Prinsip Hidup Cukup hingga Pakai Barang Sampai Tidak Bisa Dipakai

Dengan semakin banyaknya populasi manusia serta semakin sedikitnya sumber daya yang bisa kita manfaatkan, kemampuan paling penting dalam hidup saat ini adalah memiliki rasa cukup. Mentioned it before, dan akan terus mengulang supaya kita bersama-sama bisa cukup dengan apa yang kita punya dan apa yang kita butuh, menerapkan pola hidup cukup dalam apapun yang kita lakukan.

Photo by Sora Shimazaki in Pexels Edited by Canva 

Sebelum beranjak, coba kita tanya dulu ke diri sendiri, pada hal paling dasar yang terus kita kerjakan, membuat keputusan. Faktor apa saja yang mempengaruhi pembuatan keputusan kita, khususnya dalam konsumsi? Faktor internal yaitu diri sendiri atau faktor eksternal berupa komentar orang lain, pandangan sekitar, trend pasar, dst? Bahkan faktor diri sendiri juga bisa dipecah lagi, bisa jadi keinginan karena mengenyangkan inner child, keinginan untuk diakui di lingkaran sosial yang diinginkan, kehausan untuk validasi, lari dari tekanan, meredakan emosi tertentu, dll. Ternyata banyak juga ya alasan buat kita memutuskan sesuatu, dalam hal ini konsumsi. 

Hal ini memang diakui secara umum kok, pakar marketing Philip Kotler membagi faktor keputusan konsumen itu menjadi faktor budaya, faktor sosial, faktor personal, dan faktor psikologi. Teori itu dan banyak teori lainnya digunakan oleh marketer untuk terus mendorong kita melakukan keputusan pembelian. Tidak salah, karena begitulah rangkaian kegiatan jual beli, hanya kita sebagai individu yang tetap memegang kendali, harus paham sejauh mana kita perlu melakukan konsumsi, punya batas cukup kita sendiri. 


Cukup, Tidak Lebih Tidak Kurang

Sebelum melakukan tindakan konsumsi, pembelian, kita bisa mulai dengan bertanya pada diri sendiri dulu, keputusan ini bersumber dari mana? Dari diri sendiri atau orang lain? Kalau orang lain, tanyakan lagi kenapa kita perlu mengambil keputusan berdasarkan orang tersebut?  Jika memang dari diri sendiri, coba telisik lagi memang karena butuh atau memenuhi emosi saja? Butuh barangnya atau butuh validasinya? Menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelum pembelian ini cukup ampuh untuk melatih kesadaran kita dan mengurangi keimpulsifan. Paling penting lagi, melatih diri untuk hidup cukup.

Mungkin banyak dari kita yang akrab dengan kalimat, gapapa deh kelebihan daripada kurang, lalu kita tidak benar-benar menghitung kebutuhan sendiri, mengambil lebih banyak dengan prinsip itu. Prinsip yang secara tidak sadar ataupun sadar terus mempengaruhi kita dalam berbagai tindakan yang kita lakukan. Padahal kelebihan dan kekurangan itu sama. Sama-sama dalam jumlah yang tidak tepat, kenapa berlebih dijadikan ukuran yang lebih baik? Bisa sebenernya kita tahu kadar yang pas, jika saja dari awal memang berniat untuk mendapatkan secukupnya. Cukup yang tidak kebanyakan juga tidak kekurangan. Pastikan ukurannya baru lakukan.

Belum lagi kalau barangnya berharga murah bahkan gratis, kita akan cenderung mengambil lebih banyak, berdalih mumpung, syukur kalau akhirnya jadi terpakai, bagaimana kalau tidak? Lagipula, saat kita memiliki suatu barang dalam jumlah banyak, secara tidak sadar kita jadi menggunakan barang tersebut melebihi dari biasanya, dari jumlah seharusnya. Dalam ajaran agama pun, kurang ataupun berlebih sama-sama tidak dianjurkan. Kekurangan bisa mendzalimi, sedangkan berlebihan mendorong pada mubadzir. Perilaku yang sama-sama tidak disukai. Jadi, pastikan lagi batas cukup butuhnya kita berapa, jangan mudah tergoda dengan potongan harga.






