Asian Parent, Alasan Kenapa Kita Lebih Mudah Bilang Love daripada Cinta

Pernah tidak bertanya-tanya kenapa canggung sekali rasanya bilang aku mencintaimu, padahal maknanya sama dengan i love you? Untuk kita yang bahasa sehari-harinya adalah Bahasa Indonesia atau bahasa daerah, harusnya bilang cinta atau sayang adalah hal yang mudah ketimbang berbahasa asing, love. Tapi kenyataannya, kita memilih menyampaikan dengan I Love You, kadang juga disingkat dengan ILY. Bagi sebagaian orang, itupun juga sudah cukup asing. Mengungkapkan sayang atau perasaan masih menggelikan bagi sebagian kita yang dibesarkan dalam Kebudayaan Asia atau dikenal Asian Parent.

Kecenderungan Asian Parent

Istilah Asian Parent sebenarnya lebih sering disebut oleh Orang 'Barat,' mereka yang tinggal dalam kebudayaan Amerika serta Eropa. Ungkapan itu mengacu pada pola asuh masyarakat Asia, dibelahan bumi bagian timur mencakup Asia Timur, Asia Selatan, juga Asia Tenggara, yang jauh berbeda dan kadang sulit dimengerti oleh orang barat. Salah satunya adalah ketidak biasaan kita untuk mengungkapkan kasih sayang. Bahkan tidak sedikit anak yang hingga dewasa belum pernah mendengar ibu apalagi ayah mengucapkan sayang pada mereka. Ini bukan berarti orang tua Asia tiak menyayangi anaknya, namun cara mengungkapkannya yang memang berbeda.

Anak-anak Asia dididik dengan cara yang sama selama bergenerasi. Mulai dari kondisi yang cukup terbatas. Peradaban kita yang dimulai belakangan membuat kita harus berlari mengejar ketertinggalan. Salah satu pendapat menyebutkan muasal dari pola ini adalah masyarakat Cina Kuno yang memegang teguh prinsip kerja keras, bertahan dalam kesukaran, serta menempuh pendidikan untuk memperbaiki hidup. Dari sinilah, para orang tua menekan anaknya harus rajin, belajar dengan keras agar bisa unggul dalam akademik, dan memiliki disiplin diri yang tinggi. Mendidik dengan keras dianggap sebagai cara yang harus ditempuh agar anak bisa tumbuh sukses dan memiliki hidup yang lebih baik. Karena yang dikejar adalah keunggulan, maka tidak heran bahwa pola asuh asia juga tentang kompetisi menjadi yang terbaik, mengejar kesempurnaan, dan berakibat pada orang tua yang tidak pernah puas pada prestasi anak.  

Dari pola asuh demikian, lahirlah istilah tiger mom, mengacu pada ibu-ibu asia yang umumnya mengasuh dan mendidik anaknya dengan tegas, kontrol penuh pada orang tua, dan berkuasa atas hidup anak, dengan dalil anak harus patuh.  Orang tua seperti ini membahasakan cinta dengan merencakan serinci mungkun hidup anak, menuntut anak agar berprestasi, dan menjadi yang paling tahu yang terbaik untuk anak. Jika mundur, dan melihat lebih luas, hal ini bisa jadi disebabkan oleh orang tua sendiri yang sudah tertekan dengan standar sosial kesuksesan dari lingkungan. Akhirnya orang tua juga menekan anak, melakukan segala upaya agar anak bisa memenuhi tuntutan, yang tidak tahu memang sesuai dengan anak atau tidak. Paling penting, anak terlihat berprestasi, lebih unggul, bisa dibanggakan. Apa yang ada di kepala orang tua akan berputar di indikator kesuksesan itu, sehingga seringkali komunikasi orang tua pada anak hanya berupa instruksi dan kalimat-kalimat lecutan agar anak bekerja keras. Wajar, jika kalimat sayang menjadi kalimat yang jarang kita dengarkan. 

