Memaknai Bahagia dengan Berlatih Melepas dan Menerima

KBBI memberi penjelasan bahagia sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan), tapi menurutku ini tidak bisa menggambarkan keseluruhan makna dari bahagia itu sendiri. Semua orang jika ditanya,menginginkan hidup yang bahagia, yang tidak menyusahkan untuk dijalani, yang sesuai dengan yang diharapkan, yang membuat hati senang, namun pertanyaannya bisakah hidup berjalan seperti itu? Apakah dengan hidup yang tidak berjalan begitu, jadinya kita tidak bahagia?

Dalam beberapa penjelasan yang aku peroleh, penjelasan menarik tentang kebahagiaan adalah dengan bagaimana kita bisa punya keberanian dan kekuatan untuk melepaskan apa yang bukan milik kita dan menerima apa yang diberikan pada kita. Sebelum pembahasan lebih lanjut, kita semua harus meyakini satu hal yang pasti bahwa hidup kita sudah diatur dalam koridor yang ditentukan oleh Sang Pencipta Kehidupan. Bagaimana kita menyikapinya, itulah yang bisa kita pelajari dan terus kita proses didalamnya.


Belajar Menerima

Seberapa sering kita sampai pada titik kehidupan yang gak pernah kita bayangkan sebelumnya? Saat kita menghendaki A, ternyata ada halangan yang menjadikan kita mendapati B. Kita kecewa awalnya, namun setelah dijalani ternyata kita mensyukuri B sebab itu rasanya lebih indah dari apa yang kita bayangkan saat mendapatkan A. Aku cukup sering. 

Sebenarnya aku orang yang cukup detail saat menginginkan sesuatu, namun disisi lain karena aku bukan orang yang punya self esteem tinggi, aku agak yaudahlah dengan opsi-opsi lain. Apalagi pengalaman bahwa apa yang aku mau tidak selalu yang terbaik. Sehingga, belajar menerima ketetapan Tuhan, apa yang menjadi milikku, jalanku, adalah hal yang awalnya sulit namun paling mungkin untuk dilakukan. Kenapa juga bersikeras pada hal yang kita tidak tahu pasti baik untuk kita? Jadi untuk hal-hal yang rasanya masih kurang berkenan, tapi mau tidak mau sudah ada di depan mata, coba tarik nafas lalu mulai terima. Tidak perlu menunggu waktu yang tepat untuk hal itu menjadi indah, namun keindahan itu bisa kita ciptakan saat ini dengan mata yang melihat dengan cara berbeda. 

Selain ketetapan, kita juga perlu menerima kebaikan. Iya, kebaikan, hal baik yang ada di sekitar kita. Mungkin saking menghayatinya kalimat tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, agak sulit untuk kita menerima kebaikan dari orang lain, karena saat menerima kita rasanya ada di bawah. Keinginan untuk berada di atas untuk terus memberi membuat kita enggan menerima. Padahal, gak mungkin bisa memberi tanpa ada yang menerima. Kalau memang ada saatnya kita butuh kebaikan orang lain, terima dengan lapang dada. Terima kalau kita gak bisa melakukan semua hal, terima kalau orang lain bisa melakukan yang gak bisa kita lakukan. Tidak perlu rendah diri untuk menerima kebaikan, anggap itu sebagai cara kita agar mereka juga bisa menebar kebaikan. Cara kita semua berkasih sayang.

Photo by Anete Lusina in Pexels


Belajar Melepaskan

Ini bukan hal yang mudah memang, melepaskan apa yang biasa kita genggam. Tapi ibarat kata jika hal itu berduri, kenapa menahan sakit dengan memegangnya? Lepaskan. Kendurkan ikatan agar tidak sesak. Lepaskan, rasakan angsuran kelegaan. 

Bukan hanya melepaskan kebendaan, namun hampir semua hal bisa kita lepaskan. Hubungan misalkan, sudah paham kan kalau semakin kita dewasa circle pertemanan juga semakin mengecil. Ini dibuktikan secara ilmiah dalam PubMed Central Journal. Itu normal dan gapapa. Lepaskan, emang gak semua hal bisa kita pertahankan bersamaan. Bisa juga kekuasaan, pernah dengar kan post power syndrome? Kondisi belum bisa menerima kehilangan kekuasaan yang pernah dimiliki sebelumnya, biasanya terjadi pada pensiunan, tapi bukan gak mungkin bisa terjadi sebelum itu. Orang tua yang melepaskan kontrol sedikit demi sedikit pada anak yang semakin mandiri. Berapa banyak orang tua yang gak bisa melepaskan diri dari campur tangan terhadap rumah tangga anak hingga menyebabkan perceraian. Atau juga harapan. Apalagi jika harapan itu berkaitan dengan orang lain. Sedekat apapun kita pada orang tersebut, sesayang apapun, sebagus apapun sepertinya harapan itu, tetap kita tidak bisa berharap banyak sebab harapan akar dari kekecewaan, maka lepaskan, lakukan seperlunya, banyak-banyak doakan.

