pagi dan membersihkannya saat malam ketika ingin tidur
  • Meletakkan piring setelah makan di tempat cucian dan baju kotor di keranjang baju
  • Mandi sendiri dengan memperhatikan seluruh bagian tubuh agar bersih termasuk menyikat gigi
  • Membereskan mainan selesai bermain atau diwaktu yang telah disepakati misalkan sebelum tidur
  • Segera membersihkan saat menumpahkan sesuatu, bisa dengan kain lap ataupun sapu
  • Membuang sampah pada tempatnya sekaligus memilah sesuai dengan kategorinya
  • Menutup hidung dan mulut ketika batuk ataupun bersin
  • Mengenalkan konsep kebersihan lingkungan dan kepedulian pada alam salah satunya dengan mengajak mereka bercocok tanam atau memberi makan ternak.

Apa yang paling penting dari mengajari anak tentang kebersihan adalah menanamkan pada diri kita sendiri bahwa kebersihan itu adalah kebiasaan yang menyehatkan. Kita menjadi teladan bagi mereka, memberi anak kesempatan dan dukungan untuk melatih kebiasaan bebersih (termasuk jika kegiatan bebersih kita memakan waktu lebih lama dari biasanya), dan tetap sabar. Anak perlu melihat, mendengar, mencoba melakukan, salah berulang kali, hingga menjadi kebiasaan. Tidak apa, memang begitu prosesnya. Semangat!



Salam, Nasha

Salah satu isu lingkungan yang masih menjadi pekerjaan besar kita adalah pengelolaan sampah. Bagaimana agar barang-barang yang kita gunakan tidak menambah tinggi tumpukan di pembuangan akhir yang berdampak buruk, seperti menurunnya kualitas hidup hingga menimbulkan berbagai macam penyakit. Desa Kamikatsu di Jepang terbukti berhasil dalam pengelolaan sampah yang mereka hasilkan, dengan predikat sebagai Zero Waste City pertama di dunia. Tapi ternyata, ada juga dua desa di Bali yang dinobatkan sebagai desa bebas sampah oleh Kemendagri. Sebenarnya, konsep Zero Waste City sendiri sudah lama dikenalkan sebagai saah satu solusi berkelanjutan untuk hidup yang lestari. 

Desa Zero Waste

Desa Kamikatsu berada di wilayah Jepang bagian barat, merupakakan daerah pertama yang menyatakan keberhasilannya dalam pengelolaan sampah di dunia. Berjarak sekitar 600km dari Kota Tokyo, salah satu keberhasilan kamikatsu yang paling menarik perhatian adalah menggunakan kembali 80% dari barang-barang yang sudah dibuang. Titik awal yang menjadi penanda bagi Kamikatsu sebagai percontohan area bebas sampah adalah komitmen mereka pada tahun 2003 untuk menjadi zero waste city pertama di dunia. 

Melansir laman waste4change, Jepang di tahun 1960 hampir sama dengan negara lainya yaitu negara yang fokus pada industri dan perekonomian akibat perang yang cukup merugikan mereka. Perindustrian telah menghasilkan banyak sampah dan limbah, yang berujung pada polusi dan merugikan kehidupan masyarakat. Berangkat dari kondisi itulah, timbul kesadaran masayarakat untuk lebih peduli dalam gerakan chonaikai. Singkatnya, gerakan ini berarti mengurangi pembuangan sampah, menggunakan kembali barang yang bisa digunakan, dan mendaur ulang. Bertahun-tahun kemudian, dengan semakin nyatanya dampak sampah dan penyakit yang ditimbulkan, barulah pemerintah mulai menganggap isu lingkungan sebagai prioritas yang harus diutamakn sehingga lahirlah Basic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society. Peraturan ini buan hanya mengatur tentang daur ualng namun berisi berbagai informasi agar sampah tidak serta merta berakhir di tempat pembuangan akhir. Setiap warga Jepang diberi informasi yang mumpuni tentang pengelolaan sampah hingga instruksi detail penyortiran setidaknya sekitar 518 jenis barang. Sampai sini, kita paham bahwa baik pemerintah maupun masyarakat Jepang berhasil belajar dari pengalaman, bagaimana dampak negatif dari pengabaian lingkunagn telah merusak kehidupan mereka juga. 

Pada awalnya, warga desa membakar sampah untuk mengurangi tumpukan sampah di tempat pembuangan. Namun, karena polusi yng ditimbulkan, akhirnya mereka beralih untuk mendaur ulang yang secara ekonomi juga lebih menguntungkan. Mereka memulai dengan mengelompokkan sampah menjadi 9 kategori, hingga saat ini mereka sudah terbiasa mengelompokkan 45 kategori sampah. 

Pertama-tama sampah dari rumah harus dipastikan bersih sebelum dibawa ke tempat penyortiran, lalu tempatkan sesuai dengan kategorinya masing-masing. Selain tempat penyortiran, Desa Kamikatsu juga memiliki toko khusus di balai desa yang menerima dan menyediakan barang bekas layak pakai. Kadang, barang bekas juga dibah menjadi kerajinan tangan lalu dijual kembali. Tingkat daur ulang desa ini mencapai 80% jauh lebih tinggi dari tingkat nasional Jepang yang hanya di angka 20%.

Baca Juga: Quality Over Quantity, Kenapa Kita Perlu Mengutamakan Produk Berkualitas dan Tahan Lama

Di Indonesia sendiri, Desa Sanur Kauh dan Desa Kesiman Kertalangu di area Denpasar telah mendapat pengakuan dari Kementerian Dalam Negeri sebagai Desa Zero Waste, berkat keberhasilannya dalam mengelola sekita tiga ton sampah sehari. Meskipun belum benar-benar menerpkan 0% sampah, setidaknya ada penurunan signifikan dikedua desa ini dalam sampah yang mereka hasilkan. Masyarakat pun sudah memiliki kesadaran dalam memilah sampahnya dalam kelompok organik yang berujung sebagai pakan ternak serta kelompok anorganik yang di;ilah kembali dan diolah dalam TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu).


Apa itu Zero Waste City?

Dalam kondisi perubahan iklim yang semakin memprihatinkan dan tumpukan sampah yang sudah semakin menggunung hingga berbagai dampak buruk yang ditimbulkan, konsep Zero Waste City dipandang sebagai salah satu solusi berkelanjutan dalam mengatasi masalah tersebut. Dengan pengelolaan sampah, barang-barang yang awalnya tidak bisa digunakan bisa digunakan kembali atau didaur ulang sehingga bisa bermanfaat dalam wujud lainnya. Dengan zero waste kita meminimlisir barang-barang yang berakhir sia-sia tidak dimanfaatkan, apalagi hanya menambah volume di tempat pembuangan.

