Memperingati Anniversary, Surat Terbuka untuk Suami

Sesungguhnya aku tidak tau darimana cerita ini harus aku mulai, dari teriknya siang di pelabuhankah, atau dari derasnya hujan di jalanan kota, atau dari pesan singkat yang mengawali ribuan percakapan lainnya? Aku memulai ini karena ini mengajak serta diriku (dan kamu) untuk menapaki sedikit jalanan yang pernah kita lewati, sudah sejauh mana dan akan sampai di mana. Untuk menerima sepenuhnyay apa yang menjadi milik kita dan melepaskan yang ternyata hanya bisa hidup dalam angan. Untuk mengingat luka tanpa merasa apa-apa, dan mengenang gembira dengan penuh rasa syukur kepada Pemilik Semesta.


Bertemu denganmu, tidak ada orang yang kutemui seyakin kamu pada dirimu sendiri. Berjalan dengan penuh percaya diri, sesuatu yang aku sedikit miliki. Ntah mereka menyebutnya apa, terlalu jauh kalau kusebut cinta, tapi mungkin aku bisa mengistilahkannya dengan pesona. Hal yang kamu miliki saat jumpa kita yang pertama. Bahkan aku masih mengingat dengan jelas bagaimana pesona yang kamu punya mampu menggugah sesuatu dalam diriku. Namun, saat itu aku tidak punya keinginan dan keberanian untuk menggubrisnya, masih terlalu jauh, dan bukan bagian dari rencana. Lagipula pikiranku sudah dipenuhi dengan hal-hal lainnya. Mana bisa aku tiba-tiba memasukkan kamu begitu saja?

Dari pertemuan pertama ke pesan pertama, semua yang seperti sesuai rencana. Iya, Tuhan yang punya rencana. Aku, lagi-lagi menampik apapun yang muncul di dalam diriku, aku hanya menjalani dalam batas kesopanan dan melakukan hal-hal yang perlu aku lakukan dalam batas wajar. Mengalir begitu apa adanya, tanpa paksaan, hebatnya juga tanpa halangan. Memang, rencana Tuhan penuh dengan kejutan.


Kamu tau kan, kalau kehadiranmu begitu mengejutkan bagi mereka yang ada di sekitarku? Dari keluarga hingga rekan kerja; tidak satupun dari mereka yang menyangka. Ada yang serta merta ikut gembira, ada juga yang heran mempertanyakan. Apapun responnya aku terima, karena itu bentuk kepedulian mereka. Mereka yang lebih dulu mengenalku, mereka yang sedikit banyak juga membentuk siapa aku. Kalau aku pikir-pikir sekarang, aku juga heran, kok aku bisa begitu ya, itu tidak pernah aku lakukan sebelumnya, itu tidak seperti diriku. Tapi mungkin itu juga bagian rencana Tuhan, supaya aku menjalaninya saja tanpa banyak pertimbangan seperti biasa, tanpa keraguan, menjalani sisi aku yang lain yang tidak pernah tersentuh siapapun sebelumnya.

Tidak lama berselang, kita mulai disibukkan dengan berbagai persiapan. Satu dua keputusan yang sudah rasa-rasa ditangan, dibatalkan, diubah, dengan banyaknya suara dan tambahan pertimbangan. Dari sini, aku semakin mengenal kamu. Kamu yang sederhana, kamu yang tidak banyak minta, kamu yang terpancing kesal karena apa. Kamu yang berpikir terlalu banyak akan merepotkan aku, dan kamu tidak menyukai hal-hal seperti itu; namun perlu aku beri tau bahwa aku sudah terbiasa repot, aku biasa melapangkan diri untuk menenangkan hati. Untukku, sedikit lebih repot, sedikit lebih rinci, sedikit lebih banyak yang dikerjakan itu bukan masalah, selama kita bisa sama-sama bergembira. Dalam batasan tertentu, aku lebih tenang begitu.

