• Anak & Keluarga
  • Kesehatan Mental
  • Perempuan & Pernikahan
  • Lingkungan
  • Review & Rekomendasi
Salam, Nasha

Jejak Perjalanan dan Catatan Pelajaran

Sebelum ramadan benar-benar pergi, tampaknya kita sudah lebih dulu menjauhi. Sibuk mempersiapkan lebaran hingga lupa pada keistimewaan ramadan yang katanya ingin maksimal dimanfaatkan. Daftar apa yang hendak dikerjakan selama ramadan, tampaknya sudah tidak terlalu dihiraukan. Kita terburu-buru karena tahu ramadan akan berlalu. Namun jika saja kita mau berhenti sejenak untuk benar-benar merasakan, ada banyak berkat yang hanya ada di bulan ini. Hal-hal sederhana yang bisa menghangatkan jiwa dan besar kemungkinannya akan kita rindukan nanti setelah bulan ini usai. 




Berpisah dengan Keistimewaan

Salah satu hal yang bisa kita syukuri sebagai bagian dari negara dengan mayoritas penduduk muslim adalah suasana yang mendukung aktivitas kita selama ramadan. Perkantoran menyesuaikan jam kerja pegawainya, pedagang juga menyesuaikan waktu buka tutupnya, bahkan menu makanan sampai barang yang dijual juga. Seolah ramadan benar-benar disambut. Kita dikelilingi dengan suasana demikian rupa yang menjadikan ramadan makin istimewa.

Sayangnya, jika kita begitu terpaku pada suasana, kita pun mudah terbawa karenanya. Kemungkinan negatifnya kita jadi lalai pada makna ramadan yang sesungguhnya, hanya asyik dengan perhelatannya saja. Minggu terakhir ini misalkan, suasana penyambutan lebaran sudah sangat terasa dengan berbagai atributnya, bisa saja kita ikut terbawa sampai lupa ibadah paling berharga justru ada pada minggu terakhir ini. Lupa, kalau ramadan baru bisa kita temui setahun lagi sehingga harusnya bisa kita manfaatkan dengan optimal.

Tidak semua kok, sebagian kita juga banyak yang bersedih hati menyadari ramadan akan pergi. Mereka sudah merindukan suasana yang mendukung untuk ibadah siang dan malam. Kapan lagi bisa mengkhatamkan Quran hanya dalam satu bulan? Kapan lagi ada perasaan semangat berbagi tanpa merasa kekurangan? Memang, selain karena nilai amal yang dilipat gandakan Allah, hal-hal damai yang istimewa ada sekali setahun itulah yang begitu aku nanti.


Sederhana namun Istimewa dalam Ramadan

Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku memanfaatkan momentum ramadan ini untuk beristirahat. Berjeda dari hiruk pikuk yang biasa membersamai. Aku ubah rutinitas dan prioritas kegiatanku. Aku uninstall aplikasi media sosial dari ponsel, aku buka sesekali melalui situsnya. Aku tambahkan aktivitas yang mendukung jedaku. Dari jauh hari aku persiapkan agar aku bisa menyesuaikan diri selama sebulan ini sehingga aku bisa menikmati masa hidup yang istimewa ini.  

Maka beberapa hal yang akan aku rindukan dari ramadan antara lain:

  • Suasana yang berbeda dari bulan-bulan lainnya, seakan kita diizinkan untuk berjalan saja tidak perlu dulu berlari.
  • Suasana yang mendukung kita untuk menjalankan ibadah secara intens mulai dari tilawah sebelum sahur hingga itikaf setelah tarawih.
  • Banyaknya orang yang menahan diri sehingga interaksi antar kita terasa lebih damai dan menyenangkan hati.
  • Bisa fokus pada apa yang benar-benar berarti dengan menghindari hal-hal yang bisa membatalkan ataupun merusak puasa.
  • Momen makan sahur dan berbuka yang hangat baik di rumah dalam keluarga atau saat berkumpul dengan kerabat.
  • Mudahnya melakukan ibadah sunnah mulai dari salat sunnah, membaca Quran, bersedekah, dsb.
  • Adanya dorongan untuk kita semua untuk berbuat baik dan menjadi hamba Allah yang lebih baik
  • Perasaan damai yang sulit digambarkan saat kita benar-benar fokus pada hal baik yang ada di sekeliling kita

Beberapa waktu lalu, aku membaca kutipan berbunyi,

"Tuhan yang kau sembah di bulan Ramadhan adalah Tuhan yang sama yang kau jauhi di bulan-bulan lainnya. Lantas, mengapa caramu beribadah berbeda?"

