Peringati Hari Ayah, dari Aku yang Telah Menjadi Ibu

Sebenarnya aku jarang memperingati hari-hari yang berhubungan dengan kasih sayang seperti ini. Mungkin salah satu alasannya karena agak awkward ya mau mengungkapkan hal manis begini. Kebiasaan yang gak tepat, betul. Tapi aku cukup beruntung karena memiliki ayah yang gak terlalu kaku, serta suami yang mudah ungkapkan sayang. Jadi aku tetap bisa mengapresiasi dan mengungkapkan perasaanku, biasanya dalam bentuk ucapan, tulisan, atau bahkan hadiah. Hari ini, aku pilih mengungkapkan melalui tulisan. Versi digital supaya gak terpengaruh sama jarak.


Dalam artikel yang aku tulis sebelumnya di laman ini, aku bahas tiga peran penting ayah bagi anaknya. Dari sekian banyak peran, aku ambil tiga yang paling luas dan krusial, yang pada blog ini akan aku rinci dalam perspektif aku pribadi sebagai anak. 


- Sebagai Teladan


Aku belajar banyak dari ayah tentang bagaimana menyikapi segala sesuatu, bagaimana menghadapi permasalahan yang terjadi dalam hidup, karena ayah adalah tipikal orang yang santai. Ayahku bukan sosok yang agamais namun darinya aku belajar untuk beriman, mempercayakan dan berserah pada Tuhan. Dari bagaimana ia menjalani hidup, sering mengingatkanku untuk tidak mengkhawatirkan hal yang tidak akan bisa genggam. Berlapang pada apa yang sudah lewat, menjalani hari ini dengan sepenuh yang bisa kita lakukan, dan melepaskan sisanya. 


Aku juga mengagumi bagaimana ayah bisa melakukan begitu banyak hal, mampu menyelesaikan persoalan-persoalan, tidak menyerah dengan satu jalan, dan mengutamakan untuk mengandalkan diri sendiri.  Dalam satu kesempatan saat masih duduk di SD saat sedang dinasehati, aku bahkan menyampaikan bahwa ayah adalah orang tercerdas yang pernah aku temui. Jangan menyangka ayahku adalah profesor yang ahli dalam satu bidang ilmu, karena pendidikan ayahku setara aku (saat ini), namun ia melakukan dan bisa menjadi ahli dalam banyak bidang. Kebiasaan aku untuk belajar mencari tau banyak hal, rasa penasaran, dan bagaimana aku ingin menyelesaikan dan memahami sesuatu sampai tuntas, aku dapatkan dari sosok beliau. 


Dengan kemahiran ayah menyelesaikan apa saja kerumitan yang ia hadapi, membuatku merasa aman. Aku merasa bisa mengeluhkan apapun, bisa mengadukan masalah apa saja, lalu berharap ia akan memberi solusi. Membantuku mencari jalan keluar. Memanjakanku dengan kesigapannya. Atau setidaknya tawa atau gurauan santainya akan menenangkan gejolak batinku. 


- Memberi Sudut Pandang yang Berbeda


Saat kecil, aku menganggap sosok ayah dan mama adalah dua sosok yang sangat berbeda. Belakangan baru aku pahami bahwa mereka itu memiliki persamaan mendasar. Perbedaan mereka justru melengkapi satu sama lain, yang aku syukuri menjadikan siapa aku saat ini.


Mungkin ayah dan mama ku bukanlah sosok yang istimewa bagi kecenderungan ayah dan ibu. Mama yang lebih khawatiran sedangkan ayah yang lebih santai. Mama yang banyak menggunakan intuisi, serta ayah yang lebih banyak menggunakan logika. Aku dibesarkan juga begitu. Kedua kecenderungan inilah yang menjadikan aku. Aku juga over thinking seperti mama, namun aku juga bisa menenangkan diri lalu berpikiran logis seperti ayah. Kadang aku memikirkan penampilanku seperti mama, namun aku juga bisa mengingat bagaimana ayahku bergurau menjawab, "ya bagus lah, masa udah dibeli gak bagus" atau kalimat selorohan lainnya "mau pakai apapun sama aja kok, yang penting tuh orang yang makainya"


Semakin besar, aku malah bisa memilih mana yang bisa dibicarakan dengan mama, mana yang sebaiknya dibicarakan dengan ayah. Kadang aku juga melakukan pembicaraan dengan keduanya, hanya untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas. 