Orang tua asia memang cenderung kaku, karena mereka pun dibesarkan tanpa memiliki ruang untuk berpendapat. Mereka juga adalah anak-anak yang tumbuh dengan keharusan mematuhi orang tuanya, lalu menurunkannya pada kita, dan besar kemungkinan juga kita turunkan pada anak-anak kita ini. Berbagai pendapat mencirikan orang tua asia sebagai orang tua otoriter, yang dominan, memiliki kuasa, dan harus dipatuhi oleh anak. Anak dididik menjadi pribadi yang memegang teguh prinsip keluarga dan menjalani standar tertentu yang telah ditetapkan untuk mereka. Ini dasar yang menjadi pembeda kita dengan pengasuhan barat, dimana anak dididik untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab pada hidup sendiri, sehingga anak diberi keleluasaan berpendapat dan menentukan apa yang ia inginkan. Hal ini juga mendorong mereka untuk lebih bisa mengekspresikan perasaan, termasuk mengungkapkan sayang.   

Sebagai anak asia, kita tahu bahwa apa yang dikatakan berbagai pendapat tentang orang tua asia tergolong cukup akurat. Pengasuhan yang seperti itulah yang membentuk bagaimana kita sekarang, baik dengan meraih kesuksesan ataupun terbiasa bekerja keras. Hanya saja ada beberapa catatan yang perlu kita perbaiki dari pola asuh turun termurun tersebut. Karena tidak terbiasa memilih, banyak anak yang tumbuh selalu ragu-ragu dan banyak pertimbangan hingga dewasa. Bahkan untuk urusan sepele, tetap meminta pendapat orang lain. Mereka cenderung diam menunggu instruksi, takut salah, tidak ingin mencoba, dan sulit untuk berkreasi. Memaksakan kehendak orang tua pada anak, selain membuat anak kehilangan suara untuk hidupnya sendiri juga beresiko tinggi membuat anak menjadi pembangkang nantinya. 


Dampak-dampak buruk tersebut bisa kita mitigasi jika kita bersedia menerima dan mengakui akar permasalahannya. Berusaha memperbaiki dan memiliki kesadaran penuh, anak seperti apa yang akan kita bentuk dengan pola seperti apa. 

Kebaikan yang Bisa Kita Teruskan

Melihat kecenderungan pengasuhan asia ini bukan untuk membandingkan apalagi merendahkan, namun kita perlu menyadari bahwa orang tua memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Kebiasaan dan budaya yang ada di sekitar mereka, akan menjadikan siapa anak ini nantinya. Mengambil hal-hal baik yang nilainya sesuai dengan prinsip kita, lalu dengan sadar menerapkannya pada anak. Serta menghindari apa-apa yang dulu pernah kita terima namun ternyata tidak kita suka. Bawa memori tersebut dari alam bawah sadar ke alam sadar, agar bisa dengan sadar kita menyaring mana yang ingin diteruskan pada anak dan mana yang tidak.

Kita tidak bisa menyalahkan, karena pola asuh seperti itu mungkin memang perlu dilakukan karena keadaan, atau karena ketidak tahuan tentang bentuk pola asuh yang lebih tepat. Sekarang, dengan mudahnya informasi yang kita dapat dan semakin tingginya kesadaran orang tentang banyak hal penting yang perlu dilihat selain tampak sukses secara materiil, kita bisa memilah dan menentukan apa prioritasnya ditiap perkembangan anak.

  • Aturan yang Harus Ditaati

Tidak semua aturan bisa diberlakukan fleksibilitas, ada aturan yang emmang ada untuk ditaati, karena kita hidup sebagai makhluk Tuhan yang berhubungan dengan makhluk lainnya. Namun, sesuaikan aturan ini dengan usia anak dan buat sesederhana mungkin. Ini mencakup ajaran agama, adab-adab, hingga sopan santun. Masing-masingnya disesuaikan dengan keyakinan dan nilai keluarga. Seperti ajaran untuk sholat wajib, adab makan duduk dengan tangan kanan, sopan santun saat bertemu dengan orang lain, dsb. 

