Pengalaman Konsultasi ke Psikolog Anak untuk Menjawab Bagaimana Menghadapi Anak dan Tingkahnya

Kita langsung menjadi orang tua tepat ketika anak lahir ke dunia. Ketidaktahuan anak hampir sama dengan bingungnya kita menghadapi mereka. Sehingga wajar jika kita sering kewalahan dan bertanya, apa tindakan paling tepat untuk dilakukan? Kadang pertanyaan itu bisa terjawab dari buku bacaan, bertanya pada yang lebih berpengalaman, namun tidak jarang kita tetap buntu. Mungkin itu saatnya, kita bertanya pada profesional. Konsultasi ke psikolog anak, agar kita punya perspektif yang lebih luas dan mendapat jawaban yang lebih objektif.


Tentang Psikolog Anak

Singkatnya psikolog anak merupakan ahli yang mempelajari tentang mental juga perilaku anak dalam rentang usia 0-18 tahun, yang berkaitan erat dengan tumbuh kembang mereka. Dalam perannya tersebut, seorang psikolog dapat mengevaluasi tumbuh kembang anak, memberi arahan stimulasi yang dilakukan oleh orang tua, hingga mendampingi anak menghadapi masalah yang menekan mereka. 

Meningkatnya kasus penyakit mental dan pesatnya penyebaran informasi, membuat semakin banyaknya masyarakat yang aware dengan pentingnya menjaga kesehatan mental. Jika dulu penyakti kejiwaan dianggap sebagai hal yang tabu, sehingga banyak orang dengan kondisi mental khusus tidak mendapat penanganan yang tepat, sekarang masyarakat sudah lebih terbuka. Jenis gangguan mental berikut dengan data penderitanya sudah bisa tercatat rapi. Para ahli juga lebih mudah melakukan evaluasi dan memberikan penanganan yang sesuai. Begitu juga dengan kelompok anak-anak, mereka tetap memiliki kondisi mental yang perlu dijaga, dan kita sebagai orang tua-lah yang harus terbuka dan membuka jalannya. 

Beberapa artikel kesehatan merilis tanda-tanda yang perlu menjadi perhatian pada anak yang memerlukan penangan profesional psikologis. Memang setiap anak akan menunjukkan cara yang berbeda, dengan adanya perilaku-perilaku diluar kewajaran dari yang biasa kita perhatikan, namun beberapa ciri ini bisa kita jadikan acuan, antara lain:

- Gangguan tumbuh kembang
- Menghindari interaksi
- Sulit berkomunikasi hingga mengekspresikan emosi
- Pernah mengalami kejadian traumatis
- Sulit berkonsentrasi, sulit tidur, tidak bersemangat, dsb

Sebenarnya tanpa indikasi diatas pun, kita bisa saja melakukan konsultasi psikologi. Secara hukum pun, anak yang tidak terlihat gejala yang mencurigakan namun terlibat dalam kasus perundungan hingga kekerasan berhak mendapatkan layanan psikologi. 

Nah, sebelum memustuskan ke psikolog anak, ada baiknya kita mempersiapkan diri dengan penjelasan tentang keluhan atau masalah psikolgis anak yang menjadi perhatian, kondisi apa kira-kira yang menjadi memicu hal tersebut, serta data-data berupa tumbuh kembang anak, sehingga sesi konsultasi bisa berjalan dengan lancar. Biasanya konsultasi psikologi akan berjalan dengan wawancara dan observasi, tergantung dari kondisi masing-masing anak dan usia mereka. Setelah konsultasi, ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan seperti psikoterapi juga obat-obatan. Tidak ada efek samping khusus dari pemeriksaan psikologi, justru kita bisa mendeteksi lebih dini jika ada gangguan tumbuh kembang ataupun gangguan mental anak. Sehingga, tidak usah ragu untuk melakukan konsultasi psikologi. 


Pengalaman Konsultasi ke Psikolog Anak



Berangkat dari keyakinan itulah, saya meyakinkan diri untuk mendaftar pada salah seorang psikolog anak. Setelah maju mundur bimbang diantara pilihan online atau offline, dengan pertimbangan agar lebih lega dan bisa benar-benar clear, saya cari tahu tentang rekomendasi psikolog-psikolog yang tersedia offline. Mencari di Rumah Sakit hingga Klinik Ibu Anak dengan fokus layanan psikolgi anak, melihat berbagai ulasan di internet, sampai akhirnya membulatkan tekad untuk mendaftar di salah satu klinik ibu anak swasta di Solo. 

Tidak ada gangguan khusus anak sebenarnya yang saya ingin keluhkan, namun saat itu rasanya sudah penuh dada dan kepala menghadapi tingkah si kakak yang emosinya bisa meledak tidak karuan. Jika ada hal yang dia tidak suka, atau menyebalkan untuknya, dia mengekspresikan emosinya itu dengan cara yang tidak tepat. Sudah berulang kali saya sampaikan, baik itu tarik nafas hingga berwudhu. Tapi seringnya ia menolak, hingga menyakiti. Saya pikir apapun alasannya, ini tidak lagi bisa dimaklumi.

Maka hari itu, tanpa bekal apa-apa selain segala uneg-uneg yang ingin saya tumpahkan, saya memasuki ruang psikolog tersebut. Ia membuka sesi dengan bertanya dimana anaknya, lalu saya jawab bahwa saya hanya ingin mendapat jawaban. Dua saja, apa yang harus saya lakukan dan bagaimana saya menghadapinya.