Iya, itu potongan pertanyaan filosofis yang terkenal dari Jalaluddin Rumi. Dengan tidak bangga, aku mengakuinya. Mungkin memang kita beribadah banyak terdorong suasana di sekeliling, mungkin ibadah kita tidak benar-benar tulus dari hati, mungkin. Tapi, itu bukan alasan untuk melanggengkannya begitu saja. Kalimat itu bisa kita jadikan teguran ataupun pengingat agar kita tetap fokus melaksanakan ibadah berlandaskan niat kebaikan yang ditujukan bagi Sang Pencipta. Anggaplah ramadan sebagai masa pelatihan yang ajarannya justru harus diteruskan setelahnya. Sebab, ramadan boleh berakhir namun semangat kebaikan harusnya tidak.



Salam, Nasha



Di minggu ini seolah ramadan sudah hendak beranjak pergi, karena sebagian besar kita sudah bersiap hendak menyambut lebaran. Pikiran kita sudah dipenuhi dengan bingkisan untuk dikirimkan, persiapan mudik, makanan yang ingin disajikan, hingga pakaian yang akan dikenakan. Hilir mudik kita mengurus ini itu, hingga apa yang kita perjuangkan di minggu-minggu awal ramadan mulai terlupakan. Semuanya untuk menyambut yang katanya hari kemenangan.



Persiapan Lebaran ketika Ramadan

Siapa yang tidak bersemangat menyambut lebaran? Semua orang seolah punya tenaga tambahan untuk bisa maksimal saat hari kemenangan itu datang. Kita berada dalam suasana suka cita sehingga tidak mempermasalahkan banyaknya hal yang harus dikerjakan agar bisa berlebaran sesuai dengan yang diinginkan. Tidak sulit menemukan wajah-wajah sumringan pada minggu ketiga yang makin mendekat pada hari raya ini, meski banyak waktu yang tercurah untuk menyambutnya. 

Kita mulai dari persiapan di awal berupa kiriman bingkisan, yang tidak lagi terjadi hanya pada hubungan profesional tapi juga personal. Sejak pandemi covid melanda, mengirim bingkisan menjadi hal biasa yang orang lakukan. Saat itu, tidak mungkin untuk berkunjung langsung ke keluarga juga sahabat. Maka kita saling berkirim hadiah untuk mengganti pertemuan tahunan itu, sebagai upaya agar silaturahmi tetap terjaga. Setelah pandemi berlalu, kebiasaan itu masih terus berlanjut. Kini, bingkisan lebaran semakin variatif isi serta kemasannya. Makin banyak pula yang menjual paketan untuk langsung dikirim ke si penerima. Kita tinggal memilih paket mana yang diinginkan sesuai dengan anggaran yang dimiliki. Kita disibukkan dengan daftar siapa saja yang akan dikirimkan bingkisan dan apa yang paling sesuai untuk masing-masing orang tersebut. Tidak dipungkiri, bahwa ini hal menyenangkan.

Kesibukan lain yang menggembirakan untuk menyambut idul fitri adalah mempersiapkan rumah. Mulai dari menata ulang hingga menyiapkan sajiannya. Sebagian orang menganggap lebaran sebagai momen yang tepat untuk memoles rumah, setidaknya dengan mengecat dinding. Tidak sedikit pula yang mengganti gorden hingga menata ulang perabotan mereka. Semangat yang sama juga membuat orang tersebut bersedia memanggang ratusan kue kering sebagai sajian lebaran nanti. 

