Diskusi tentang Data Angka Social Media, Sejauh Mana Mempengaruhi Hidup Kita?

Warga Indonesia menghabiskan lebih dari tiga jam per hari untuk memantengi media sosial, menduduki peringkat kesepuluh dibawah negara-negara berkembang lainnya seperti Nigeria, Filipina, juga Kolumbia. Jika dicermati, keseluruhan waktu yang digunakan orang Indonesia untuk internetan bisa lebih dari tujuh jam per hari atau dapat dikatakan 1/3 waktu kita sehari habis untuk internetan. Pada penelitian sebelumnya, diketahui aktivitas yang paling banyak dilakukan adalah melihat-lihat saja, lalu berbagi status, baru membaca berita dan berkomunitas. Dari data tersebut, bisa dibilang media sosial sudah masuk ke dalam bagian kehidupan kita yang tidak lagi bisa dianggap sebagai aktivitas pengisi waktu belaka. 

Data-data diatas cukup membuat bergidik, membayangkan betapa banyaknya waktu yang kita habiskan untuk internetan, untuk media sosial, untuk melihat-lihat saja. Scrolling istilahnya. Dalam suatu podcast, seorang narasumber pernah berkata kita-kira begini, tidak mengherankan jika angka perceraian di Indonesia terus meningkat, karena waktu kita sudah habis 1/3 untuk bekerja, 1/3 untuk istirahat, 1/3 nya lagi untuk internetan.Tidak tersisa waktu untuk berbicara berdua. Penasaran, data diatas ditambah data penyebabnya cukup menjadi bukti. Bukan lagi faktor ekonomi seperti yang dulu sering terjadi, namun faktor perselisihan menjadi penyebab dengan angka tertinggi, jauh meninggalkan faktor ekonomi bahkan juga perselingkuhan. Perselisihan yang tidak selesai akibat komunikasi yang tidak terjadi  karena sudah tidak sempat lagi. 

Ilustrated Picture Edited by Canva

Ini bukan fenomena yang membanggakan, tapi cukup dapat dijadikan bahan diskusi. Untuk hubungan dengan pasangan terutama, tapi juga tidak terbatas pada hubungan yang lebih luas, pada orang tua dan juga teman-teman. Sejauh apa kita benar-benar merawat hubungan yang nyata?

Hidup pada Era Media Sosial

"You are what you eat."

Kutipan diatas dapat dijadikan pedoman untuk kita memperhatikan apa yang kita konsumsi, bukan lagi tentang makanan namun apa yang indra kita konsumsi secara keseluruhan. Apa yang mata kita lihat, telinga kita dengar, apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, yang akan mempengaruhi tubuh kita dan hidup kita secara secara langsung maupun tidak langsung. Mengapa sampai demikian? Lihat kembali data paling atas, 1/3 waktu kita sehari dihabiskan untuk internetan. Setengahnya di media sosial. Paling banyaknya untuk scrolling

Data-data pada bagian paling atas tadi dapat dijadikan fakta pembuka, betapa banyaknya waktu dan tenaga kita yang disalurkan untuk 'melihat-lihat saja'. Mungkin ini kita lakukan secara sadar dan tidak sadar. Awalnya istirahat sebentar habis mengerjakan sesuatu, melihat apa yang terjadi sebelum tidur, melihat ada kejadian apa saat bangun tidur, karena sedang bengong saja tidak tahu mau melakukan apa, atau karena sudah terbiasa sehingga tangan bergerak otomatis. Sepotong-sepotong iseng itu yang akhirnya banyak membuat waktu terbuang sia-sia. 

Dari tingginya alasan untuk melihat-lihat saja saat orang memasuki media sosial, bisa kita simpulka bahwa mayoritas orang tidak memiliki tujuan saat membuka instagram, twitter, whatsapp status, hingga terbaru kini thread. Mungkin akan muncul alasan, melihat-lihat agar bisa melihat keadaaan kerabat, apa yang ia lakukan, sedang di mana ia berada. Lalu apa? Apakah itu bisa meningkatkan kualitas hubungan atau malah memperburuk kondisi mental pribadi? Merasa iri, merasa tertinggal? Jika keduanya, mana porsi yang lebih besar?

Kebanyakan dari kita bahkan juga tidak bisa mengingat apa saja yang barusan kita lihat, karena kita tidak melakukannya dengan kesadaran penuh. Namun, konten yang menimbulkan perasaan intens (biasanya justru negatif) akan terbawa ke kehidupan kita sehari-hari. Misalkan, saat iseng scrolling kita melihat pencapaian seorang teman, menimbulkan gejolak intens perasaan iri (yang sering tidak mau kita akui atau bahkan tidak kita sadari), akhirnya kita tutup media sosial tersebut lalu masih berpikir, kok dia bisa cepat begitu ya berhasilnya, jangan-jangan.. atau aku kerja lebih keras tapi kok gini-gini aja ya..." Sebenarnya kita sudah memahmi, apa yang ada dimedia sosial juga hasil kurasi. Hanya sebagianbukan keseluruhan. Namun hal itu tetap masuk ke pikiran kita dan berhasil mempengaruhi mood kita disisa hari, menurunkan fokus, juga pada kontrol diri yang buruk akan merusak hubungan nyata di sekitar. 

Faktanya, konten yang positif tidak signifikan menimbulkan perasaan positif, namun konten negatif secara signifikan menimbulkan perasaan negatif yang menggebu-gebu. Mungkin ini juga ada kaitannya dengan fakta bahwa sejak sebelum era medsos, kita memang lebih tertarik pada berita negatif. 

