Mengajarkan Kesetaraan pada Anak dan Bagaimana Perempuan Berperan Luas

Pembahasan mengenai perempuan, kesetaraan, dan apa yang bisa kita lakukan sekarang sepertinya akan menjadi hal yang terus menarik. Sebagai orang tua, kita ingin anak perempuan bisa memiliki kesempatan yang sama. Kita juga ingin anak laki-laki yang bisa berlaku adil menghormati setiap orang tanpa batas gender. Bukan hal yang mudah memang untuk tiba-tiba mengubah apa yang sudah menjadi pemikiran turunan. Tapi dengan anak-anak yang ada di pangkuan, setidaknya kita bisa mulai mendidik mereka dengan kesadaran untuk membentuk laki-laki dan perempuan seperti apa mereka nantinya.  



Label Laki-laki dan Perempuan 

Sebelum lebih jauh membicarakan tentang jenis kelamin, ada hal paling dasar yang perlu kita ingat bahwa tidak ada yang namanya gender neutral. Setiap kita jelas terlahir dalam wujud laki-laki atau perempuan. Tidak ada sanggahan, tidak ada pilihan. Hanya kondisi medis tertentu, dengan probabilitas sangat rendah, yang membutuhkan proses pemeriksaan panjang dan ditangani secara profesional. Jadi secara umum memang kita tinggal menjalankan saja, sebagai laki-laki atau sebagai perempuan.

Harusnya tidak banyak perbedaan diantara keduanya, hanya hal-hal alamiah berkaitan dengan proses reproduksi yang paling kentara. Perempuan mengalami siklus naik turunnya hormon yang berpengaruh dalam aktivitas hamil, melahirkan, menyusui, serta sedikit banyak pada kondisi tubuh itu sendiri. Ini setidaknya baru terjadi di dekade kedua kehidupan, sehingga alamiahnya baik laki-laki atau perempuan itu nyaris sama saja.

Namun, kebudayaan telah memisahkan mereka bahkan sejak dalam kandungan. Kecanggihan teknologi daapat memprediksi dengan cukup akurat, jenis kelamin bayi yang masih di dalam rahim. Dari sana, kita sudah berburu pakaian sesuai dengan label yang ditempel oleh marketing perusahaan besar, pink untuk perempuan, biru untuk laki-laki. Jebakan pemasaran, secara sadar ataupun tidak, sudah membentuk pola pikir kita selama bertahun-tahun. Jenis pakaian yang sama, dipisahkan dengan warna, diperuntukkan secara berbeda.

Apa yang kurang tepat dari sini bisa kita telusur lagi dari sejarah pelabelan warna itu sendiri. Dulu bayi tidak diasosiasikan denan warna, mereka hanya diberikan pakaian berwarna putih atau pastel agar kotoran lebih mudah terlihat. Perjalanan pemisahan warna ini sangat erat kaitannya dengan media dan strategi pemasaran, pada masa setelah perang dunia. Saat mayoritas orang sudah terlalu familiar dengan warna cenderung gelap. Dilanjutkan dengan seorang tokoh kenegaraan yang muncul dalam nuansa pink, warna kesukaannya. Berbagai media kemudian meneruskan tampilan dan pesan pink, lalu semakin masiflah penarasian pink sebagai warna wanita. Video singkat dari Vox  memberi penjelasan yang cukup jelas dan singkat mengenai sejarah tersebut.

Momen itu dimanfaatkan dengan baik oleh berbagai produsen, khususnya di Amerika. Berbagai tagline dan produk khusus perempuan dilahirkan. Barang yang awalnya bisa dikenakan laki-laki dan perempuan kini menjadi asing, sehingga kita merasa perlu membeli lagi. Baju yang awalnya dikenakan si kakak perempuan saat masih bayi, terasa tidak tepat dikenakan oleh adik bayi laki-lakinya. Pembelian meningkat, begitu juga dengan profit perusahaan. 

Hal menarik lainnya adalah berbagai penelitian juga menunjukkan hal serupa. Alamiahnya anak laki-laki tidak cenderung memilih biru, begitu juga anak perempuan tidak akan serta merta memilih pink, hingga usia mereka setidaknya dua tahun. Saat mereka sudah banyak memahami persepsi masyarakat atas dirinya. Pelabelan ini terus berlanjut hingga kita dewasa. Dari apa yang dikenakan hingga yang dipikirkan. 



