Dalam artikel sebelumnya yang aku tulis di Kumparan ini, flexing dibahas dari segi bahasa dan juga kesehatan jiwa secara umum. Namun pada tulisan ini, kita bisa menikmati sedikit cerita dan merefleksikan diri dengan fenomena flexing yang terjadi di tengah-tengah kita.
Singkatnya, penggunaan kata flexing mengacu pada kata pamer dalam bahasa Indonesia, serta show off setelah ditranslasi ke bahasa Inggris. Digunakan sejak dulu untuk perilaku yang memperlihatkan secara berlebihan apa yang didapatkan, dimiliki, juga kemewahan yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain. Dari pamer, berganti jadi show off, lalu kini menjadi flexing, maknanya sama aja. Jika pamer dan show off memang berasal dari bahasa Inggris, kata flexing merupakan bahasa slang Amerika yang populer sejak 1990-an, dan semakin merebak karena disebut dalam beberapa lirik lagu. Akhirnya kata flexing mendapat makna metafora yang disingkat sebagai pamer. Salah satu yang mendefinisikannya adalah Cambridge Dictionary yang mengartikan sebagai bentuk kesenangan seseorang dengan apa yang ia punya, namun dengan cara yang mengganggu orang lain. Ini menarik buatku, karena batasan mengekspresikan kesenangan atau kebanggan dengan terganggunya orang lain bukanlah garis yang jelas dan pakem di tiap orang.
Ilmu Kejiwaan
Dari berbagai penelitian dan bagaimana alur perilaku tersebut, serta fenomena yang terjadi sekarang, kita sebenarnya bisa belajar banyak hal.
Pelajaran saat Flexing
Karena flexing adalah perilaku akibat, kita bisa belajar untuk mencari penyebab dan menyelesaikan persoalan dari akarnya. Kebanyakan flexing, membutuhkan validasi dari orang lain, haus perhatian, mungkin karena ada kekosongan dalam diri yang berusaha kita isi. Padahal seharusnya kekosongan itu tidak perlu kita tutupi, anggap sebagai jeda untuk kita melihat lebih dalam ke diri kita sendiri.
Mungkin bisa kita mulai dengan bertanya, bertanya pada diri kita sendiri. Oh kenapa ya aku flexing begini? Apa yang ingin aku dapatkan? Jika jawabannya ada di orang lain, tanyakan lagi kenapa aku perlu hal itu dari orang lain?
Misalkan, aku memperlihatkan berlebihan tentang barang mewah yang aku baru beli. Barang baru, harganya mahal, gak semua orang mampu. Posting di sosial media aja deh, gampang kan. Lalu, tanya ke aku, kenapa aku perlu memperlihatkan itu? Oh, aku perlu validasi dari orang lain bahwa hidupku sukses, aku menghasilkan banyak uang. Gali lagi, kenapa ya ak perlu orang lain untuk menganggap aku sukses? Dari sini jadi banyak hal yang bisa kita dapatkan, oh waktu kecil aku gak dibeliin barang begini. Oh aku sering mendengar orang sekitar memuja barang mewah dan mengglorifikasi tumpukan materi. Oh ternyata aku gak mengganggap hidupku sendiri berhasil, sehingga aku perlu diyakinkan oleh pandangan orang lain bahwa hidupku sukses. Banyak, ada banyak sekali yang bisa kita dapatkan kalau saja kita berani bicara dengan diri sendiri.
Kalaupun udah dapat jawaban dan ternyata emang itu yang kamu inginkan, ya udah go on. Emang lagi low self esteem nih jadi perlu validasi dari orang lain. Ya kadang bisa aja kita dititik itu. Atau emang lagi mengasihani aku di masa lalu, makanya mau pamer ke orang-orang. Bisa aja, karena tiap kita punya cerita lalu masing-masing. Setelah disadari kalau mau melakukan ya silahkan, tapi ingat, kekosongan itu mau ditutupi kaya gimanapun akan tetap kosong, sampai kita berani menghadapi lalu mengisinya.
Bukan hanya itu, lingkaran flexing ini mendorong pada perilaku konsumtif, memenuhi apa yang kita pikir orang harapkan dari kita. Kadang dengan jalan yang udah terlalu maksa. Saking fokusnya sama keiginan untuk perform excellent kita jadi lupa sama orang lain, mengikis empati, dan menurunkan kualitas silaturahmi.
Menyaksikan Flexing
Mengambil contoh dari hasil karya seni zaman dulu, orang yang pamer digambarkan mengenakan pakaian mewah, aksesoris serba terlalu, dan dengan gelagat tubuh yang berlebihan. Disambut degan orang-orang yang memandang kagum di depan tapi bicara buruk di belakang. Efek negatif kayanya lebih banyak dari efek positifnya.
Tapi yang mengherankan, kenapa ada banyak penonton untuk aksi pamer kemewahan?
Aku cari jawaban tapi tak kutemukan. Bisa jadi ini bermula dari artis idola, yang secara income memang jauh di atas rata-rata. Bisa jadi melihat hidup mewah mereka, kita jadi sedikit lari dari kenyataan hidup yang nggak seindah angan. Atau sekedar untuk bahan obrolan, bisa jadi gunjingan juga, dengan orang lain. Gak ada yang penting efeknya.
Kadang mungkin kita bisa aja flexing, apalagi saat melihat positngan mewah seseorang, rasanya ingin memamerkan kemewahan yang kita banggakan juga. Flexing orang lain memicu flexing kita juga. Tapi sebelum melakukannya, tahan dulu, terus tanya ke diri sendiri, "buat apa sih?" Kalau emang dia butuh validasi, ya udah biarin aja kenapa harus terganggu? Tapi, kalau emang kita punya tujuan yang mau dicapai dengan memposting sesuatu, go ahead. Sadari dulu niatnya. Jangan juga gara-gara takut dianggap flexing atau dikomen sama orang, kita jadi mengurungkan niat buat update sesuatu yang sebenarnya baik.
Ini juga sikap yang perlu kita latih, untuk bersikap bodo amat. Bodo amat dengan orang yang flexing, bodo amat kalau orang bisa punya barang mewah tertentu, bodo amat kalau hidup orang terlihat lebih baik dari pada kita. Instead of care too much on others, start care so much on your self.
Karena flexing bukan hanya tentang pamer harta, bisa juga pamer perkara lainnya. Bisa pamer kemesraan, pamer kebaikan, orang punya kuasa ke akunnya untuk memamerkan apapun yang dia suka. Begitu juga dengan kita, kita punya kuasa untuk merespon bagaimana atas segala yang kita lihat itu. Bisa dengan melihat hanya yang memiliki dampak positif, bisa dengan menjadikan tontonan itu motivasi pendorong, bisa juga dengan menjadikan bahan refleksi. Kalau cuma untuk banding-bandingkan, lalu jadi merasa rendah diri dan gak bersyukur ya mending gak usah dilihat. Filter apa yang kita konsumsi, karena itu membentuk diri kita ini.
Harus sering-sering ingat tentang hakikat diri kita dan hidup kita sendiri. Aksesoris apapun, komentar bagaimanapun, gak mendefinisikan kita, gak mengurangi ataupun menambah nilai kita sebenarnya kan. Aku adalah aku seutuhnya, tanpa embel-embel, aku ya tetap aku. Segala benda bahkan peran yang melekat padaku, sebatas bagian dari perjalanan hidupku.
0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!