Buatku, perjalanan paling panjang dan berarti dari proses menerima dan melepaskan adalah perjalanan keibuanku. Mengutak-atik prioritas hingga merelakan banyak hal dan menerima lebih banyak hal lagi, hal-hal yang selama ini tidak terbayang. Sudah sampai sini, eh bisa kok ternyata, wah indah juga rasanya. Seiring dengan pertambahan usia anak, kita juga perlu melepas mereka ke area luar yang lebih luas, mengendurkan sedikit pengawasan, melepaskan agar ia bisa tumbuh besar.Mempercayakan, melepaskan, bukan perkara instant, perlu latihan, dan jelas bisa diupayakan dari sekarang.

Photo by Anna Baranova in Pexels

Beberapa cara dibawah ini bisa kita coba praktikkan dalam keseharian untuk bisa berlatih melepas dan menerima:

- Latihan Bersyukur

Untuk hal sekecil apapun, yang kadang luput dari perhatian kita, yang saking sudah biasanya kita terima jadi lupa kita syukuri. Hal-hal yang aku tulis disini akan terus bisa relate sebagai bahan syukuran kita. Bisa juga dengan merutinkan buat gratitude list seperti pernah aku bahas dalam postingan ini.

- Jangan Membandingkan Diri

Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, kita tidak menjalani hidup mereka sehingga tidak akan pernah tahu keseluruhan yang mereka hadapi. Apalagi dengan akses mudah pada media sosial, semua bisa memprlihatkan dan melihat apa saja yang diinginkan. Kecemburuan sosial mengalami peningkatan. Bijak menggunakan media sosial aku bahas disini. Selalu ingat bahwa apa yang ditampilkan adalah versi terbaik dari yang ada, bukan yang apa adanya. Foto selfie gak pakai filter pun, setidaknya dengan angle paling tepat dan yang dipilih itu foto terbaik kan. 

-Belajar Memaafkan

Ironinya, kita memahami bahwa orang mungkin saja melakukan kesalahan namun sulit menerima bahwa kita juga mungkin saja salah. Maafkan diri sendiri, maafkan orang lain. Terima bahwa kita semua gak mungkin selalu benar, terima juga dalam kebenaran bisa jadi ada kesalahan, dan dalam kesalahan ada juga benarnya. 

- Coba Mengidentifikasi

Semua proses ini akan lebih jelas dan mungkin dikerjakan jika kita mampu mengidentifikasi. Mulai dari apa saja yang dirasakan, apa yang membebani pikiran, apa yang harus direlakan, apa yang bisa dipertahankan, apa yang paling bikin gak nyaman, apa yang bisa diupayakan perbaikannya. Coba apa pun ditulis, dibreakdown, dibuat dalam bentuk daftar, dituang ke kertas supaya tidak penuh isi kepala. Identifikasi agar jelas apa langkah selanjutnya. Bukan hanya aktivitas kantoran yang perlu tulisan, tapi proses pengembangan diri juga perlu catatan.


Belajar dari Finlandia

Untuk skala yang lebih besar, kita bisa melihat pada negara paling bahagia di dunia selama enam tahun belakang yaitu Finlandia. Keistimewaan negara ini pernah aku bahas di Kompasiana ini. Tidak perlu membahas bagaimana kondisi negara dan perbedaannya dengan kita sehingga punya jarak sejauh 83 peringkat (Finlandia peringkat 1, Indonesia peringkat 84) namun ada berbagai persamaan yang bisa saja kita adaptasi. Kita sama-sama manusia, sama-sama punya pilihan untuk bersikap.