Meski tidak berasal dari Indonesia, namun nastar sudah seperti identitas lebaran yang hampir pasti ada di meja setiap yang merayakan. Ditemani dengan kaastangel dan putri salju, kue-kue kering ini mengisi toples-toples yang disusun apik menjelang lebaran. Persiapannya tentu tidak bisa dilakukan hanya dalam semalam. Bagi yang membeli saja, harus menyiapkan toples dan menyusun kue kering itu. Apalagi bagi yang membuat sendiri, ada proses panjang dari membeli hingga membuat sampai toples-toples kaca itu penuh terisi. Ditambah dengan menu lain seperti ketupat opor atau lontong sayur, tentu proses panjang itu menyita waktu ramadan kita. 

Ada pula, belanja baju lebaran yang entah bagaimana awalnya, telah menjadi semacam tradisi pada lebaran kita. Belanja baju saat ramadan, untuk dikenakan pada hari pertama lebaran. Semua pihak tampak melanggengkan hal ini, terutama penjual yang katanya menawarkan potongan besar-besaran sehingga kita bisa mendapat penawaran terbaik atas barang yang diinginkan. Banyak yang rela antri demi diskon, rela mengusahakan setiap tahun agar bisa seragaman satu keluarga, bahkan ada pula tren konsep baju lebaran tahunan.

Itu baru persiapan di rumah, belum jika kita berencana untuk mudik, tradisi pulang kampung yang ramai dilakukan saat lebaran. Entah dilakukan pada hari lebaran ke berapa, tetap ada tambahan persiapan yang kita lakukan. Setidaknya kita perlu mengemas barang dan mempersiapkan perjalanan yang kadang butuh waktu panjang. 

Kapan kita melakukan semua ini? Tentu saat ramadan, terutama di minggu-minggu terakhirnya. 


Memangnya Salah?

Tidak.

Namun ada banyak catatan yang harus kita perhatikan. Terutama ketika kita bersedia membedakan mana yang tradisi dan mana yang esensi dari lebaran itu sendiri. Sama seperti setiap tindakan yang kita lakukan, landasannya adalah niat karena Allah. Apa yang kita lakukan adalah sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya termasuk ketika kita merayakan lebaran.

Kita bisa mencari tahu bagaimana Rasulullah pada minggu-minggu mendekati lebaran begini. Bagaimana pula Beliau merayakan lebaran dengan semangat ksederhanaan. Mulai dengan membersihkan diri, mengenakan pakaian terbaik bukan pakaian baru, memakan kurma sebagai penanda berakhirnya ramadan, lalu berangkat ke masjid untuk takbir dan shalat,  hingga bersilaturahmi dengan kerabat. Jelas tidak ada mengirim bingkisan lebaran atau kue nastar di dalamnya. 

Meski tidak dilakukan oleh Rasulullah, namun ada dalil yang menganjurkan kita untuk saling bertukar hadiah dalam rangka menjalin silaturahmi, sehingga ulama bersepakat bahwa tradisi berkirim hampers ini tergolong mubah atau boleh. Namun, tetap ada batasan saat kita melakukannya. Antara lain jangan sampai menimbulkan riya, merasa diri lebih baik ketika memberi dan memamerkannya, khususnya di media sosial seperti banyak yang kita lihat belakangan ini. Jangan pula sampai membebani si penerima, karena fokus kita memberi adalah untuk silaturahmi yang menyenangkan bagi keduanya. Ini juga berarti kita tidak boleh memaksakan diri. Hindari perilaku berlebihan yang bisa mendorong pada mubadzir, sehingga jika ingin memberi maka coba lebih cermat dan berhati-hati. Niatkan berbagi memang karena Allah. Singkirkan segera perasaan untuk dianggap baik, dermawan, apalagi kaya. Lagi-lagi ini bukan tentang kita yang memenuhi keinginan untuk menjadi si pemberi, tapi apakah apakah berkirim bingkisan ini memang penting atau sekadar tidak mau ketinggalan? Jadi, memang kita harus sadar akan apa yang menjadi niat dan tujuan sebelum melakukan.