Untuk diingat kembali, penumpukan sampah setidaknya memiliki efek buruk seperti:

- Memakan banyak lahan yang harusnya bisa digunakan untuk aktivitas lain
- Menurunkan kualitas hidup masyarakat disekitarnya secara langsung dan menurunkan kualitas hidup masyarakat diarea lain secara tidak langsung dengan tercemarnya air, udara, juga tanah
- Mendatangkan berbagai macam penyakit akibat menumpuknya berbagai kuman, virus, dan bakteri di sana, yang bisa menyebar melalui pernatara udara hingga binatang. 
- Menimbulkan berbagai bencana alam seperti banjir dan tanah longsor

Tidak sulit sebenarnya mencari dampak negatif dari penumpukan sampah ini. Bahkan beberapa wilayah yang sudah ditetapkan sebagai tempat pembuangan akhir sudah atau hampir melampaui kapasitas penampungannya. Dengan puluhan juta ton sampah yang dihasilkan dalam satu hari dan tidak sampai 10% yang didaur ualng, fakta ini bukanlah hal yang mengherankan. Yang mengherankan adalah bagaimana kita tetap bisa hidup menumpuk sampah tanpa rasa bersalah dengan keadaan seperti ini?




Bagaimana Memulai Rumah Tangga Zero Waste

"Tidak apa terlambat, daripada tidak sama sekali."

Tantangan utama dari mewujudkan zero waste adalah psimisme dari masyarakat sendiri yang menyangsikan bisa hidup tanpa menghasilkan sampah. Sebenarnya, ini bukan hal yang mustahil. Tapi akan sangat sulit dilakukan jika kitia bergerak langsung menuju bebas sampah. Lakukan dengan bertahap, selangkah demi selangkah. Mulai dulu dengan mengurangi  sedikit demi sedikit agar tidak sulit, dan jangan menyerah dalam prosesnya. 


Membentuk zero waste city memang tidak bisa kita lakukan sendiri, harus ada kerja sama dari seluruh pihak. Dari pemerintah setempat yang memimpin dan mengarahkan, serta pihak masyarakat yang melakukannya secara bertahap dan bahu membahu. Tapi jika kita hanya menunggu inisiatif pemerintah yang tidak tahu kapan munculnya, maka kita akan diam di tempat. Lebih baik kita coba untuk berangsur melakukan, dari rumah sendiri dengan bercermin dari bagaimana warga desa zero waste melakukannya. Beberapa kiat penting yang bisa kita praktikkan antara lain adalah:

- Menyadari konsumsi. Paham batas cukup kita masing-masing sesuai kebutuhan, tidak usah impulsif dengan barang-barang lucu yang beredar dan membeli hanya dengan alasan murah. Jangan lupa pilih barang yang berkualitas dan tahan lama sehingga tidak mudah menjadi sampah.
- Pakai barang sampai tidak bisa dipakai. Berlaku untuk barang habis pakai ataupun tidak dengan pakai sampai habis, pakai sampai rusak. Perbaiki jika memungkinkan. Alihkan pada pengguna lain jika tidak lagi digunakan. 
- Pilah sampah. Mulai dulu dengan memisah anorganik dan organik, baru pisahkan anorganik berdasarkan kategori seperti kertas, plastik, kaca, dan elektronik. Ini juga membantu untuk menyadari konsumsi pribadi. 
- Mengompos sampah organik. Jika masih belum mau membeli komposter, kubur sampah organik, sisa-sisa makanan tersebut ke dalam tanah. Baru berangsur, upayakan komposter, ada banyak sekali pilihannya sekarang, lengkap dengan paket peralatan yang dibutuhkan. 
- Setorkan sampah anorganik ke bank sampah. Pilih bank sampah terdekat atau drop box yang ada di pusat keramaian. Biasanya bank sampah menerima segala jenis sampah kering, usahakan untuk membersihkan dahuu agar lebih mudah dikelola di sana.

Kenyataan di lapangan memang masih banyak kendala yang kita temui saat ingin mengelola sampah. Misalkan dengan kehadiran bank sampah yang tidak mudah terjangkau. Di wilayah saya, ada beberapa bank sampah terdaftar tapi didapati dalam keadaan tutup, kebanyakan karena tidak cukupnya sampah yang disetorkan warga. Ada satu yang cukup aktif, tapi jaraknya sangat jauh. Alhasil biasanya saya hanya membuang di drop box yanga ada di pusat perbelanjaan, yang terakhir dilihat sampahnya juga sudah bercampur tidak sesuai kategori. 

Baca Juga: Prinsip hidup Cukup Hingga Pakai Barang Sampai Tidak Bisa Dipakai

Hal seperti ini memang bisa menyurutkan semangat, tapi melihat kembali kondisi bumi dan anak-anak yang akan menjadi penerus nanti, rasanya menyerah saat ini juga berarti menyerah pada kondisi bumi yang kita wariskan. Ini sedikit bentuk upaya dan tanggung jawab kita terhadap rumah yang kita tinggali. Semoga kita selalu bisa selalu bersemangat dan diberi kemudahan dalam melestarikan bumi ini ya!



Salam, Nasha

Jogja memang kota dengan sejuta pesona. Tujuan liburan dengan berbagai arena wisata. Memasuki akhir semester sekolah begini, pikiran sudah sampai pada rencana liburan. Apalagi, semakin banyak penginapan yang menawarkan berbagai promo untuk liburan. Semuanya terlihat menarik. Tapi sebelum memilih satu dari sekian banyak pilihan tersebut, perlu tahu dulu apa yang kita utamakan dalam memilih penginapan, seperti jenis, fasilitas, hingga anggarannya. Untuk keluarga juga ada tambahan pertimbangan sendiri, seperti luas kamar juga ketersediaan arena bermain anak.


Jogja sesungguhnya adalah kota yang cukup dekat dengan kami. Pernah liburan di sana, pernah tinggal di sana, dan dengan izin Allah akan kembali ke sana. Dengan segala daya tariknya, Jogja memang patut disebut sebagai kota yang istimewa. 

Dengan kentalnya budaya dan tradisi dalam kehidupan warganya, Jogja berhasil menarik minat pendatang, termasuk saya, untuk berlama-lama di sana. Meskipun perlu ada pengaturan yang lebih mumpuni tentang jalanan yang semakin padat, tapi Jogja dengan akarnya yang kuat dan kemajuannya yang juga pesat, membuat banyak orang berkunjung bahkan hingga menetap di sana.

Untuk keperluan liburan, khususnya liburan keluarga bersama anak-anak, ada banyak tempat wisata yang tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta, baik itu di Kota Jogja, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, hingga Kabupaten Kulon Progo dan Kab. Gunung Kidul. Ada ribuan hotel dengan berbagai jenis tersebar di sana. Tinggal kita sesuaikan dengan preferensi kita masing-masing. Biasanya kami memiliki beberapa pertimbangan dalam menentukan penginapan, seperti:

