Kasus-kasus hangat yang terjadi belakangan membuatku cukup banyak berpikir tentang kecenderungan kita sebagai masyarakat luas. Ketika ada hal yang salah, kekeliruan, tindakan menyimpang; yang tidak mempengaruhi kita secara langsung, kita biasanya memilih diam. Mulai dari teman sekolah yang diolok-olok, pelecehan ringan di tempat kerja, bahkan perselingkuhan. Ada banyak alasannya, padahal hal-hal ini sebenarnya bisa dicegah atau setidaknya ditekan andai saja kita berani bersuara. Miris memang, ketika kita dikenal sebagai warga dengan tingkat kolektivisme tinggi tapi pada hal-hal tertentu mayoritas kita memilih diam.
Pengalaman yang Mungkin Pernah Kita Alami
Aku pernah di-bully, pernah banget. Sedih, iya. Kesal, iya. Tapi, perasaan itu tidak semembekas ketika aku menjadi saksi dari tindakan perundungan.
Kejadian ini sudah lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika aku masih sekolah. Seorang teman dirundung oleh seorang guru. Iya, guru. Dia sedang mengajar di kelas, ketika berkomentar merendahkan begitu. Guru. Di kelas. Merundung. Tiga kata yang seharusnya tidak pernah ada dalam satu sambungan kalimat. Kepalaku mendidih. Rasanya ingin kuludahi saja wajahnya. Tapi, tidak ada satupun dari kami yang merespons kejadian itu. Semua hanya terdiam. Temanku itu sempat menjawab, terdengar datar seperti ia biasanya. Sungguh, aku tidak tahu apa yang ia rasakan, karena sampai sekarang aku tidak pernah berani menanyakan. Sampai sekarang, aku menyesal. Sangat menyesal. Kenapa aku tidak bisa membelanya? Kenapa tidak bisa aku menunjukkan keberpihakanku, sih?!
Tahun-tahun berikutnya, kejadian serupa masih aku temui, meski rasanya tidak semembekas sebelumnya. Subjek dan objek yang sama. Pengajar kepada murid. Bahkan beberapa di antara murid ikut tertawa, padahal setelah aku pikir-pikir sekarang, ini bisa disebut pelecehan. Saat itu, kami hanya bisa misuh-misuh dan ngamuk di belakang. Tidak ada yang berani melawan otoritas tertinggi di kelas, begitulah kira-kira pikir kami saat itu.
Belakangan, seiring dengan meningkatnya kasus perundungan di Indonesia dan maraknya media sosial; aku baru menyadari apa yang aku alami dan saksikan dulu itu termasuk bullying, perundungan. Mungkin teman-temanku yang menjadi saksi, yang menjadi korban; juga baru menyadari hal itu. Mungkin kamu juga pernah mengalami hal serupa? Kejadian yang rasanya tidak tepat, candaan yang rasanya tidak lucu bahkan tidak nyaman untuk didengarkan, tindakan yang tampaknya justru menyakitkan; tapi selama ini kamu diam. Simply, karena tidak tahu kalau itu salah.
Meningkatnya Kesadaran Kita
Untuk perundungan sendiri, kesadaran akan kejadian itu baru meningkat sekitar tahun 2021 di mana laporan kasus bullying meningkat hingga tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan partisipasi di media sosial juga mendorong percepatan informasi akan hal ini, sehingga edukasi yang disampaikan baik oleh lembaga resmi maupun perseorangan menjadi lebih cepat tersampaikan.
Sayangnya, mengubah bentuk pemahaman menjadi tindakan nyata tidak semudah itu. Banyak orang yang kini sudah tahu, sudah paham; tapi belum berani melakukan apa-apa. Mungkin karena masih diliputi keraguan, belum terlalu paham caranya, atau karena belum terbiasa menyaksikan atau melakukannya. Padahal, diam bisa memelihara tindakan keliru.
Jika kita coba telaah faktor penyebabnya, ada beberapa teori yang bisa menjabarkan hal ini. Beberapa di antaranya memang terjadi di seluruh dunia, tapi sebagiannya karena budaya hidup kita.
Dalam psikologi, dikenal fenomena bystander effect, di mana seseoang cenderung tidak melakukan tindakan apa-apa ketika ada banyak saksi lainnya. Dorongan berupa, "Ah, udahlah. Ada dia, biar dia aja yang bertindak." Bayangkan, semua yang ada di sana berpikiran serupa. Akhirya tidak ada yang melakukan apa-apa.
Dengan banyaknya orang yang melihat, juga ada semacam pengaruh sosial yang membuat kita mempertimbangkan dulu reaksi orang lain. Kalau orang lain diam, kita cenderung akan ikut diam. Belum lagi, terpengaruh karena tidak ingin terlihat aneh, menonjol, ataupun takut salah intervensi. Hal-hal ini disinyalir menjadi faktor yang menyebabkan banyak saksi memilih diam, meski tahu ada tindakan keliru di depan matanya.
