Jangan Larang, Tapi Coba Ajarkan Bagaimana Marah yang Tepat pada Anak

Bisa dikatakan bahwa marah adalah emosi yang paling sulit. Kita sering memaksa emosi tersebut untuk hilang saja, namun kenyataannya kita tetap merasa marah. Begitu juga dengan anak, marah tidak bisa dihindari, karena ia adalah salah satu emosi. Bagaimanapun kita tidak menginginkannya, akan ada saatnya anak merasa marah. Disinilah kita berperan, mendampingi mereka menghadapi emosi tidak mengenakkan itu, juga mengajari mereka bagaimana menyalurkan emosi marah dengan tepat tanpa menyakiti diri sendiri juga orang lain.



Perkembangan Emosi Anak

Sebelum mengajari anak, kita perlu memperhatikan dulu tentang perkembangan mereka. Bagaimana kondisi anak, sudah sejauh mana mereka bertumbuh, ditahap mana perkembangan mereka berada, tidak lupa pada kondisi emosi mereka. Biasanya ada indikator perkembangan anak sesuai usia, meskipun setiap anak itu unik dan bisa saja mengalami perbedaan dari anak-anak lainnya. Karena memiliki anak dengan jarak usia tidak begitu berjauhan, saya akan mengkhususkan pembahasan pada anak usia sekitar lima tahun. 

Marah sendiri merupakan salah satu bentuk emosi yang memang istimewa ada pada kita semua. Baik itu manusia dewasa maupun pada anak-anak. Bedanya, kita sudah memiliki lebih banyak pengalaman dan juga pelajaran dari masa lalu, sedangkan anak-anak ini belum. Logikanya, kita harusnya bisa lebih tenang dan bijaksana dibanding mereka.

Pada usia lima tahun, bisa dimulai juga disekitar empat, anak sudah memiliki keinginan untuk melepaskan diri sedikit demi sedikit dari orang tuanya. Ia ingin mencoba banyak hal sendiri, tapi disisi lain ia diiringi perasaan bersalah karena meerasa meninggalkan orang tuanya, ditambah pula dengan kemampuan yang masih sedikit yang ia miliki. Sehingga sering kali mereka merasa kewalahan dengan emosi yang dirasakan, akibatnya berbagai perilaku yang tidak mengenakkan muncul. Ia menjadi mudah marah. Melampiaskan energi yang begitu banyak mereka miliki dengan teriakan atau juga pukulan. 

Ini juga mempengaruhi bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain, karena pada usia ini anak sudah mulai berinteraksi dengan orang selain keluarga dekatnya. Mereka bisa saja memiliki teman dekat, tingkah laku mereka mengalami perkembangan seiring dengan meningkatnya kemampuan mereka merasakan juga memahami orang lain dan lingkungan. Ini menjadi sarana yang baik bagi anak dalam mengasah kecerdasan emosional mereka. Jika anak bisa belajar dengan baik dari tahap ini, mereka akan dapat menunjukkan rasa empati, kasih sayang, juga memiliki tata krama yang baik nantinya. 

Bukan hal yang mudah memang membiarkan anak melalui proses gejolak emosinya. Tidak tega rasanya melihat mereka bersedih, kecewa, sakit hati, juga marah. Tapi kembali lagi, itu adalah proses yang perlu kita semua lalui. Media pembeajaran anak untuk bekal ia nantinya. Sebagai orang tua, tugas kita untuk mendampingi mereka dalam berbagai proses tersebut, mengarahkannya pada cara yang tepat berdasarkan kondisi anak masing-masing.

Praktiknya tentu tidak akan semudah perkataan para ahli. Apalagi untuk emosi marah. Akan ada harinya kita kesulitan untuk menerima emosi mereka, tidak memahami kenapa mereka merasa marah, atau bahkan merasa lebih marah daripada anak-anak ini. Kadang kita bisa tenang dan menemani mereka memproses emosi tersebut, kadang kita kelelahan juga kewalahan dengan teriakan mereka itu. Tidak membenarkan, tapi saya coba memaklumi bahwa kita juga memiliki emosi. Tidak apa, akan ada hari esok untuk memperbaiki. Selagi kita berusaha mengevaluasi, memperbaiki, dan berniat terus mendampingi, semoga senantiasa Allah mudahkan. 