Photo by Olivier Darny in Pexels

- Menjaga Kepercayaan dengan Kejujuran

Ini hal yang sangat menarik, mengingat kepercayaan kita sebagai warga sering diuji dengan banyaknya kasus negatif terkait korupsi dan ketidakjujuran para penyelenggara pemerintahan. Bukan hanya kelakuan para koruptor yang tidak tahu diri, namun juga berbagai kebijakan dan hukuman yang masih belum mumpuni. Secara data, kita memang masih jauh tertinggal dengan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Finlandia adalah 87 poin sedangkan Indonesia hanya 34 poin. Sejalan dengan itu, perilaku jujur warga Finlandia terwakilkan dalam Social Experiment oleh Riders Digest, dengan 11 dompet dikembalikan dari 12 yang sengaja dijatuhkan  di sana. Kalau dompet kita yang memang tidak sengaja tertinggal, lalu kita buru-buru kembali untuk mengambilnya, kira-kira dompetnya masih ada gak ya? 

Sebelum bisa percaya, kita bisa melatih diri sendiri untuk bersikap jujur terlebih dahulu. Tanamkan dalam diri, bahwa hubungan baik dimulai dengan sikap terbuka dan apa adanya. Mungkin akan ada saja perasaan ingin dianggap lebih, yang menggiring pada pamer atau flexing, tapi kalau kita sudah merasa cukup dengan diri sendiri pandangan orang mau gimana juga gak perlu dipikirkan. Lepaskan pendapat orang lain untuk kita kendalikan. Dari hubungan berlandaskan kejujuran itulah, kita bisa mulai dipercaya dan mempercayakan. Lanjutkan dengan tidak mengambil yang bukan hak, terima berapa porsi yang menjadi jatah tanpa keinginan untuk mengambil porsi orang lain, lepaskan yang bukan milik kita. 

- Fokus ke Diri Sendiri 

Focus on what makes you happy. Orang Finlandia lebih mudah melakukan ini karena GDP nya memang jauh di atas kita. Hidup mereka setidaknya tanpa perlu ribet memikirkan mau makan apa, sisihin berapa buat bayar sekolah, atau nanti kalau sakit bayarnya gimana. Namun, kita tetap bisa mncontoh kok. Kalau dirasa pendapatan kurang, ya kerja lagi lebih keras. Kalau kondisi tidak memungkinkan untuk kerja lagi, ya cukupkan dengan yang ada. Terima bahwa jatahnya ya segitu. Lepaskan angan yang memang bukan kebutuhan. Fokus dengan apa yang dimiliki, gak perlu membandingkan diri dengan orang lain. 

- Kebersamaan

Ini kalimat yang sangat menarik buatku dimana penilaian orang terhadap warga Finlandia adalah cooperation rather than competitiveness. Hal ini berlaku untuk semua aspek kehidupan mereka, termasuk pendidikan. Kita bisa loh untuk maju bersama, berkolaborasi untuk melangkah lebih jauh daripada jalan sendiri-sendiri. Bersaing butuh banyak energi dan gak bikin kita melangkah maju, tapi bekerja sama bisa membuka lebih banyak pintu peluang. Kepuasaan dan kebahagiaannya dari bekerja sama, bisa saling membantu, juga dapat dirasakan daripada menang saat persaingan.

- Ramah Lingkungan

Terlalu mustahil sih untuk membandingkan Indonesia yang perkara kantong belanja aja masih lebih banyak kontranya dengan Finlandia yang warganya udah komit untuk carbon neutral di 2050. Tapi balik lagi ke diri kita sendiri. Melakukan sesuatu yang baik, menjadikan itu kebiasaan akan mendorong kepuasan. Apalagi jika itu gerakan besar yang berdampak. Bukan hanya upaya peduli lingkungan untuk keberlangsugan hidup jangka panjang, namun juga memanfaatkan lingkungan dengan tepat untuk hidup kita saat ini. Lepaskan diri secara berkala dari digital tools untuk menjadi bagian dari alam. Tidak perlu villa musim panas seperti mereka, tapi bisa pilih liburan yang lebih dekat ke alam. Merawat taman kecil disekeliling rumah, memberi makan binatang, rutin menghabiskan waktu di alam terbuka, coba biasakan merumput atau earthing istilahnya sekarang. 



Darimana saja kita bisa belajar, kalau dirasa Finlandia terlalu jauh coba lihat ke belakang bagaimana para orang tua kita di desa dulu menjalani hari. Setiap area dan setiap waktu jelas ada beda kondisinya, namun kebiasaan baik sekecil apapun akan selalu punya tempat untuk kita jadikan kebiasaan lebih baik. 



Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!