Cara kita hidup bermasyarakat juga ikut berperan. Seperti yang tadi disebutkan, tentang kolektivisme. Kecenderungan ini seperti pisau bermata dua. Kita memang lebih mudah bekerja sama, tapi di sisi lain kita pun jadi lebih sulit untuk melakukan tindakan yang berbeda. Kita menjaga keharmonisan sampai sulit melakukan konfrontasi spontan. Kita memilih diam untuk tetap damai daripada melakuan sesuatu yang dapat menimbulkan konflik terbuka.
Selain itu, kita juga punya kepedulian yang cukup tinggi terhadap label sosial, "apa kata orang?" Ini membuat kita lama mempertimbangkan sebelum memutuskan sesuatu. Menimbang apakah kita sanggup menghadapi reaksi setelahnya, baik itu dianggap ikut campur, dikomentari negatif, dianggap sok pahlawan, dikucilkan, dan seterusnya.
Belum lagi dengan ketidakpastian sistem saat ini. Berapa banyak pengaduan yang ujungnya malah disuruh damai saja? Berapa banyak laporan yang berakhir makin merugikan korban?
Sampai sini, aku cukup paham kenapa kebanyakan kita diam melihat penyimpangan. Tapi, sekali lagi, ini bukan pembenaran.
Mengubah Kesadaran Menjadi Tindakan
Penjelasan tentang faktor-faktor penyebab tadi hanya sebagai jembatan untuk memahami kalau apa yang terjadi selama ini cukup bisa dimengerti. Apalagi, kita belum terlalu aware dengan isu-isu tersebut. Tidak tahu, kalau mengolok-olok itu adalah tindakan salah. Tidak tahu kalau kita boleh melawan jika menyaksikan kejadian demikian, meskipun pelaku adalah orang yang statusnya di atas kita (dalam kasusku, guru). Tapi, aku tekankan. Ini bukan alasan ke depan. Kita udah paham. Kita udah sadar. Ketidaknyaanan yang selama ini kita rasakan itu, benar. Maka, sudah sepatutnya kita bertindak. Tidak ada lagi pembenaran dalam diam.
Dengan kesadaran, diam kita justru menjadi senjata yang menyuburkan tindakan salah.
Dengan kita diam, pelaku merasa apa yang ia lakukan itu tidak salah, bisa diterima, sehingga dia akan terus melakukannya. Mungkin saja dia sebenarnya tahu kalau tindakannya salah, tapi karena tidak adanya teguran, tidak ada konsekuensi, maka ia tidak akan merasa bersalah. Di sini, diam kita menjadi reinforcement pasif. Pola yang sama akan terus berulang. Makin lama, batas antara benar-salah, baik-buruk, jadi semakin samar. Hal yang sebenarnya salah dan buruk bisa saja dianggap benar dan baik, karena tidak ada yang mempermasalahkannya.
Ini tidak hanya soal perundungan di sekolah, tapi juga setelah kita dewasa ini. Di tempat kerja, misalkan. Pelecehan seksual terutama pada perempuan masih sering terjadi. Jika ada yang protes, dianggap baper atau terlalu sensitif. Kalau ada yang menegur, dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi. Begitu juga dengan perselingkuhan, yang jelas-jelas salah. Jangan sampai hal-hal ini menjadi penyimpangan yang tidak lagi terasa menyimpang saking didiamkannya.
Lagipula, coba bayangkan sebagai korban. Sudahlah disakiti, tidak ada yang membela, mau bersuara juga tidak bisa. Beban yang ia tanggung makin berat karena merasa sendiri, tidak ada yang peduli, tidak ada yang menganggap apa yang ia alami sebagai hal penting. Mungkin ia juga jadi punya kepercayaan sabar bahwa justru dialah yang salah, ia yang terlalu sensitif, ia yang lemah, ia yang kurang sabar. Sedih, kan?
Jujur, menulis ini pun menakutkan untukku. Bagaimana kalau ada kejadian serupa yang aku saksikan? Bagaimana kalau keberanianku diuji supaya aku benar tidak lagi diam? Tapi, aku didorong dengan keinginan menjadikan lingkungan yang lebih baik untuk anak-anakku. Aku tidak ingin mereka tumbuh dalam lingkungan yang menormalisasi penyimpangan. Aku ingin mereka tumbuh berani menegakkan kebenaran. Setidaknya, kali ini, aku ingin menjadi jelas di pihak mana kakiku aku injakkan.
Salam, Nasha


0 Comentarios
Mau nanya atau sharing, bisa disini!