Selain hampers, minggu ketiga ini kita juga disibukkan dengan persiapan menyambut tamu, antara lain dengan menyiapkan jamuan. Paling favorit adalah kue kecil berisi selai nanas bernama nastar. Setelah aku cari tahu, ternyata nastar berasal dari asimilasi budaya ketika Belanda menjajah kita. Mereka yang biasa menikmati pie strawberi atau apel, kesulitan mencari buah tersebut di sini, hingga berinisiatif menggantinya dengan nanas saja. Lalu, ada berbagai penyesuaian sehingga pie yang besar itu menjadi nastar yang bite size seperti sekarang dan nastar yang awalnya untuk perayaan kaum bangsawan itu sekarang menjadi sajian yang bisa dinikmati siapa saja. Kalau ketupat opor tentu saja berasal dari kebudaan Indonesia yang menjadikan menu tersebut sebagai sajian untuk menyambut tamu. 

Nah, soal menyambut tamu, mungkin karena kita tergolong dermawan ya sehingga melakukan upaya agar silaturahmi yang dianjurkan Rasulullah itu menjadi ajang untuk saling memberi yang terbaik, sehingga rumah dan makanan pun kita maksimalkan. Tidak masalah memang kalau niatnya agar tamu nyaman dan senang, tapi kalau sampai  memaksakan diri jadi kurang tepat juga, kan? Ya seperti kita jadi mengabaikan hal yang lebih penting seperti ibadah ramadannya karena ingin maksimal menyambut tamu. Atau ketika kita jadi memaksakan diri secara finansial padahal ada banyak lagi keperluan akan datang yang butuh dana juga. 

Aku pernah mendengar ceramah salah satu ustadz saat ramadan, "selama ramadan ini saf salat biasanya akan makin maju." Awalnya aku tidak paham, hingga dijelaskan bahwa minggu awal biasanya masjid akan dipenuhi dengan jamaah, hari-hari selanjutnya jamaah akan berkurang hingga setengah, lalu berkurang lagi hingga bisa dihitung dengan jari jumlah saf jamaah salat yang makin sedikit itu. Ke mana perginya mereka? Sibuk membeli baju baru, membuat kue, ataupun merapi-rapikan rumah. Apalagi keberkahan utama ramadan itu disimpan pada sepuluh malam terakhir, kan?

Niat kita untuk optimal di hari raya itu baik, tampil rapi dan istimewa di hari itu tentu juga baik, sama halnya dengan maksimal menyambut kerabat yang datang berkunjung, akan tetapi ada hal-hal lebih baik yang tampaknya kita lupakan. Ada susunan prioritas yang harusnya lebih di atas dibanding persiapan itu saja. Sayangnya, itulah yang kita lakukan. Demi memaksimalkan hal baik yang nomor sekian, kita jadi kurang maksimal dalam mengupayakan hal baik di urutan awal.

Maka, pada minggu ketiga ini aku mau benar-benar memahami bagaimana esensi dari lebaran itu sendiri. Bagaimana perayaan lebaran yang Rasulullah dulu lakukan, seperti apa tradisi di kampung halaman beliau. Apa yang bisa kita adopsi di sini. Dan menurutku esensinya pada hari itu kita mengupayakan habluminAllah dan habluminannas. Ibadah mulai dari pagi lalu sambung silaturahmi setelahnya. Sederhana saja.

Pelan-pelan kita coba yuk memisahkan mana yang benar-benar esensi, mana pula yang sebenarnya tradisi. Kalaupun ingin tetap melanjutkan tradisi ya tidak apa, tapi sadari dulu kalau ada prioritas lain yang tidak kalah bahkan ternyata lebih penting. Misalkan tidak mengorbankan ibadah yang istimewa hanya ada di ramadan, tidak memaksakan diri hanya agar terlihat maksimal saat menjamu tamu yang berkunjung. Kembali pada niat kita, memang benar untuk merayakan hari raya atau sebagai ajang pamer gengsi saja?

Mau hanya melakukan sesuai esensi atau turut melanggengkan tradisi, pilihan ada di tangan masing-masing kita. Dan bagaimana kita memilih, jangan lupa landaskan pada niat dan tujuannya ya!



