Aku, Kamu, Kita-lah, yang Butuh Tuhan

Aku ingat rasanya pernah menceritakan ini sebelumnya, berpuluh tahun berlalu rasanya ingin aku ulang, dengan cerita yang sama tapi mudah-mudahan dengan pemahaman yang lebih mendalam.

Kembali pada obrolan siang bertahun-tahun lalu, aku masih duduk di bangku SMA kala itu, mengeluhkan jadwal kelas yang semakin panjang. Dari pulang siang diperpanjang hingga pulang petang. Seorang senior menanggapi dengan ujaran singkat, gapapa kan ada dua kali jeda waktu sholat. Aku cuma bisa diam. Sembari otakku mengingatkan tentang dialog beberapa tahun sebelumnya, antara aku dan guru mengajiku. Ia bertanya, kenapa sholat subuh disaat kita masih segar hanya dua rakaat, sedangkan sholat zuhur atau isya disaat rasanya kita sudah lelah malah empat rakaat. Waktu itu beliau hanya menjawab, karena ketentuannya ya begitu. Jujur saat itu, aku sama sekali tidak mengerti. 

Bertahun kemudian, obrolan ringan begitu membawa aku pada pemikiran yang cukup dalam. Mungkin semua kalimat terlontar itu adalah kebenaran yang paling aku butuhkan.

Bahwa, aku yang perlu Tuhan. Kita semua-lah yang butuh Tuhan. 



Sholat

Pemahamanku masih sangat dangkal, aku jelas bukan ahli agama, aku hanya seorang hamba yang ingin diakui sebagai umat Nabi Muhammad. Kekhawatiran menulis tema begini jelas ada, tapi ditengah segala kebisingan ini, rasanya kita justru semakin perlu menyusupkan hal-hal baik yang kita punya. Kebenaran tetaplah milik Sang Maha Kuasa.

Bertahun setelah obrolan itu, sepertinya memang disaat aku sangat lelah dan jengah dengan berbagai aktifitas, aku menjadikan sholat sebagai rest area. Masanya kala itu, aku menantikan waktu sholat, supaya aku bisa istirahat, supaya aku bisa berhenti berlari. Tidak apa meski sebentar saja. Desakan pekerjaan, berbagai tekanan, berkejaran dengan waktu, aku hanya ingin berhenti sebentar, untuk diam menunggu saat antri berwudhu, untuk bergerak lambat langkah demi langkah, untuk melipat mukenah hingga rapi, untuk berulang kali menghela nafas sepanjang gerakan itu, juga untuk bisa berbicara tentang apa yang aku rasakan. Karena sholat tidak bisa disambil, kita benar-benar harus berhenti melakukan sesuatu untuk melakukan sholat. Istirahat untuk makan bisa disambil, tapi tidak dengan sholat. 

Momen-momen itulah yang membuatku sadar, oh Allah menciptakan sholat di tengah hektiknya aktifitas itu memang untukku, agar aku bisa lebih lama berselang. Empat rakaat di tengah teriknya matahari, di panasnya siang, agar aku bisa menyejukkan diri dalam sholat. Empat rakaat di malam hari itu, supaya aku bisa lebih lama bercengkrama tentang hari yang aku lalui. Bukan hanya disaat sulit, disaat senang juga tetap begitu. Di tengah hari kita yang semakin terbuai duniawi, kita dibawa lagi untuk pause dulu. Sekedar mengingat secara sadar apa ya yang tadi kita lakukan juga apa yang akan kita lakukan. Beberapa menit yang harusnya bisa jadi moment kita sadar diri, moment kita sejenak berhenti melihat kanan kiri lalu mantap berjalan lagi, beberapa menit yang (semoga) bukan sekedar kebiasaan hari-hari.

Benar, alasan banyak rakaat hanya Allah yang punya penjelasan tepat. Mungkin saja orang lain punya alasan sebaliknya, salah satunya bisa diihat disini. Yang jelas, sebagai makhluk memang sepatutnya kita taat pada apapun ketentuan-Nya, tanpa perlu mempertanyakan. Namun untukku sepotong cerita begini, cukup menghangatkan hati. 

Photo by Fatih Maraşlıoğlu in Pexels


Puasa

Seperti sudah kita tahu, puasa adalah soal menahan diri. Bukan hanya menahan haus dan lapar, kita juga perlu menahan nafsu, mungkin mengendalikan lebih tepatnya. Ia akan tetap ada di dalam diri, namun tidak setiap saat nafsu itu perlu dituruti, tidak setiap waktu apa yang diinginkan bisa tercapai, juga tidak semua keinginan perlu diwujudkan. Dari itu saja, sebenarnya kita sedang dilatih untuk bersabar, untuk bisa mengendalikan diri. Bentuk pengajaran sekarang dalam berbagai praktik kesehatan mental. Ternyata puasa dengan bersungguh-sungguh juga bisa melatih itu. 

Buatku, yang paling awal adalah puasa membuatku sadar kalau aku kelaparan. Menyadari kalau aku lapar, aku punya lebih sedikit energi untuk melakukan apa-apa, kalau dulu mungkin akan berlagak sok kuat dengan halah, udah biasa kok puasa tuh. Tapi emang lapar dan haus bikin kita tidak punya cukup energi seperti hari biasa. Sadari itu, untuk kurangi aktifitas yang gak perlu, marah-marah misalkan. Atau mikirin hal yang gak perlu dipikirkan, ngomentarin perkara yang gak ada solusinya. Ini bisa lumayan menghemat energi. Apalagi udah dikasih clue, marah dan ngomongin orang tuh bisa merusak puasa. 

