Menghindari Phubbing, Kebiasaan yang Dapat Mengganggu Mental Anak dan Kehidupan Sosialnya

Cukup akrab dengan pemandangan sekelompok orang yang duduk bersama tapi sibuk masing-masing? Atau pernah merasa diabaikan oleh seseorang karena ia lebih memilih untuk menatap layar daripada wajah kita? Fenomena ini disebut sebagai phubbing, singkatan dari phone snubbing. Istilah yang muncul di era digital seiring dengan semakin maraknya kita, dengan atau tanpa sadar, melakukannya. Meskipun kita semakin terbiasa menyaksikan kondisi ini, tidak serta merta phubbing menjadi hal benar untuk dilakukan. Apalagi dengan anak-anak dalam jangkauan. Terlihat sepele namun kebiasaan ini bisa berdampak pada pembentukan kepribadian hingga kehidupan sosial kita dan anak di masa datang. 


Mengenal Phubbing

Mungkin istilah phubbing masih asing di telinga kita, namun kondisinya bukanlah hal yang asing. Tidak sulit menemukan sekelompok orang yang duduk satu meja namun asyik dengan gawai masing-masing, atau seseorang yang meminta perhatian karena tidak diacuhkan saat berbicara. Secara bahasa, phubbing merupakan singkatan dari phone yang mengacu pada telepon genggam dan snubbing yang artinya menghina. Istilah ini sendiri pertama kali muncul pada 2012 lalu dari Australia seiring dengan perkembangan era digital dan meningkatnya penggunaan smart phone.

Keasyikan pada canggihnya gadget membuat banyak orang mengabaikan teman ataupun keluarga yang berada di depannya. Perilaku ini tentu saja dianggap sebagai perilaku tidak sopan, kasar, dan menyinggung. Apalagi kebanyakan yang melakukan adalah gen-Z, pemegang gawai termuda dibandingkan gen-Y dan gen-X. Usia berkorelasi negatif dengan perilaku phubbing, artinya seseorang dengan usia yang lebih muda justru lebih tinggi terlibat dalam perilaku phubbing dibandingkan seseorang di usia yang lebih tua. 

Ada beberapa ciri seseorang dapat dikategorikan melakukan phubbing, antara lain adalah:

- Meletakkan handphone selalu dalam jangkauan, meskipun saat sedang bersama dengan orang lain.
- Tidak fokus dalam percakapan karena perhatian terbagi pada ponsel, kadang berlagak mendengarkan padahal tidak, kadang ikut berbicara namun dengan perhatian yang tidak penuh atau terlaihkan.
- Mengabaikan percakapan yang sedang berlangsung, menyinggung bahkan menyakiti orang lain karena tidak menghargai 

 


Mungkin kita sendiri pernah melakukannya, karena dalam studi dari Healthline, sekitar 17% orang melakukan phubbing rata-rata empat kali sehari, dengan 32% orang menjadi korban phubbing setidaknya 2-3 kali sehari. Ini data harian yang cukup memprihatinkan, apalagi jika dilihat efek-efek negatif dari phubbing ini seperti:

- Menurunkan kualitas hubungan

Jenis hubungan apapun akan rusak tanpa orang yang saling memperhatikan dan hadir utuh didalamnya. Interaksi yang harusnya menjadi momen berkualitas, akan hambar dengan mata yang tidak benar-benar menatap dan telinga yang tidak sungguh-sungguh menyimak. Teralihkannya perhatian juga bisa memperbesar kemungkinan salah paham. Hubungan yang seperti itu jelas menjadi tidak lagi berkualitas, dan bukannya menyehatkan namun juga memperburuk keadaan. 

- Mengganggu kesehatan mental 

Seseorang dapat merasa terkucilkan atau tidak dihargai hanya karena benda asing di tangan lawan bicaranya. Ini menyalahi empat kebutuhan dasar manusia secara sosial yaitu rasa memiliki, harga diri, keberadaan yang berarti, dan pengendalian. Sehingga, ia bisa merasa frustasi bahkan depresi. Ketidakpuasan pada hubungan tersebut bisa mendorong seorang korban menjadi pelaku phubbing, sehingga ini menjadi lingkaran yang sama sekali tidak sehat dalam interaksi sosial. 

