Belajar dari "Jatuh Hati pada Montessori" pt.1

Sebenarnya saya mengetahui tentang Montessori ini sudah cukup lama (bahkan sebelum memiliki anak), sejak hype sebagai dasar pembelajaran bagi anak-anak, namun belum terlalu memahami apa itu Montessori dan bagaimana ia tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan para pendidik, pun orang tua. Mengagumkan, karena sejak munculnya Metode Montessori ini khususnya di Indonesia, banyak orang yang mulai menaruh perhatian lebih pada pola pendidikan, pola pengasuhan anak. Mulai dari pola di rumah atau kerennya parenting style hingga pemilihan sekolah dan output yang ditargetkan. Setuju atau tidak dengan metode ini, namun kehadirannya saya pikir cukup membawa perbaikan ke pola pikir kita sebagai manusia pada umumnya ataupun sebagai orang tua pada khususnya.



Nah, buku Jatuh Hati pada Montessori karya Vidya Dwina Paramita ini menjelaskan dengan cukup rinci mengenai Montessori namun dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Ntah memang untuk praktisi pendidikan anak, untuk orang tua yang ingin menerapkan konsep montessori, atau untuk mereka yang sekedar ingin tau dan menambah wawasan.

Siapa itu Maria Montessori?

Buku ini diawali dengan pengenalan tentang siapa itu Montessori, yang adalah seorang dokter perempuan pertama di Italia kelahiran 1870 dan meninggal pada 1952. Waw! Sudah setua itu ternyata. Pengalamannya dengan anak-anak dimulai saat ia ditugaskan untuk 'mendampingi' anak-anak di area pabrik bernama Cassa de Bambini. Karena mayoritas orang tua mereka adalah buruh pabrik, anak-anak ini tumbuh dengan sendirinya, yang kemudian dilabeli menjadi anak yang 'sulit diatur' . Di sini, Montessori mulai mengobservasi perilaku anak-anak dan mempelajari sebab serta bagaimana mereka bertingkah sehari-hari. Hal dasar yang ia pahami adalah anak-anak ini membutuhkan kegiatan yang tidak hanya sekedar menyalurkan energi mereka, namun juga bermanfaat, sehingga mereka merasa berharga. Dari sana, Montessori mendapat banyak sekali pemahaman yang kemudian melahirkan beragam konsep pendidikan anak yang kini kita kenal dengan Metode Montessori.

Dari latar belakang tersebut, sebenarnya kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa Metode Montessori bukan tentang akademis. Ia lebih mengarah pada pemahaman kebutuhan anak-anak dan perilaku mereka sehari-hari. Dan bagaimana Montessori melihat anak-anak sebagai individu yang ia coba pahami, ia selami pemikirannya, ia tidak sekedar melabeli dan memberi tau sebagai orang dewasa. Ia mencoba memahami, hal yang terkadang sering kita lupakan.

6 Tahun Pertama Kehidupan

Pembahasan selanjutnya yang dibahas penulis mengenai Montessori adalah mengenai pentingnya enam tahun pertama kehidupan anak, sebagai pondasi di kehidupan masa mendatang, dimana mereka menyerap begitu banyak hal di sekitar mereka dengan menggunakan seluruh indera yang mereka miliki. Dan justru masa-masa ini yang terkadang sering terabaikan.

Anak-anak pada masa ini memiliki keingintahuan dan kepekaan yang sangat tinggi terhadap sekitar mereka, sehingga penting bagi kita untuk memberi mereka ruang yang aman untuk mengobservasi, bereksplorasi, dan menjadi teladan yang baik untuk ditiru. Karena mereka akan senang memperhatikan apa yang ada di sekitar mereka, mencari tau apa yang bisa mereka lakukan, serta meniru apa yang tampak bagi mereka dari kita. Sama seperti kita yang mendatangi suatu wilayah baru, bukankah kita ingin berkeliling memeriksa ada apa saja di sana?

Di samping itu, sebagai 'manusia baru' anak-anak juga membutuhkan rutinitas dan komunikasi yang jelas agar tidak merasa kebingungan atas apa yang terjadi dalam keseharian mereka. Mereka akan cenderung merasa aman saat merasa bisa memprediksi apa yang terjadi selanjutnya. Anak-anak pun akan merasa lebih dihargai saat mereka diajak berkomunikasi dan diberi kesempatan untuk memilih. Perasaan dihargai ini nantinya akan membawa citra positif dalam diri anak-anak.

Penemuan di Cassa de Bambini



Penulis juga membahas Montessori berdasarkan pengalamannya membersamai anak-anak di sekolah. Mulai dari membebaskan anak memilih material yang ia ingin mainkan, memiliki area sendiri, bersikap sopan dan menghargai hak anak lain, membereskan material yang telah selesai digunakan, dst. Apa yang dapat saya pelajari di sini antara lain mengenai bagaimana kegiatan yang berulang dan material yang disediakan membantu anak untuk belajar mengobservasi serta memahami bagaimana cara kerja suatu benda, bagaimana suasana yang tenang akan membantu anak berkonsentrasi yang akan membantu mereka menyelesaikan sesuatu sehingga menimbulkan citra diri positif, serta bagaimana anak sepatutnya sadar akan kebutuhan dirinya yang memunculkan kemandirian, kepedulian, dan disiplin diri.

Dari contoh-contoh kecil yang penulis jabarkan, saya belajar bahwa sebenarnya membersamai anak bukanlah hal yang rumit, namun juga tidak bisa disepelekan. Membaca buku ini membuat kita berguman, oh iya, benar juga ya. Bahkan penulis juga sedikit menyinggung perihal memberi pujian yang seperlunya. Pujian yang spesifik dan tidak bertele-tele. Serta bagaimana memberi hukuman, sebatas akibat logis dari hal 'tidak tepat' yang dilakukan anak.

Sejauh ini, apa yang berusaha penulis sampaikan adalah bagaimana kita seharusnya membersamai anak dengan pola pikir anak sebagai pusatnya. Kita harus sadar bahwa tujuan kita adalah si anak.  Kita tidak bisa melihat hanya dari sisi kita, seperti yang montessori lakukan, ia memahami dengan mencoba melihat dari sisi si anak. Jika kita telah memiliki dasar pemahaman demikian, apa yang akan kita lakukan kemudian akan berubah dan mudah-mudahan menjadi lebih baik.

Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!