Sebagai catatan, anak dibawah tujuh tahun, rata-rata masih belum mengenal makna kewajiban, maka jangan berlakukan keharusan pada mereka, tapi selalu ingatkan, selalu beri konsekuensi yang sesuai, sehingga perlahan mereka juga paham ada aturan yang harus dipatuhi. Kita memang tidak bisa hidup seenaknya. 

  • Pilihan yang Terbatas

Mungkin memilih adalah satu hal langka yang kita terima dalam pola asuh asia. Seringnya justru mendapat kalimat, kamu harus patuh, anak kecil tidak tahu apa-apa, ayah dan ibu tahu yang terbaik untukmu. Ditambah lagi, setiap melakukan kesalahan, ada kata, makanya.., sudah dikasih tau kan.. Akhirnya kita tumbuh dengan sedikit keberanian, keengganan memilih dan menanggung resiko. Padahal, decision making skill termasuk dalam kemampuan yang penting dalam kehidupan. Kenyataan setelah dewasa, kita menyadari bahwa kita perlu berlatih terus untuk bisa memilih secara mandiri, dan menganggap kesalahan adalah hal biasa yang tinggal dijalani saja konsekuensinya. Namun seiring dengan itu, kita juga sadar bahwa bebeas memilih bukan berarti semua pilihan bisa diberlakukan. Pilihan kita terbatas.

Termasuk penerapan pada anak. Hal yang bagus untuk memberikan anak kebebasan memilih, dan bebas berpendapat. Namun, tidak semua pilihan anak perlu diwujudkan. Ada kalanya anak perlu menerima apa yang ada, meski tidak sesuai dengan pilihan dan keinginannya. Untuk makan misalkan, bagus jika anak punya kebebasan untuk menentukan apa yang ia ingin makan agar pengalaman makannya menjadi menyenangkan, namun ada kalanya anak juga perlu mengikuti pilihan orang lain. Anak juga perlu belajar mensyukuri apa yang sudah tersedia dan menikmatinya. 

  • Latih Kemandirian

Melatih anak disiplin dan bekerja keras adalah ajaran yang baik, tapi ada ajaran lain yang bisa kita tambahkan yaitu kemandirian. Mulai dari mengambil keputusan, hingga menanggung resikonya. Mungkin sebagai orang tua, ada perasaan tak tega, lalu mengambil alih tugas anak untuk membereskan masalah yang ia buat, tapi kita harus belajar menahan diri dan memberikan anak ruang untuk bertumbuh.

Beri mereka kebebasan memilih bidang yang mereka sukai, ajarkan tentang kerja keras dan disiplin dalam melaksanakannya, dan beri mereka ruang untuk melakukan kesalahan lalu bertumbuh setelahnya. Anak tidak perlu berprestasi sesuai dengan keinginan kita, mereka tidak punya kewajiban mewujudkan mimpi orang tua. Pada anak yang lebih kecil, beri mereka pilihan bidang yang mereka minati, fasilitasi sesuai kemampuan, lalu ajak anak untuk bergabung dalam kelompok dan berkompetisi. Jangan paksa anak untuk menang, tapi tuntut mereka untuk disiplin bekerja keras. Berkompetisi dengan adil, kalah menang dampingi mereka dengan dukungan dan kasih sayang.

  • Mengungkapkan Perasaan

Saking tidak punyanya suara, tidak jarang kita tidak mengerti dengan apa yang kita rasakan. Kita hanya diam mendapat perlakuan, yang kadang tidak megenakkan, dari orang yang lebih berkuasa. Dalilnya selalu kewajiban dan ancaman. Lihat saja kasus-kasus kekerasan, apalagi pada anak. Ketidakbiasaan mengungkapkan menjadi salah satu faktor anak asing dengan dirinya sendiri, merasa tidak nyaman pun jadinya tidak bisa melawan karena harus patuh. 

