Tentang Surakarta, dari Aku Si Anak Asli Sumatera

"Bengawan Solo.. Riwayatmu ini..

Sedari dulu jadi.. Perhatian insani..."

 

Aku akan membuka tahun ini dengan cerita tentang kota tempat tinggalku kini. Sekitar pertengahan 2021 lalu, saat virus Covid-19 masih merebak aku dikabarkan suamiku bahwa kami akan pindah ke Surakarta. Kota yang pernah sekali aku lewati sebelumnya, selebihnya hanya pernah mendengar sepotong lagu dan membaca nama dari sehelai kain batik yang bertuliskan Solo-Indonesia. 


Singkat cerita, dimulailah petualanganku si anak asli Sumatera di Kota Budaya.


Dokumen Pribadi. Lok. Kesunanan Surakarta Hadiningrat

Sebenarnya sebagai anak yang lahir dan besar di area pesisir barat pantai Sumatera, aku merindukan deburan ombak dan kemudahan akses untuk merasakan pasir pantai yang menggelitik kaki. Sayang, Solo tidak memiliki pantai. Namun, ketiadaan pantai sepertinya justru menjadi salah satu penyebab nyamannya kota ini. Solo tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin. Cukup sejuk untuk dinikmati tanpa AC pada siang hari, dengan catatan ada area pohon disekitar. Mungkin itu juga sebabnya, masyarakat di sini berbicara dalam volume yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kota kelahiranku. Terasa lebih menenangkan, hal yang membuatku terpesona pada Surakarta.

Terpesona pada Surakarta

Sebelumnya aku pernah tinggal di beberapa kota di Indonesia khususnya setelah merantau. Selain itu, aku pernah mengunjungi empat pulau besar di Indonesia selain Papua. Sehingga, sedikit banyak aku bisa merasakan wilayah-wilayah tersebut. Diantara semua tempat yang pernah aku datangi itu, tidak ada tempat yang membuatku begitu nyaman sampai bisa menyebutnya sebagai rumah, di sinilah aku, di Surakarta.


1. Penduduk yang Hangat

Hal pertama yang membuatku terpukau dengan kota ini adalah bagaimana sebagian besar masyarakatnya sangat mudah menyapa bahkan kepada aku yang orang asing. Mereka dengan mudah tersenyum, mengangguk sopan, kadang juga dengan sapaan "monggo..". Ditengah kesibukan dan semakin cepatnya pergerakan kita beraktivitas, ada orang yang menyempatkan diri berhenti sejenak untuk menyapa orang asing, adem sekali rasanya.


Tahunan tinggal di Pulau Jawa, bersuamikan orang Jawa, tidak menjadikanku menguasai bahasa Jawa. Jadilah aku tinggal di Solo menggunakan bahasa Indonesia, sedikit mengerti topik obrolan, atau sekedar membalas dengan tawa ringan "nggih..". Meskipun begitu, aku tidak merasakan perlakuan yang berbeda sebagai pendatang. Pantas saja, ternyata Solo memang termasuk kota toleran berdasarkan laporan Indeks Kota Toleran (IKT). Tapi tetap perlu diingat bahwa penduduk juga sekumpulan manusia yang tidak mungkin semuanya sama, tidak bisa semuanya berlaku hangat di setiap waktu. Aku menyimpulkan ini dari kecenderungan dan sebagian besar masyarakat yang beruntungnya aku temui.


Dokumen Pribadi. Lok: Masjid Agung Keraton Surakarta


2. Lingkungan yang Nyaman

Kombinasi kondisi fisik yang membentuk Kota Solo ini juga cukup apik. Jumlah penduduknya banyak tapi tidak terlalu padat, sehingga masih cukup leluasa bergerak dan kualitas udaranya tentu juga lebih baik. Selain itu, entah karena penduduknya atau cukup rendahnya tingkat kejahatan seperti diungkapkan Berita Solo Raya, aku merasa cukup aman tinggal di Solo. Walaupun tetap waspada ya.


Kotanya juga cukup bersih, penataan kotanya juga lumayan rapi salah satunya karena jarang aku temui kemacetan. Apalagi di sepanjang jalannya juga ditumbuhi pepohonan sehingga menambah kesejukan. Di sini juga tidak sulit menemukan area terbuka hijau. Beberapa taman kota bahkan juga dilengkapi dengan fasilitas yang mumpuni untuk anak-anak bermain atau orang dewasa berkumpul. Meskipun jumlah taman ataupun hutan kota jelas perlu terus ditingkatkan apalagi mengingat kondisi krisis iklim sekarang.