Salam, Nasha

Terasa tidak terasa, hari-hari ramadan terus bergulir hingga sudah dua minggu berlalu. Semangat yang awalnya membara di minggu awal dengan target ini itu, mulai terasa kendornya. Tilawah quran sudah terasa makin berat, berjamaah ke masjid sudah banyak bolong-bolongnya, puasa juga meski sudah terbiasa tapi tidak membuatnya mudah sebab kerongkongan yang terasa makin kering bahkan kadang diselingi batuk juga. Semangat mendekatkan diri dengan ibadah digantikan dengan semangat menghadiri agenda buka bersama hingga menyiapkan hari raya. Begini ceritaku di ramadan minggu kedua!



Ternyata jarak seminggu bisa memberi arti yang berbeda, ya. Karena ramadan minggu lalu rasanya aku benar-benar bersemangat dan optimis, tahun ini ramadanku akan menjadi luar biasa, berbeda dengan ramadan yang lalu-lalu. Eh, memasuki minggu kedua, aku mulai psimis, duh bisa sesuai dengan niat awal tidak, ya? Menjaga konsistensi ibadah ternyata sesusah itu. 

Aku mulai scrolling tak menentu, padahal hanya aplikasi belanja dan berujung melihat-lihat tanpa membeli juga. Banyak menit yang kuhabiskan di sana. Menit-menit yang awalnya luang bisa aku manfaatkan untuk tilawah qur'an sekarang mulai sulit aku dapatkan. Setelah sholat yang biasanya aku usahakan satu dua lembar, sudah hilang sama sekali. Aku jadi kewalahan mengejar target harianku sendiri. Membaca terjemahannya pun kadang aku lewatkan. Sama halnya dengan tarawih, yang awalnya sangat bersemangat untuk melangkahkan kaki agar bisa berjamaah sekarang sudah mulai, di rumah sajalah. Di rumah pun, kualitasnya sama sekali tidak bisa dibanggakan.  Sholat wajib juga tidak jauh berbeda. 

Ternyata, memelihara memang lebih sulit daripada memulai, ya.

    Baca Juga: Ceritaku di Ramadan Minggu Pertama, Menjauh dari Hiruk Pikuk Dunia

Mungkin kita bisa menganggap itulah ujiannya, konsistensi. Bagaimana kita bisa istiqamah dalam hal baik yang kita kerjakan. Bagaimana ketika rasa lelah ataupun bosan datang menghadang. Bagaimana kalau makin banyak godaan yang datang. Apakah kita bisa tetap kuat dengan tenaga yang sudah jauh berkurang?

Mungkin itulah kenapa Allah menetapkannya menjadi sebulan. Karena seminggu tidak cukup untuk menguji keteguhan kita. Seminggu masih terbilang mudah untuk tetap berada dalam semangat baik kita, berbeda dengan sebulan. Setelah seminggu, masih ada tiga minggu lagi yang menjelang, apakah kita masih kuat bertahan?

Sempat ada bisikan menyalahkan, makanya tidak usah sok-sokan! Harusnya tidak perlu berlebihan, sekadarnya saja. Tetapi, masa iya? Masa aku tidak bisa menetapkan target yang tinggi di bulan istimewa? Masa aku hanya boleh sekadarnya saja? Maka, aku niatkan untuk melawan bisikan diriku sendiri itu. Aku tidak boleh kalah!

Berangkat dari kesadaran itulah, aku mulai mencari-cari 'pembenaran' kalau apa yang aku rasakan bukanlah hal asing, bahwa memang masa tengah ramadan itu lebih sulit dibanding awal, lalu aku cari tahu pula bagaimana mengatasinya. Dari pencarianku itu, aku menemukan beberapa kiat yang akan aku lakukan agar bisa menjadikan ramadanku tahun ini benar istimewa:

  • Memperbarui niat, seluruhnya karena Allah

Tarik napas dalam-dalam, ingat lagi kenapa aku memulai semua ini. Bukan karena pengakuan, bukan karena pencapaian, tapi karena Allah. Ini adalah hal benar untuk aku lakukan. Ramadan ini adalah kesempatan dari-Nya yang tidak boleh aku sia-siakan. Tidak bisa hanya sekadaranya, harus semaksimalnya!