  • Jenis Penginapan. Biasanya, kami memilih hotel atau resort, tergantung kebutuhan. Karena kalau resort cenderung untuk liburan yang tidak kemana-mana alias staycation saja, sedangkan hotel biasanya tetap mengunjungi tempat wisata di sekitar. Bisa juga villa jika ingin staycation dengan keluarga besar.
  • Fasilitas. Utamanya adalah kolam renang, karena anak-anak tahunya memang nginap itu sekalian dengan berenang di sana. Selain itu juga, AC juga sudah seperti kewajiban dan hampir seluruh penginapan menyediakan. Biasanya turut serta free wifi dan TV. Lalu, juga ada pertimbangan tentang kebersihan hotel, bia
  • Lokasi. Pertimbangan yang disesuaikan dengan tujuan liburan, apakah ingin dekat tempat wisata atau berdiam diri saja di kamar. Kemudahan akses dengan pusat perbelanjaan atau kuliner, hingga tingkat kemacetan, bisa jadi bahan pertimbangan. 
  • Anggaran. Pada akhirnya memang ini yang membatasi keinginan. Kadang kalau memang ingin staycation, bolehlah cari penginapan dengan banyak fasilitas dan harganya lebih tinggi. Tapi kalau hanya untuk tempat singgah, lebih baik cari penginapan dengan fasilitas secukupnya, harga lebih terjangkau, dan lokasi strategis.
  • Kamar Luas. Belakangan ini menjadi prioritas kami karena liburan bersama dua anak yang sedang aktif-aktifnya. Empat orang dengan luas kamar tidak sampai 20m2 rasanya tidak bisa pilihan. Maka, setiap pilih penginapan kami cari yang luasnya cukup untuk anak-anak ini bisa bergerak.

Berdasarkan pertimbangan itulah, saya memilih tiga penginapan terbaik untuk keluarga dengan kamar yang luas berlokasi di Jogja, seperti bisa dilihat:

1. The Westlake Resort Jogja

Resort ini berlokasi di Ringroad Barat Bedog di Kec. Gamping Kab. Sleman. Tidak begitu jauh dari pusat kota, sekitar 9km menuju Malioboro. Jadi kalau mau staycation tapi tetap ada tujuan ke sana, tetap bisa ditempuh di hari yang sama.

Areanya sangat luas dengan shuttle car yang selalu hilir mudik siap mengantarkan tamu ke kamar masing-masing. Fasilitas yang menarik, selain kolam untuk anak dan dewasa, adalah kolam ikan yang berada ditengah-tengah area. Fasilitas tersebut memungkinkan kita, khususnya anak-anak, untuk menikmati waktu santai di balkon sembari memberi makan ikan. Bisa juga menaiki wahana perahu yang mengelilingi area tersebut. Benar-benar menjadi pengalaman menginap yang tidak terlupakan.

Untuk kamarnya, ada beberapa pilihan yang tersedia. Mulai dari muatan dua dewasa yakni deluxe room dengan luas kamar 32m2 lalu ada executive room dengan luas 38m2. Ada pula kamar untuk 3 orang dewasa yang berisi satu king bed dan satu twin bed, luasnya mencapai 52m2, ini bisa jadi pilihan untuk keluarga dengan anak yang tidak lagi balita. Diatasnya, ada pilihan suite dan presidential suite dengan jumlah sangat terbatas, luasnya lebih dari 100m2. Tips dalam memilih kamar disini adalah pilih yang lake view, karena itu jenis kamar dengan balkon yang langsung terhubung pada danau buatan berisi ikan-ikan ditengah area tersebut. Memang sedikit lebih mahal dibanding river view, tapi bisa terbayarkan dengan kepuasan yang didapat.

2. Grand Senyum Hotel Jogja

Ini hotel keluarga dengan lokasi yang sangat strategis, yakni hanya 100an meter dari Tugu Jogja. Bahkan dari kamarnya bisa melihat langsung Tugu Jogja tersebut. Jika biasanya hotel yang berlokasi strategis menawarkan pilihan kamar yang relatif kecil, Grand Senyum menyediakan kamar seluas 40m2 untuk Deluxe  Room dan 60m2 untuk tipe Executive Roomnya. Berbeda dengan hotel lain, twin bed yang disediakan juga besar yaitu 140x200. Bahkan untuk keluarga dengan anak bukan balita, kamar deluxe juga sudak cukup. 

Fasilitas yang ditawarkan sesuai dengan hotel bintang empat lainnya yaitu AC, wifi, TV, kulkas, juga hair dryer. Meski dengan tambahan meja rias, meja kerja, juga meja pantry di kamar, tidak membuat kamar ini sesak karena luasnya tersebut. Kamar mandinya juga luas. Kolam renang berada di lantai paling atas, sehingga kita juga bisa bersantai dengan pemandangan kota sekitar Tugu Jogja, sayang saja pagarnya terlalu tinggi. Area playground juga ada di rooftop meskipun tidak luas, sebatas pojok arena bermain anak. Namun dengan harga yang ditawarkan, rasanya cukup masuk akal. Makanan sarapan yang disajikan juga sangat beragam bahkan sebagian disediakan dalam kondisi hangat saat dipesan. Ditambah dengan pelayanannya yang ramah, hotel ini bisa jadi pilihan untuk menginap sekeluarga dengan lokasi di pusat kota.

3. Eastparck Hotel Jogja

Ini hotel bintang lima yang banyak direkomendasikan untuk keluarga berkat area bermain anaknya yang luas dan lengkap. Semua wahana merupakan bagian dari fasilitas yang bisa dinikmati oleh semua tamu. Lokasinya juga cukup dekat dengan pusat keramaian yakni di Jl. Adi Sucipto, Seturan, Depok, Yogyakarta atau sekitar 5km dari Keraton Yogya.

Kamar yang disediakan juga luas, mulai dari 40m2 untuk tipe Deluxe, 60m2 untuk Junior Suite, 80m2 untuk Executive Suite, dan 100m2 untuk Presidential Suite. Semuanya ditawarkan dengan balkon yang juga dilengkapi meja dan kursi. Layaknya hotel bintang lima, fasilitas kamar tentu sangat lengkap seperti sofa, AC, wifi, TV, kulkas, hair dryer, bahkan jubah mandi. Bedana untuk jenis suite, sudah dilengkapi dengan bathub dan sofa berlengan dan sandaran.

fasilitas bermain anak yang menjadi keistimewaan hotel ini adalah adanya kolam renang yang dilengkapi dengan superslider atau persotoan raksasa yang menambah sensa menyenangkan saat bermain air. Ada pula arena bermain air tambahan bagi anak-anak lengkap dengan tantangan masing-masing, serta arena berjalan yang luas dan asri. Bahkan jika hanya berjalan, sudah cukup untuk relaksasi. Area playgroundnya sangat luas, ada di dalam dan luar ruangan. Permainannya banyak. Beberapa arena juga disediakan khusus untuk yang menginap dengan paket staycation, seperti area bermain pasir, arena outbond dan adventure. Kalau menginap di sini dengan anak, rasanya tidak perlu bermain ke luar lagi, karena sudah disediakan lengkap di dalam hotelnya.


Salam, Nasha


Mungkin sudah akrab di telinga kita, kata-kata seperti sumbangan, amal, infak, sedekah, donasi, hingga wakaf ataupun hibah. Semuanya sama, tentang aktifitas berbagi yang kita lakukan. Intensitas kita berbagi ini, ternyata sudah diakui dunia dengan predikat sebagai negara paling dermawan selama enam tahun berturut sejak 2018. Penilaian yang dilakukan oleh Charities Aid Foundation itu memiliki beberapak indikator seperti pertolongan pada orang tak dikenal, donatur sumbangan, serta partisipasi dalam kegiatan sukarela. Meski tidak meraih skor tertinggi pada masing-masing kriteria, tapi rata-rata keseluruhan nilai yang tinggi membuat Indonesia menempati peringkat pertama dalam World Giving Index 2023 tersebut.