Sebenarnya tidak apa ada perbedaan perlakuan, karena memang laki-laki dan perempuan itu berbeda, namun batasnya harus jelas dengan basis yang kuat. Misalkan model baju anak perempuan lengkap dengan penutup kepala untuk menutup aurat. Tapi pemisahan warna, apalagi sejak bayi, ini menggiring kita pada banyak pelabelan lainnya. Bahkan pada jenis mainan masak-masak berwarna pink, yang seolah-olah hana diperuntukkan untuk perempuan saja. Padahal, bukankah setiap kita perlu kemampuan memasak dan untuk bisa memberi makan diri sendiri?


Memulai Kesetaraan dari Keluarga

Bukan hanya pemisahan warna yang tidak terjadi secara alamiah, pemisahan aktivitas juga merupakan produk budaya dan keyakinan di masyarakat. Sekali lagi, pemisahan itu tidak apa, karena memang laki-laki dan perempuan itu berbeda, selama dalam konteks yang tepat dan tidak merugikan.

Perempuan secara alamiah memang memiliki keistimewaan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui. Hanya perempuan yang bisa menjalani itu. Sayangnya, dari ketiga peran itu kita menambahkan banyak rentetan fungsi lainnya, yang harusnya bukan hanya milik perempuan. Dengan fungsi menyusui, kita sering kebablasan menganggap tugas pengasuhan ada pada ibu saja, atau cenderung menjadi tanggung jawab ibu. Ayah hanya membantu. Dari anak yang biasanya dibersamai di rumah, merembet ke pekerjaan-pekerjaan rumah, sehingga seolah-olah pekerjaan rumah adalah pekerjaan perempuan. Suami yang mengerjakan berarti sedang membantu istri.

Peran pembantu yang disematkan pada laki-laki yang mengerjakan pengasuhan atau pekerjaan rumah ini jelas tidak tepat, karena sejatinya melakukan pekerjaan rumah perlu dikerjakan oleh setiap penghuni rumah dan menjadi tanggung jawab bersama. Begitu pula dengan pengasuhan, anak butuh dirawat bersama oleh ibu dan ayah. Anak butuh kehadiran kedua orang tuanya. Ayah dan ibu perlu tahu perkembangan anak, perlu paham apa yang anak butuhkan, dan perlu mencurahkan waktu, tenaga, dan perhatian yang seimbang terhadap anak-anak.


Baca Juga: Bundo Kanduang, Bukti Menghormati Perempuan Dapat Harmoniskan Kehidupan


Akibatnya perempuan terus diasosiasikan dengan urusan rumah dan anak. Saat mereka berkiprah di luar, tanggung jawab anak atas anak dipertanyakan. Pertanyaan yang tidak akan pernah diajukan pada lelaki karir. Sama halnya saat rumah terlihat tidak terurus, yang dipojokkan adalah perempuan, tanpa mempertanyakan bagaimana peran penghuni rumah lainnya. Dampak tidak mengenakkan dari pandangan ini bukan hanya pada perempuan namun juga pada laki-laki. Laki-laki yang harus tampil kuat dan lebih secara materiil dibanding perempuan, padahal sama-sama dikaruniai perasaan dan bisa jadi memiliki minat yang berbeda dari apa yang masyarakat sangkakan. Memasak tidak menjadikan laki-laki lebih rendah, begitupun dengan menangis. Dengan kesetaraan, semestinya tidak ada lagi tuntutan untuk perempuan harus mandiri bisa menyeimbangkan peran di dalam dan di luar rumah, sedangkan laki-laki terus digaungkan perlu dilayani. Karena sejatinya semua kita perlu mandiri dan pada titik tertentu juga perlu dilayani. 