Sanggahan lain, konten positif juga banyak kok, ada loh manfaatnya kita melihat-lihat medsos itu, bisa mengingatkan kita juga untuk hal-hal baik. Benar, kita yang ada di sini sebagian besar pengguna media sosial, whatsapp saja setidaknya, atau instagram jika ingin ditambahkan. Semua tokoh sudah memasuki dunia media sosial, kita bisa tahu kabar terbaru seorang teman, tahu berita, mendapat tips pengasuhan, diingatkan soal ibadah, menghilangkan kesepian, membangun jaringan, dll. 

Batas. Itulah perbedaanya. Apa kehilangan lebih dari tiga jam sehari untuk mendapatkan manfaat dari media sosial itu benar-benar sepadan? 

Tiga jam itu bisa kita gunakan untuk hal-hal lain, berbicara dengan orang rumah, bersilaturahmi, menambah keahlian dengan kursus (online bisa) atau menambah pengetahuan dengan membaca (beda ya baca buku denga baca video pendek), istirahat dengan benar atau tidur, berolahraga, jurnaling, dll.  

Ilustrated Picture

Sebenarnya yang cukup menjadi perhatian adalah bagian kita yang menjadikan media sosial sebagai bagian otomatis dari keseharian. Menunggu sebentar buka medsos. Sedang chat atau telfonan, sambil buka medsos, lihat HP tergeletak langsung buka medsos, sambil menemani anak juga buka medsos, sambil makan juga disambil. Multitasking terbukti dapat menyebabkan depresi dan anxiety ya. Ini memang bisa hilang, tapi efek terus menerus dari stress dan peningkatan tekanan darah dapat meningkatkan esiko penyakit otak dan gangguan kognisi dikemudian hari. Belakangan, bukankah kita jadi lebih pelupa?

Alasan menggunakan media sosial untuk bisa belajar sesuatu adalah alasan yang mudah ditampik. Coba jawab, seberapa sering kita membuka medsos benar-benar untuk mencari ilmu tentang hal spesifik? Seberapa sering kita benar-benar menyudahi saat sudah mendapatkan ilmu tersebut tanpa mleihat-lihat? Faktanya, kita perlu benar-benar fokus untuk bisa belajar dan memahami. Penggunaan media sosial dapat mempengaruhi cara otak kita bekerja serta mengingat sesuatu. Kita bisa mengingat apa yang kita alami dengan benar-benar hadir utuh. Bukan dengan sambil mendengar obrolan teman, bukan dengan sambil keinginan mengupdate segera, bukan disaat perhatian kita terpecah. Bisa, tapi tidak optimal.

Pada praktiknya, bagian otomatis ini yang cukup beresiko, karena sudah mulai masuk ke alam bawah sadar, yang membuat kita bergerak tanpa benar-benar kita sadari untuk apa. Ini juga tanpa kita sadari membuat kita menghilangkan opsi aktivitas lainnya. Harusnya kita bisa fokus pada apa yang terjadi di sekitar, harusnya kita bisa memikirkan apa yang tadi kita lakukan atau apa yang akan kita lakukan, harusnya otak kita bisa beristirahat saja tanpa dipenuhi beban pikiran. Harusnya kita bisa memberi kesempatan untuk tubuh memenuhi hakikatnya bebas bergerak bukan berbaring diam.


Things to think

Diskusi ini menjadi begitu terbukan, bukan karena celebrity namun lebih pada paparan data yang cukup mengejutkan. Bagaimana bisa kita kehilangan begitu banyak waktu cuma untuk melihat-lihat saja? Tidak usah menampik, memang begitu adanya. Kita tidak benar-benar punya kepentingan di media sosial, hanya menonton kehidupan orang-orang yang lalu lalang. Sepadan tidak? 

Ilustrated Picture

Mungkin untuk menyimpulkan, ada beberapa hal yang bisa kita jadikan pertimbangan:

  • Sebelum masuk, tentukan dulu tujuannya

Misalkan tahu kabar teman, jelaskan batasnya teman yang mana, sejauh apa kita ingin tahu, apa yang kita lakukan saat tahu, boleh saja jadi bertukar pesan. Sudah selesai? Keluar. Sama juga dengan mencari informasi, sudah dapat? Keluar. Pastikan kembali, tujuannya bukan karena FOMO (fear of missing out), yang bisa memicu penyakit mental lainnya. Ingat, ketakutan itu diatasi, bukan diikuti. 

  • Cari opsi kegiatan lain

Biasakan untuk mendahulukan prioritas, lakukan dari hal yang penting, ke kurang penting, lalu tidak penting. Jangan dibalik-balik. Saat kita merasa perlu bermedia sosial karena merasa bosan, pikirkan lagi. Bosan itu tidak perlu dihilangkan, bosan itu bisa menjadi jembatan untuk kita berpikir kreatif, dan kreativitas itu sangat baik untuk otak. Jadi, biarkan diri merasa bosan dan biarkan otak menjelajah. Ada begitu banyak hal baik yang bisa kita lakukan.

  • Beri Batasan

Pahami batasan diri, apa yang dirasakan setelah bermedia sosial? Perasaan lega atau menyesal? Pembatasan ini bukan hanya saat kita merasa, tapi juga bisa kita lakukan pada hal yang lebih konkrit, misalkan hanya mengikuti orang-orang tertentu yang sudah terbukti berpengaruh baik pada kita, dan melihat konten-konten mereka saja. Ini membatasi kita untuk tidak membuka tab explore. Batasi juga waktu yang kita habiskan di sana. Rekomendasi terbaik untuk bermedia sosial adalah tiga puluh menit per hari. 


Yuk, kita sama-sama belajar untuk bisa lebih hidup sebagai manusia. Utuh apa adanya. Menyaring yang baik untuk kita terima serta membagikan hal baik juga yang ada gunanya. 


Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!