Negara Paling Dermawan

Beberapa waktu lalu, Charities Aid Foundation merilis data World Giving Index 2023 dengan menobatkan Indonesia pada peringkat pertama. Ini artinya Indonesia diakui sebagai negara paling dermawan di dunia, dengan skor indeks 68, enam poin lebih unggul dibanding Ukraina dengan 62 poin, dan delapan poin lebih unggul dibanding Kenya dengan 60 poin. Negara lainnya adalah Liberia, Amerika Serikat, Myanmar, Kuwait, Kanada, Nigeria, dan Selandia Baru. Tahun ini, Ukraina cukup mendapat sorotan karena berhasil naik dari peringkat sepuluh di tahun sebelumnya, dan meningkatkan skor terbanyak di tahun ini. Negara lain yang juga mendapat sorotan adalah Inggris, dengan skor cukup tinggi pada sumbangan uang, namun mendapat skor yang rendah pada bantuan untuk orang asing dan kerelawanan. 

Dalam penilaian tersebut, ada tiga indikator yang dinilai dengan raihan poin tinggi dari Indonesia. Pertama, ada memberikan sumbangan pada orang lain dengan 56 poin, berada dibawah Jamaika. Kedua, indikator menyumbangkan uang dengan perolehan tertinggi oleh Myanmar dan disusul Indonesia dengan 78 poin. Hingga terakhir adalah orang-orang yang menjadi sukarelawan, dengan persentase tertinggi adalah Liberia, baru Indonesia dengan 53 poin. Meskipun bukan peraih skor tertinggi di masing-masing kategori dibanding 144 negara lainnya, namun skor rata-rata yang didapatkan Indonesia mengungguli negara-negara lainnya.

Berkat kemurahan hati kita semua berbagi pada orang lain, setidaknya ada 4,2 miliar orang yang membantu orang yang tidak mereka kenal, bersedia menyumbangkan waktu ataupun uang untuk tujuan yang baik. Dari survey itu didapati, bahwa orang-orang yang mudah berbagi cenderung merupakan mereka yang memiliki keyakinan tinggi pada agamanya serta mereka yang menilai hidupnya sendiri secara positifatau yang puas terhadap hidup yang mereka jalani. Fakta lainnya adalah para imigran (atau bisa dibilang kelompok minoritas) didapati elbih mudah berbagi daripada warga pribumi khususnya di wilayah Eropa, Timur Tengah, juga Afrika Utara.

Meskipun di negeri kita sendiri, ada saja kejadian mencelakai filantropi di Indonesia, seperti kasus korupsi yang masih tinggi ataupun skandal penyelewengan dana ACT yang terjadi tahun lalu, ditambah dengan masa pasca pandemi dimana perekonomian kita baru saja pulih. Namun nyatanya, aksi kemanusiaan yang kita lakukan tetap masih membara. Mungkin ini sesuai dengan penutup dari pejabat CAF bahwa kemurahan hati adalah bawaan dari perilaku manusia dan yang mengikat kita secara global. 


Bagaimana Baiknya Peduli dan Berbagi 


Bisa dikatakan, bahwa ada dua faktor utama yang menggerakan kita dalam tindakan mudah berbagi ini. Pertama karena keyakinan agama yang masing-masing kita anut. Berderma dan berbuat baik pada orang lain merupakan ajaran ditiap agama. Bahkan, zakat menjadi penggerak paling kuat dalam kegiatan filantropi di Indonesia. Ajaran agama lain dan bentuk derma yang lain juga mengisyaratkan hal yang sama, untuk saling peduli dan ringan tangan membantu yang membutuhkan. 

Kedua, budaya gotong royong. Kentalnya rasa kolektivitas yang kita miliki sebagai bagian dari adat ketimuran dibanding individualis membuat kita mempedulikan kehidupan orang lain dan membantu mereka yang kesulitan. Salah satu buktinya adalah saat masa pandemi. Kesulitan yang kita alami dan kemerosotan ekonomi, nyatanya tidak menghalangi kita untuk berbagi. Malah pada tahun 2021 tersebut, tercatat sebagai tahun terbanyak untuk bantuan pada orang asing. Mereka yang terdampak pandemi pun tetap berbagi, hanya dalam jumlah dan bentuk yang berbeda dibanding masa normal. Kesulitan nampaknya telah meningkatkan rasa solidaritas kita sebagai satu kelompok manusia. 

Salah satu bentuk kebudayaan yang menarik dari peduli dan berbagi ini adalah tradisi rewang yang melekat pada masyarakat jawa. Rewang sendiri berarti membantu atau bisa juga merujuk pada orang yang membantu. Istilah rewang ini biasanya digunakan dalam keadaan membantu kerabat, biasanya tetangga, yang mengadakan hajatan atau acara besar. Mereka akan bersama-sama beberes rumah, memasak, dan menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan. Seluruh keluarga akan turut andil tanpa upah, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, juga muda-mudi di sekitar lokasi acara. Intinya, acara satu rumah tapi yang ikut 'repot' bisa satu kampung. 

Selama rewangan, mereka akan bekerja sama sembari bertukar cerita. Interaksi sosial ini juga merupakan ajang silaturahmi yang akan meningkatkan hubungan kekerabatan. Sehingga tidak heran, jika mereka sangat siap siaga dan ringan tangan membantu siapa saja. Ini sudah menjadi kebiasaan. Tindakan menolong dalam bentuk waktu dan tenaga seperti ini ternyata punya manfaat dan dampak yang lebih besar dari sekedar meringankan beban kenalan. Asalkan kita benar mengingat, tujuannya untuk membantu pekerjaan, bukan malah tambah merepotkan, atau malah membicarakan orang lain (yang mengubah pekerjaan manfaat menjadi mudharat).

Sayangnya, seiring dengan kemajuan peradaban, tradisi ini hanya bisa kita temui di perkampungan. Di kota, orang sudah menyerahkan pengerjaan perhelatan pada organisas profesional, atau jika tidak, cenderung hanya menyumbang uang. Bukan waktu dan tenaga seperti yang biasa dilakukan. Bagaimanapun, ini bisa dimaklumi, tapi juga baiknya tidak dihilangkan mengingat manfaatnya dalam menjalin silaturahmi dan membentuk sifat kita. Sesuaikan saja dengan keadaan masing-masing kita. 