Perjalanan kita yang demikian cepatnya, dan aku yang banyak tidak taunya, membawa diriku sendiri pada arus kebingungan. Aku yang mengira begitu ternyata menjalani yang begini. Aku yang  biasa menutup diri, aku yang tidak terbiasa berbagi, aku yang bahkan belum terlalu mengenal diriku sendiri; bagaimana aku bisa berdampingan hidup dengan orang lain untuk selamanya? Segala perubahan yang sudah diperkirakan tapi tetap terasa menyesakkan, banyaknya karena aku ntah kenapa memilih menjalaninya dengan sulit. Aku paham sekarang, apapun yang kamu rasa tentang kehidupan, ia tidak akan berhenti, sehingga kita harus lebih kuat untuk sekedar bertahan. Setelah bertahun berlalu, aku juga bisa menyatakan, saat itu kurangnya kita adalah sedikit bicara tentang hal-hal seharusnya, tentang siapa, tentang apa, hal-hal kecil yang bermakna. Lagi-lagi kenyataannya kita hanya dua manusia yang tidak banyak tau harus bagaimana, bertemu di tengah jalan, dan menjalani seperti apa adanya, tanpa banyak tanya, tanpa susun banyak rencana. Tapi syukurnya, jalan kita adalah rencana Tuhan yang nyata.

Kata orang, kita adalah pasangan yang beruntung, karena tidak perlu menunggu lama untuk hadirnya manusia ketiga dalam rumah tangga kita. Tapi apa iya? Beruntung dalam ukuran siapa? Beruntung dalam artian bagaimana? Apa beruntung yang dimaksud di sini adalah perihal yang menggembirakan? Atau memudahkan? Padahal aku berkata kalau aku sepenuhnya menyerahkan, tapi dalam wujud kenyataan ternyata tidak seindah di bayangan. Karena aku masih dalam pusaran kebingungan, aku yang seperti tiba-tiba mendapat kejutan, kejutan yang tidak terduga dan sangat besar. Aku yang tidak berani melangkah atau melihat ke mana-mana, hanya terpaku, lalu terombang-ambing dalam pusaran itu. Semua terasa begitu cepat namun juga begitu lambat. Pada bagian ini, kamu hanya perlu mendengarkan, karena ini adalah sepotong cerita yang akhirnya aku ungkapkan karena aku sudah memahami. Butuh waktu lama namun akhirnya aku mengerti. Dalam rentang waktu itu, kamu hadir dalam wujud terbaik yang bisa aku harapkan, memberiku dukungan. Menyediakan ruang juga waktu, kemewahan di tengah dunia yang serba buru-buru. Kamu mengusahakan segala yang bisa kamu hadiahkan. Dalam proses pertama yang kita banyak tidak taunya, kamu tetap berjuang.


Setelah dipikir-pikir sekarang, ketidaktahuan dan omongan berserah lah yang membawaku sampai pada titik saat ini. Karena jika aku lebih banyak tau, banyak hal yang aku pertimbangkan, dengan aku yang begini takutan, sepertinya aku tidak akan berani mengambil keputusan berjalan ke depan. Sepertinya aku hanya akan diam, menggeleng ketakutan, karena tidak berani dengan apa yang akan aku hadapi, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri. Ternyata aku bisa sampai disini, diriku yang dulu pasti terkejut tak menyangka atas apa yang aku lakukan sekarang, dan aku akan lantang mengatakan, hei ternyata kamu bisa! Pelan-pelan tidak apa, hadapi takutmu percaya pada dirimu. Dalam proses yang begini, tidak ada lagi yang bisa aku haturkan selain terima kasih untuk segala penerimaan, pemakluman, dan kasihmu yang kadang aku rasakan tapi kadang juga terabaikan.

Masa awal dahulu, adalah masa yang panjang dan sangat besar untukku. Itu bukan tentang apa yang terjadi padaku, tetapi tentang bagaimana aku menerima dan menghadapinya. Ini seperti fase yang sulit dilalui, lama perjalanannya, dengan ketidak tahuan dan terbatasnya segala yang aku punya. Seperti perjalanan, ini bukan jalan tol, ini jalanan yang melewati perbukitan berkelok, dengan kanan kiri perkebunan dan pemukiman, sedangkan aku, keahlian mengemudiku, kendaraanku, terasa tidak mumpuni. Sayangnya, aku hanya berkutat dengan pikiran indahnya jalan tol bebas hambatan. Padahal dengan jalanan ini, aku bisa belajar banyak, aku bisa berhenti sebentar melihat pemandangan, aku juga bisa berbicara dengan warga. Hal-hal yang tidak bisa aku dapatkan dengan jalanan yang katanya bebas hambatan. Lagipula, tidak ada yang menjamin jalanan mana yang benar-benar tidak ada halangannya. Jalan yang aku pikir mulus, ternyata butuh banyak pengorbanan, jika saja aku punya keberanian unuk mengangkat kepala dan melihat lebih luas.