Mampu bukan berarti perlu. Murah tidak jadinya kebanyakan. Gratis bukan artinya disia-siakan. 



Semua tetap punya nilainya, berapapun harganya. Mahal murah nominal harga itu tidak menggambarkan nilai suatu barang sama sekali. Ada proses pembuatan yang membutuhkan waktu dan energi. Ada pengrobanan, jika bukan dari kita, mungkin dari orang lain, dalam terciptanya suatu barang. Ada wujud barang yang akan menambah jumlah benda di muka bumi. Dengan paham proses begini, kita seharusnya bisa lebih kuat menerapkan pola hidup cukup. Pakai sampai habis, pakai sampai rusak, pakai sampai tidak bisa dipakai.

Memang akhirnya pola hidup cukup begini akan berkaitan erat dengan bagaimana kita mengelola uang. Hidup cukup harusnya sejalan dengan bijak keuangan. Ingat, bahwa uang dihasilkan dengan menukar waktu dan tenaga yang kita punya, sehingga jangan membuatnya keluar sia-sia. Keluarkan secukupnya, sesuaikan dengan manfaatnya. Selorohan "udah cari uang susah-susah, masa keluarinnya juga susah" ini sama sekali tidak tepat, justru karena cari uangnya susah masa mau dikeluarkan untuk hal sia-sia begitu saja? Tidak ada hukum benar salah untuk uang yang kita keluarkan, hanya perlu kesadaran, worthy gak? Kalau jawabnya yes, ya lanjut aja. Terserah kalau menurut orang nggak, kan yang punya uang kita, yang akan jalani dan bertanggung jawab kita juga. Sehingga konsep ini sama sekali berbeda dengan pelit. Kehati-hatian dan kesadaran dalam melakukan pembelian itu merupakan hal benar, sedangkan pelit itu tidak benar.

Kembali ke cukup. Dalam glorifikasi konsumerisme, kita memang banyak terpapar pada hal-hal yang akan membuat kita menjadi impulsif, apalagi cepatnya informasi di zaman ini. Rasanya barang yang belum lama dibeli, sudah ketinggalan mode saja. Rasanya kok barang yang diperlihatkan itu lebih bagus, barang yang kita punya jadi biasa saja. Rasanya kurang terus, jauh dari cukup. Dalam paparan terus-menerus pada hal-hal konsumtif itu, penting untuk kita kembali ingat pada nilai baik yang kita tanam. Rasa cukup. Ingat, bahwa keputusan pembelian bukan hanya karena kita mampu tapi memang karena kita butuh. 

Keyakinan pada prinsip cukup ini bukan berarti akan berjalan mulus tanpa godaan. Setiap akan melakukan pembelian, tanya dulu darimana asal keinginan tersebut. Sadari kalau barang itu punya nilai yang jauh lebih besar daripada harganya serta kita perlu bertanggung jawab dengan apa yang kita punya dari awal kita miliki, gunakan, hingga mengakhiri manfaatnya bagi kita. Dengan kesadaran itu, setidaknya bisa lebih menguatkan kita untuk tidak terlalu peduli dengan pandangan orang lain. Komentar orang bisa sebebas merekam begitu juga dengan keputusan kita, bisa sebebas kita juga, asal tidak saling bersinggungan. Lagipula, pandangan dan komentar orang tidak akan pernah mendefinisikan siapa kita.