  • Disiplin mengatur waktu, menjalankan sesuai jadwal
Jika sebelumnya aku sudah menyusun jadwal ramadan, kini aku perbarui dengan waktu yang paling memungkinkan, yang tidak memberatkan, yang paling mudah untuk aku jalankan. Jadwal ini tentu harus didasarkan pada urutan prioritasku, masing-masing kita berbeda susunannya. Mungkin ada hal-hal yang akan tereliminasi, tidak apa. Dahulukan yang lebih penting, tunda dulu yang kurang penting. Aku pun harus disiplin dengan jadwal itu. 

  • Menjaga lingkungan yang suportif

Jika memungkinkan menjauh dulu dari lingkungan yang memberatkan niat ini. Buatku yang paling berat, selain media sosial yang aplikasinya sudah aku hapus itu, adalah aplikasi perpesanan. Di mana aplikasi seperti Whatsapp kini juga sudah dilengkapi pembaruan status. Tidak usah mencari tahu hal-hal yang ada di luar sana jika tidak ada manfaatnya. Biarlah sepotong berita yang tidak sengaja aku tahu itu menjadi sepotong saja, tidak perlu aku dalami untuk mencari tahu keseluruhannya. Karena seringnya tidak mendatangkan manfaat apa-apa.

  • Menguatkan semangat

Aku akan coba melakukan ini dengan memaksakan diri membaca. Mulai dari terjemahan al-qur'an lengkap dengan asbabun nuzul serta hadits yang berkaitan dengannya hingga ke buku-buku islami ataupun pengembangan diri. Lalu aku juga bisa berdiskusi dengan teman yang rasanya seperjuangan dalam memperbaiki diri. Mereka yang mempelajari ilmu agama dengan lebih mendalam. Biasanya ilmu-ilmu itu bisa mengingatkan kita tentang apa yang benar penting dan berarti sehingga bisa menimbulkan semangat kita lagi. 

  • Berdoa, memohon kepada Allah

Sebab hanya Ia yang memungkinkan semua ini terjadi, Ia-lah yang akan memudahkan, Ia pula yang Maha Membolak-balikkan hati. Maka memohonlah kepada-Nya agar apa yang kita niatkan bisa terwujud, agar Ia mudahkan langkah kita dalam melakukannya, agar Ia izinkan kita untuk makin mendekatkan diri kepada-Nya, Sang Maha Penyayang. 



Salam, Nasha

Ramadan tahun ini aku niatkan untuk benar-benar menjauh dari perkara-perkara duniawi. Tidak bisa sepenuhnya, tapi sudah banyak aku kurangi. Salah satunya adalah media sosial. Niat itu makin kuat dengan kondisi tubuh yang rasanya sudah kewalahan dengan berbagai stimulus yang hadir di dunia maya. Berbagai berita yang mayoritas negatif, banyaknya pendapat tanpa filter, hingga macam-macam pembaharuan kondisi orang yang sebenarnya tidak perlu juga aku tahu. Dengan begitu aku bisa fokus pada apa yang aku targetkan, dan mendapat begitu banyak hal baik di dalamnya. Begini perjalanan ramadan tahun ini di minggu pertamaku!




Sama seperti ramadan tahun lainnya yang ingin dihadapi mayoritas muslin dengan menerapkan berbagai kebiasaan baru, aku juga begitu. Ingin mengkhususkan ramadan ini sebagai bulan yang berbeda dibanding bulan lainnya. Bukan hanya dengan agenda buka bersama, tapi berpuasa dengan kesadaran penuh. Puasa yang tidak hanya menahan haus dan lapar tapi juga yang diusahakan tidak rusak dengan menghindari berbagai aktivitas yang mengurangi amalannya, dengan tidak marah salah satunya. Bulan yang berbeda, bukan hanya karena kita bersuka cita menanti lebaran, tapi karena di sini Tuhan menganugerahkan berbagai keistimewaan, amalan berlipat ganda seperti yang sudah kitia semua pahami. 

Syukurnya kita hidup sebagai warga mayoritas, di mana pada bulan ini diberlakukan berbagai penyesuaian seperti jam kerja yang berkurang dibanding biasanya. Suasana di sekitar pun turut memeriahkan ramadan, mulai dari penyesuaian jam buka tutup toko, barang yang dipajang di swalayan, hingga berbagai konten pemasaran; semuanya bertema ramadan. Keren sekali, kan?