Baik itu karena keyakinan agama ataupun tradisi yang sudah melekat, berbagi merupakan kebiasaan baik yang patut kita langgengkan. Saling membantu, bekerja sama, serta meringankan beban sesama manusia. Dari sini, ada beberapa hal yang bisa kita jadikan catatan dalam kebiasan berbagi sebagai bentuk kepedulian kita tersebut, antara lain:

  • Berbagi itu bukan hanya uang, tapi juga waktu dan tenaga. Malah, sekarang waktu dan tenaga itu yang biasanya lebih berharga, sehingga kita juga perlu mengapresiasi saat orang mau menysisihkan waktu dan tenaganya untuk kita.
  • Berbagi semakin mudah dilakukan dengan digitalisasi, bisa jadi opsi untuk orang dengan tingkat mobilisasi tinggi. Meskipun seringnya mengurangi perasaan puas karena tidak terlibat langsung dalam membantu orang lain
  • Sumbangan juga perlu didata, apalagi dalam bentuk bantuan produktif yang tujuannya jangka panjang, sehingga lembaga-lembaga amal perlu juga didukung.
  • Karena bantuan bukan hanya uang, tapi juga bentuk kerelawanan, kita juga perlu menuntut pemerintah untuk memberi perlindungan dan regulasi yang jelas pada para relawan.
  • Dalam ajaran Islam, semua bisa jadi sedekah asal niat tulus karena Allah. Senyum adalah bentuk sedekah. Memberi hadiah pada keluarga yang mampu juga adalah bentuk sedekah. 
  • Sedekah memiliki banyak fungsi, seperti untuk membantu, untuk meringankan beban, untuk berbagi kebahagiaan, juga sebagai penyambung silaturahmi.
  • Sedekah juga ada batasan yang baiknya kita ingat, agar memberi yang sesuai dengan kebutuhan penerimanya agar tidak mubazir. Begitu juga sebaliknya, jangan menerima jika dirasa tidak akan berguna, serta normalkan penolakan, dengan cara-cara yang baik.


Mudah-mudahan dengan berbagi bisa membuat kita semakin menyadari ada banyak hal yang bisa kita beri. Ada lebih banyak hal lagi yang kita miliki. Dengan semangat berbagi, semoga menjadi latihan untuk kita untuk bisa ikhlas (baik memberi ataupun menerima) dan selalu bersyukur. 



Salam, Nasha

Pernah tidak bertanya-tanya kenapa canggung sekali rasanya bilang aku mencintaimu, padahal maknanya sama dengan i love you? Untuk kita yang bahasa sehari-harinya adalah Bahasa Indonesia atau bahasa daerah, harusnya bilang cinta atau sayang adalah hal yang mudah ketimbang berbahasa asing, love. Tapi kenyataannya, kita memilih menyampaikan dengan I Love You, kadang juga disingkat dengan ILY. Bagi sebagaian orang, itupun juga sudah cukup asing. Mengungkapkan sayang atau perasaan masih menggelikan bagi sebagian kita yang dibesarkan dalam Kebudayaan Asia atau dikenal Asian Parent.

Kecenderungan Asian Parent

Istilah Asian Parent sebenarnya lebih sering disebut oleh Orang 'Barat,' mereka yang tinggal dalam kebudayaan Amerika serta Eropa. Ungkapan itu mengacu pada pola asuh masyarakat Asia, dibelahan bumi bagian timur mencakup Asia Timur, Asia Selatan, juga Asia Tenggara, yang jauh berbeda dan kadang sulit dimengerti oleh orang barat. Salah satunya adalah ketidak biasaan kita untuk mengungkapkan kasih sayang. Bahkan tidak sedikit anak yang hingga dewasa belum pernah mendengar ibu apalagi ayah mengucapkan sayang pada mereka. Ini bukan berarti orang tua Asia tiak menyayangi anaknya, namun cara mengungkapkannya yang memang berbeda.

Anak-anak Asia dididik dengan cara yang sama selama bergenerasi. Mulai dari kondisi yang cukup terbatas. Peradaban kita yang dimulai belakangan membuat kita harus berlari mengejar ketertinggalan. Salah satu pendapat menyebutkan muasal dari pola ini adalah masyarakat Cina Kuno yang memegang teguh prinsip kerja keras, bertahan dalam kesukaran, serta menempuh pendidikan untuk memperbaiki hidup. Dari sinilah, para orang tua menekan anaknya harus rajin, belajar dengan keras agar bisa unggul dalam akademik, dan memiliki disiplin diri yang tinggi. Mendidik dengan keras dianggap sebagai cara yang harus ditempuh agar anak bisa tumbuh sukses dan memiliki hidup yang lebih baik. Karena yang dikejar adalah keunggulan, maka tidak heran bahwa pola asuh asia juga tentang kompetisi menjadi yang terbaik, mengejar kesempurnaan, dan berakibat pada orang tua yang tidak pernah puas pada prestasi anak.  

Dari pola asuh demikian, lahirlah istilah tiger mom, mengacu pada ibu-ibu asia yang umumnya mengasuh dan mendidik anaknya dengan tegas, kontrol penuh pada orang tua, dan berkuasa atas hidup anak, dengan dalil anak harus patuh.  Orang tua seperti ini membahasakan cinta dengan merencakan serinci mungkun hidup anak, menuntut anak agar berprestasi, dan menjadi yang paling tahu yang terbaik untuk anak. Jika mundur, dan melihat lebih luas, hal ini bisa jadi disebabkan oleh orang tua sendiri yang sudah tertekan dengan standar sosial kesuksesan dari lingkungan. Akhirnya orang tua juga menekan anak, melakukan segala upaya agar anak bisa memenuhi tuntutan, yang tidak tahu memang sesuai dengan anak atau tidak. Paling penting, anak terlihat berprestasi, lebih unggul, bisa dibanggakan. Apa yang ada di kepala orang tua akan berputar di indikator kesuksesan itu, sehingga seringkali komunikasi orang tua pada anak hanya berupa instruksi dan kalimat-kalimat lecutan agar anak bekerja keras. Wajar, jika kalimat sayang menjadi kalimat yang jarang kita dengarkan. 

Orang tua asia memang cenderung kaku, karena mereka pun dibesarkan tanpa memiliki ruang untuk berpendapat. Mereka juga adalah anak-anak yang tumbuh dengan keharusan mematuhi orang tuanya, lalu menurunkannya pada kita, dan besar kemungkinan juga kita turunkan pada anak-anak kita ini. Berbagai pendapat mencirikan orang tua asia sebagai orang tua otoriter, yang dominan, memiliki kuasa, dan harus dipatuhi oleh anak. Anak dididik menjadi pribadi yang memegang teguh prinsip keluarga dan menjalani standar tertentu yang telah ditetapkan untuk mereka. Ini dasar yang menjadi pembeda kita dengan pengasuhan barat, dimana anak dididik untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab pada hidup sendiri, sehingga anak diberi keleluasaan berpendapat dan menentukan apa yang ia inginkan. Hal ini juga mendorong mereka untuk lebih bisa mengekspresikan perasaan, termasuk mengungkapkan sayang.   

Sebagai anak asia, kita tahu bahwa apa yang dikatakan berbagai pendapat tentang orang tua asia tergolong cukup akurat. Pengasuhan yang seperti itulah yang membentuk bagaimana kita sekarang, baik dengan meraih kesuksesan ataupun terbiasa bekerja keras. Hanya saja ada beberapa catatan yang perlu kita perbaiki dari pola asuh turun termurun tersebut. Karena tidak terbiasa memilih, banyak anak yang tumbuh selalu ragu-ragu dan banyak pertimbangan hingga dewasa. Bahkan untuk urusan sepele, tetap meminta pendapat orang lain. Mereka cenderung diam menunggu instruksi, takut salah, tidak ingin mencoba, dan sulit untuk berkreasi. Memaksakan kehendak orang tua pada anak, selain membuat anak kehilangan suara untuk hidupnya sendiri juga beresiko tinggi membuat anak menjadi pembangkang nantinya. 


