Saya, Ibu Rumah Tangga, Begitu Juga Kita Semua

Dan akhirnya saya kembali. Ntah akan dipublish atau tidak ini nantinya, saya mencoba berdamai dengan diri sendiri dan ekpektasi, tidak lagi peduli dengan apa pandangan maupun pendapat orang lain (jika memang ada). Saya sadar bahwa ini harus dimulai dengan sesuatu yang jujur terbuka apa adanya. 




Karena itu saya memperkenalkan diri dengan sebenarnya. Dimulai dengan menyatakan diri menerima status pekerjaan terbaru saya sesuai yang tertera di KTP, pekerjaan yg sejak dulu tidak pernah saya akui, namun lucunya justru ada dalam jenis pekerjaan disini.
Mengurus rumah tangga. See? Bukankah ini lucu? Bagi saya, mengurus  rumah tangga bukan pekerjaan. Hanya bagian dari tugas anggota rumah. Ntah itu tugas suami, istri, ataupun anak. Semuanya bertugas untuk ‘mengurus’ kan? Terlepas diluar sana juga sebagai pengusaha atau pegawai atau pelajar. Tapi toh malah tertulis pada kolom pekerjaan disini.
Tapi ya demikian. Alasan terbaik yang bisa saya utarakan untuk menampik adanya status tersebut.
Dan sekarang, itu menjadi status saya, bukan hanya pekerjaan, tapi juga menyangkut status sosial, kondisi umum yang cukup menggambarkan, dan akhirnya yang sekarang saya akui. Meskipun akan terus saya upayakan agar hilang dalam kolom pekerjaan disini.

Loh memangnya ada apa?
Saya bukan membenci status ibu rumah tangga. Tidak sama sekali. Yang saya tolak hanya ketimpangan bayangan dan realita saya. Kita semua punya gambaran mengenai identitas diri. Dan saya selalu membayangkan diri saya dengan identitas berupa seorang wanita sukses yg sibuk dengan jadwal yg padat mengurus semua hal, pergi ntah kemana dgan pakaian casual yg keren. Menghubungi ntah siapa di telefon. Mengirim email dengan attachment yang berderet. Memberikan instruksi dengan percaya diri dan bahasa lugas. Terlihat cerdas saat berpendapat atau berkonfrontasi. Dan itu yang saya upayakan sejak dulu sekolah, hingga bekerja, dan sebelum menikah.
Berseberangan, gambaran umum ibu rumah tangga tentunya jauh dari itu semua kan? Meskipun tidak ada yang persis tau bagaimana rupa dan aktifitas masing-masing individu meski dengan status yang sama.

Setahunan ini saya berjuang (if I can say that) untuk menerima dan menekan teriakan batin saya yg menyatakan kurang lebih, i’m much more than this. I could do those both. I could take care of everything well. Saya bisa mengurus anak dan pekerjaan sekaligus. Saya bisa mengurus anak dan mengejar mimpi juga. Saya bisa mengurus anak dan berkarya sekalian. Tp toh, sampai hari ini saya belum memiliki karya apapun dan the dream still there.

Pada masa-masa itu (mulai dari kehamilan sendirian di kontrakan, proses melahirkan, hingga mengurusi bayi dengan ilmu yang nol dan tanpa pernah sekalipun memegang bayi sebelumnya), saya berusaha menjadi manusia yang baik, mencintai dengan terbata-bata. Mulai merasa harus bertanggung jawab melakukan sebaik-baiknya, dengan mencari info sebanyak-banyaknya tentang bayi, parenting, atau apapun yg berkaitan. Membaca ntah dari buku, website di google, atau sekedar caption di instagram. Ada yang cocok, ada yang kurang cocok. Trial and error kan istilahnya. Tidak apa-apa yang penting saya berusaha.

Dalam masa-masa itu, saya masih saja mempersulit diri sendiri dengan berlagak sanggup, galau sendiri, sekaligus mencoba mencari bidang-bidang sambilan lain tanpa benar-benar melakukannya.

Tolong hentikan bayangan bahwa saya berada dalam ruangan gelap dengan rambut acak adul dan baju asal pakai itu. Karena saya sungguh terlihat baik saja. Tidak ada yang tau. Bahkan diri saya sendiri. Kecuali deretan kejadian saat saya mengumpat, menangis, membayangkan hal-hal mengerikan, berandai-andai, atau keinginan untuk berkonsultasi dengan psikolog. Selain itu, semua tampak normal. Suami saya baik meskipun kami terpisah jarak (yes, that LDM thing), bayi saya sehat dan aktif, ASI saya cukup, serta kadang saya berkumpul dan tertawa dengan teman.

Masa-masa kemudian yang saya lelah dengan semua hal, menjadi begitu lemah, moodyan dan tidak sabaran. Masa-masa kehilangan semangat hanya karena sedikit hambatan atau kekurangan penghargaan. Menangis menderita seperti korban hanya karena ada yang salah cara bicara.
Masa-masa enggan keluar, bersosialisasi (mungkin ini normalnya saya), bersembunyi, karena menganggap tidak ada hal yg bisa saya sampaikan, saya banggakan.

Sampai kemudian, proses itu membawa saya sampai ke titik tertentu. Dan disinilah saya, menyampaikan saya menerima bagaimanapun keadaan saya sekarang dengan perlahan berlapang dada. Karena saya hanya perlu bernafas, mengambil oksigen seperlunya, hembuskan, kemudian bernafas lagi. Mengambil jeda untuk benar-benar melihat, mendengar, merasakan, menikmati dengan sepenuh hati. Ternyata tak terhitung karunia yang patut saya syukuri dalam keadaan ini. Sangat banyak yang telah dan bisa akan saya lakukan dengan kondisi ini, yang mustahil saya lakukan jika tidak dalam status ini. 

Ntah akan jadi apa saya esok hari, ntah kejutan apa yang Tuhan miliki, ntah mengejar mimpi itu lagi, atau perlu beberapa revisi. Yang pasti saya menyadari, sebelum mengejar apa yang belum saya miliki, saya harus mengakui dan mensyukuri apa yang ada saat ini. Saya belajar untuk menerima semuanya, sepenuhnya dalam keadaan sehat dan bahagia. Apa lagi? Alhamdulillahirabbilalamiin..

Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!