Saya ceritakan, beberapa kejadian yang membuat anak saya mengalami emosi yang tak terganggung olehnya. Perkaranya, menurut saya dan kita sebagai orang dewasa mungkin sangat sepele, namun saya berusaha mengerti kalau itu bisa jadi hal besar untuk anak. Biasanya karena ada yang tidak sesuai dengan keinginannya (yang kadang tidak masuk akal), kadang juga karena dilarang melakukan sesuatu (yangia tahu aturannya atau karena alasan bahaya). Sebeneranya, saya berusaha untuk tidak mempermasalahkan alasan ia merasa marah, namun cara marahnya yang ingin saya tanyakan. Bagaimana saya bisa mendampingi anak menghadapi rasa marah tersebut. Saat itu, ia bisa berteriak-teriak, memukul, hingga menggigit, khususnya ke ayahnya, sembari menangis meraung dan mengeluarkan kalimat yang juga sama menyakitkannya. 

Saya membuat beberapa point pertanyaan, seperti bagaimana saya menghadapi anak, bagaimana saya harus bersikap dengan ngamuknya itu, hingga bagaimana saya menghadapi adik yang melihat kejadian tersebut.

Selama sekitar satu jam itu, saya jelas menangis. Meskipun berusaha tetap tenang dan mencoba mengisi kepala dengan berbagai ilmu pengasuhan, saya tetap saja kewalahan. Tetap saja ada banyak perasaan yang muncul dari apa yang saya dan anak alami. Saya tidak benar-benar siap dengan apa yang tidak pernah diharapkan itu. Tapi bagaimanapun, itu sedang terjadi, dan siap tidak siap harus saya hadapi. Melegakan rasanya, ada orang yang mendengarkan keluhan kita dan bisa menjawab secara profesional. Bisa berbagi secara objektif karena ia seorang ahli yang bertahun-tahun mempelajari ini, dan karena ia juga seorang ibu dengan pengalaman serupa.

Apa yang psikolog tersebut jelaskan, sebenarnya, tanpa kiat-kiat khusus yang rinci, namun saya pulang dengan pemahaman baru. Setiap anak memiliki fasenya masing-masing, dan itu normal. Ledakan emosi sangat mungkin dialami oleh anak-anak, apalagi usianya masih dibawah lima tahun. Apa yang ia lakukan, bisa jadi dari apa yang ia lihat, tapi bisa jadi juga itu hanya dorongan tubuh karena energi yang sangat besar ingin ia keluarkan pada objek yang ia anggap aman, dalam hal ini ayahnya, orang tuanya. 

Kita perlu menyadari bahwa mereka anak-anak, yang bukannya perlu kita maklumi tindakannya, namun perlu kita dampingi dan arahkan pada hal benar dan baik. Mereka belum berkembang sempurna, termasuk otak dan emosinya. Kita yang perlu berusaha lebih keras, untuk bisa mendampingi mereka tetap dengan tenang. Jangan bosan untuk mengajarkan mereka tentang bagaimana seharusnya, bagaimana tindakan yang tepatnya. Mereka juga sesungguhnya tidak nyaman dengan emosi tersebut, sehingga kita-lah yang harusnya mempengaruhi mereka, bukannya kita malah ikut terbawa emosi akibat tindakan mereka.

Untuk adik, menurut psikolog itu, yang lebih pentingnya adalah ia melihat bagaimana kita menghadapi emosi si kakak. Ia mungkin melihat apa yang tidak tepat dari itu, namun ia juga bisa melihat bagaimana kita meng-handle itu. Bagaimana kita bisa tetap tenang, menghadapi ledakan emosi orang lain. Justu itu bisa menjadi titik pembelajaran anak. 

Ini menjadi catatan penting untuk saya, hingga pelan-pelan saya bisa menerima kondisi tersebut. Saya berdamai dengan segala perasaan yang muncul baik itu sedih, kecewa, hingga kesalnya saya. Karena saya bisa mengupayakan apapun sebelumnya, namun jika memang hasilnya belum sesuai dengan teori yang saya baca atau kalau memang itu fase dari kepribadian anak, saya hanya bisa berserah. Mengendalikan emosi diri sendiri sambil terus memanjatkan doa. Tidak letih mengajarkan ia cara-cara yang tepatnya. Hingga pelan-pelan durasi amukannya memendek, semakin jarang, dan hilang sama sekali. 

Melakukan konsultasi dengan psikolog, sebenarnya bisa dilakukan kapan saja. Saat ada hal yang mengganjal ingin ditanyakan, atau saat ingin ada pemeriksaan lanjutan untuk anak. Sejauh ini, saya akan merekomendasikan konsultasi psikologi sebagai salah satu solusi dari ketidaktahuan kita tentang pengasuhan, dari bingungnya kita membersamai anak, dan dari sesaknya kita menghadapi tingkah ajaib mereka. Tidak usah ragu, tidak ada efek buruk, hanya efek baik. Semangat!!



Salam, Nasha

2 Comentarios

  1. Saya juga dulu pernah mau ke psikolog anak mb gara2 ini bocah kok g bisa2 jg ngomong, eh si Joko (sudarcode) malah bilang entar2 aja karena nanti jg bisa padahal buat anak kan g bs main2 ya kita

    BalasHapus
  2. Saya belajar banyak dari tulisan ini. Kadang anak saya juga kalau emosi meledak-ledak. Rasanya uji kesabaran banget. Sepertinya akan mempertimbangkan untuk mengunjungi psikolog anak juga

    BalasHapus

Mau nanya atau sharing, bisa disini!