Kamu ingat kan, hal-hal sangat sepele yang memancing amarah dalam diriku? Hal-hal kecil yang seharusnya bukan persoalan bisa berbuntut panjang lebar? Itulah fase dimana aku berkutat dan terlalu menunduk pada apa yang ada padaku. Aku tau, saat itu juga bukan masa yang mudah bagimu, segala transisi, kelelahan, beban, tuntutan, harapan, ada di pundakmu. Meski tidak ada yang memaksa, tapi sesuatu dalam dirimu terus mendorongmu untuk melakukan hal terbaik yang bisa kamu upayakan. Hal yang kamu emban sebagai tanggung jawab, menomor satukan kebersamaan sampai terkadang mendorong dirimu sendiri jauh kebelakang. Keputusan yang ternyata juga tidak berhasil baik, karena kosongnya diri kita tidak mampu mengisi hati yang lainnya. Hal yang kita ketahui belakangan, di saat kita berhasil melalui fase yang masing-masing kita kelelahan. Pada fase ini juga aku tau kalau aku tidak mampu berjauhan. Menyiksa melihatmu begitu kelelahan. Tidak, ini bukan hanya tentang kamu, tapi tentang aku yang masih membutuhkanmu.

Sedikit terseok perjalanan dari titik itu, seperti masih kurang, Tuhan memberi kita tambahan kejutan. Lagi-lagi, mereka bilang ini hal menyenangkan. Tapi tidak berarti kita harus langsung setuju kan? Kita punya rasa yang berbeda, dan aneka rasa yang hadir dan kita lalui itu adalah wujud kita sebagai manusia kan? Apapun rasanya, yang penting kita tau harus bagaimana dan kita jalani dengan tanggung jawab semampu kita dan resapi bagaimana seharusnya yang kita rasa. Kali ini, kita perlu belajar untuk tau apa yang kita rasa, untuk bertanya apa yang kamu rasakan, dan untuk memahami bagaimana kita bisa saling membantu membuat rasa yang lebih nyaman bagi kita satu sama lain. Aku akhirnya belajar banyak tentang terbuka, tentang keberanian berbicara, bukan untuk kepentingan diriku saja tapi untuk kita semua. Diriku yang terisi, akan bisa menghadapi, akan bisa berbagi.


Meski dengan perjalanan yang panjang dan tidak mudah, adanya kejutan-kejutan tidak terduga, hal-hal yang sesuai rencana dan yang tiba-tiba ada tambahannya, kita sudah berhasil sampai di titik ini. Seperti katamu, sebetulnya kita tidak punya masalah besar, dalam definisi masalah besar fatal yang menghancurkan. Namun, apa yang kita rasakan, bagaimana itu menghadang, dan luka seperti apa yang ditimbulkan, kita masing-masing punya kevalidan untuk menyatakan ukurannya kan. Besar kecilnya menurutku justru bagaimana kesiapan kita menghadapi. Bagaimapun bentuk dan ukurannya, perlu kita seriusi sebagai suatu kondisi, kita belajar untuk tidak lagi lari, namun kita hadapi agar tidak perlu mengganggu lagi di kemudian hari.

Pada titik ini, meski sebelumnya kita siap tidak siap, banyak yang kemudian kita perbaiki. Dengan beragam kondisi dan keadaan yang menerpa, toh kita sudah sampai disini, dalam Wood Celebration Anniversary katanya. Dari segala kemungkinan kejadian, kita masih bertahan bersama, mewujudkan berbagai mimpi, mengupayakan bahagia, bolehlah kita merayakan dan saling menyelamati. Untuk masa lalu yang jadi pelajaran dan masa depan yang penuh harapan, serta kasih sayang di sepanjang jalan;

Happy Anniversary Dear Kekasih Hati.


Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!