Mengajari Marah kepada Anak 

Mungkin kita tumbuh dalam pengajaran, jangan marah, atau dengan kalimat, gitu aja kok marahLalu belakangan, kita mendengar bahwa marah itu tidak apa-apa. Apakah artinya ada perbedaan teori tentang marah saat dulu dengan sekarang?

Menurut saya, inti ajarannya tetap sama, hanya berbeda ditingkat pemahaman dan cara pengajaran kita. Dan perubahan juga perkembangan itu adalah hal baik, yang menandakan bahwa kemampuan kita berpikir juga bertumbuh. Sebenarnya, marah adalah bentuk emosi yang Tuhan berikan pada kita, yang justru akan memudahkan kita dalam menjalin hubungan dengan orang lain, serta tidak seenaknya sendiri. Hanya saja, yang menjadi catatan adalah bagaimana marah yang tepat. Singkatnya, merasa marah itu boleh saja, persoalannya adalah bagaimana kita mengekspresikan marah tersebut.

Wajar jika kita merasa marah saat ada hal-hal yang mengganggu kita, ada hal-hal yang tidak kita suka atau duga terjadi. Tapi ada orang yang bisa berlapang hati menerima bahwa setiap orang mungkin melakukan kesalahan, bahwa tidak mungkin semua yang terjadi akan sesuai dengan yang kita harapkan, bahwa berlarut-larut dalam marah akan merugikan, sehingga ia lebih memilih diam sembari perlahan melepaskan dalam tiap hembusan nafas. Meski, ada pula orang yang memilih untuk mengeluarkan emosinya dengan kalimat kasar, teriakan, gerakan tangan yang ujungnya menyakitkan. Pertanyaannya adalah pilihan mana yng kita harapkan pada anak?

Beberapa catatan tentang bagaimana mengajari anak untuk mengekspresikan marah dengan sehat antara lain:

  • Menjadi Teladan
Setiap pengajaran harus diiringi dengan contoh langsung, apalagi bagi anak. Mereka kadang memang tidak mendengar, tapi akan selalu melihat. Perlihatkan bagaimana kita mengekspresikan marah dengan sehat. Jelaskan dalam kalimat sederhana dan langsung.
Ibu sedang merasa marah, ibu akan coba menenangkan diri dulu.

Biasanya saya akan masuk ke kamar untuk menarik nafas atau menjauh dulu dari keributan anak-anak. Sampai sekarang, saya masih mencoba untuk tidak langsung bereaksi atas apapun yang mereka lakukan. Daripada kalimat omelan yang dikeluarkan menjadi tidak karuan, setidaknya saya akan diam. Lalu mencari waktu lain setelahnya untuk membicarakan. Karena omelan yang keluar saat sedang marah itu seringnya bukan untuk menasihati tapi hanya melampiaskan emosi.

Dari situ anak akan melihat dan mencontoh, bagaimana kita mengelola emosi. Bagaimana ibu ataupun ayah ketika marah, apakah langsung bereaksi atau mencoba menenangkan diri? Apakah ibu dan ayah mudah marah pada hal-hal sepele yang sebenarnya bisa dicari saja solusi lainnya? Ini salah satu bagian tersulit untuk saya menjadi cerminan bagi anak.

  • Validasai Perasaannya

Apapun yang anak rasakan itu valid. Tidak peduli sesepele apaun kelihatannya itu bagi kita. Kadang memang keluar kalimat seperti, kok gitu aja marah sih? Tapi itu tanggapan yang tidak tepat, karena kita menggunakan ukurna kita pada kejadian yang menimpa anak. Kita mengerdilkan apa yang mereka rasa. Daripada menanggapi begitu, coba untuk menarik napas dan berempati pada perasaan anak. 