Maka, untuk memulainya dari rumah, kita perlu melakukan berbagai penyesuaian yang mungkin terasa asing awalnya. Mungkin akan dipertanyakan, dikomentari negatif, atau bahkan diledek sekitar. Jika kita paham dasarnya, maka akan lebih mudah untuk mereka ulang persepsi dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Contoh mengajarkan kesetaraan pada anak tersbeut, antara lain:

  • Nasihat Kehidupan

Bagaimana lagi kita mengajarkan kalau bukan dengan obrolan, dari selipan-selipan nasihat sehari-hari, dari apa-apa yang kita sampaikan pada mereka, termasuk tentang kesetaraan. Prinsip-prinsip kemandirian yang perlu ditanamkan, bukan hanya demi kepentingan kesetaraan, namun untuk anak itu pribadi. Melatih anak mandiri terbukti bisa meningkatkan kesehatan mental dan kebahagiaan anak, dengan seiring berkembangnya kepercayaan diri, kesabaran, hingga self-help mereka. 

Point-point penting yang perlu kita biasakan tentang kesetaraan adalah dengan tidak membedakan warna berdasar gender anak, tidak membatasi aktivitas anak hanya karena gendernya. Tanggapan-tanggapan yang mereka dengar dari orang lain, sanggah dengan kalimat yang jelas dan logis sesuai usia mereka. Ajak anak laki-laki mengerajakan pekerjaan rumah seperti mengurus bunga, ajak anak perempuan berolahraga seperti bermain bola.

Hal yang tidak kalah penting lainnya adalah tidak selalu mengaitkan ayah dengan uang, tekankan pada peran ayah lainnya. Ini juga membantu mereka memahami bahwa tidak semua aktivitas perlu diukur dengan uang. Bekerja sebagai aktivitas menebar manfaat, sama dengan kerja bakti di lingkungan. 

  • Jadi Teladan

Apalah arti nasihat yang diucapkan tanpa tindakan yang dipertontonkan. Beri contoh bagaimana saling memperlakukan antara laki-laki dan perempuan, antara ayah dan ibu. Saling menghargai dan mendengarkan, saling berbicara dalam suara yang sama. Bekerja sama sebagai sesama penghuni rumah, berkolaborasi sebagai orang tua. Siapkan porsi tanggung jawab pekerjaan sesuai kondisi keluarga, lalu kerjakan bersama, atau kerjakan terpisah dengan pembagian sendiri-sendiri. Anak yang terbiasa melihat kerja sama orang tuanya, cenderung menjadi anak yang juga mudah bekerja sama dengan orang lain dan mudah menerima perbedaan. 

Tumbuh dalam budaya patriarki menjadi beban tersendiri untuk laki-laki, dengan tuntutan menjadi 'si paling', tanpa diberi kesempatan merasakan. Padahal kita semua manusia yang punya perasaan, laki-laki bisa merasa sakit juga sedih. Ayah yang terbuka tentang perasaannya, bisa menjadi contoh bagi anak agar mereka juga bisa terbuka, pada orang tuanya terutama. Akui apapun yang anak rasakan, dengarkan dengan penuh perhatian, dan biarkan mereka memproses itu. Anak laki-laki bisa merasa sakit boleh bersedih sehingga menangis, juga kadang juga bisa lemah. 

  • Setiap Kita Sama

Ini dasar yang perlu kita tanamkan pada anak, bahwa siapapun mereka, apapun latar belakangnya tidak menjadikan mereka superior dibanding anak lainnya. Kita masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, dan tidak satupun kita bisa melihat segala sisi tersebut. Orang yang terlihat serba ada bukan berarti berada di atas kita, begitu pula orang yang terlihat serba kekurangan tidak menjadikan mereka lebih rendah dari kita. 

Pemahaman tentang perbedaan menjadi dasar bagi anak memahami kesetaraan. Kita berhak atas kesempatan yang sama. Kemampuan untuk menerima perbedaan dapat menjadikan mereka pribadi yang lebih lapang nantinya, lebih mampu memberikan hak-hak sesuai porsinya. Mengakui kemampuan dan kapabilitas tanpa terhalang atribut, melihat anggota keluarga sebagai bagian dari masyarakat yang sama-sama memiliki peran yang penting, serta bertanggung jawab pada dirinya sendiri. 