Dengan semakin tingginya penggunaan smartphone, diprediksi perilaku phubbing akan semakin meluas dan bertambah parah. Perilaku yang dapat dilakukan oleh siapa saja ini, khususnya oleh digital native, terlepas dari mereka memiliki peran sebagai orang tua atau tidak. Kondisi ini membuat anak-anak yang harusnya mendapat perhatian penuh menjadi harus berusaha lebih keras, dengan cara-cara yang mereka tahu, agar perhatian orang tuanya beralih dari kotak pintar di tangan ke wajah mungil mereka. 


Phubbing pada Anak


Bisa bayangkan, bagaimana anak-anak kita menjalani kehidupan mereka kelak sebagai generasi yang terlahir dalam era yang hampir sepenuhnya digital. Mereka kenal gawai bahkan sebelum mereka mengenal sendok garpu. Banyak anak yang belajar berbicara melalui video yang mereka tonton, meniru dari tingkah tokoh-tokoh fiksi yang ada di hadapan mereka, serta mendengar lebih banyak suara digital dari kotak canggih di dinding rumah. Melihat apa yang terjadi belakangan, dikhawatirkan perilaku phubbing menjadi sesuatu yang lumrah di generasi mendatang. Lalu jenis hubungan seperti apa yang mereka miliki jika tidak bisa saling terkoneksi secara nyata? Bentuk kehidupan mereka jika kebutuhan dasar sosial mereka sja sudah sulit terpenuhi sejak dini?

Baca Juga: Tips Mengurangi/ Meniadakan Screen Time Anak, Simpel!

Ini memang berkaitan erat dengan pembatasan penggunaan gadget pada anak, tapi harus ada pemahaman bahwa membatasi gadget bukan semata durasi tapi lebih pada membatasi perilaku yang tidak tepat. Apa lagi cara lebih jitu mengajakan anak kalau bukan melalui teladan? Maka, beberapa catatan yang perlu kita ingat saat membersamai anak, terkait perilaku phubbing ini adalah:

  • Anak sebagai Peniru Ulung

Dengan berlandaskan pada studi bahwa siklus phubbing ini seperti lingkaran dimana korban kemungkinan besar akan menjadi pelaku, serta pada fakta bahwa anak adalah peniru ulung, maka hal pertama yang perlu kita hindari adalah melakukan phubbing kepada anak. Jangan sampai kita menjawab pertanyaan anak dengan perhatian yang terlaihkan pada ponsel. Jika ada keperluan, katakan terlebih dahulu. Hanya butuh lima detik untuk menatap matanya dan berkata, "tunggu sebentar ya, ibu sedang bekerja." Lalu, selesaikan dalam maksimal lima menit, karena rentang kesabaran anak masih tipis. Jika anak sudah lebih besar, maka minta ia menunggu hingga waktu yang ditentukan. Pesan singkat bisa dibalas nanti, scrolling media sosial bisa saja tidak dilakukan. Anak-anak akan segera bertumbuh besar, dan kita tidak lagi dibutuhkan. 

  • Ajari Anak tentang Adab Berinteraksi

Pada dasarnya anak itu banyak tidak tahunya, dan kita sebagai orang tualah yang berkewajiban memberi tahu, mendidik, mengajarkan hal yang benar dan baik, termasuk adab berinteraksi. Dalam setiap kebudayaan, ada sopan santun pada setiap jenjang lawan bicara, seperti kromo inggil dalam bahasa Jawa dan kato nan ampek dalam bahasa Minang. Meskipun belum bisa bahasa daerahnya, ajarkan anak untuk bisa menghormati dan menghargai lawan bicara dengan porsi yang sesuai. Memberi perhatian penuh, menatap lawan bicara, tidak menjawab dengan menyambi, bisa juga dengan aturan tidak ada handphone di meja makan, atau saat berkumpul bersama. 