Namai apa yang anak rasakan dengan, oh kamu sedang merasa kesal sekarang. Tarik napas lagi dengan tatapan lembut mencoba memahami, ibu di sini kalau kamu mau bicara atau butuh bantuan. Lalu, tunggui dia. Tunggui bukan acuhkan. Ini juga bagian yang sulit, karena biasanya saat kita berbicara seperti itu, anak kadang akan semakin histeris, kadang juga ditambah dengan kalimat-kalimat penolakan yang kurang baik. Ingin rasanya meninggalkan saja, tapi ingat kitia sedang mengajari mereka. Jika tidak sanggup terlalu dekat, setidaknya ada dalam jangkauan penglihatan anak. Biar anak tahu bahwa kita sedang menunggui mreka dan berempati atas apa yang mereka rasakan.

  • Beri Anak Kesempatan

Sebagian orang tua, mungkin kadang termasuk kita juga, sulit melihat anak mengalami emosi marah. Cepat-cepat kita alihkan perhatian dan perasaan mereka pada hal lain yang menyenangkan. Padahal, tidak mungkin seumur hidup mereka tidak merasa marah atau terus mendapatkan yang mereka inginkan. Justru lebih baik mereka merasakannya saat ini bersama kita, daripada nanti-nanti dengan orang lain. Entah bagaimana mereka akan melalui emosi marah yang sulit ini.

Kenyataannya, ini kembali lagi pada energi dan kondisi kita masing-masing, tapi ingat selalu saja bahwa anak perlu mengalami emosi marah tersebut. Kita perlu memberi mereka kesempatan, lalu ruang untuk memprosesnya sendiri. Jika mereka butuh waktu, biarkan. Jika mereka butu penyaluran energi, berikan ruang yang aman. Jangan mendesak anak untuk segera melalui amarah tersebut. Kita saja butuh beberapa waktu untuk berdamai dengan keadaan kan? Ingat, anak yang diberi kesempatan berlatih mengelola emosinya, cenderung akan tumbuh dengan kecerdasan emosional yang lebih baik. 


  • Ajarkan Anak Menyelesaikan Masalah

Menghindari amarah seringnya memang lebih mudah dibanding menghadapinya. Mengalihkan perhatian juga seringnya lebih mudah daripada mengatasi apa akar permasalahan. Tapi itu berdampak tidak baik pada perkembangan anak, sedangkan kita sedang menyiapkan bekal terbaik bagi mereka kelak. 

Coba kalimat seperti, kamu kesal karena kalah dalam permainan ini ya, coba kita pikirkan ya apa yang bisa kita lakukan kalau dapat hasil tidak sesuai yang kita mau. Tidak akan mulus anak menanggapi dengan tenang menjawab iya, tapi setidaknya kita sedang berusaha mencoba. Sedang memberi mereka teladan juga. Saya biasanya juga mempraktikkan semua sekaligus, sembari berbicara sembari menunggu juga, dan yang terpenting sembari mengatur emosi kita sendiri. Bagian tersulit justru adalah tetap tenang ditengah gejolak emosi marah anak.

Intinya adalah merasa marah itu tidak apa, tapi apa yang kita lakukan itu ada batasnya. Jangan sampai karena marah lalu jadi menyakiti diri sendiri atupun orang lain. Tambahan batasan lainnya bisa disesuaikan, misal tidak boleh melempar barang. Namun, pahami bahwa marah itu juga adalah energi yang perlu disalurkan, jika anak tidak boleh melempar barang, beri alternatif yang lebih aman bagi energi mereka untuk dikeluarkan. 


Pada akhirnya, ketahui bahwa setiap anak lahir dengan karakter masing-masing, ada yang mudah diarahkan ada yang lebih menantang. Mungkin cara penerimaan mereka berbeda, mungkin metode belajarnya berbeda, dan tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Semua sama, hanya kita yang harus lebih memahami dan mencoba. Meski satu ayah dan satu ibu, saudara kandung tetap adalah individu berbeda dengan karakter masing-masing. Kita hanya bisa mengarahkan, mengajarkan sebaik yang kita bisa lalu tergantung izin Tuhan anak akan menerima sesuai yang kita inginkan atau tidak. Jadi, jangan lupa terus berdoa saat membersamai anak, minta petunjuk pada Sang Pencipta dan Pemilik Segala. Mudah bagiNya membolak-balikkan hati manusia, termasuk anak-anak kita. 



Salam, Nasha

chi

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!