Selain itu, kita emang perlu merasakan haus dan lapar supaya kita bisa mensyukuri nikmatnya makanan dan minuman. Kita perlu merasakan kekurangan dulu untuk bis menghargai apa yang kita miliki. Seandainya kita gak merasakan puasa, gak bakal ada puji syukur berulang kali karena nikmatnya berbuka. 

Enaknya lagi, kita tinggal di wilayah mayoritas muslim, Ramadhan menjadi bulan yang 'diperlakukan' berbeda. Ada banyak sekali penyesuaian aktifitas selama Ramadhan. Dukungan untuk kita bisa lebih beribadah. Bahkan di kotaku dulu, sekolah diliburkan selama Ramadhan diganti dengan pesantren kilat, kegiatan keagamaan di masjid terdekat. Meskipun pernah juga tetap berpuasa ditengah yang tidak puasa seperti pernah aku ceritakan disini. Tapi emang paling seru kalau Ramadhan tuh kita punya rutinitas yang berbeda dari bulan lainnya, vibe-nya jadi lebih berasa, kalau kata anak sekarang.  


Mengaji

Aku ingat diwaktu-waktu aku tidak tau lagi apa yang harus dilakukan, apa yang bisa dikatakan, tidak tahu juga maunya apa, bahkan aku gak tau mau berdoa apa, tapi rasanya sesak sekali di dada, akhirnya aku hanya buka Al.Quran membaca beberapa ayat lalu menangis sesenggukan di sana. 

Aku tidak sedang baca terjemahannya apalagi tafsirnya, aku juga tidak paham bahasa Arab, aku hanya membaca dengan apa yang aku bisa. Tapi ayat yang diciptakan Allah SWT sebegitu indahnya hingga bisa menembus hati tanpa perlu dijelaskan logika. Membayangkan itu saja hatiku hangat. 

Potongan ayat-ayat suci yang aku bahkan tidak tahu maknanya, bisa memelukku pelan, menenangkan, menambahkan kekuatan, memberiku jawaban. Jawaban yang bisa jadi  langsung terlintas di benakku begitu saja, jawaban yang mungkin melalui perantara orang luar, melalui apa yang didengar, dibaca, atau mungkin beberapa tahun kemudian baru aku dapatkan. 

Photo by RODNAE Productions in Pexels

Tidak apa, begitulah kemuliaannya.

Mungkin mirip seperti saat kita bercerita pada teman, kadang bukan jawaban yang kita butuhkan. Kadang kita hanya ingin mengeluarkan, didengarkan daripada berdesakan di kepala lebih baik dikeluarkan, diucapkan. Kadang kita hanya perlu tambahan kekuatan, memastikan bahwa ada yang berada disisi untuk memberi dukungan. Semuanya tetaplah bagian dari bagaimana Tuhan dengan megahnya mengatur segala rencana.


Nikmat Iman

Apa yang aku rasakan, apa yang kamu rasakan, apa yang kita semua rasakan mungkin bisa kita sebut sebagai anugerah karena memiliki Tuhan, kenikmatan beriman. 

Atas segala perkara yang ada-ada saja, yang sering tidak masuk akal, yang sulit dijelaskan, kita tahu bahwa ada yang berkuasa diatas segalanya. Bahwa ada alasan sesuatu terjadi, dan ada tujuan semuanya menjadi. Ada titik di mana semua ini berasal, dan ada juga titik di mana semua ini akan kembali. Aku sendiri merasa lega, karena ada 'pihak' yang bisa diserahkan atas segala urusan, aku sendiri jelas tidak akan sanggup menanggung semuanya. Jangankan semua, satu perkara saja aku tidak punya daya. Momen-momen tepat datangnya pertolongan. Orang-orang tepat yang Tuhan pilihkan untuk memberi bantuan. Cara-cara yang lembut menyentuh hati. Tempat-tempat yang pas melegakan. Serta alur yang sempurna Tuhan telah skenariokan. 

Maka, aku tidak pernah terbayang bagaimana hidup di dunia yang begitu luas dan chaos ini jika tidak ada Tuhan didalam diri. Kenikmatan untuk (insyaAllah) beriman dan berada ditengah-tengah orang yang (insyaAllah) beriman. Kenikmatan ini semoga tidak akan pernah lekang, semoga terus bersama kita. Jangan sampai kita lupa memohon agar tidak dibolak balikkan hati ini, agar bisa kita senantiasa merasakan nikmatnya iman begini. Nikmatnya menjadi hamba, nikmatnya memiliki Tuhan, nikmatnya menjadi umat, nikmatnya memiliki tauladan. 

Pada akhirnya, setelah kita meyakini dan memilih taat saja pada apa yang Allah perintahkan, lalu berangsur merasakan sepotong ketenangan, kedamaian, wah ternyata memang kita yang butuh semua ibadah itu. Kita yang jelas-jelas butuh Tuhan.



Salam, Nasha


0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!