  • Berlakukan Waktu dan Tempat Bebas Gadget

Banyak ahli menganjurkan waktu berkualitas keluarga dengan memberlakukan family time yang dihabiskan bersama tanpa gadget, bisa diisi dengan bermain atau sekedar bercengkerama. Misalkan sabtu pagi dimana semua anggota keluarga bebas dari rutinitas dan lebih santai sehingga bisa memberi perhatian pada rumah, pekerjaan rumah atau orang di dalam rumah. Sedangkan untuk tempat, bisa jadikan area makan ataupun tidur sebagai area bebas gadget. Kebiasaan ini dapat membangun kesadaan seluruh keluarga mengenai batasan dalam menggunakan gawai. 

Penulis Andy Crouch bahkan merekomendasikan waktu khusus no screen time untuk seluruh keluarga, yakni satu jam dalam satu hari, satu hari dalm satu minggu, dan satu minggu dalam satu tahun.  Di waktu-waktu itu, hanya nikmati apapun yang ada tanpa terhubung dengan dunia digital. Awalnya memang berat, namun lama-kelamaan kita akan bisa menyesuaikan, lalu mendapatkan manfaatnya.

  • Terus Sounding dan Tegur dengan Tegas

Tidak ada yang instant dalam mengajarkan anak. Terus sampaikan kenapa kita perlu berlaku sopan, kenapa mengabaikan orang lain itu tidak diperbolehkan, kenapa saat berbicara harus fokus memperhatikan lawan bicara. Beri anak pengandaian, bagaimana rasanya jika kamu yang diabaikan. Tegur jika anak melakukannya, jangan maklumi perilaku yang tidak tepat dari anak, karena kunci mendidik anak adalah konsistensi. Terapkan aturan sederhana lalu konsisten menegakkannya. Pada usia tertentu, saat anak sudah paham konsekuensi, berlakukan juga konsekuensi sesuai perkembangan mereka. 

Baca Juga: Gagdet Buat Anak Boleh, Begini Caranya Supaya Jadi Screen Time yang Ramah Anak

Bagaimanapun, kita adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan orang lain. Hubungan bisa terjalin dengan adanya saling menghargai dalam bentuk nyata. Perkembangan teknologi tidak mengubah apa yang memang membentuk kita sejak dahulu kala. Kita bisa memanfaatkan dengan bijak, pegang kendali jangan sampi dikendalikan teknologi.



Salam, Nasha

8 Comentarios

  1. Aku teringat sekian tahun lalu, pas anakku TK. Oleh tetanggaku dipamerin kalau cucunya yg berusia kurang dari 2 tahun sudah pintar main tablet. Saat itu memang sekaligus si cucu ada di depanku. Berbaring asyik mainan tablet. Aku cuma tersenyum. Malah kasihan sama si balita. Sementara teman-temannya aktif main bersama, dia rebahan terpaku gawai. Entahlah kondisinya sekarang gimana. Kasihan kalau sampai kecanduan gadget.

    BalasHapus
  2. Teknologi kadang membuat yang dekat menjadi jauh karena gawai yang makin tidak dikendalikan penggunaannya.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Ah memang salah saya nih, merasa sedang bekerja, pegang hp dengan bebasnya depan anak. Tak terasa sebenarnya bisa saja saya dianggap phone snubbing ya...
    Memang benar susah kalau orang tua ga bisa memberikan contoh yang baik

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya jg maish berlatih mba, kl emang ada kepentingan izin dlu sm anak. pause dlu di hp nya, ngomong tatap mata mereka sambil bilang sebentar ya, baru abis itu lanjut lg

      Hapus
  5. Jangan-jangan saya sering juga ya melakukan phubbing tanpa sadar 🙈. Semoga tidak dicontoh sama anak. Makasih sudah diingatkan mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama2 mbaa, semoga kita terus ingat jgan sampai snubbing lg depan anak, keluarga, ataupun teman.

      Hapus
  6. iya mbaa, kebanyakan kita hanya fokus pd kemampuan yg tampak, pdhl sebelum ilmu itu ada adab. untuk anak2 lebih baik utamakan karakternya dlu baru keterampilannya

    BalasHapus

Mau nanya atau sharing, bisa disini!