Dampak dari ketidaksetaraan ini sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh manusia dewasa di tempat kerja atau saat bereperan di masyarakat, tapi juga pada kehidupan secara keseluruhan bahkan pada anak-anak. Budaya ini disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka fatherless di Indonesia, sebagai peringkat ketiga di dunia. Pengasuhan yang menitik beratkan pada ibu membuat sosok ayah jarang hadir bahkan sulit berkomunikasi dengan anak sendiri. Sehingga penting untuk kita sebagai orang tua saat ini, yang sudah terpapar banyak informasi, untuk mengubah sudut pandang, pola pikir, serta perlakuan yang bisa memenuhi kebutuhan anak-anak. Dari keterbukaan tentang kesetaraan gender, pemikiran kita bisa meluas pada kesetaraan lain yang membuka kesempatan setara dan lebih luas bagi mereka di masa yang akan datang.



Salam, Nasha


 



13 Comentarios

  1. Kesetaraan dalam tugas dan kewajiban di dalam rumah adalah cara dasar mendidik anak.

    BalasHapus
  2. penting banget nih buat mengajarkan mengenai kesetaraan sejak anak-anak. aku pribadi karena tumbuh di keluarga yang patriarki jd buat bahan pembelajaraanku ke depannya.

    BalasHapus
  3. Bener banget, sangat penting memberikan edukasi kesetaraan ke anak. Ditambah banyak sosmed yang terkadang menampilkan kesan yang kurang,

    BalasHapus
  4. Mengurus rumah dan mendidik anak bukan hanya tanggung jawab ibu tapi juga ayah. Kesetaraan tanggung jawab akan rumah tangga memang penting, selama masing-masing individu tidak melupakan kodratnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. gak lupa mba krn gak bisa digantiin itu hamil, melahirkan, menyusuinya hihi tanggung jawab memang berdua, tp soal jenis dan porsi pekerjaan serta definisi kesetaraan tiap keluarga bakal beda2 tergantung kondisi masing2

      Hapus
  5. Mengajarkan kesetaraan pada anak yang paling mudah itu dengan cara memberi contoh. Anak akan melihat kesetaraan yang diperankan oleh orang tuanya.

    BalasHapus
  6. Jadi teladan
    Ini yang paling penting menurutku. Anak akan meniru apa yang dia lihat, apa yang Ada di sekitarnya. Jika melihat Ayah ringan tangan turut berperan serta mengerjakan pekerjaan rumah, Anak juga akan melakukan hal yang Sama.

    Pun orang tua juga harus memberikan peran yang Sama pada Anak baik laki-laki maupun perempuan. Bukan sekedar pembagian tugas berat ringan dan derivasinya. Tapi lebih pada bergantian mengerjakan tugas yang sama

    BalasHapus
  7. Baca ini saya jadi merasa lega, karena alhamdulillah bisa menerapkan salah satunya; jadi teladan. Di rumah biasa nyapu ngepel dan cuci baju. Hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah keren mas, patut disharing ke bapak2 lainnya

      Hapus
  8. Kesehatan dan pendidikan adalah modal penting gimana keluarga dan negara bisa menjadi ekosistem yang kuat dan bermartabat. Ibu dan ayah adalah penggerak roda-roda kekuatan itu.

    BalasHapus
  9. Label dan batasan yang bersifat mitos kadang justru membuat anak terkungkung dan terbatas dalam pertumbuhannya

    BalasHapus
  10. Bener banget mengajarkan kesetaraan harus dimulai dari bagaimana kedua orang tua saling berinteraksi. Nyatanya anak² ini peniru ulung, kalau sampai di dalam rumah orang tua sudah berlaku tak setara misal ayah memperlakukan ibu tak baik dan sebaliknya, anak bisa meniru bagaimana laki-laki/perempuan berinteraksi dengan lawan jenis di lingkup sosialnya. Jadi orang tua bijak dan setara memang tidak mudah, tapi harus terus diupayakan ❤️❤️

    BalasHapus
  11. Mempelajari kesetaraan pada anak penting spya anak belajar mengahrgai satu sama lain dan terbiasa melihat yang berbeda. keren sih artikelnya

    BalasHapus

Mau nanya atau sharing, bisa disini!