- Meningkatkan Kualitas Hidup Anak


Hal paling mendasar dari hadirnya ayah yang berperan aktif membesarkanku adalah bahwa aku merasa disayangi. Aku merasa aman melakukan apapun, bahkan disaat aku salah, aku tau bahwa aku akan selalu punya tempat aman untuk berpulang, karena aku tau bahwa apapun yang terjadi, aku akan tetap disayangi. Menurutku, perasaan inilah yang tidak terkira nilainya. 


Perasaan yang membawaku untuk berani melangkah, melakukan kesalahan, memperbaiki, lalu melangkah lagi. Perasaan yang menuntutku menjalani hidup dengan lebih baik, karena aku tau aku berharga. Perasaan yang menghalangiku untuk menyia-nyiakan hidupku, karena ada sosok dibelakangku yang sangat mendukung aku.


Aku tidak tau apakah kecerdasanku meningkat atau tidak, karena aku hanya punya satu tubuh dengan ayah yang hadir didalamnya. Tapi jika dikaji secara akademis, pendidikanku selalu didukung oleh kedua orang tuaku. Ayah yang siap sedia dengan keteledoranku meninggalkan buku PR di rumah. Ayah yang juga tidak masalah untuk mengantar dan menjemputku meski sudah ada KTP di dompetku. Mungkin itu imbas atas ucapannya saat menjemputku sekolah kala itu, "gak boleh ada laki-laki yang jemput nasha kecuali ayah."


Buatku, meskipun sudah menjadi seorang ibu, aku tetaplah gadis kecil ayah. Peran ibu justru membuka mataku tentang menjadi orang tua, melihat dari berbagai perspektif tentang ayah dan mama. Mungkin aku pernah mengeluhkan bagaimana mereka memperlakukanku, namun kini aku tau bahwa menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah. Ayahku baru saja menjadi ayah saat tangisanku membelah siang puluhan tahun silam. Ia belum pernah menjadi ayah sebelumnya. Ia tidak leluasa mendekap bayi dalam peluknya, ia tidak tau bagaimana mengajari bayi mengungkapkan maunya, ia tidak mengerti apa saja yang perlu diajarkan pada seorang gadis kecil dalam pangkuannya itu.  


Sulit untukku membayangkan bagaimana ayah melepasku bepergian, mengadu nasib ke ibu kota, lalu muncul untuk hidup membangun keluargaku sendiri. Mungkin saat itu, ia juga kebingungan, mungkin ayah juga tidak tau akan secepat itu, mungkin juga ada banyak kebimbangan yang tidak bisa ayah ungkapkan. Tapi toh ia tetap menyayangiku dalam wujud terbesar yang bisa orang tua berikan, mempercayakan dan melepaskan. Tidak mengapa, karena aku tau, dan aku ingin ayah tau, dimanapun aku berada, dalam peran apapun yang sedang aku jalani, aku tetaplah anak perempuan kesayangan ayah, yang akan seenaknya bicara apapun pada ayah, yang tiba-tiba menodong ayah dengan belanjaan, yang banyak tidak tau lalu bertanya bagaimana caranya pada ayah, juga yang meminta dimanja meski sebentar. 



Terakhir, aku akan melantangkan, aku sayang ayah.

Maaf masih banyak meminta, sedikit memberi.

"Terima kasih ya Yah,

cha akan selamanya bersyukur untuk Ayah."




Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!