Dokumen Pribadi. Lok: Taman Kota

3. Fasilitas yang Cukup

Solo bukanlah kota metropolitan sehingga fasilitasnya jelas kalah jika dibandingkan dengan ibu kota. Buatku justru itulah intinya. Fasilitas yang ada di Kota Solo itu cukup, tidak berlebihan. Solo bisa dijangkau dengan transportasi udara lalu mendarat di Bandara Internasional Adi Soemarmo. Perjalanan darat bisa ditempuh dengan kereta ataupun bus. Bahkan akses kendaraan pribadi juga dipermudah melalui jalan tol yang terhubung oleh tol trans jawa dengan pintu tol tidak jauh dari pusat kota Solo. Bagiku yang paling menarik adalah moda transportasi umumnya, Trans Solo, yang dilengkapi dengan gambar tokoh-tokoh wayang. Sepengetahuanku, tidak ada kota lain yang memiliki ide untuk mengenalkan ikon mereka secara beragam seperti yang Solo lakukan. Aku sebagai orang awam bahkan sampai hafal siapa saja tokoh wayang yang mereka peragakan.


Menariknya, infrastruktur Solo bukan hanya pembangunan fasilitas yang baru tapi juga pelestarian yang ada. Sebagai pecahan dari Kerajaan Mataram Islam, terdapat Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan area kerajaan sama seperti di Yogyakarta. Kita bisa berkunjung untuk mempelajari jejak sejarah ataupun menikmati perhelatan adat yang sering diadakan pihak keraton. Selanjutnya, juga ada belasan museum yang bisa  dikunjungi, bahkan salah satunya adalah yang tertua di Indonesia, yaitu Museum Radya Pustaka. Pusat perbelanjaan juga cukup banyak apalagi dengan area bisnis yang terus diperluas.


Tidak lengkap bicara fasilitas, tanpa membahas kuliner yang tersedia. Di Solo hampir semua masakan didominasi rasa manis. Rasa yang cukup asing bagiku, namun setelah membiasakan diri aku juga bisa menikmati kuliner Kota Solo seperti serabi, sosis solo, timlo, selat, soto seger, tengkleng, dll. Dengan fasilitas yang cukup lengkap ini, Solo bisa mempertahankan budaya dan kearifan lokalnya tanpa tergerus peradaban modern.


4. Biaya Hidup

Hal yang lumrah di sini untuk bisa makan kenyang tidak sampai sepuluh ribu. Denga anggaran segitu, kita bisa mendapat nasi lauk sayur lengkap dengan minumannya. Separuh dari anggaran makan di kota asalku. Bukan hanya makanan, biaya kebutuhan lainnya juga bervariasi dan tidak sulit menemukan barang yang murah dengan kualitas baik. Memang hal yang wajar mengingat UMK nya juga lebih rendah. Harga lain yang justru mengagetkan buatku adalah harga tanah, wah memang harga tanah di Pulau Jawa ini  cenderung sangat tinggi ya.


Segala fasilitas yang melengkapi Kota Solo tadi, dengan masyarakat yang hangat, ditambah lagi dengan biaya hidup yang murah menjadikan hidup di Solo terasa lebih mudah. Lebih lagi dengan meluasnya pembangunan ke area kabupaten sekitar juga bisa dijadikan pilihan untuk tempat tinggal. Jika ingin bekerja, sepertinya kesempatan berkarya juga masih terbuka lebar, mengingat pertumbuhannya yang semakin pesat, tergantung bagaimana kita menempatkan diri nantinya.

Dokumen Pribadi. Lok: Stadion Manahan

Kota Nyaman untuk Ditinggali

Semua alasanku tadi ternyata sesuai dengan survey Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) yang menunjuk Solo sebagai kota paling layak huni di Indonesia sejak 2018. Dalam laman pemprov Jawa Tengah disebutkan bahwa Solo menduduki peringkat pertama dengan indeks livability 66,9% berdasarkan indikator penilaian yaitu pengelolaan air bersih, fasilitas pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan transportasi.


Bagiku Solo memang benar kota yang nyaman ditinggali. Tetapi menurutku, ini bukan kota yang tepat bagi mereka yang ingin berkejaran menggapai mimpi mencapai kesuksesan. Kecepatan jelas akan terus berpihak di ibu kota. Kesempatan disana lebih luas dan daya saingnya juga lebih tinggi sehingga akan memacu kita untuk terus bekerja keras. Di sini semua berjalan cenderung lebih lambat dan tenang, santai menyempatkan diri untuk sesekali bercengkerama. Kembali ke masing-masing kita, hidup seperti apa yang ingin dijalani.


Salam, Nasha

0 Comentarios

Mau nanya atau sharing, bisa disini!