
When Life Gives You Tangerine, Perjuangan Menerima dan Mengubah Hidup Keluarga
Bukan tangerine, tapi when life gives you lemon, make lemonade sebagai frasa yang cukup terkenal dengan pesannya agar kita bisa memperjuangkan hidup dengan sudut pandang yang lebih baik. Tidak jauh berbeda, when life gives you tangerine dimaksudkan dengan pesan yang serupa. Tangerine dipilih sebagai buah yang mewakili Jeju, wilayah yang menjadi latar cerita. Terinspirasi dari kisah cinta dan perjuangan warga asli di sana untuk mengubah nasib generasi, drama ini memang patut mendapat apresiasi tinggi. Bukan hanya karena menghangatkan hati namun karena bisa mengingatkan kita bahwa terlepas dari segala kejutannya, hidup memang layak untuk diperjuangkan.
Sekilas Kisah
Meskipun drama ini mengisahkan tentang kehidupan Ae Sun yang diperankan IU dalam perjuangannya untuk mewujudkan mimpi, tapi bagi saya kisah ini sudah bermula dari ibunya Ae Sun, Gwang Rye. Seorang haenyo atau perempuan penyelam di Pulau Jeju yang memiliki pemikiran berbeda dari ibu-ibu lain pada tahun 1950-an di sana. Ia tidak ingin Ae Sun mengikuti jejaknya sebagai haenyeo, maka ia memilih untuk hidup terpisah dari putrinya agar Ae Sun bisa mendapat pendidikan yang lebih layak dari keluarga alm. suaminya. Meskipun akhirnya Ae Sun kembali hidup bersamanya, Gwang Rye tetap mengupayakan agar Ae Sun hidup di luar Jeju sehingga memiliki nasib hidup yang berbeda darinya.
Sayang, perjuangan Gwang Rye tidak berlangsung lama karena ia meninggal ketika Ae Sun masih berusia 9 tahun. Tinggal bersama ayah tiri, Ae Sun harus bersekolah sambil berjualan serta mengasuh kedua adiknya. Didampingi oleh Gwan Sik, anak laki-laki yang terus membersamainya, Ae Sun menjual kubis hasil kebunnya di pasar hingga remaja.
Ketika ayah tirinya menikah lagi, Ae Sun pun merasa tidak memiliki siapa-siapa. Bahkan keluarga ayahnya malah mengusulkan agar ia bekerja saja bukan bersekola apalagi berkuliah sastra seperti cita-citanya. Dengan putus asa, Ae Sun mengajak Gwan Sik untuk kabur keluar Jeju. Sesampainya di Busan, ketidak beruntungan menghampiri mereka, sehingga setelah dua malam mereka pun kembali ke Jeju dan tak lama kemudian menikah.
Sejak menikah, memiliki seorang putri, dan tinggal bersama keluarga suami, kehidupan Ae Sun jauh dari apa yang ia impikan. Meski melakukannya dengan sukarela, hari-harinya tetap tidaklah mudah apalagi dengan berbedanya pemikirannya dengan tradisi yang ada di sana. Hingga akhirnya mereka tinggal di rumah sewaan sendiri, memiliki tiga anak, dan jatuh bangun dalam perjuangan keluarga kecil mereka. Mulai dari nyaris kehilangan tempat tinggal, menjadi kapten kapal, anak, tidak ada makanan, dst.
Kisah dalam drama ini pun berlanjut pada kehidupan Ae Sun sebagai ibu dengan anak dewasa, Geum Myeong, yang juga diperankan oleh IU. Bahkan terus berlanjut hingga Ae Sun menjadi nenek dari seorang cucu perempuan. Sama seperti orang tuanya, Geum Myeong juga mengalami pasang surut kehidupan seperti prestasi di sekolah, kemiskinan, tuntutan kerja, hubungan, dll. Kejutan dan tantangan kehidupan tak henti menghampiri mereka. Seperti rasa asam pada manisnya buah jeruk.
Dengan panjangnya kisah hidup yang disajikan pada drama ini, tak heran ada banyak isu kehidupan yang dibahas. Mulai dari mimpi, harapan, kasih sayang, kehilangan, perlawanan, pengkhianatan, takdir, dll. Berbagai emosi bisa kita rasakan saat menyaksikan drama korea sepanjang 16 episode ini.
Pesan dari Berbagai Kejutan Kehidupan
- Semua berawal dari mimpi dan pikiran
- Mendapatkan dukungan adalah anugerah
Setelah memiliki pikiran yang memiliki kehendak sendiri, ternyata kita juga perlu orang-orang baik yang mendukung apa yang kita lakukan. Di sini, Ae Sun bisa memulai mimpinya karena ia dibesarkan oleh ibunya. Ia tidak dilarang membaca saat kebanyakan anak seusianya dibiasakan dengan urusan dapur atau laut. Ia pun tetap bisa memelihara mimpinya karena hidup bersama Gwan Sik. Tentu akan berbeda hidupnya jika ia jadi menikah dengan Bu San Gil. Dalam hari-harinya sebagai yatim piatu itupun, setidaknya ia masih memiliki tiga bibi yang tulus menyayangi dan mendukungnya.
- Keengganan kita untuk merombak tradisi
- Budaya patriarki yang merugikan
Melanjutkan perihal tradisi dalam point sebelumnya, budaya ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan ini sudah mendarah daging dan tampak tidak adil. Salah satunya saat Ae Sun dikeluarkan dari sekolah sedangkan Gwan Sik hanya diskors padahal melanggar aturan bersama. Bahkan butuh keberanian hanya agar anak perempuan bisa bermain sepeda. Bukan hanya di Ae Sun di Jeju, putrinya Geum Myeong juga mengalami kesulitan di Seoul gara-gara patriarki ini. Lagi-lagi, butuh keberanian dan tekad sekuat baja jika ingin melawan apa yang sudah diturunkan antar generasi, termasuk budaya patriarki.
- Hubungan keluarga yang hangat meski kadang juga dingin
Apa yang menghangatkan dari kisah ini adalah interaksi keluarga yang apa adanya. Mulai dari perjuangan seorang ibu untuk anaknya, ketidak hadiran ayah dalam pengasuhan pada umumnya, serta hubungan kakak adik yang tidak selalu manis. Adegan-adegan itu dibungkus begitu rapi sehingga penonton pun merasakan gejolak emosi menyaksikannya. Seperti ketika Gwan Sik membela istrinya, memberikan bagian makanannya pada anaknya, berjuang untuk keluarganya hingga menjual kapal kesayangannya. Atau ketika Ae Sun memilih untuk mendahulukan keluarga serta membela putrinya bahkan saat ia sudah dewasa. Bagian yang paling menguras emosi bagi saya adalah saat mereka kehilangan putra bungsunya. Bagaimana luka kehilangan anak tidak akan hilang meski sudah berpuluh tahun usianya.
- Butuh Bergenerasi untuk naik kelas nasib keluarga
- Menerima hidup apa-adanya
Akhirnya, kita diajarkan untuk bisa menerima hidup apa adanya di setiap musimnya. Ketika terasa manis ataupun terasa asam. Kita harus maju terus dan menjalaninya dengan lapang dada. Memang hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Cepat atau lambat semuanya akan berlalu.
Salam, Nasha
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!