Semarak Hidup Kakak Adik Jarak Dekat

Punya dua anak dengan jarak hampir dua tahun di masa toddler gini bikin hari-hariku tidak pernah sunyi. Bisa dalam artian menyenangkan, bisa juga dalam artian melelahkan. Keduanya benar, honestly. Yang tidak benar hanyalah kalau aku menyesal. Meskipun gak direncanakan, tapi aku gak menyesal sama sekali dengan dua bocah yang main bareng, ribut dengan ketawanya, yang rebutan juga ribut dengan nangisnya. Semarak deh pokoknya!


Aku gak pernah merencanakan punya anak jarak dekat begini karena aku gak berpikir kalau aku mampu, aku khawatir berlebihan, dan karena aku punya kepentingan personal. Ngurus satu anak aja sering keteteran gimana dua coba? Belum istirahat dari punya yang pertama, gak mungkin bisa mikir pingin ada yang kedua. Aku juga khawatir, gimana kalau mereka gak cukup dapat perhatian, gimana kalau mereka malah bersaing buat merasa disayang, gimana kalau.. dan seterusnya. And behind every concern about the kids, aku juga punya concern untuk diriku sendiri, gimana aku menjalani hari-hariku selanjutnya?

Selang beberapa tahun berlalu, here I am dititik yang gak pernah aku bayangin sebelumnya. Keinginan dan usaha itu ada akhirnya, kendali gak ada di kita. Ternyata setelah dijalani, bisa kok. Bisa ternyata sama-sama berjuang dengan miliaran orang lainnya dan baik-baik aja. Bisa-bisanya sekarang ada banyak hal yang aku syukuri dari kejutan yang gak direncakan ini. Terlebih lagi pada bagaimana aku terbentuk dari semua hal ini.


Hal-hal yang aku rasakan dan secara ilmiah juga terbukti sebagai manfaat dari anak yang dibesarkan dengan saudara umur berdekatan antara lain adalah:

- Tubuhku lebih siap

Proses melahirkan dan menyusui adalah proses yang melelahkan fisik dan mental. Jeda dua tahun yang aku alami, rasanya sudah cukup sehat untuk tubuhku mengalaminya lagi. Alhamdulillah, aku gak mengalami masalah kesehatan, dan semua bisa berjalan normal. Kehamilan sembilan bulan, melahirkan, lalu menyusui lagi. Meski rasanya tubuhku berputar diproses itu sampai anak kedua disapih. Tapi dengan segala dukungan dan rutinitas yang disesuaikan, aku bisa melaluinya dengan cukup baik.

- Banyak menghabiskan waktu bersama

Mau tidak mau, kedua anak ini akan sangat sering berinteraksi. Tingginya intensitas interaksi bisa berakibat ke banyak hal, banyak dramanya, banyak rebutannya, banyak berantemnya, banyak isengnya, banyak gangguinnya, banyak teriaknya, banyak nangisnya, banyak juga ketawanya, banyak ajarannya, banyak ide kreatifnya, banyak pelukannya, banyak ciumannya, banyak bromance-nya. Ternyata jarak dua tahun menurut whattoexpect, merupakan jarak dengan intensitas rivalry yang paling tinggi, dibandingkan jarak satu tahun dimana anak tertua masih belum terlalu lama mendapat perhatian penuh atau jarak tiga tahun dan seterusnya dimana anak masih kemungkinan merasa cemburu tapi mulai bisa mengelola emosi dan memahami kondisi. 


- Rutinitas barengan

Dengan jarak dua tahun, anak-anak ini meiliki jadwal yang hanpir serupa. Mulai dari bangun tidur biasanya bakal barengan, lalu sarapan bisa dibarengi sama-sama, main juga bisa barengan, istirahat juga bisa sama, jadi mengawasinya juga bisa sekalian. Dari rutinitas harian ini, yang aku syukuri adalah mereka istirahat barengan jadi setidaknya aku juga bisa istirahat atau melakukan hal lain. Hal yang masih jadi concern aku adalah karena ikut kakak jadi kadang jumlah jam tidur adik bisa jadi kurang dari seharusnya. Berbeda dengan kakak dulu, yang apa-apa aku telateni untuk aktivitas sesuai usianya, kalau sekarang adik cenderung ikut apa aja yang dilakukan kakak. Mungkin akan berbeda lagi nanti saat kakak udah mulai sekolah ya.


- Lebih Hemat

Aku ingat punya anak pertama itu banyak banget yang dibeli karena emang gak punya dan banyak gak taunya. Saat punya anak kedua, jadinya lebih banyak tau kalau ada barang yang gak perlu, atau yang fungsinya bisa digantikan dengan barang lain yang udah ada, juga jumlahnya kira-kira berapa. Berbagai peralatan bisa dipakai ulang, perlengkapan atau mainan bisa dipakai barengan aja, bahkan baju yang masih layak juga bisa diturunkan. Jadi, secara keuangan bisa lebih hemat.



Awalnya aku pikir jarak anak yang lebih baik itu yang lebih jauh, seperti lima tahun atau lebih, tapi setelah dibaca dan aku pikir-pikir lagi, nggak juga kayanya. Dengan jarak usia anak yang terlalu jauh, tubuh emang jadi jauh lebih siap tapi mungkin kita udah mulai lupa gimana ngasuh bayi. Anak lebih tua memang udah mandiri dan gak menuntut banyak perhatian kita, tapi bisa jadi dia udah terbiasa sendiri sehingga merasa asing juga dengan hadirnya bayi yang tiba-tiba menyedot semua perhatian. Kakak mungkin bisa membantu, tapi bisa jadi juga kita kewalahan karena susah menghubungkan kedua anak ini. Mau liburan kemana, eh adiknya belum bisa. Mau hiburan buat bayi, kakaknya juga udah gak relate lagi. 

Jadi, akhirnya emang setiap kondisi hadir dengan sisi positif dan negatifnya, mirip seperti kekhawatiran yang aku rasakan. Sampai sekarang kekhawatiran itu masih tetap ada, berubah jadi kembimbangan seperti apa aku udah adil ya dengan kedua anak ini, apa kakak jadi sedikit terabaikan ya, apa adik jadi kurang diajari sama aku langsung ya, apa mereka pernah meras tersaingi satu sama lain ya, apa caraku ini udah cukup baik buat mereka berdua ya, dst banyak banget. Ada kalanya aku merasa udah melakukan banyak hal tapi masih belum merasa cukup. 


Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!