Aku juga ingin menjadi bagian dari keistimewaan itu!

Maka, aku niatkan dari jauh hari untuk melakukannya, aku menuliskannya pula sebagai ramadan challenge. Salah satunya adalah menjauh dari media sosial. Setelah beberapa kali melakukan social media detox dan merasakan sendiri dampaknya, aku jadikan ramadan ini sebagai waktu tepat untuk melakukannya lagi. Meskipun saat itu aku sedang gencarnya mempromosikan produk digitalku, karena produk pertamaku adalah worksheet journal ramadan. Meskipun rasanya aku masih butuh untuk membangun akunku agar rencanaku berikutnya lebih lancar. Aku membulatkan tekad melakukannya. 

Jadilah, tepat malam setelah tarawih pertama, aku menghapus apps instagram dari ponselku, menyusul apps twitter jauh sebelumnya. Kalau kamu belum tahu soal social media detox, aku pernah menuliskannya di sini. Intinya, social media detox berarti kamu tidak menggunakan media sosial selama beberapa waktu. Ibarat membersihkan tubuh, kamu juga membersihkan diri dari banyaknya stimulasi yang ada di sana. Seperti detox yang kita kenal, efek setelahnya kita bisa merasakan tubuh yang lebih bersih, ringan, juga pikiran jernih. Tidak percaya? Coba saja! Beratnya cuma di hari-hari pertama, selanjutnya biasa saja, kok.

Memang sempat ada keraguan, masa aku off instagram sebulan? Masa aku gak ngonten sama sekali? Gimana nasib engagement di akun nanoku itu? Gimana aku tahu perkembangan dunia di luar sana? Itu kan bagian dari pekerjaanku atau apa yang aku lakukan. Nah, kegelisahan itu juga menyertaiku. Tetapi, aku pikir, tidak apalah untuk mundur dulu beberapa langkah, siapa tahu aku jadi bisa lari lebih jauh dengan kecepatan optimal. Kondisi saat ini juga tidak bisa membuatku melakukan apa-apa dengan maksimal. Lebih baik aku manfaatkan bulan ini sebagai waktu aku berlatih fokus, mengurangi multi tasking yang selama ini aku lakoni.

Setelah seminggu melakukannya, aku benar-benar merasa lebih ringan seolah satu beban berkurang. Kadang aku masih membuka threads, khusus untuk menuliskan beberapa potongan pesan kebaikan yang aku dapatkan, serta membaca hal-hal yang berkaitan. Namun, tidak sampai membuatku tenggelam seperti di apps saudaranya. Aku juga berbagi ceria disini, rencananya seminggu sekali. Selain itu, aku masih menggunakan whatsapp untuk berkirim pesan, kadang juga membuka pembaharuan teman. Selain itu, hidupku berjalan baik-baik saja. 

Ketergantunganku pada ponsel jauh berkurang. Tanganku tidak otomatis menggenggamnya tiap sebentar. Aku juga tidak terburu-buru ketika ada bunyi notifikasi pemberitahuan. 

Di dunia nyata, aku melakukan apa yang menjadi targetku, kebanyakan untuk meningkatkan ibadah. Hal-hal sunnah yang dulu susah sekali diusahakan, seolah tidak sempat. Padahal, prioritasku yang berantakan. 

Salah satunya adalah membaca al quran beserta terjemahannya. Di sinilah aku merasakan petualangan baru. Aku belum pernah benar-benar melakukannya secara intens seperti ini. Setiap hari ada hal baru yang aku pahami. Membuatku manggut-manggut sedikit mengerti. Setiap waktu ada hal baru, bertukar-tukar kisah, peringatan, petunjuk, semuanya lengkap ada di sana. Membuatku takjub terpesona. Tidak ada bacaan yang lebih menarik dan indah daripada ini. Tidak mungkin manusia bisa menciptakan keelokan serupa ini, maka pastilah datangnya dari Sang Pencipta Semesta. 