Sejak dini, beri anak ruang untuk mengekspresikan dirinya. Ajarkan anak tentang batasan pribadi dan siapa saja yang boleh mengakses. Beri anak ruang untuk menyampaikan apa yang ia rasakan, kenalkan dengan berbagai emosi serta cara tepat menerimanya. Jika senang, ungkapkan. Jika kesal, katakan. Jika tidak suka, sampaikan. Apa yang diinginkan dan tidak diinginkan. Aku merasa kesal kalau kamu begitu. Aku tidak suka diperlakukan seperti ini. Aku sedih dan kasihan melihatnya. Termasuk membiasakan ungkapan sayang, ibu ayah sayang kakak, sayang adik.

 


Seiring berjalannya waktu, saya menyadari seperinya kenapa begitu sulit mengatakan aku mencintaimu, aku sayang kamu, dibandingkan i love you. Kemungkinan besar karena kita jarang atau tidak pernah mendengarnya. Ungkapan cinta i love you sering kita dengar dari layar kaca atau percakapan orang asing. Sedangkan cinta, jarang kita dengan dalam percakapan kita sehari-hari, dengan keluarga ataupun teman. Cukup menggelikan tidak membayangknnya? Enggan ya rasanya karena begitu asing. 

Selain mulai memilah antara mana prinsip yang bisa kita teruskan dari pola asuh asia, kita juga bisa mulai berani dan membiasakan ungkapan sayang. Pada pasangan, anak, orang tua, keluarga, teman. Terlambat rasanya tapi tidak apa, setidaknya melakukan hal yang benar. Lalu, sadari bahwa tuntutan sukses pada pola asuh asia, pada satu sisi mungkin bisa membuat kita sampai pada titik yang diidamkan banyak orang, tapi ada banyak hal yang terlupa karenanya. Hidup bukan semata untuk meraih kesuksesan itu. Tidak semua orang pula ingin berada disana. Maka, kita bisa perlahan mengajarkan hal-hal yang lebih fundamental pada anak, tentang berbuat baik, jujur, menghargai proses daripada hasil, berbagi manfaat, memanfaatkan waktu dengan sebaiknya, berkasih sayang, melestarikan alam, bertanggung jawab, peduli, dsb. 


Salam, Nasha

4 Comentarios

  1. Nice sharing mbak. Saya pribadi makin banyak baca buku ttg parenting kadang mengadopsi gaya barat, gaya asia, gaya mana aja haha yang sekiranya bisa diterapkan dan sesuai dengan nilai2 keluarga. Krn kalau maksain satu prinsip aja khawatir tak cocok. Apalagi gaya parenting tiap orang tua pastinya berbeda ya.
    Kalau yang kusukai dari gaya barat emang sering banget mengucapkan kata i love u ke anak, jd itu msh bisa kami tiru plus sering2 memeluk anak :D
    Menurut saya gpp bilang dalam bahasa Inggris bisa juga bahasa Indonesia krn zaman skrng anak sudah tahu maknanya. Ketimbang gk ngucapin sama sekali :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju mbaa, pola asuh yg paling baik itu ya yang paling cocok di masing keluarga. gak lepas aja, jg gak dijadiin beban. selagi kita masih saling sayang, bakal ada kompromi terus untuk dapat cara yg terbaik hehe skrng jd makin yakin tanpa gengsi ya mba buat ucapin sayang sering2 ke anak :D

      Hapus
  2. Nilai-nilai dasar memang penting sekali untuk diterapkan sejak dini. Saya punya nilai sederhana di keluarga; berkata jujur. Soalnya dulu pas kecil sering "dibohongi" yang tujuannya katanya "baik". Misal pas mau eskrim dibilang "Itu tidak dijual" 🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu sederhananya dimana orang tu akita memlih jalur aman dibanding jujur mas hihi

      Hapus

Mau nanya atau sharing, bisa disini!