Dampak-dampak buruk tersebut bisa kita mitigasi jika kita bersedia menerima dan mengakui akar permasalahannya. Berusaha memperbaiki dan memiliki kesadaran penuh, anak seperti apa yang akan kita bentuk dengan pola seperti apa. 

Kebaikan yang Bisa Kita Teruskan

Melihat kecenderungan pengasuhan asia ini bukan untuk membandingkan apalagi merendahkan, namun kita perlu menyadari bahwa orang tua memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Kebiasaan dan budaya yang ada di sekitar mereka, akan menjadikan siapa anak ini nantinya. Mengambil hal-hal baik yang nilainya sesuai dengan prinsip kita, lalu dengan sadar menerapkannya pada anak. Serta menghindari apa-apa yang dulu pernah kita terima namun ternyata tidak kita suka. Bawa memori tersebut dari alam bawah sadar ke alam sadar, agar bisa dengan sadar kita menyaring mana yang ingin diteruskan pada anak dan mana yang tidak.

Kita tidak bisa menyalahkan, karena pola asuh seperti itu mungkin memang perlu dilakukan karena keadaan, atau karena ketidak tahuan tentang bentuk pola asuh yang lebih tepat. Sekarang, dengan mudahnya informasi yang kita dapat dan semakin tingginya kesadaran orang tentang banyak hal penting yang perlu dilihat selain tampak sukses secara materiil, kita bisa memilah dan menentukan apa prioritasnya ditiap perkembangan anak.

  • Aturan yang Harus Ditaati

Tidak semua aturan bisa diberlakukan fleksibilitas, ada aturan yang emmang ada untuk ditaati, karena kita hidup sebagai makhluk Tuhan yang berhubungan dengan makhluk lainnya. Namun, sesuaikan aturan ini dengan usia anak dan buat sesederhana mungkin. Ini mencakup ajaran agama, adab-adab, hingga sopan santun. Masing-masingnya disesuaikan dengan keyakinan dan nilai keluarga. Seperti ajaran untuk sholat wajib, adab makan duduk dengan tangan kanan, sopan santun saat bertemu dengan orang lain, dsb. 

Sebagai catatan, anak dibawah tujuh tahun, rata-rata masih belum mengenal makna kewajiban, maka jangan berlakukan keharusan pada mereka, tapi selalu ingatkan, selalu beri konsekuensi yang sesuai, sehingga perlahan mereka juga paham ada aturan yang harus dipatuhi. Kita memang tidak bisa hidup seenaknya. 

  • Pilihan yang Terbatas

Mungkin memilih adalah satu hal langka yang kita terima dalam pola asuh asia. Seringnya justru mendapat kalimat, kamu harus patuh, anak kecil tidak tahu apa-apa, ayah dan ibu tahu yang terbaik untukmu. Ditambah lagi, setiap melakukan kesalahan, ada kata, makanya.., sudah dikasih tau kan.. Akhirnya kita tumbuh dengan sedikit keberanian, keengganan memilih dan menanggung resiko. Padahal, decision making skill termasuk dalam kemampuan yang penting dalam kehidupan. Kenyataan setelah dewasa, kita menyadari bahwa kita perlu berlatih terus untuk bisa memilih secara mandiri, dan menganggap kesalahan adalah hal biasa yang tinggal dijalani saja konsekuensinya. Namun seiring dengan itu, kita juga sadar bahwa bebeas memilih bukan berarti semua pilihan bisa diberlakukan. Pilihan kita terbatas.

Termasuk penerapan pada anak. Hal yang bagus untuk memberikan anak kebebasan memilih, dan bebas berpendapat. Namun, tidak semua pilihan anak perlu diwujudkan. Ada kalanya anak perlu menerima apa yang ada, meski tidak sesuai dengan pilihan dan keinginannya. Untuk makan misalkan, bagus jika anak punya kebebasan untuk menentukan apa yang ia ingin makan agar pengalaman makannya menjadi menyenangkan, namun ada kalanya anak juga perlu mengikuti pilihan orang lain. Anak juga perlu belajar mensyukuri apa yang sudah tersedia dan menikmatinya. 

  • Latih Kemandirian

Melatih anak disiplin dan bekerja keras adalah ajaran yang baik, tapi ada ajaran lain yang bisa kita tambahkan yaitu kemandirian. Mulai dari mengambil keputusan, hingga menanggung resikonya. Mungkin sebagai orang tua, ada perasaan tak tega, lalu mengambil alih tugas anak untuk membereskan masalah yang ia buat, tapi kita harus belajar menahan diri dan memberikan anak ruang untuk bertumbuh.

Beri mereka kebebasan memilih bidang yang mereka sukai, ajarkan tentang kerja keras dan disiplin dalam melaksanakannya, dan beri mereka ruang untuk melakukan kesalahan lalu bertumbuh setelahnya. Anak tidak perlu berprestasi sesuai dengan keinginan kita, mereka tidak punya kewajiban mewujudkan mimpi orang tua. Pada anak yang lebih kecil, beri mereka pilihan bidang yang mereka minati, fasilitasi sesuai kemampuan, lalu ajak anak untuk bergabung dalam kelompok dan berkompetisi. Jangan paksa anak untuk menang, tapi tuntut mereka untuk disiplin bekerja keras. Berkompetisi dengan adil, kalah menang dampingi mereka dengan dukungan dan kasih sayang.

  • Mengungkapkan Perasaan

Saking tidak punyanya suara, tidak jarang kita tidak mengerti dengan apa yang kita rasakan. Kita hanya diam mendapat perlakuan, yang kadang tidak megenakkan, dari orang yang lebih berkuasa. Dalilnya selalu kewajiban dan ancaman. Lihat saja kasus-kasus kekerasan, apalagi pada anak. Ketidakbiasaan mengungkapkan menjadi salah satu faktor anak asing dengan dirinya sendiri, merasa tidak nyaman pun jadinya tidak bisa melawan karena harus patuh. 

Sejak dini, beri anak ruang untuk mengekspresikan dirinya. Ajarkan anak tentang batasan pribadi dan siapa saja yang boleh mengakses. Beri anak ruang untuk menyampaikan apa yang ia rasakan, kenalkan dengan berbagai emosi serta cara tepat menerimanya. Jika senang, ungkapkan. Jika kesal, katakan. Jika tidak suka, sampaikan. Apa yang diinginkan dan tidak diinginkan. Aku merasa kesal kalau kamu begitu. Aku tidak suka diperlakukan seperti ini. Aku sedih dan kasihan melihatnya. Termasuk membiasakan ungkapan sayang, ibu ayah sayang kakak, sayang adik.