Dalam praktiknya, prinsip cukup ini kita tanamkan dalam koridor kepantasan. Jika memang barangnya tidak layak pakai, ya tidak perlu memaksa terus dipakai. Jika memang barangnya tidak pantas digunakan dalam kondisi tertentu, ya tidak msalah jika diadakan supaya pantas juga bermsyarakat. Contoh kecil baju. Baju yang sudah robek-robek, tidak layak lagi pakai, bisa dialihfungsikan menjadi kain lap. Baju acara formal kalau memang tidak ada ya dibeli tidak apa. Baju yang kekecilan, tidak perlu juga dipaksa tetap kita manfaatkan, bisa diberi ke orang lain agar bisa mereka yang manfaatkan. Prinsip cukup bukan berarti tidak membeli lagi, tidak lagi menambah jumlah, tidak juga menambah variasi, hanya perlu kesadaran dan tahu batas diri masing-masing.



Pakai Sampai Tidak Bisa Dipakai

Salah satu turunan dari prinsip cukup kita terhadap barang yang kta punya adalah dengan pakai sampai habis, pakai sampai rusak, pakai sampai tidak bisa dipakai.

Untuk barang habis pakai, seperti makanan, biasakan makan sampai habis. Ini jelas tertuang dalam Quran supaya kita tidak mubazir. Sayangnya, dengan mayoritas penduduk muslim di negeri ini, Indonesia menduduki peringkat teratas negara di Asia Tenggara dan peringkat ketiga negara di dunia dengan limbah makanan hampir 30 juta ton setiap tahunnya. Jika dibagi, ada sisa makanan terbuang 150-184 kg per kapita per tahunnya, yang padahal bisa memberi makan 30-40% populasi kita. Menyedihkan ya. Entah prinsip apa yang kita pegang, hingga bisa menyia-nyiakan makanan sebanyak itu. Mungkin karena "lebih baik lebih daripada kurang" tadi ya, atau karena sepertinya kita mudah mendapatkan makanan, atau karena kita merasa mampu sehingga merendahkan nilai dari makanan itu, atau entah karena apa. 

Sisa makanan sebenarnya masih bisa dimanfaatkan, atau setidaknya bukan jadi limbah saja. Pembuangannya bisa dilakukan dengan lebih baik, dengan komposter misalkan. Namun sebelum bicara pengelolaan sampah, kita awali dulu dengan ambil secukupnya. Butuhnya berapa, ambil segitu saja. Makanan banya variasi dalam jumlah berlimpah itu memang menarik, tapi apa gunanya jika hanya akan jadi limbah. Sajikan secukupnya, sesuaikan dengan kebutuhan. 

Bukan hanya makanan, tapi barang lainnya. juga. Pakai dulu yang lama sampai habis, baru beli yang baru. Baik itu skincare, kosmetik, kertas, dll. Barang yang sifatnya cocok-cocokan seperti skincare, bisa dimulai dengan beli kemasan kecil, perhatikan komposisi bahannya dengan kebutuhan kulit wajah kita. Kalau memang setelah digunakan beberapa hari ternyata malah merusak wajah, produk skincare bisa dialihkan ke tangan atau kaki, lho. Jika tidak bisa juga, produk itu bisa dialihkan manfaatnya untuk orang lain. Selain dengan alasan merusak, kita perlu belajar juga untuk menyesuaikan diri dan bertanggung jawab dengan apayang kita pilih. Sudah dibeli kalau ternyata wanginya atau warnanya tidak sesuai dengan ekspektasi ya berlatih lapang dada menerima dan tanggung jawab, bagaimanapun barang yang ada ditangan kita harus ada nilai manfaatnya.

Untuk barang yang tidak habis pakai, kita bisa menggunakannya hingga rusak. Kadang rasanya ingin langsung membeli baru jika barang yang dipunya tiba-tiba rusak, coba tahan, dan usahakan perbaiki dulu. Memang rasanya sayang jika ongkos perbaikan tidak jauh berbeda dengan beli barang baru, namun jika ingat prinsip terciptanya barang dan bagaimana pertanggung jawaban kita pada barang rusak tersebut, kita bisa menahan diri dengan memperbaiki dulu. 