Aku tidak merasa percaya diri untuk menceritakan pengalaman spiritual begini, karena merasa tidak pantas sama sekali. Namun izinkan aku menambahkan sedikit lagi, tentang apa yang aku rasakan di atas segala perasaan yang muncul ketika aku membacanya, kenapa sih baru aku lakukan sekarang? Aku gregetan dengan diriku sendiri. Namun, aku tetap bersyukur karena pastilah Allah yang memudahkanku untuk memulainya, untuk bisa melakukannya. Saat aku berniat untuk mendiskusikan hal-hal yang banyak tidak aku pahami, maka Allah jugalah yang nanti akan membukakan jalannya. Allah yang akan membuatku makin memahami dan mengizinkan untuk makin mendekati-Nya.



Salam, Nasha

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Kenalan Dulu, yuk!

Hai, aku Nasha! Aku diberkahi dengan dua guru hebat dan akan seterusnya belajar. Sedang giat tentang gracefully adulting, mindfull parenting, dan sustainable living. Kadang review tontonan, buku, dan produk yang baik juga. Semoga berguna!
PS, untuk info kerja sama, bisa email aja ya! ;)

Follow @salamnasha

POPULAR POSTS

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Hubungi Aku di sini

Nama

Email *

Pesan *

Advertisement

Label

family REVIEW lifestyle rekomendasi BUMI lingkungan parenting kesehatan mental kesehatan netflix marriage adulting rekomendasi buku

Daftar Tulisan

  • ▼  2025 (21)
    • ►  Mei 2025 (2)
    • ►  April 2025 (5)
    • ▼  Maret 2025 (4)
      • Menjelang Lebaran di Minggu Keempat Ramadan, Kehan...
      • Minggu Ketiga Mulai Sibuk dengan Perayaan Lebaran,...
      • Minggu Kedua Ramadan, Mulai Terasa Makin Berat Dij...
      • Ceritaku di Ramadan Minggu Pertama, Menjauh dari H...
    • ►  Februari 2025 (5)
    • ►  Januari 2025 (5)
  • ►  2024 (41)
    • ►  Oktober 2024 (4)
    • ►  September 2024 (8)
    • ►  Agustus 2024 (5)
    • ►  Juli 2024 (5)
    • ►  Mei 2024 (5)
    • ►  April 2024 (3)
    • ►  Maret 2024 (5)
    • ►  Februari 2024 (3)
    • ►  Januari 2024 (3)
  • ►  2023 (117)
    • ►  Desember 2023 (10)
    • ►  November 2023 (10)
    • ►  Oktober 2023 (10)
    • ►  September 2023 (10)
    • ►  Agustus 2023 (10)
    • ►  Juli 2023 (10)
    • ►  Juni 2023 (11)
    • ►  Mei 2023 (12)
    • ►  April 2023 (8)
    • ►  Maret 2023 (10)
    • ►  Februari 2023 (8)
    • ►  Januari 2023 (8)
  • ►  2022 (31)
    • ►  Desember 2022 (6)
    • ►  November 2022 (3)
    • ►  Oktober 2022 (4)
    • ►  September 2022 (3)
    • ►  Agustus 2022 (1)
    • ►  Juli 2022 (2)
    • ►  Juni 2022 (3)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (3)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2020 (13)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  Oktober 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (1)
    • ►  Juni 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (2)
    • ►  Januari 2020 (1)
  • ►  2019 (6)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (1)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (4)

BloggerHub Indonesia

Tulisanku Lainnya

Kompasiana Kumparan

Popular Posts

  • Review Popok Perekat (Taped Diapers) Premium: Mamy Poko, Fitti, Sweety, Merries
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Trending Articles

  • Cara Tepat Makan Lebih Sehat Tanpa Diet Ketat
  • Biaya yang Dibutuhkan untuk SD Swasta Rekomendasi di Jogja dan Sleman bagian Utara
  • Menyadari Bahaya Doomscrolling hingga Mencoba Socmed Detox untuk Kesehatan Jiwa Raga
  • Tips Mengurangi hingga Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!
  • Table Daftar TK di Solo Raya, Lengkap sampai Kontak (Update 2022)

Copyright © SALAM, NASHA. Designed by OddThemes