 


Seiring berjalannya waktu, saya menyadari seperinya kenapa begitu sulit mengatakan aku mencintaimu, aku sayang kamu, dibandingkan i love you. Kemungkinan besar karena kita jarang atau tidak pernah mendengarnya. Ungkapan cinta i love you sering kita dengar dari layar kaca atau percakapan orang asing. Sedangkan cinta, jarang kita dengan dalam percakapan kita sehari-hari, dengan keluarga ataupun teman. Cukup menggelikan tidak membayangknnya? Enggan ya rasanya karena begitu asing. 

Selain mulai memilah antara mana prinsip yang bisa kita teruskan dari pola asuh asia, kita juga bisa mulai berani dan membiasakan ungkapan sayang. Pada pasangan, anak, orang tua, keluarga, teman. Terlambat rasanya tapi tidak apa, setidaknya melakukan hal yang benar. Lalu, sadari bahwa tuntutan sukses pada pola asuh asia, pada satu sisi mungkin bisa membuat kita sampai pada titik yang diidamkan banyak orang, tapi ada banyak hal yang terlupa karenanya. Hidup bukan semata untuk meraih kesuksesan itu. Tidak semua orang pula ingin berada disana. Maka, kita bisa perlahan mengajarkan hal-hal yang lebih fundamental pada anak, tentang berbuat baik, jujur, menghargai proses daripada hasil, berbagi manfaat, memanfaatkan waktu dengan sebaiknya, berkasih sayang, melestarikan alam, bertanggung jawab, peduli, dsb. 


Salam, Nasha

Cukup akrab dengan pemandangan sekelompok orang yang duduk bersama tapi sibuk masing-masing? Atau pernah merasa diabaikan oleh seseorang karena ia lebih memilih untuk menatap layar daripada wajah kita? Fenomena ini disebut sebagai phubbing, singkatan dari phone snubbing. Istilah yang muncul di era digital seiring dengan semakin maraknya kita, dengan atau tanpa sadar, melakukannya. Meskipun kita semakin terbiasa menyaksikan kondisi ini, tidak serta merta phubbing menjadi hal benar untuk dilakukan. Apalagi dengan anak-anak dalam jangkauan. Terlihat sepele namun kebiasaan ini bisa berdampak pada pembentukan kepribadian hingga kehidupan sosial kita dan anak di masa datang. 


Mengenal Phubbing

Mungkin istilah phubbing masih asing di telinga kita, namun kondisinya bukanlah hal yang asing. Tidak sulit menemukan sekelompok orang yang duduk satu meja namun asyik dengan gawai masing-masing, atau seseorang yang meminta perhatian karena tidak diacuhkan saat berbicara. Secara bahasa, phubbing merupakan singkatan dari phone yang mengacu pada telepon genggam dan snubbing yang artinya menghina. Istilah ini sendiri pertama kali muncul pada 2012 lalu dari Australia seiring dengan perkembangan era digital dan meningkatnya penggunaan smart phone.

Keasyikan pada canggihnya gadget membuat banyak orang mengabaikan teman ataupun keluarga yang berada di depannya. Perilaku ini tentu saja dianggap sebagai perilaku tidak sopan, kasar, dan menyinggung. Apalagi kebanyakan yang melakukan adalah gen-Z, pemegang gawai termuda dibandingkan gen-Y dan gen-X. Usia berkorelasi negatif dengan perilaku phubbing, artinya seseorang dengan usia yang lebih muda justru lebih tinggi terlibat dalam perilaku phubbing dibandingkan seseorang di usia yang lebih tua. 

Ada beberapa ciri seseorang dapat dikategorikan melakukan phubbing, antara lain adalah:

- Meletakkan handphone selalu dalam jangkauan, meskipun saat sedang bersama dengan orang lain.
- Tidak fokus dalam percakapan karena perhatian terbagi pada ponsel, kadang berlagak mendengarkan padahal tidak, kadang ikut berbicara namun dengan perhatian yang tidak penuh atau terlaihkan.
- Mengabaikan percakapan yang sedang berlangsung, menyinggung bahkan menyakiti orang lain karena tidak menghargai 

 


Mungkin kita sendiri pernah melakukannya, karena dalam studi dari Healthline, sekitar 17% orang melakukan phubbing rata-rata empat kali sehari, dengan 32% orang menjadi korban phubbing setidaknya 2-3 kali sehari. Ini data harian yang cukup memprihatinkan, apalagi jika dilihat efek-efek negatif dari phubbing ini seperti:

- Menurunkan kualitas hubungan

Jenis hubungan apapun akan rusak tanpa orang yang saling memperhatikan dan hadir utuh didalamnya. Interaksi yang harusnya menjadi momen berkualitas, akan hambar dengan mata yang tidak benar-benar menatap dan telinga yang tidak sungguh-sungguh menyimak. Teralihkannya perhatian juga bisa memperbesar kemungkinan salah paham. Hubungan yang seperti itu jelas menjadi tidak lagi berkualitas, dan bukannya menyehatkan namun juga memperburuk keadaan. 

- Mengganggu kesehatan mental 

Seseorang dapat merasa terkucilkan atau tidak dihargai hanya karena benda asing di tangan lawan bicaranya. Ini menyalahi empat kebutuhan dasar manusia secara sosial yaitu rasa memiliki, harga diri, keberadaan yang berarti, dan pengendalian. Sehingga, ia bisa merasa frustasi bahkan depresi. Ketidakpuasan pada hubungan tersebut bisa mendorong seorang korban menjadi pelaku phubbing, sehingga ini menjadi lingkaran yang sama sekali tidak sehat dalam interaksi sosial. 

Dengan semakin tingginya penggunaan smartphone, diprediksi perilaku phubbing akan semakin meluas dan bertambah parah. Perilaku yang dapat dilakukan oleh siapa saja ini, khususnya oleh digital native, terlepas dari mereka memiliki peran sebagai orang tua atau tidak. Kondisi ini membuat anak-anak yang harusnya mendapat perhatian penuh menjadi harus berusaha lebih keras, dengan cara-cara yang mereka tahu, agar perhatian orang tuanya beralih dari kotak pintar di tangan ke wajah mungil mereka. 


Phubbing pada Anak


Bisa bayangkan, bagaimana anak-anak kita menjalani kehidupan mereka kelak sebagai generasi yang terlahir dalam era yang hampir sepenuhnya digital. Mereka kenal gawai bahkan sebelum mereka mengenal sendok garpu. Banyak anak yang belajar berbicara melalui video yang mereka tonton, meniru dari tingkah tokoh-tokoh fiksi yang ada di hadapan mereka, serta mendengar lebih banyak suara digital dari kotak canggih di dinding rumah. Melihat apa yang terjadi belakangan, dikhawatirkan perilaku phubbing menjadi sesuatu yang lumrah di generasi mendatang. Lalu jenis hubungan seperti apa yang mereka miliki jika tidak bisa saling terkoneksi secara nyata? Bentuk kehidupan mereka jika kebutuhan dasar sosial mereka sja sudah sulit terpenuhi sejak dini?