Misalkan pakaian, masih rusak sedikit bisa diperbaiki dengan jahit ulang. Jika sudah tidak muat lagi, bisa diperpanjang manfatnya dengan diberikan pada orang lain. Modelnya tidak lagi relevan, setelah pertimbanga panjang, misalkan dulu belum berhijab sekarang sudah berhijab, pakaiannya juga bisa dialihkan ke orang lain. Banyak cara yang bisa dijadikan alternatif, namun jika kita bicara keputusan pembelian, kembali lagi pada rasa cukup dan pertimbangan matang. 

Sebelum membeli barang yang 'harusnya' bertahan lama, tidak habis pakai, pilih yang memiliki kualitas baik dengan tingkat durabilitas lama alias awet. Penting untuk mengutamakan kualitas diatas kuantitas untuk kepemilikan barang tidak habis pakai ini. Tidak selalu, yang berharga mahal kualitasnya lebih baik, tapi dalam banyak kondisi biasanya yang berkualitas bagus dibanderol dengan harga lebih tinggi. Inovasi akan selalu ada, tapi kadang kita bisa saja menggunakan barang lama untuk fungsi yang sama. Jangan lupa, pilih model yang bisa bertahan lama dan bisa digunakan dalam banyak kesempatan. Setelah itu, kita perlu menghargai barang, merawatnya, sehingga barang tersebut bisa awet berumur panjang. 


Iya, aku tahu godaan untuk belanja itu akan terus ada. Dorongan buat ganti baru atau nambah lagi tuh, apalagi sekarang visual barang dibuat semenarik mungkin dengan harga yang sangat rendah, terus-terusan bikin kita buka e-commerce dan nambahin barang ke keranjang. Belanja online bikin kita terpapar banyak sekali barang yang kadang gak perlu tapi karena terlihat jadi 'rasa-rasanya' perlu. Tapi ini juga bisa jadi keuntungan karena bisa kasih kita waktu mempertimbangkan, kalau emang gak butuh setelah berapa lama keinginannya juga bakal hilang. Tapi kalau emang belum bisa kontrol, ya rangsangannya dikurangi. Misalkan biasanya buka marketplace cuma buat lihat-lihat, maka jangan dikerjakan. Ada yang sampai hapus beberapa marketplace sebagai upaya kurangi impulsif-nya. Selang berapa lama, kita akan bisa take control lagi kok. Sama juga dengan belanja offline, kalau pergi ke pusat perbelanjaan, gak usah mampir ke store yang kita lagi gak butuh. Kalau perlu hindari. Ada yang ngasih gratis, entah itu tester atau sekedar flyer, kalau emang gak butuh ya gak usah diambil. Dari hal sekecil itu aja, kontrol diri kita.  Sadar batas cukupnya.

Untuk mempersingkatnya, dalam cukup pada barang (apapun bentuknya) dimulai dengan, cukupkan dengan yang ada. Atau bisa dirunut menjadi: 

- Sebelum Membeli

Jawab pertanyaan alasan belanjanya, periksa apakah sudah ada barang dengan fungsi serupa, baru selanjutnya pastikan prioritas, jumlahnya, kondisinya.  Sesuaikan dengan kebutuhan, tidak kurang tidak lebih.

- Saat Memilih

Pilih barang yang berkualitas baik sehingga bisa tahan lama, pilih model yang everlasting, yang multifungsi bisa digunakan untuk banyak kondisi 

- Setelah Memiliki

Rawat dan jaga barangnya agar tetap baik kondisnya. Kalau rusak coba dulu perbaiki. Kalau sudah tidak terpakai tapi dalam kondisi baik alihkan manfaatnya ke orang lain, kalau sudah tidak lagi bisa dimanfaatkan, tanggung jawab dengan sampahnya. 

Sudah menjadi urgensi untuk kita bersama menerapkan gaya hidup sederhana secukupnya. Tahu dan sadar nilai apa yang penting, punya prinsip yang dipegang, lanjut jalan dengan penuh keyakinan.



Salam, Nasha


0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!