Baca Juga: Tips Mengurangi/ Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Ini memang berkaitan erat dengan pembatasan penggunaan gadget pada anak, tapi harus ada pemahaman bahwa membatasi gadget bukan semata durasi tapi lebih pada membatasi perilaku yang tidak tepat. Apa lagi cara lebih jitu mengajakan anak kalau bukan melalui teladan? Maka, beberapa catatan yang perlu kita ingat saat membersamai anak, terkait perilaku phubbing ini adalah:

  • Anak sebagai Peniru Ulung

Dengan berlandaskan pada studi bahwa siklus phubbing ini seperti lingkaran dimana korban kemungkinan besar akan menjadi pelaku, serta pada fakta bahwa anak adalah peniru ulung, maka hal pertama yang perlu kita hindari adalah melakukan phubbing kepada anak. Jangan sampai kita menjawab pertanyaan anak dengan perhatian yang terlaihkan pada ponsel. Jika ada keperluan, katakan terlebih dahulu. Hanya butuh lima detik untuk menatap matanya dan berkata, "tunggu sebentar ya, ibu sedang bekerja." Lalu, selesaikan dalam maksimal lima menit, karena rentang kesabaran anak masih tipis. Jika anak sudah lebih besar, maka minta ia menunggu hingga waktu yang ditentukan. Pesan singkat bisa dibalas nanti, scrolling media sosial bisa saja tidak dilakukan. Anak-anak akan segera bertumbuh besar, dan kita tidak lagi dibutuhkan. 

  • Ajari Anak tentang Adab Berinteraksi

Pada dasarnya anak itu banyak tidak tahunya, dan kita sebagai orang tualah yang berkewajiban memberi tahu, mendidik, mengajarkan hal yang benar dan baik, termasuk adab berinteraksi. Dalam setiap kebudayaan, ada sopan santun pada setiap jenjang lawan bicara, seperti kromo inggil dalam bahasa Jawa dan kato nan ampek dalam bahasa Minang. Meskipun belum bisa bahasa daerahnya, ajarkan anak untuk bisa menghormati dan menghargai lawan bicara dengan porsi yang sesuai. Memberi perhatian penuh, menatap lawan bicara, tidak menjawab dengan menyambi, bisa juga dengan aturan tidak ada handphone di meja makan, atau saat berkumpul bersama. 

  • Berlakukan Waktu dan Tempat Bebas Gadget

Banyak ahli menganjurkan waktu berkualitas keluarga dengan memberlakukan family time yang dihabiskan bersama tanpa gadget, bisa diisi dengan bermain atau sekedar bercengkerama. Misalkan sabtu pagi dimana semua anggota keluarga bebas dari rutinitas dan lebih santai sehingga bisa memberi perhatian pada rumah, pekerjaan rumah atau orang di dalam rumah. Sedangkan untuk tempat, bisa jadikan area makan ataupun tidur sebagai area bebas gadget. Kebiasaan ini dapat membangun kesadaan seluruh keluarga mengenai batasan dalam menggunakan gawai. 

Penulis Andy Crouch bahkan merekomendasikan waktu khusus no screen time untuk seluruh keluarga, yakni satu jam dalam satu hari, satu hari dalm satu minggu, dan satu minggu dalam satu tahun.  Di waktu-waktu itu, hanya nikmati apapun yang ada tanpa terhubung dengan dunia digital. Awalnya memang berat, namun lama-kelamaan kita akan bisa menyesuaikan, lalu mendapatkan manfaatnya.

  • Terus Sounding dan Tegur dengan Tegas

Tidak ada yang instant dalam mengajarkan anak. Terus sampaikan kenapa kita perlu berlaku sopan, kenapa mengabaikan orang lain itu tidak diperbolehkan, kenapa saat berbicara harus fokus memperhatikan lawan bicara. Beri anak pengandaian, bagaimana rasanya jika kamu yang diabaikan. Tegur jika anak melakukannya, jangan maklumi perilaku yang tidak tepat dari anak, karena kunci mendidik anak adalah konsistensi. Terapkan aturan sederhana lalu konsisten menegakkannya. Pada usia tertentu, saat anak sudah paham konsekuensi, berlakukan juga konsekuensi sesuai perkembangan mereka. 

Baca Juga: Gagdet Buat Anak Boleh, Begini Caranya Supaya Jadi Screen Time yang Ramah Anak

Bagaimanapun, kita adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan orang lain. Hubungan bisa terjalin dengan adanya saling menghargai dalam bentuk nyata. Perkembangan teknologi tidak mengubah apa yang memang membentuk kita sejak dahulu kala. Kita bisa memanfaatkan dengan bijak, pegang kendali jangan sampi dikendalikan teknologi.



Salam, Nasha

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Kenalan Dulu, yuk!

Hai, aku Nasha! Aku diberkahi dengan dua guru hebat dan akan seterusnya belajar. Sedang giat tentang gracefully adulting, mindfull parenting, dan sustainable living. Kadang review tontonan, buku, dan produk yang baik juga. Semoga berguna!
PS, untuk info kerja sama, bisa email aja ya! ;)

Follow @salamnasha

POPULAR POSTS

  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Hubungi Aku di sini

Nama

Email *

Pesan *

Advertisement

Label

family REVIEW lifestyle rekomendasi BUMI lingkungan parenting kesehatan mental kesehatan netflix marriage adulting rekomendasi buku

Daftar Tulisan

  • ▼  2025 (26)
    • ▼  Agustus 2025 (1)
      • 80 Tahun Indonesia, Inilah yang Tampak di Mata War...
    • ►  Juni 2025 (1)
    • ►  Mei 2025 (5)
    • ►  April 2025 (5)
    • ►  Maret 2025 (4)
    • ►  Februari 2025 (5)
    • ►  Januari 2025 (5)
  • ►  2024 (41)
    • ►  Oktober 2024 (4)
    • ►  September 2024 (8)
    • ►  Agustus 2024 (5)
    • ►  Juli 2024 (5)
    • ►  Mei 2024 (5)
    • ►  April 2024 (3)
    • ►  Maret 2024 (5)
    • ►  Februari 2024 (3)
    • ►  Januari 2024 (3)
  • ►  2023 (117)
    • ►  Desember 2023 (10)
    • ►  November 2023 (10)
    • ►  Oktober 2023 (10)
    • ►  September 2023 (10)
    • ►  Agustus 2023 (10)
    • ►  Juli 2023 (10)
    • ►  Juni 2023 (11)
    • ►  Mei 2023 (12)
    • ►  April 2023 (8)
    • ►  Maret 2023 (10)
    • ►  Februari 2023 (8)
    • ►  Januari 2023 (8)
  • ►  2022 (31)
    • ►  Desember 2022 (6)
    • ►  November 2022 (3)
    • ►  Oktober 2022 (4)
    • ►  September 2022 (3)
    • ►  Agustus 2022 (1)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (3)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (3)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Oktober 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (1)
    • ►  Juni 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (2)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (6)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (4)

BloggerHub Indonesia

Tulisanku Lainnya

Kompasiana Kumparan

Popular Posts

  • Review Popok Perekat (Taped Diapers) Premium: Mamy Poko, Fitti, Sweety, Merries
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Trending Articles

  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Copyright © SALAM, NASHA. Designed by OddThemes